30/07/2024
[diskusi publik, studi memori] Apa perlunya mengingat bencana? Dan apa yang didapat dari mengingatnya?
18 tahun berlalu. Sebuah jarak yang terlalu lama terhadap bencana yang menggusur ruang hidup puluhan ribu jiwa: semburan lumpur Lapindo. Tak kurang dari enam belas desa di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, Jabon) di kabupaten Sidoarjo telah hancur, bahkan tenggelam. Penghancuran ini belum juga berhenti karena lumpur Lapindo masih terus menyembur hingga kini.
Telusur memori ini dimulai dengan ingatan pribadi Finchy. Semua bermula dari tahun 2010 saat ia beraktivitas bersama warga penyintas lumpur Lapindo di Sanggar Alfaz, Desa Besuki Timur, Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Berbagai pengalaman hidup yang traumatis bagi para warga akibat lumpur Lapindo ia turut saksikan. Terutama pengalaman arek-arek Sanggar Alfaz yang nyaris seluruh hidupnya harus berdampingan dengan bencana. Tak sekedar kuat, ingatan akan bencana ini seakan menubuh dalam diri. Karena sedari kecil mereka harus mengalami berbagai kehilangan dan pada akhirnya dipaksa pindah dari tanah kelahiran.
8 tahun berlalu, Finchy kembali menemui arek-arek Alfaz. Ia mencoba mengajak mereka berpartisipasi untuk mengenang-mengingat masa kecil di Besuki Timur. Proses mengingat ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana relasi mereka dengan tanah kelahiran, bagaimana bencana lumpur Lapindo dimaknai, hingga kaitannya dengan proses hidup mereka di masa kini. Bagi Finchy, memori masa kecil menjadi penting untuk digali kembali agar tak sekadar tersimpan, menumpuk dalam ingatan, dan berujung pada terkuburnya ingatan sosial.
KUNCI terbuka menerima ajakan Finchy untuk mengisahkan kembali kisah ini ke publik yang lebih luas. Mendengarkan apa yang Finchy rasakan, pikirkan, dan lakukan dalam upayanya menyusuri studi memori. Tak hanya itu kami juga tertarik akan refleksinya di tengah krisis agraria yang merajalela. Mari bergabung bersama kami.