07/08/2017
Faktor penulis tentu saja penting di sini. Pertama, dari cerita para buruh kita mendapatkan cerita yang otentik perihal eksistensi mereka. Tentang bagaimana mereka menjadi buruh, mengapa mereka perlu berserikat, mengapa melakukan aksi mogok dan melakukan protes dan mengapa solidaritas itu adalah hal yang sangat penting.
Tak ada perjuangan buruh tanpa kesadaran buruh sebagai kelas. Dan bicara soal kesadaran, buku ini p**a memiliki peran penting untuk memahami bagaimana kesadaran politik buruh itu tumbuh yang tidak sesederhana apa yang selama ini dibaca di buku-buku atau imajinasi banyak orang tentang perjuangan para pekerja upahan.
Dari cerita langsung para buruh yang beragam pada buku ini, kita bisa melihat bagaimana proses tumbuhnya kesadaran itu dengan diwarnai banyak faktor. Bukan hanya perkara urusan dengan majikan, tapi juga relasinya dengan sesama buruh, buruh lelaki-buruh perempuan, dengan urusan keluarga dan faktor-faktor sosial lain seperti agama dan asal usul dan keterasingan yang mereka alami. Kita bisa menelusuri beragam p**a asal mula perlawanan yang dilakukan oleh para buruh.
Awal dan proses transformasi kesadaran itu pun tentu tak sama, misalnya saja jika kita membaca cerita Supinah dari Cilacap, ia awalnya merupakan buruh egois yang anti serikat, tak memiliki solidaritas terhadap sesama buruhnya dan sinis terhadap perjuangan buruh yang dilakukan teman-teman sepabriknya. Kemudian ia mulai memiliki empati ketika rekan sepabriknya ditindas di depan mata dan mulai berkenalan dengan serikat buruh ketika perusahaan menerapkan perubahan struktur pengupahan yang nilainya lebih rendah dari yang biasa mereka dapatkan. Mulai membangun serikat ketika ia dan rekan-rekannya mulai mempertanyakan perubahan kebijakan upah tersebut.
Judul ; Menolak Tunduk
(Cerita Perlawanan Dari Enam Kota)
Penerbit: LIPS SEDANE & Tanah Air Beta
Tahun terbit: 2016
Penulis: Aang Ansorudin, Atik Sunaryati, Coeblink, Hera Sulistyowati, Hery Sofyan, Jumisih, Kokom Komalawati, Meen Marta