05/09/2024
๐ง๐๐ก๐๐จ๐ก๐ ๐๐ง๐๐ฃ ๐๐ฅ๐๐ (KILAS BALIK SEJARAH DESA TANJUNG ATAP)
๐ง๐ฎ๐ป๐ท๐๐ป๐ด ๐๐๐ฎ๐ฝ ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐บ ๐๐ถ๐น๐ฎ๐ ๐๐ฎ๐น๐ถ๐ธ ๐ฆ๐ฒ๐ท๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ต
Desa Tanjung Atap merupakan salah satu desa yang berada di kawasan administratif Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Jarak antara Desa Tanjung Atap dengan Kota Palembang ibukota Provinsi Sumatera Selatan kurang lebih 64 Km dapat ditempuh dengan transportasi darat ยฑ 2 jam perjalanan. Kemudian jarak dari ibukota Kabupaten Ogan Ilir yaitu 25 Km, serta jarak dengan ibukota Kecamatan Tanjung Batu lebih kurang 1,5 Km. Desa Tanjung Atap dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi darat maupun perairan atau lebak. Luas Desa Tanjung Atap 38.800 ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 600 m. Desa Tanjung Atap berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Batu pada sebelah barat dan utara, pada sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ketiau, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjung Pinang. Desa Tanjung Atap mempunyai sejarah begitu panjang mulai dari masa awal mula terbentuknya desa, sampai tumbuh dan berkembangnya desa Tanjung Atap
Pada tahun 1575 (abad ke 16) datanglah sebuah rejung (Perahu Finishi Kecil) ke Desa Tanjung Atap tepatnya di Pulau Karam. Rejung tersebut datang dari daerah Banten, Serang Jawa Barat yang dikomandani oleh Syaid Umar Baginda Sari atau Tuan Umar Baginda Saleh atau Raden Amar, putera dari Fatahillah. Syaid Umar Baginda Sari datang dengan enam orang anak buahnya yang yaitu: Sayid Makdum, Tuan Raja Setan, Tuan Teraja Nyawa, Motoro Sugging, Rio Kenten Bakau, Usang Pulau Karam, Usang Puno Rajo, Kaharuddin Usang Lebih Ketiau, dan Usang Dukun.
Sebelum berdakwah di Desa Tanjung Atap, Syaid Umar Baginda Sari terlebih dahulu menyebarkan dakwah Islam di daerah Marga Madang Suku Satu, Komering Ulu dan Ogan Ulu. Mula-mula dia mengajarkan membaca Alquran kepada seluruh penduduk, kemudian setelah berkembang baru diberikan pelajaran berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya. Sebagai bukti sejarah sampai sekarang masih ada barang-barang peninggalan Syaid Umar Baginda Sari yang disimpan oleh zuriat/keturunannya seperti: tongkat untuk naik mimbar, sorban, jubah, sejadah, keris dan peninggalan-peninggalan lainnya yang terdapat di Mendayun Komering. Setelah Islam berakar di daerah Komering lalu kemudian Syaid Umar Baginda Sari pindah untuk kembali berdakwah ke daerah Ogan Komering Ilir tepatnya di Desa Tanjung Atap. Dia datang dengan menggunakan rejung melalui sungai Komering (Tanjung Lubuk), Sungai Ogan (Tanjung Raja), sungai Talang Balai, sungai Lintang dan pada akhirnya sampai lah dia dan anak buahnya di sebuah p**au di Desa Tanjung Atap yang bernama p**au karam.
Setelah tinggal di p**au karam Desa Tanjung Atap, Syaid Umar Baginda Sari dan anak buahnya merasa aman dan menetap. Pulau karam tersebut dikelilingi oleh lebak (rawa-rawa) yang cukup luas yang terkenal dengan sebutan Lebak Penesak. Sayid Umar Baginda Sari kemudian berbagi tugas dengan anak buahnya agar agama Islam cepat berkembang di kawasan itu, misalnya Sayid Makdum yang menyebarkan Islam di daerah Tanjung Batu dan Kaharuddin (Usang Lebih) ke daerah Ketiau. Pada masa itu keadaan penduduk masih berbentuk kubu, Desa Tanjung Atap terkenal dengan nama kubu payau lintah dan Tanjung Batu dengan nama kubu payau buluh.
Istilah Sebutan untuk Desa Tanjung Atap sendiri bermula saat Syaid Umar Baginda Sari hendak pergi ke sebuah daratan yang memanjang kelaut berupa tanjungan terletak di seberang p**au karam, dimana kemudian dia melihat dan menyebrangi meneku tanjungan itu ada sebuah balai dari Kayu kecil yang ditutup memakai atap yang ternyata terdapat makam dibawahnya. Oleh Syaid Umar Baginda Sari kemudian daerah itu diberi nama Tanjung Atap yaitu berasal dari Tanjungan yang terdapat sebuah atap. Di Desa Tanjung Atap kemudian dijadikan Syaid Umar Baginda Sari sebagai basis untuk menyiarkan agama Islam. Dengan ketekunan Syaid Umar Baginda Sari dan anak buahnya dalam menyiarkan agama Islam, membuat banyak penduduk yang memeluk agama Islam yang menyebar hingga ke beberapa daerah di sekitar Tanjung Atap seperti: Tanjung Batu, Ketiau, Tanjung Pinang, Meranjat dan sekitarnya. Akhirnya, pada akhir abad ke-16 M, Syaid Umar Baginda Sari meninggal dunia dan dimakamkan di seberang desa Tanjung Atap, yang terkenal dengan nama Pulau Syaid Umar Baginda Sari.
Setelah Syaid Umar Baginda Sari meninggal dunia kemudian daerah ini dipimpin oleh salah seorang anak buahnya yang bernama Usang Rajo Shoitan hingga wafatnya di abad ke 18. Setelah itu Desa Tanjung Atap dipimpin oleh seorang penggawa yang bernama Hambali. Di zaman pemerintahan penggawa Hambali inilah datang serdadu Jepang dengan peralatan yang canggih masuk ke Desa Tanjung Atap. Pada saat yang bersamaan Hambali p**a terjadi sebuah pesawat Jepang yang jatuh di kebun penduduk seberang desa yang ada tumbuhan batang purun. Dari sinilah bermula batang purun tersebut dianyam di manfaatkan untuk dibuat kerajinan rakyat untuk tikar alas tempat duduk dan alas tidur, sedangkan kepingan batang dan dinding pesawat dibentuk bermacam-macam alat untuk memasak dan sebagainya. Sejak saat itu penduduk mempunyai kerajianan menganyam tikar purun dan pengrajin alumunium.
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐ธ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐๐ฎ ๐ง๐ฎ๐ป๐ท๐๐ป๐ด ๐๐๐ฎ๐ฝ (1901-1966)
Berdasarkan sejarah Desa Tanjung Atap pada bagian sebelumnya dapat diketahui bahwa awal mula nama Desa Tanjung Atap adalah ketika Syaid Umar Baginda Sari penyebar agama Islam petama di Desa Tanjung Atap melihat atap pada sebuah tanjungan, tepatnya di tutup atap yang menutupi bagian atas sebuah kuburan tua di tanjungan yang menanjak berada di Desa Tanjung Atap yang bernama Puyang Zakiddin Orang Tua dari Ky ishak orang tua dari Kiemas Syamsudin orang Tua dari ky Marwah dan pada masa ky Syamsudin inilah pendiri Masjid Al Ikhlas Tanjung Atap. Menurut cerita lisan beberapa Koresponden dari beberapa penduduk Desa Tanjung Atap yang terpercaya di masanya, makam beratap tersebut merupakan makam Rombongan dari Klan Kelompok nenek moyang Asal usul semua masyarakat desa Tanjung Atap atau biasa dipanggil dengan sebutan Puyang Zakiddin yang Yakini Posisi nya berasa di komplek makam Kiemas Syamsudin, yang merupakan orang tua dari ky ishak orang Tua dari Kiemas Syamsudin orang Tua dari ky Mahdhor, orang tua dari Ky. Marwah. Dari temuan makam yang beratap tersebut di tandai lah dengan di tanam pohon bambu di samping mskam tersebut agar dari jauh seberang p**au karam bisa di lihat Syaid Umar Baginda Sari menyebut daerah itu dengan nama Tanjungan ber Atap Sekarang di sebut Tanjung Atap
kehidupan sosial dan petekonomian dalam periodeisasi sejarah yang dimulai pada tahun 1901 sampai dengan 1966 M. Perkembangan Desa Tanjung Atap tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pengaruh perkembangan sosial serta keadaan ekonomi penduduk. Dari awal terbentuknya Desa Tanjung Atap sampai pada masa penjajahan Belanda, kemudian masa pendudukan Jepang serta masa kemerdekaan sampai tahun 1966.
Pada periode perkembangan Desa Tanjung Atap (1901-1966) berdasarkan batasan periodenya yang terbagi menjadi tiga periode yaitu: pada periode pertama membahas perkembangan Desa Tanjung Atap
- Periode masa penjajahan Belanda (1901-1942), kemudian
- Periode kedua perkembangan Desa Tanjung Atap masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan
- Periode ketiga perkembangan Desa Tanjung Atap pada masa kemerdekaan (1945-1964).
๐๐ฒ๐๐ฎ ๐ง๐ฎ๐ป๐ท๐๐ป๐ด ๐๐๐ฎ๐ฝ ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐บ๐ฎ๐๐ฎ ๐ธ๐ผ๐น๐ผ๐ป๐ถ๐ฎ๐น ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ป๐ฑ๐ฎ (1901-1942)
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sistem pemerintahan daerah di Sumatera Selatan berbentuk keresidenan yang diperintah oleh seorang Residen. Keresidenan Palembang terdiri dari beberapa Afdeling (setara kabupaten) kecuali ibukota Palembang, masing-masing afdeling dikepalai oleh asisten Residen. Tiap-tiap Afdeling terdiri dari Onder afdeling (setara kecamatan) yang dikepalai oleh kontroleur. Tiap tiap Onder Afdeling terdapat marga-marga yang diperintah oleh kepala marga (Pesirah). Satu marga terdiri dari sejumlah desa yang lebih umum disebut dengan nama Dusun. Tiap dusun dipimpin oleh seorang Kerio, dusun terdiri dari beberapa kampung yang dipimpin oleh ketua kampung (Penggawo). Desa Tanjung Atap pada masa pemerintahan Hindia Belanda tergabung dalam marga Tanjung Batu dan berada dibawah pemerintahan Onder Afdeeling Ogan Ilir. Desa Tanjung Atap dipimpin oleh seorang Kerio yang pada saat itu dijabat oleh bapak Basuni. Pada masa pemerintahan bapak Basuni Desa Tanjung Atap terbagi atas tiga kampung yang masing-masing kampung dikepalai oleh seorang Penggawo. Tugas pemerintahan Desa yaitu mengurusi urusan masyarakat dengan pemerintahan Hindia Belanda seperti masalah kependudukan, akta kelahiran, surat nikah dan urusan kependudukan lainnya.
Pada masa penjajahan Belanda, penduduk Desa Tanjung Atap hidup berkelompok dan mendirikan rumah-rumah disamping rawa (lebak). Rumah-rumah penduduk terbuat dari kayu dengan menggunakan tiang dan atap daun, sama seperti rumah-rumah tradisional di daerah lainnya di Indonesia. Keadaan perekonomian masyarakat Tanjung Atap pada masa Hindia Belanda lebih banyak bergerak pada sektor pertanian sebesar ยฑ 70 % dari jumlah penduduk saat itu, sisanya pedagang, tukang kayu (pembuat rumah kayu), pegawai pemerintahan Hindia Belanda, guru. Masyarakat pada masa itu bertani secara berkelompok dengan kepemilikan lahan bersama atau disebut hutan peramunan, tanamannya berupa padi, singkong, nanas, dan sayur-sayuran. Semua tanaman itu dianjurkan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan makanan pada masa itu, baik kebutuhan didalam desa maupun dijual keluar desa. Kondisi lahan di kawasan desa Tanjung Atap yang datar dan gembur memang cocok untuk dijaadikan lahan pertanian terutama jika sudah memasuki musim hujan, keadaan demikian yang menjadikan masyarakat paling banyak bekerja sebagai petani. Pada musim panen masyarakat mengadakan syukuran dengan berziarah ke makam Syech Syaid Umar Baginda Sari sebagai penyebar Islam pertama di desa Tanjung Atap, dengan membawa beberapa makanan untuk dimakan bersama-sama sebagai rasa syukur kepada tuhan.
Jika dilihat dari kompleksitas suatu sistem sosial, masyarakat Desa Tanjung Atap merupakan masyarakat yang masih memegang erat sistem kekerabatan. Hal tersebut dapat dilihat dari cara masyarakat mengadakan suatu hajatan, seluruh penduduk desa diundang dalam hajatan tersebut. Hal itu merupakan tolak ukur bahwa masyarakat Desa Tanjung Atap masih memegang erat sistem sosial kekerabatan. Masyarakat Desa Tanjung Atap berpendapat bahwa semua penduduk desa merupakan satu kerabat atau satu keturunan nenek moyang, dengan pendapat tersebut sampai sekarang masyarakat Desa Tanjung Atap antara satu individu dengan individu lainnya mempunyai rasa kekeluargaan.
Sebagai salah satu desa tertua di kawasan marga Tanjung Batu, selain Desa Seribandung, Desa Tanjung Atap juga merupakan pusat pembelajaran agama Islam di Ogan Ilir pada masa itu. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya santri-santri yang belajar ilmu agama di Desa Tanjung Atap. Pada tahun 1922 berdirilah pondok pesantren Nurul Hilal yang dibimbing oleh Ky.H. Marwah bin Ky Mahdhor bin Ky Kiemas Syamsudin bin Ky Ishak bin Ky Zakiddin dimana ky Zakiddin ini adalah Pembuka Alas di abad 14 sedangkan berdirinya istilah desa Tanjung Atap di abad ke 16 Puyang Zakiddin berasal Palembang, Jadi pada masa Hindia Belanda di desa Tanjung Atap sudah berdiri pondok pesantren yang santrinya berasal dari berbagai daerah di Sumatera Bagian Selatan Pada waktu itu, satu satunya pesantren ini terus berkembang karena banyaknya minat orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan Islam Pada Waktu itu.
Gairah umat Islam terhadap pendidikan Islam semakin tampak sejak awal kebangkitan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Madrasah (sekolah agama) mengalami masa-masa yang tidak mudah dalam upaya mempertahankan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat muslim. Karena pada masa pemerintahan Hindia Belanda pendidikan Islam kurang diperhatikan dibanding dengan pendidikan umum. Pada umumnya kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Selatan ditujukan untuk mengatur pelaksanaan pendidikan umum bercorak barat, baik pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (sekolah Gouverment) maupun sekolah yang bercorak barat yang diselenggarakan oleh masyarakat. Kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan lembaga pendidikan Islam sangat sedikit dan lebih bersifat penertiban. Ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah kolonial terhadap pendidikan Islam sangat kecil. Bahkan laporan pemerintah yang berkaitan dengan perkembangan pendidikan Islam hanya sempat mencatat statistik pendidikan Islam untuk beberapa tahun saja (dari 1887 sampai 1966). Setelah 1966 banyak dijumpai lagi laporan tentang statistik pendidikan Islam di Sumatera-Selatan ini. Tampaknya, keberadaan lembaga pendidikan Islam dianggap kurang begitu penting bagi dinas pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Fakta ini merupakan fenomena yang juga terjadi pada lembaga pendidikan Islam di daerah lain di Indonesia, misalnya pesantren di Jawa. Begitu p**a pendidikan Islam di pedesaan khususnya di Desa Tanjung Atap, Satu Satunya Pondok pesantren waktu itu tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah Belanda, sehingga masalah pembiayaan diambil dari sumbangan orang tua santri, dengan s**a rela. Sumbangan tersebut tidak hanya berupa uang tapi juga bisa berupa, hasil pertanian, Hasil Perkebunan, makanan pokok seperti beras. Meskipun keadaan demikian tidak menyurutkan para santri untuk belajar di lembaga pendidikan Islam. Hal tersebut terlihat dari banyakya jumlah santri yang belajar di Pondok Pesantren Nurul Hilal DesaTanjung Atap, baik yang berasal dari Desa Tanjung Atap sendiri maupun dari daerah lainnya seperti Desa Lainnya Desa Meranjat, Desa Tanjung Batu, Tanjung Lubuk, Muara kuang, Inderalaya, bahkan sampai daerah Ogan tengah, lampung
๐๐ฒ๐๐ฎ ๐ง๐ฎ๐ป๐ท๐๐ป๐ด ๐๐๐ฎ๐ฝ ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ ๐ฎ๐๐ฎ ๐ฃ๐ฒ๐ป๐ฑ๐๐ฑ๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฝ๐ฎ๐ป๐ด (1942-1945)
Pada tanggal 14 Februari 1942, pas**an Payung Jepang mendarat di Palembang. Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki pada tanggal 16 Februari 1942. Setelah Palembang jatuh maka wilayah yang ada di kawasan Sumatera Selatan yang sebelumnya dikuasai oleh Hindia Belanda kini diambil alih oleh Jepang. Begitu p**a dengan marga Tanjung Batu dan khususnya Desa Tanjung Atap.
banyak catatan tentang keadaan sosial dan keadaan perekonomian masyarakat Desa Tanjung Atap pada masa kedudukan Jepang. Namun, berdasarkan sumber lisan dari Responden wawancara dengan Responden Pemuka penduduk Desa Tanjung Atap yang bernama Abdurrahman Matbuhir Legium Veteran Perang Asli Desa Tanjung Atap yang pernah mengalami masa kependudukan mulai masa Belanda sampai Jepang 1942-1945. wawancara dengan Abdurahman Tokoh masyarakat Desa Tanjung Atap: Pada masa pendudukan Belanda Jepang di Indonesia, tentara Jepang dengan cepat menguasai kawasan marga Tanjung Batu. Kemudian tentara Jepang membangun markas tentara dan landasan pesawat di Tanjung Batu dari jalan Poros yang dulu kl kita lewat ada bikinan gua tanah di pinggir jalan untuk posko benteng pertahanan Jepang yang sekarang berada tepat di posisi lokasi SMP dan SMA negeri 01 Tanjung Batu. Namun dalam proses pembangunannya tentara Jepang memerintahkan masyarakat dalam pekerjaan itu yang dilakukan secara Rodi atau kerja paksa. Banyak pekerja Pribumi yang meninggal saat pambuatan landasan terbang tersebut. Selain itu, pada masa kedudukan Jepang masyarakat Indonesia khususnya masyarakat desa Tanjung Atap mengalami keterpurukan ekonomi karena pada masa itu Indonesia dijadikan markas untuk Jepang dalam menghadapi sekutu pada perang melawan barat (PD II), banyak usaha yang gulung tikar, dan juga pemerintah Jepang sering datang ke desa untuk mengambil hasil panen masyarakat secara paksa, hal itu sangat membuat masyarakan sengsara dan di tengah keadaan ekonomi seperti itu banyak masyarakat yang meninggal karena kelaparan.
Dari keterangan wawancara diatas dapat disimpulkan secara umum bahwa pada masa kedudukan Jepang keadaan perkonomian masyarakat Desa Tanjung Atap sangat terpuruk. Hal tersebut dikarenakan pada masa itu Indonesia dalam keadaan perang, karena Jepang sedang menghadapi blok sekutu pada perang dunia II. Keadaan ini juga berimbas pada kehidupan masyarakat Desa Tanjung Atap. Karena pada masa pendudukan Jepang, tentara Jepang sering kali datang ke rumah-rumah penduduk untuk mengambil bahan makanan secara paksa seperti beras, ubi dan bahkan ternak peliharaan pun tak luput dari incaran tentara Jepang.
Kondisi sosial masyarakat Desa Tanjung Atap pada masa pendudukan Jepang sangat berbeda dengan kodisi sosial masyarakat pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda keadaan perekonomian masyarakat Desa Tanjung Atap sudah mengalami kemajuan, begitup**a dengan tatanan birokrasi yang sudah berjalan sangat teratur mulai dari tingkat terendah yaitu pemerintahan desa (penggawo dan krio), marga, sampai ke tingkat Residen. Begitu juga dengan peraturan dan peradilan hukum sudah di atur dengan sangat jelas di dalam undang-undang. Namun pada masa pendudukan Jepang, keadaan masyarakat Desa Tanjung Atap berbanding terbalik dibanding dengan keadaan pada masa penjajahan Belanda, baik keadaan perekonomian, pemerintahan maupun sosial masyarakat. Semua mengalami masa yang sulit, banyak penduduk yang meninggal karena kelaparan. Selain itu, tentara Jepang sering bertindak sewenang-wenang pada penduduk desa seperti perampasan harta penduduk. Pada masa sulit itu masyarakat yang bekerja sebagai petani lebih banyak tinggal di ladang yang berada di seberang desa dari pada tinggal di rumah, karena tinggal di ladang dinilai lebih aman daripada tinggal di rumah sendiri. Pada masa itu keadaan penduduk di Desa Tanjung Atap sangat sepi, hanya ada beberapa orang saja yang tetap tinggal di Desa, keadaan pada masa itu sangat mencekam.
Selain keadaan sosial dan ekonomi penduduk yang mengalami penurunan, keadaan pendidikan juga mengalami hal yang sama, banyak murid yang berhenti sekolah karena takut, hal tersebut berdampak terhadap kegiatan belajar mengajar di lembaga pendidikan yang akhirnya ditutup. Berhubung tidak adanya aktivitas belajar mengajar di lembaga pendidikan (sekolah rakyat) di Desa Tanjung Atap, akhirnya tentara Jepang mengambil alih gedung sekolah untuk dijadikan markas mereka.
Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan Islam mendapat perhatian khusus, karena pada masa itu Jepang ingin menarik simpati pada kaum muslim di Indonesia. Dengan tujuan membujuk kaum Nasionalis sekuler dan intelektual menyerahkan tenaga dan fikirannya untuk mengabdi kepada Jepang. Tidak hanya pendidikan Islam ditingkat menengah saja yang berkembang pada masa pemerintah Jepang, namun pendidikan tinggi Islam mulai didirikan, yaitu dengan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dibawah asuhan K.H Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan B**g Hatta. Meskipun Jepang memberi perhatian khusus terhadap pendidikan Islam di kota-kota dan di daerah lainnya, tetapi pendidikan Islam di Desa Tanjung Atap mengalami ke vakuman, baik santri maupun ustadz nya tidak mau datang kesekolah dikarenakan takut dengan keadaan pada masa itu. Jadi dapat dikatakan pada masa pendudukan Jepang seluruh aktifitas di lembaga pendidikan baik negeri maupun Madrasah terhenti total, kecuali pondok pesantren Nurul Hilal Ky Marwah Secara Bergerilya Masih bertahan selain itu tidak ada aktifitas belajar mengajar lainnya.
Di akhir Perang Dunia II saat Jepang sedang di blokade oleh tentara Sekutu keadaan perekonomian pun semakin memburuk. Bahan makanan sangat sulit ditemui. Penduduk Desa Tanjung Atap pada masa itu hanya mengkonsumsi beberapa bahan makanan yang jumlahnya sangat terbatas, diantaranya makanan pokok yang biasa dimakan penduduk pada masa itu seperti ubi, talas dan apa saja yang bisa dimakan. Pada masa keadaan sulit tersebut, Jepang tetap menerapkan pajak terhadap masyarakat, dengan menugaskan pemerintah desa untuk menagih pajak kepada masyarakat khususnya masyarakat Desa Tanjung Atap, sehingga pada masa itu para pemimpin desa (Kerio dan perangkat) dianggap sebagai penghianat dan dianggap lebih mementingkan kepentingan diri sendiri oleh masyarakat Desa Tanjung Atap. Keadaan yang sulit ini tak kunjung berubah dalam kurun waktu 3,5 tahun sampai kemudian pas**an Jepang menyerah kepada sekutu karena dua kotanya di bom atom yaitu Hirosima dan Nagasaki dan memicu berakhirnya perang dunia II.
๐๐ฒ๐๐ฎ ๐ง๐ฎ๐ป๐ท๐๐ป๐ด ๐๐๐ฎ๐ฝ ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ ๐ฎ๐๐ฎ ๐๐๐ฎ๐น ๐๐ฒ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ฑ๐ฒ๐ธ๐ฎ๐ฎ๐ป (1945-1964)
Kondisi awal di Sumatera Selatan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti terlambatnya berita proklamasi ke daerah-daerah. Masyarakat Sumatera-Selatan baru merasakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 25 agustus 1945. Setelah kelompok eks perwira Gyu Gun mengibarkan bendera merah putih di kantor Waterlaiding (sekarang menjadi kantor walikota). Meskipun Indonesia telah merdeka. Namun, situasi sosial maupun politik belumlah stabil dikarenakan bangsa Jepang masih ada dan para pemimpin belum terbentuk. Setiap bangsa yang sedang mengalami transisi akan menunjukkan pola perkembangan yang dipengaruhi oleh berbagai gejala dan masalah-masalah khusus yang berkenaan dengan situasi geografis, ekonomi dan politik. Masa transisi biasanya akan melahirkan perubahan struktur masyarakat yang menyangkut kedudukan golongan-golongan sosial yang mempunyai peranan dan kekuasaan dalam menentukan arah gerak perubahan tersebut.
Pada masa transisi kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi di Desa Tanjung Atap masih sangat mencekam karena penduduk yang tinggal di ladang seberang Desa Tanjung Atap masih takut untuk p**ang ke rumah, keadaan di desa masih sangat sepi. Masyarakat masih menunggu keadaan aman baru p**ang kerumah, tak selang beberapa bulan dirasa keadaan sudah mulai membaik, Jepang sudah meninggalkan Desa Tanjung Atap baru banyak penduduk yang tadinya berdiam di ladang kini kembali tinggal di Desa. Namun keadaan itu tidak bagitu lama karena tak berselang lama pas**an Belanda kembali ke Indonesia untuk melaksanakan perintah Ratu Wilhelmina yang mengajak Republik Indonesia untuk bergabung dengan persekemakmuran Kerajaan Belanda. Namun rakyat Indonesia menolak bangsa Belanda dengan melakukan perlawanan-perlawanan di berbagai daerah di Indonesia yang dikenal dengan masa perang kemerdekaan, Euforia kemerdekaan yang masih melekat pada setiap warga negara saat itu membuat rasa nasionalis terhadap tanah air semakin menggelora, seakan tak ingin lagi dijajah oleh negara manapun. Pada masa itu masyarakat melakukan persiapan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, begitu p**a keadaan di daerah-daerah maupun di desa-desa. Di Desa Tanjung Atap pada masa perang kemerdekaan ini sudah mulai ramai penduduk, karena penduduk yang tadinya berdiam di ladang kini kembali ke rumah. Namun baru saja masyarakat merayakan kemerdekaan keadaan pun barubah saat terdengar berita bahwa Belanda kembali lagi
Pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1950) seperti daerah-daerah lainnya, Desa Tanjung Atap juga tak luput dari peperangan, masyarakat juga banyak yang menjadi pejuang ditambah lagi pas**an tentara Republik Indonesia dari Bataliyon Bukit Barisan yang dikepung oleh Belanda dari Prabumilih kemudian laskar tentara tersebut terdesak dan mundur ke Meranjat, di Meranjat kembali dihadang oleh Belanda kemudian berlarilah tentara tersebut ke seberang dusun Tanjung Atap. Setelah sampai di Tanjung Atap lalu bergabung dengan pejuang-pejuang lokal dan membuat markas di seberang dusun Tanjung Atap, tempat tersebut sampai sekarang disebut Hutan Peramunan.
Akibat dijadikannya Desa Tanjung Atap sebagai markas pejuang maka mulai berdatanganlah pas**an Belanda ke Desa Tanjung Atap dengan membawa pelaratan lengkap. Peralatan perang Belanda berupa meriam diletakkan di ujung Desa tepatnya di Ujung Tanjung, moncong meriam tersebut di arahkan ke arah hutan peramunan seberang dusun (tempat markas pejuang Indonesia), meriam itu siap menembakkan peluruhnya jikalau ada pergerakan yang mencurigakan diseberang dusun. Menurut salah satu warga saat iru keadaan sungguh mencekam banyak terjadi penculikan, penduduk yang dibunuh secara tak wajar, dan juga penduduk takut untuk keluar rumah selama berbulan-bulan. Saling curiga di antara sesama penduduk karena banyak juga oknum masyarakat yang jadi mata-mata Belanda.
Ketika kondisi masyarakat dalam keadaan genting karena agresi Belanda, salah satu pejuang gugur di medan pertempuran Desa Tanjung Atap, kemudian pejuang yang gugur tersebut diseberangkan dari hutan peramunan ke dusun Tanjung Atap untuk diurus dan dimakamkan, nama pejuang tersebut yaitu ๐ฆ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐ป ๐ ๐ฎ๐๐ผ๐ฟ ๐๐ฏ๐ ๐ฆ๐ฎ๐บ๐ฎ ๐๐ถ๐ด๐ฎ๐ Meninggal (๐ญ๐ต๐ฐ๐ด) dan ๐๐ฒ๐๐ป๐ฎ๐ป ๐ฆ๐ฎ๐๐ ๐๐ฏ๐ ๐๐ผ๐๐ถ๐บ (1948) dan di pindahkan makam nya ke ๐ ๐ฎ๐ธ๐ฎ๐บ ๐ฃ๐ฎ๐ต๐น๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐๐๐บ๐ฎ ๐ก๐ฒ๐ด๐ฎ๐ฟ๐ฎ ๐๐ฎ๐๐๐ฎ๐ด๐๐ป๐ด Tahun (๐ญ๐ต๐ฑ๐ฐ) Serma Abu Sama Ligat namanya diabadikan sebagai nama jalan poros utama Tanjung Atap Arah ke darat yaitu jalan pahlawan Abu Sama. Kemudian Pada selanjutnya pas**an pejuang menetap di hutan peramunan untuk melakukan perang geriliya, pejuang dan masyarakat saling bantu pada masa perang kemerdekaan. Hal itu terlihat dari cara masyarakat yang setiap hari memasak bekal untuk diberikan kepada para tentara yang bersembunyi diseberang dusun.
Setelah melalui beberapa periode serangan Belanda terhadap Indonesia yaitu pada agresi militer Belanda I dan agresi Belanda II, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 agustus 1945, pengakuan ini dilakukan ketika penyerahan kedaulatan ditandatangani di istana Dam, Amsterdam. Kemudian dimulailah episode baru yaitu kedaulatan Indonesia secara utuh. Keadaan itu juga berdampak pada wilayah Sumatera Selatan khususnya di Desa Tanjung Atap dikarenakan Belanda sudah pergi meninggalkan daerah ini. Keadaan perekonomian lambat laun mulai membaik, ditandai dengan mulai mudahnya ditemui bahan bahan makanan. Di sisi lain sistem pendidikan juga mulai hidup kembali, tepat pada tahun 1951 sekolah rakyat Desa Tanjung Atap kembali berjalan normal, sekolah itu rakyat diurus langsung oleh pemerintah Indonesia. Selain sekolah rakyat yang diurus oleh pemerintah, lembaga pendidikan yang dikelolah pribumi seperti madrasah dan pesantren juga sudah mulai aktif kembali Pesantren Nurul Hilal DesaTanjung Atap yang dipimpin oleh Ky. H. Marwah bin Ky. Mahdhor, bin Kiemas Syamsuddin bin Ky. Ishak bin Puyang Zakiddin. Pada masa perang kemerdekaan banyak murid yang belajar di Pesantren Nurul Hilal ikut berjuang melawan Belanda, saat Belanda sudah mengakui kedaulatan Republik Indonesia santri tersebut berangsur-angsur kembali untuk belajar di Pesantren Nurul Hilal. Madrasah ini dengan cepat berkembang setelah masa perang kemerdekaan, lalu banyak santri yang datang dari luar adesa Tanjung Atap seperti: dari Desa Kerinjing, Tanjung Raja, Rengas, Ketiau, Pemulutan dll.
Oleh ๐ ๐๐๐ฎ๐๐ฎ๐น๐น๐ถ ๐ ๐ฎ๐น๐ถ๐ธ ๐ ๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ฎ๐ป
Makalah di ajukan Pada Mata Kuliah Ilmu Dakwah Satu Dosen Pembimbing Drs. Basyaruddin Hamdan Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah IAIN Raden Fatah Palembang (Tahun 1987)
๐๐ผ๐๐ผ Makam ๐๐ฏ๐ ๐ฆ๐ฎ๐บ๐ฎ ๐๐ถ๐ด๐ฎ๐ dan ๐๐ฏ๐ ๐๐ผ๐๐ถ๐บ di Makam Pahlawan Kesuma Negara Kayuagung, Foto di Ambil (1987)
๐ฆ๐๐บ๐ฏ๐ฒ๐ฟ ๐๐ฎ๐๐ฎ ๐ฅ๐ฒ๐๐ฝ๐ผ๐ป๐ฑ๐ฒ๐ป: Mukhtar Abdullah, Ky. Rosyad Ali, Yahya Ilyas, Legiun Veteran TNI Lettu Abdurrahman Damahir, Serma Burhanan, Serma Abdul Malik
Mohon Koreksi Yang Membangun dan Perbaikan Sesuai Data dan Sumber Yang ilmiah dan mempunyai validitas terpercaya demi kesempurnaan Kilas balik sejarah ini
๐ฆ๐๐บ๐ฏ๐ฒ๐ฟ : Mutawalli Channels
Makalah di Sampaikan Pada Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Dosen Pembimbing Drs. H. Basyaruddin Hamdan Fak Ushuluddin Dakwah IAIN Raden Fatah 1986
https://maps.app.goo.gl/cvjiA6y5CGXhNCs37?g_st=awb
Copyright 1986ยฉ News Created Publisher by Tanjung Atap Area, Indonesia, All Rights Reserved