16/11/2022
AKU BUKAN MADUMU
BAB 1: PESAN GELAP
[MAS PULANG! ATAU AKU AKAN MATI!]
Seketika tubuhku membeku, pesan itu baru saja kuterima dari ponsel lelaki yang baru saja menjadi suamiku. Pesan dari seorang wanita bernama Agni, wanita berambut hitam terlihat anggun di foto profilnya. Ah, tidak, bagaimana mungkin Mas A***n berbohong. Pesta meriah yang melibatkan dua keluarga besar baru saja usai, pesta yang sejak sebulan lalu sudah dipersiapkan dengan acara adat Jawa juga pengajian yang sakral tak mungkin sebuah kebohongan, aku menghela napas berusaha berpikir tenang dan tak larut dalam emosi sesaat.
Berulang kali aku menelan saliva, dadaku kembang kempis berusaha mengatur diafragma yang berantakan. Kebaya putih masih melekat di tubuhku, bahkan ranum tubuhku pun belum lelaki itu sentuh. Sementara Mas A***n sibuk membersihkan diri di kamar mandi. Di dalam kamar beraroma melati dengan taburan bunga mawar merah di atas ranjang aku termangu. Ragu. Hingga kemudian ada napas yang menyelimuti batin, ragaku mengendur lemas ketika pesan kedua terdengar. Rasanya takut untuk membaca, ragu, tapi aku sudah menjadi istrinya.
Ponsel yang sejak tadi ia simpan di laci nakas begitu rapi, akhirnya terlihat denganku saat aku tak sengaja mencari tisu di dalam kamarnya. Aku diam, Mas A***n sepertinya masih lama di kamar mandi, kubuka kembali.
[MAS A***N! AKU AKAN LONCAT KALO KAMU NGGAK DATANG!]
Hatiku semakin panik, drama apa ini? Siapa Mas A***n? Mengapa aku begitu bodoh? Lelaki yang sejak lima tahun lalu kucinta, lelaki yang selalu dielu-elukan keluargaku. Dia Mas A***n, lelaki yang setahuku tak pernah mengecewakan keluarganya juga tak pernah berbuat macam-macam seperti lelaki kebanyakan atau dua adik laki-lakinya. Tapi kenapa Mas A***n? Anganku teringat ketika dua bulan lalu akhirnya Mas A***n datang bersama keluarganya untuk melamar, hatiku terbang bagai bintang terang yang bersinar di cuaca mendung hingga kemudian langit hitam berubah menjadi biru yang cerah. Cahaya hatiku menyinari seluruh isi ruangan, keluargaku juga keluarganya mengharapkan pernikahan ini.
Lalu, apa yang terjadi malam ini? Apa? Buru-buru aku kembalikan ponsel Mas A***n ke tempatnya. Kemudian aku termangu ketika suara shower perlahan terdengar meredup, dan tak lama lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku keluar, ia kenakan handuk Kimono seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sementara aku diam dan terus mematung membelakanginya.
“Kamu nggak mandi, Dek?” tanyanya dan aku masih diam, mencoba menerka isi pesan yang baru saja kubaca. Perlahan terdengar suara derit lemari, ia seperti baru mengambil pakaian kemudian memakainya. Hatiku sesak hingga perlahan air mata menetes, entah harus mulai dari mana. Atau aku harus katakan dan bertanya, kemudian merusak malam yang seharusnya menjadi malam terindahku bersamanya? Napasku semakin cepat dan tak beraturan, aku bangkit, kebaya putih dengan kain sepan masih membuatku sulit melangkah. Perlahan aku berjalan dan masuk ke kamar mandi.
“Aku harus berani, tanyakan … tanyakan,” gumamku seraya melepaskan hijab dan kembang melati yang masih menempel. Air mataku merusak celak hingga membuat kelopak mata semakin gelap, kucoba menata hati. Kemudian keluar kamar dan masih mengenakan gaun yang sama, hanya saja hiasan melati telah terlepas. Mas A***n terlihat kelelahan, ia rebahkan dirinya di atas ranjang, dan tak sedikit pun juga ia mengamatiku. Seharusnya aku sudah bisa menerka hal ini sejak awal. Bodoh! Kenapa aku terima pinangannya? Tapi, jika aku tak memberitahunya, bisa saja esok akan ada kabar seorang wanita yang akan mati karena melompat, entah melompat dari mana. Mungkin dari gedung tinggi atau kamar apartemennya.
“Kamu sudah selesai?” tanyanya setelah mengerjapkan mata. Ia bangkit, kemudian duduk memandangku, sementara aku menoleh dan menunduk.
“Sini, duduk,” pintanya dan tak kuhiraukan hingga ia menarik lenganku, kini aku duduk di sampingnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya seraya menggamit jemariku, ia tarik kemudian ia cium hingga membuat hatiku berdesir. Kupejamkan mata, hingga kurasakan ia meletakkan tangannya di ubun-ubunku kemudian melafazkan sebuah doa. Air mataku mengalir, pikiranku kacau, Mas A***n telah berdusta, bohong. Ini tak bisa dilanjutkan, kutarik napas panjang.
“Pergi, Mas!” rutukku, ketika kurasakan embusan napasnya terasa dekat dengan wajah. Aku harus menyelamatkan harga diri sebelum semua berakhir, setidaknya aku harus tahu apa isi pesan yang baru saja kubaca. Siapa wanita berambut hitam sebahu bernama Agni? Aku harus tahu sebelum ia merasakan ranumku.
“Kamu kenapa, Dek?” tanyanya. Wajahnya pucat, sama pucatnya dengan wajahku. Aku mendengkus kemudian bangkit, menghela napas panjang sebelum akhirnya aku mengempaskan tubuhnya ke ranjang saat tangan Mas A***n menarik lenganku untuk kembali duduk di sampingnya.
“Mas sebaiknya pergi!”
“Pergi? Pergi ke mana? Maksudmu apa, Lan?”
“Pergi … karena kekasih Mas yang bernama Agni akan segera lompat dan bunuh diri!”
Matanya terbelalak, seketika pucat dan buru-buru ia mengambil ponsel di laci nakas tempat ia sembunyikan sebelumnya. Ia buka, kemudian seketika panik mendera. Bangkit dari tempat tidurnya berganti pakaian hingga perlahan senyap, sang suami pergi meninggalkanku. Tubuhku roboh, malam itu entah aku yang dikhianati atau gadis yang bernama Agni. Yang jelas hatiku terluka, pedih.
Mas A***n, malam ini adalah malam pernikahanmu juga malam perpisahan bagiku. Buru-buru aku membersihkan diri di kamar mandi, membuka gaun kebaya yang memiliki simbol kelembutan juga keteguhan perempuan, menggantinya dengan kebaya hitam pemberian Bue juga hijab yang senada. Malam itu, ketika semua keluarga Mas A***n tengah terlelap letih setelah pesta besar, diam-diam aku keluar. Pergi meninggalkan kediaman Ganendra.
Hampir dua jam perjalananku dari Kertasura menuju Tawangmangu, Karanganyar. Aku pergi memberanikan diri menggunakan taksi, daerah perbukitan, udara semilir menerbangkan air mata juga sedikit menyejukkan hati yang kian memanas. Aku tiba di rumah, Bapak adalah tokoh agama di desa kami. KH. Hadi Soenggono, nama Bapak. Cukup terkenal hingga ke desa sebrang karena pengaruhnya di bidang pemberdayaan umat dan karena Bapak jugalah akhirnya aku menikah dengan Mas A***n. Kep**anganku tak boleh ada satu pun yang tahu, aku tak ingin nama Bapak menjadi taruhan. Kukenakan kain untuk menutupi wajah, kemudian senyap melangkah ke arah rumah hingga terlihat plank Pesantren Al Fatih kini terlihat jelas di mata, buru-buru aku turun dengan membawa koper mini kemudian perlahan masuk. Sepi.
“Loh … Mba Wulan, kok p**ang?” Suara Sri, pembantu di rumah yang sudah kami anggap keluarga terdengar dari arah tak terduga.
“Wulan ….” Bue! Ya Allah … ingin rasanya aku berlari ke pelukannya dan menceritakan semua masalahku padanya.
“Suamimu mana, Nduk? Kok malam-malam begini? Nopo toh, Nduk?”
“Bue ….” Tak tahan aku lari kemudian menangis di pelukannya.
“Ono opo toh, Nduk?”
“Bue ….”
“Wulan kangen sama Bue, belum terbiasa di rumah.” Aku melengos, mendadak, mataku terbelalak, suara Mas A***n menyambar begitu saja. Lidahku kelu, tubuhku gemetar, kemudian menoleh, melihat dirinya sedang sibuk mengeset kaki di atas keset.
“Oalah … yo wis, malam ini kalian nginap di sini. Besok kamu harus kembali ke rumah suamimu, ya, Nduk.”
“Nggih, Bue …,” jawabnya dan aku tahu itu semua hanya sandiwara.
Aku diam mematung. Melihat wajah Bue yang terlihat bahagia, tak tega rasanya jika harus bercerita masalahku. Lagian toh aku sudah dewasa dan kedua orang tuaku sudah begitu tua, bagaimana jika mereka syok mendengar kejadian yang kualami? Aku mematung hingga tak lama Mas A***n datang kemudian merengkuh pundakku. Aku empaskan tangannya kemudian berjalan menuju kamar, dan Mas A***n mengikuti dari belakang. Hingga tiba di kamar, ia biarkan pintu terbuka kemudian memeluk tubuhku erat dari belakang.
“Aku mohon, Lan, orang tua kita sudah tua. Papih sudah sakit-sakitan, aku mohon jangan ceritakan masalah ini kepada mereka,” bisik Mas A***n membuat emosiku semakin memanas.
“Masyaallah … pengantin baru, romantis,” teriak Sri dan Bue berbarengan.
Seketika napas tersengal, mataku berkaca-kaca, suara kegembiraan terdengar nyaring di telingaku. Ingin marah, tapi tak berdaya. Yang dikatakan Mas A***n pun benar, kedua orang tuaku sudah renta. Lalu aku harus apa?
Lanjut? Like komen share