16/01/2024
MOTIVASI ISLAMI
*🌻🍃 BULAN RAJAB DAN KEUTAMAANNYA 🍃🌻*
*_1. RAJAB TERMASUK AYSHURUL HURUM_*
Bulan Rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksud disebut bulan haram, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan haram (syahral haram) …”
[QS. Al Maidah (5): 2]
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam.
[Sunan At Tirmidzi No. 1512]
Namun sebagian ulama mengatakan, larangan berperang pada bulan-bulan haram ini telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat: wa qaatilul musyrikiina kaafah kamaa yuqatilunakum kaafah (dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya. At Taubah: 36). Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh.
[Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah].
Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam.
[Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان".
“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.”
[HR. Bukhari No. 3025]
*_2. LARANGAN BERBUAT ZALIM_*
Secara umum, berbuat zalim diharamkan di bulan apa pun. Akan tetapi di bulan-bulan haram -termasuk Rajab- larangannya semakin kuat.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu,”
[QS. Surat At-Taubah ayat 36].
Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi Mengatakan:
العَمَلُ الصَّالِحُ أَعْظَمُ أَجْرًا فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَالظُّلْمُ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهُنَّ
"Amal saleh lebih agung (besar) pahalanya di dalam bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab). Sedangkan zalim pada bulan tersebut (juga) lebih besar dari zalim di dalam bulan-bulan selainnya.”
[Imam al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, (Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan keempat: 1417 H/1997 M), juz IV, halaman 44].
Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili Mengatakan:
وَالْمُرَادُ النَّهْيُ عَنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِي بِسَبَبٍ مَا لِهذِهِ الْأَشْهُرِ مِنْ تَعْظِيْمِ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ فِيْهَا
"Yang dimaksud (dari ayat larangan menzalimi diri sendiri), adalah larangan dari semua bentuk maksiat dengan sebab apa pun pada bulan-bulan haram ini, (hal itu) disebabkan besarnya pahala dan siksaan di dalamnya.”
[Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidati was Syari’ati wal Manhaji, (Damaskus, Beirut, Darul Fikr), juz X, halaman 202].
Imam Ibnu Katsir ad-Dimisyqi mengatakan:
إِنَّ اللهَ اصْطَفَى صَفَايَا مِنْ خَلْقِهِ، اِصْطَفَى مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ رُسُلًا وَاصْطَفَى مِنَ الشُّهُوْرِ رَمَضَانَ وَالْأَشْهُرَ الْحُرُمَ
“Allah memilih beberapa pilihan dari makhluk-Nya. Allah memilih utusan dari malaikat sebagai rasul, dari manusia sebagai rasul, dan (juga) memilih dari beberapa bulan, pada bulan ramadhan dan bulan-bulan haram.”
فَعَظِّمُوْا مَا عَظَّمَ اللهُ، فَإِنَّمَا تُعَظَّمُ الْأُمُوْرُ بِمَا عَظَّمَهَا اللهُ بِهِ
“Maka muliakanlah sesuatu yang dimuliakan oleh Allah. Maka sungguh keagungan sesuatu bila diagungkan oleh Allah kepadanya.”
[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, (Dar Tahyyibah, cetakan kedua: 1999 M), juz IV, halaman 149].
*_3. Memperbanyak Membaca Do'a_*
Imam Ibnu Rajab al Hambali Rahimahullah, menyebutkan tentang sebuah hadits yg menyebutkan doa yang dibaca saat memasuki bulan Rajab, yaitu:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ berdoa saat memasuki bulan Rajab:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada Ramadhan.
[HR. Ath Thabarani, Al Awsath, no. 3939. Al Baihaqi, Syu'ab al Iman no. 3534]
Namun, hadits ini dinyatakan dha'if (lemah), oleh para imam pakar hadits seperti:
- Imam an Nawawi [Al Adzkar, hal. 170],
- Imam al Munawi [Faidhul Qadir, jilid. 6, hal. 465],
- Syaikh Syuaib al Arnauth [Tahqiq Musnad Ahmad, jilid. 4, hal. 180].
- dan lainnya, termasuk didha'ifkan p**a oleh Imam Ibnu Rajab sendiri.
Mungkin, sebagian manusia bertanya kenapa hadits dha'if dipakai juga oleh para ulama? Ternyata, umumnya ulama memang tidak mempermasalahkan hadits dha'if jika bertemakan fadhailul a'mal, yaitu tentang akhlak, anjuran amal shalih, doa, dan semisal ini. Selama bukan untuk dasar aqidah dan halal haram.
Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:
قَدَّمْنَا اتِّفَاقَ الْعُلَمَاءِ عَلَى الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ دُونَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ
Kami telah sampaikan kesepakatan ulama tentang bolehnya beramal dengan hadits dhaif dalam fadhailul a'mal, selain urusan halal haram.
[Al Majmu' Syarh al Muhadzdzab, jilid. 3, hal. 248]
Imam al Hathab al Maliki Rahimahullah mengatakan:
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ
Para ulama telah sepakat bolehnya mengamalkan hadits dhaif dalam perkara fadhailul a'mal.
[Mawahib al Jalil, jilid. 1, hal. 17]
Ada pun hadits di atas oleh Imam Ibnu Rajab Rahimahullah disebutkan sebagai DALIL, padahal dia juga menyebut kelemahannya. Beliau berkata:
فَإِنَّ هَذَا الْإِسْنَادَ فِيهِ ضَعْفٌ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الدُّعَاءِ بِالْبَقَاءِ إِلَى الْأَزْمَانِ الْفَاضِلَةِ لِإِدْرَاكِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِيهَا فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَزِيدُهُ عُمُرُهُ إِلَّا خَيْرًا وَخَيْرَ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“Pada isnad hadits ini ada kelemahan, dan hadits ini terdapat DALIL bahwa hal yang disukai (sunnah) berdoa menjelang momen-momen yang yang memiliki keutamaan agar bisa mengisinya dengan amal shalih di dalamnya, dan seorang mukmin tidaklah bertambah usianya kecuali dengan berbuat baik, dan manusia terbaik adalah yang panjang usianya dan amalnya semakin baik.”
[Latha'if Al Ma'arif, hal. 155]
*_4. Puasa Sunnah Rajab_*
Puasa di bulan Rajab memiliki dasar yang kuat dalam sunnah Rasulullah ﷺ.
Dari Utsman bin Hakim Al Anshari, beliau berkata:
سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ
Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubeir tentang shaum pada bulan Rajab, saat itu kami sedang berada pada bulan RAJAB, Beliau menjawab: “Aku mendengar Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam BERPUASA (pada bulan Rajab) sampai-sampai kami mengatakan Beliau tidak pernah meninggalkannya, dan Beliau pernah meninggalkannya sampai kami mengatakan dia tidak pernah berpuasa (Rajab).
[HR. Muslim No. 1157]
Dari hadits ini, menunjukkan bahwa Shaum di bulan Rajab adalah Sunnah (fi'liyah) Rasulullah Shalallahu'Alaihi wa Sallam. Oleh karenanya, mayoritas para imam membolehkan berpuasa pada bulan Rajab secara umum, selama dia tidak mengkhususkan, mengistimewakan, dan menspesialkannya melebihi bulan lainnya.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا الاستدلال أنه لا نهى عنه ولا ندب فيه لعينه بل له حكم باقي الشهور
Yang benar, maksud dari Sa’id bin Jubeir dengan pendalilan ini adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada p**a anjuran secara khusus puasa pada Rajab, tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya.
[Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/38-39]
Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:
وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْيٌ وَلَا نَدْبٌ لِعَيْنِهِ ، وَلَكِنَّ أَصْلَ الصَّوْمِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ ، وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم ، وَرَجَب أَحَدهَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Tidak ada yang shahih tentang larangan berpuasa pada bulan Rajab, dan tidak shahih p**a mengkhususkan puasa pada bulan tersebut, tetapi pada dasarnya berpuasa memang hal yang DISUNAHKAN. Terdapat dalam Sunan Abu Daud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan berpuasa pada asyhurul hurum (bulan-bulan haram), dan Rajab termasuk asyhurul hurum. Wallahu A’lam.
[Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/39]
Hadits yang dimaksud Imam An Nawawi berbunyi:
عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا
Dari Mujibah Al Bahili, dari ayahnya, atau pamannya, bahwasanya dia memdatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia pergi. Kemudian mendatangi lagi setelah satu tahun lamanya, dan dia telah mengalami perubahan baik keadaan dan penampilannya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau mengenali aku?” Nabi bertanya: “Siapa kamu?” Al Bahili menjawab: “Saya Al Bahili yang datang kepadamu setahun lalu.” Nabi bertanya:: “Apa yang membuatmu berubah, dahulu kamu terlihat baik-baik saja?” Al Bahili menjawab: “Sejak berpisah denganmu, saya tidak makan kecuali hanya malam.” Bersabda Rasulullah: “Kanapa kamu siksa dirimu?”, lalu bersabda lagi: “Puasalah pada bulan kesaabaran, dan sehari pada tiap bulannya.” Al Bahili berkata: “Tambahkan, karena saya masih punya kekuatan.” Beliau bersabda:“Puasalah dua hari.” Beliau berakata: “Tambahkan.” Beliau bersabda: “Puasalah tiga hari.” Al Bahili berkata:“Tambahkan untukku.” Nabi bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya). Beliau berkata dengan tiga jari hemarinya, lalu menggenggamnya kemudian dilepaskannya.
[HR. Abu Daud No. 2428, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8209, juga Syu’abul Iman No. 3738. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: sanadnya jayyid (bagus). Lihat Fiqhus Sunnah, 1/453.]
Jumhur ulama - tiga madzhab- mengatakan MANDUB (dianjurkan-sunnah), sementara kalangan Hanabilah (Hambaliyah) memakruhkannya.
[Lihat Al Fiqhu 'alal Madzaahib Al Arba'ah, 1/895]
Banyak ulama yang mengatakan shaum Rajab adalah SUNNAH, baik dengan istilah mustahab (disukai) dan mandub (dianjurkan), seperti :
- Imam Asy Syaukani [Naulil Authar, 4/621]
- Imam Ibnu Hajar Al Haitami [Fatawa Ibni Hajar, 1/4], dan lainnya.
*Siapa yang MEMAKRUHKAN?*
Sebagian ulama memakruhkan, seperti kalangan Hanabilah. Ini juga menjadi pendapat Umar bin Khathab dan putranya, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhuma.Dari Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Barah bin Abdirrahman, dari Kharasyah bin Al Hurr, dia berkata:
رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ النَّاسِ فِي رَجَبٍ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الْجِفَانِ وَيَقُولُ : كُلُوا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ
Aku melihat Umar memukul telapak tangan manusia pada bulan Rajab, hinggap dia mengantarkannya ke mangkuk besar, dan berkata: “Makanlah, ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Jahiliyah".
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9851]
Imam Ibnu Abi Syaibah menceritakan:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : كَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا رَأَى النَّاسَ ، وَمَا يُعِدّونَ لِرَجَبٍ ، كَرِهَ ذَلِكَ
Berkata kepada kami Waki;, dari ‘Ashim bin Muhamad, dari ayahnya, dia berkata: “Dahulu Ibnu Umar jika dia melihat manusia -dan betapa banyak yang melakukannya pada Rajab- maka dia membencinya.”
[Al Mushannaf No. 9854]
Mana yang lebih kuat?
Berkata Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:
ومن خلال هذه النقول يتضح لنا جلياً أن المسألة خلافية بين العلماء، ولا يجوز أن تكون من مسائل النزاع والشقاق بين المسلمين، بل من قال بقول الجمهور من العلماء لم يثرب عليه، ومن قال بقول الحنابلة لم يثرب عليه.وأما صيام بعض رجب، فمتفق على استحبابه عند أهل المذاهب الأربعة لما سبق، وليس بدعة.ثم إن الراجح من الخلاف المتقدم مذهب الجمهور لا مذهب الحنابلة
Pada masalah ini, kami katakan bahwa telah jelas perkara ini telah diperselisihkan para ulama, dan tidak boleh masalah ini menjadi sebab pertentangan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Bahkan, siapa saja yang berpendapat seperti jumhur ulama dia tidak boleh dicela, dan siapa saja yang berpendapat seperti Hanabilah dia juga tidak boleh dicela. Ada pun berpuasa pada sebagian bulan Rajab, maka telah disepakati kesunahannya menurut para pengikut empat madzhab sebagaimana penjelasan lalu, itu bukan bid'ah.
Kemudian, sesungguhnya PENDAPAT YANG LEBIH KUAT dari perbedaan pendapat sebelumnya adalah pendapat JUMHUR (Mayoritas), bukan pendapat Hanabilah.
[Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 28322]
Sebenarnya dengan berdasarkan dalil Imam Muslim diatas sudah menunjukkan sunnahnya puasa pada bulan Rajab tanpa perlu tambahan hadits² yang statusnya dhaif ataupun maudhu' (palsu).
Tetapi seandainya ada juga sebagian para asatizd yang membawa hadits yang berstatus dhaif bahkan tertuduh maudhu' maka kita bisa berpegang kepada pendapatnya Imam Jalaluddin As Suyuthi رحمه الله تعالى seperti yang tercantum di dalam kitab Al Hawi lil Fatawi di bawah ini, dan Silahkan yang ingin mendownload kitabnya pada tautan dibawah
https://ia800805.us.archive.org/22/items/FP72825/01_72825.pdf
مَسْأَلَةٌ: فِي حَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: *"«إِنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْرًا يُقَالُ لَهُ: رَجَبٌ، مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ، مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ» ".* وَحَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: *" «مَنْ صَامَ مِنْ شَهْرٍ حَرَامٍ الْخَمِيسَ وَالْجُمُعَةَ وَالسَّبْتَ، كُتِبَ لَهُ عِبَادَةُ سَبْعِمِائَةِ سَنَةٍ» "،* وَحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " *«مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ يَوْمًا كَانَ كَصِيَامِ شَهْرٍ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِّقَتْ عَنْهُ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ السَّبْعَةُ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ عَشَرَةَ أَيَّامٍ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُهُ حَسَنَاتٍ» "* هَلْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ مَوْضُوعَةٌ؟
PERTANYAAN :
Dalam hadisnya Anas, Rasulullah ﷺ bersabda :
*"Sesungguhnya di dalam Surga terdapat sungai yang diberi nama Rajab. (Warna) airnya lebih putih daripada susu dan (rasanya) lebih manis daripada madu. Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka Allah akan memberinya minum dari sungai tersebut."*
Hadisnya Anas, Rasulullah ﷺ bersabda :
*"Barangsiapa berpuasa pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu di bulan haram/mulia (Dzluqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab), maka Allah mencatatkan baginya setara dengan ibadah selama 700 (tujuh ratus) tahun.*
hadisnya Ibnu abbas, Rasululllah ﷺ bersabda :
*"Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia itu setara dengan puasa sebulan. Barangsiapa puasa tujuh hari di bulan Rajab, maka ditutup darinya pintu-pintu Jahim/neraka yang tujuh. Barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab, maka dibuka untuknya pintu-pintu surga yang delapan. Barangsiapa berpuasa sepuluh hari di bulan Rajab, maka keburukan-keburukannya diganti dengan kebaikan-kebaikan. "*
Apakah hadits² tersebut PALSU ?
الْجَوَابُ: *لَيْسَتْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ بِمَوْضُوعَةٍ، بَلْ هِيَ مِنْ قِسْمِ الضَّعِيفِ الَّذِي تَجُوزُ رِوَايَتُهُ فِي الْفَضَائِلِ،* أَمَّا الْحَدِيثُ الْأَوَّلُ فَأَخْرَجَهُ أَبُو الشَّيْخِ ابْنُ حَيَّانَ فِي كِتَابِ الصِّيَامِ، والأصبهاني وابن شاهين، كِلَاهُمَا فِي التَّرْغِيبِ، وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمْ، قَالَ الحافظ ابن حجر: وَلَيْسَ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ يُنْظَرُ فِي حَالِهِ سِوَى منصور بن زائدة الأسدي، وَقَدْ رَوَى عَنْهُ جَمَاعَةٌ لَكِنْ لَمْ أَرَ فِيهِ تَعْدِيلًا، وَقَدْ ذَكَرَهُ الذهبي فِي الْمِيزَانِ وَضَعَّفَهُ بِهَذَا الْحَدِيثِ، وَأَمَّا الْحَدِيثُ الثَّانِي فَأَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ وأبو نعيم وَغَيْرُهُمَا مِنْ طُرُقٍ بَعْضُهَا بِلَفْظِ: عِبَادَةِ سَنَتَيْنِ، قَالَ الحافظ ابن حجر: وَهُوَ أَشْبَهُ، وَمَخْرَجُهُ أَحْسَنُ، وَإِسْنَادُ الْحَدِيثِ أَمْثَلُ مِنَ الضَّعِيفِ قَرِيبٌ مِنَ الْحَسَنِ. وَأَمَّا الْحَدِيثُ الثَّالِثُ فَأَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي فَضَائِلِ الْأَوْقَاتِ وَغَيْرِهِ، وَلَهُ طُرُقُ وَشَوَاهِدُ ضَعِيفَةٌ لَا تَثْبُتُ، إِلَّا أَنَّهُ يَرْتَقِي عَنْ كَوْنِهِ مَوْضُوعًا
(الحاوي للفتاوي الجَلَال السُّيُوطي)
JAWAB :
*Hadits² tersebut TIDAKLAH PALSU, tapi termasuk hadits dhaif yang BOLEH di riwayatkan karena FADHILAH AMAL,*
Adapun *hadits pertama* di keluarkan oleh Abu Syaikh Ibnu Hayan dalam kitab Al Shiyam, Al Asbihani dan Ibnu Syahin dalam kitab at Targhib, al Baihaqi dan juga selain mereka.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : *"dalam sanadnya tidak ada orang yang perlu di pertimbangkan dalam keadaannya kecuali Manshur bin Zaidah Al Asdi, segolongan ulama' meriwayatkan darinya tetapi aku tidak melihat sifat adil di dalamnya. Adz Dzahabi dalam kitab mizan menyebutkan dan mendhaifkan hadis ini."*
Adapun *hadis kedua* dikeluarkan oleh At Tabhrani, Abu nu'aim dan selain keduanya dari banyak jalan, sebagian riwayat menggunakan lafadz "ibadah dua tahun "
Ibnu Hajar berkata :
*"ini yang lebih serupa dan takhrijnya bagus, sanad hadisnya serupa dengan dhaif mendekati hasan "*
Sedangkan *hadits ketiga* di keluarkan oleh Al Baihaqi dalam Fadhailul Auqat dan juga oleh selain Al Baihaqi, *hadits ini mempunyai banyak jalan hadits² penguat yang dhaif, tetapi status haditsnya naik dari keadaan palsu.*
[Al-Hawi al-Fatawi lii As-Suyuthi juz 1 hal 339.]
Sangat jelas menurut imam Jalaludin As Suyuthi hadits² diatas boleh dipakai untuk fadhailul a'mal.
Jadi kalau ada ustadz yang menyatakan hadits diatas palsu, sangking berat kepalsuannya sampai tidak ditemukan dikitab para ulama, maka sudah selayaknya ustadz tersebut membaca kitabnya imam Suyuthi diatas sehingga tidak mudah menyatakan sesuatu yang tidak diketahui...
*_5. Memperingati Malam Isra Mi'raj_*
PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), diperselisihkan para ulama sebagaimana perselisihan fiqih lainnya. Perbedaan pendapat dalam hal ini sudah sangat tua, dan belum pernah ada titik temu, karena memang mustahil menghilangkan perbedaan pendapat fiqih.
Bahkan perbedaan pendapat sudah terjadi sejak masa sahabat nabi, di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
.
*Pihak yang melarang*
Di antaranya para ulama Arab Saudi dan pengikutnya di dunia, termasuk di tanah air. Termasuk para ulama di Asy Syabakah Al Islamiyyah, yang diketuai oleh Syaikh Abdullah al Faqih Hafizhahullah.Mereka beralasan, bahwa hal ini tidak ada dasarnya dalam Islam. Jika memang baik niscaya umat terbaik sudah mencontohkannya.
Mereka mengatakan:
فإن المولد أو الموالد التي تقام في ليلة الإسراء والمعراج بدعة ليست من دين الإسلام الذي بعث الله به رسوله صلى الله عليه وسلم، وذلك لأمور: الأول: أن النبي صلى الله عليه وسلم وصحابته الكرام وأئمة الإسلام لم يحتفلوا بليلة الإسراء والمعراج، ولو كان الاحتفال بها مشروعاً لسبقونا إليه، لأنهم أحرص منا على الخير والثواب العظيم.....
Sesungguhnya acara maulid yang dilaksanakan pada malam Isra Mi'raj adalah bid'ah, dan bukan berasal dari agama Islam yang mana Allah Ta'ala utus Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengannya. Hal ini karena beberapa alasan, pertama, Nabi dan para sahabatnya yang mulia, serta para imam Islam, tidak pernah membuat acara pada malam Isra dan Mi'raj. Jika memang memperingatinya adlh hal yang disyariatkan niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya dibanding kita, karena mereka generasi yang paling bersemangat dibanding kita dalam melakukan kebaikan dan mengejar pahala yang besar....
[Fatawa asy Syabakah al Islamiyah no. 38815]
*Pihak yang membolehkan*
Pihak yang membolehkan seperti Darul Ifta' al Mishriyyah, termasuk para ulama di Indonesia umumnya. Alasannya hal-hal baru yang sejalan dengan ajaran Islam itu tidak terlarang. Bukan termasuk bid'ah yang tercela. Betapa sering para shahabat nabi melalukan hal-hal baru dan bermaslahat, atas inisiatif mereka namun tidak ada yang mengingkarinya.
Mereka memfatwakan:
فإن الاحتفال بهذه الذكرى في شهر رجب جائزٌ شرعًا ولا شيء فيه ما دام لم يشتمل على محرمٍ، بل على قرآن وذكر وتذكير؛ وذلك لعدم ورود النهي.فإن قيل: إن هذا أمر مُحدَثٌ، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ».. [رواه مسلم]، قلنا: نعم، ولكن من أحدث فيه ما هو منه فليس بردٍّ، بل هو حسن مقبول؛ فهذا سيدنا بلال رضي الله تعالى عنه وأرضاه لم يتوضأ وضوءًا إلا وصلَّى بعده ركعتين، وهذا صحابي جليل يقول بعد الرفع من الركوع: ربنا ولك الحمد حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، وعلِم النبي صلى الله عليه وآله وسلم بذلك وسمعه؛ فبشَّرهما، بالرغم من أن الشرع لم يأمر بخصوص ذلك.وتلاوة القرآن الكريم وذكر الله تعالى من الدين، وإيقاع هذه الأمور في أيِّ وقت من الأوقات ليس هناك ما يمنعه، فالأمر في ذلك على السعة.
Sesungguhnya peringatan ini (Isra mi'raj) di bulan Rajab, adalah boleh secara syar'i. Hal itu tidak apa-apa selama tidak terkandung di dalamnya hal2 yang diharamkan, tetapi di atas Al Quran, dzikir, dan peringatan. Hal ini tidak ada dalil tentang larangannya.Jika ada yang bilang: "Ini perkara baru, padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan: "Siapa pun yang menciptakan hal baru dalam urusan agama ini, maka tertolak." (HR. Muslim)."Kami katakan: "Ya, tetapi apa-apa yang baru tapi ada dasarnya maka bukan termasuk yang tertolak, bahkan itu hal yang baik dan bisa diterima. Inilah Sayyidina Bilal Radhiallahu 'Anhu, dia tidaklah berwudhu melainkan setelahnya dia shalat dua rakaat.
Seorang sahabat yang mulia, dia membaca setelah bangkit dari ruku: "Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih", dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendengar hal itu, justru Rasulullah memberikan kabar gembira kepada keduanya, meskipun secara khusus syariat tidak memerintahkan hal itu.
Al Quran dan Dzikrullah termasuk bagian dari agama. Maka, Mewujudkan hal ini di waktu kapan pun tidak ada hal yang melarangnya, maka dalam hal ini masalahnya lapang saja. (selesai)
[Darul Ifta' al Mishriyyah]
*Sikap Kita*
Silahkan pilih mana yang paling kuat, dengan timbangan ilmu, namun jangan inkari yang lain, dan jangan rusak persaudaraan. Apalagi sampai saling tuduh beda aqidah, beda manhaj. Sikapilah seorang muslim tetap muslim, walau dia berbeda dengan yang lainnya dalam beberapa atau banyak masalah fiqih atau cabang.
*Teladani para salaf saat berselisih pendapat*
Imam Yahya bin Sa'id Al Qaththan Rahimahullah berkata:
ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.
Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain justru mengharamkannya. Tapi, m***i yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. M***i yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.
[Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161]
*Ada nasihat yang bagus sebagai berikut:*
وليس العيب في الخلاف ولكن العيب في التعصب للرأي والحجر على عقول الناس وآرائهم، هذه النظرة إلى الأمور الخلافية جمعت القلوب المتفرقة على الفكرة الواحدة، وحسب الناس أن يجتمعوا على ما يصير به المسلم مسلماً كما قال زيد ـ رضي الله عنه
Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia. Menyikapi khilafiyah dengan cara seperti inilah (toleran) yang akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu.
[Majmu’ah Ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187]
Demikian. Wallahu a'lam