28/02/2024
Bismillahirohmannirohim
assalamualaikum wrwb
Sedih banget dengan berita tentang santri Bintang yang harus kehilangan nyawa karena dibully seniornya di pesantren tempat dia menuntut ilmu.
Jujur itu membuat aku shock banget, apalagi membaca berita tentang luka-luka yang diderita almarhum. Menurutku itu sudah bukan bullying lagi. Itu Pembunuhan Berencana.
Aku juga sempat kecewa dengan beberapa opini yang menyalahkan orang tua yang mengirimkan anaknya mondok. Ada juga yang berpendapat kalau pondok tidak mempunyai perlindungan yang maksimal bagi para santrinya.
Di sini aku hanya ingin berbagi pengalaman rasanya jadi orang tua yang dua anaknya mondok.
Sebagai orang tua, aku dan suami tentu menginginkan yang terbaik bagi tiga anak kami. Kami tidak pernah memaksa anak untuk masuk pondok atau tidak. Anak pertamaku menolak ke pondok. Kami enggak masalah karena dia tetap belajar agama di masjid dekat rumah.
Anak ketiga, justru memaksa ingin masuk pondok saat hampir lulus SDI. Berkali-kali aku berusaha mencegah dengan dalih sekolah di MI dulu seperti kakaknya ( anak nomor 2). Namun, si bungsu tetap bersikeras ingin mondok. Akhirnya lulus SDI dia mondok di BLitar.
Bulan pertama masih aman, tetapi ternyata pondoknya tidak seindah seperti yang diceritakan teman-temannya.
Dari sini mulai muncul masalah. Anakku jadi sering sakit. Awalnya aku berpikir karena masalah adaptasi. Berhubung rumah kami dekat, jadi setiap kali dia minta dijemput, aku pasti segera meminta suami untuk menjemput. Setiap ada keluhan, sekecil apa pun itu, aku akan segera bertindak.
Puncak masalah terjadi saat tahun kedua. Anakku lebih sering sakit dan lebih sering pulang. Aku sama sekali tidak tahu kalau seringnya anakku bolak balik ke rumah membuat beberapa temannya yang tidak pernah dikunjungi keluarga menjadi iri. Anakku mengalami perundungan baik fisik mau pun mental. Meski mereka melakukannya tidak terang-terangan.
Pernah anakku minta dijemput karena kakinya bengkak hampir tidak bisa berjalan. Suami menjemput anakku dan membawanya ke dokter. Untungnya kakinya tidak parah. Saat di rumah aku telepon dan tanya kenapa kakinya bisa sampai bengkak. Awalnya anakku tidak mau mengaku. Setelah aku desak baru dia bercerita.
Waktu dia tidur, ada teman yang berjalan dan melewatinya dan menginjak kakinya. Anakku bangun dan menangis karena saat diinjak, si penginjak seperti sengaja menekan kakinya ke kaki anakku sampai anakku berteriak kesakitan. Dan dengan santainya, dia pergi sambil bilang, "eh, sorry gak sengaja". Padahal jelas-jelas dia sengaja berdiri di atas kaki anakku cukup lama. Teman yang lain cuma tertawa. Di lain hari kepala anakku agak benjol dan mengalami pusing. Katanya teman satu kamarnya berjalan di dekat dia duduk dan kelihatan sekali sengaja menghantamkan tasnya yang berisi kitab-kitab tebal ke kepala anakku. Setiap anakku mengadu ke pengawas, semua justru bilang kalau anakku manja dan ngalem.
Berkali-kali mengalami kejadian KETIDAKSENGAJAAN, membuat aku emosi berat. Aku berusaha menghubungi wali kelas dan pengurus kamarnya, tapi aku dilempar sana sini. kesabaranku habis!
Aku sengaja chat di WAG dengan huruf kapital, "ADA YANG BISA MEMBERITAHU SAYA BAGAIMANA CARANYA MENGELUARKAN ANAK DARI PONDOK INI? KALAU PIHAK PONDOK TIDAK BISA MELINDUNGI ANAK SAYA, TOLONG KELUARKAN ANAK SAYA SEKARANG JUGA." Saat itu juga semua ortu memberi reaksi.
Dari situ baru pihak pondok mau diajak bicara. Singkat cerita, anakku akhirnya mau berdamai dan kembali ke pondok karena waktunya hanya tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan MI. Apakah masalahnya selesai? TIDAK.
Dua bulan sebelum ujian kelulusan, anakku telepon kakaknya (anakku yg pertama) sambil nangis. dia bilang minta dijemput karena sudah tidak tahan lagi. Aku segera telepon dia dan berusaha menenangkan, tapi dia tetap minta pulang. Akhirnya suami menjemput. Setelah di rumah, dia sama sekali tidak mau balik ke pondok apa pun yg terjadi. Dia memilih putus sekolah ketimbang harus balik ke pondok.
Dari Taiwan, aku menghubungi semua pihak yang ada di pondok dan meminta penjelasan kenapa anakku seperti trauma untuk masuk pondok lagi. Jawaban dari wali kelasnya, justru membuat aku naik pitam. Dia lebih mendengar keterangan anak-anak yg membully anakku ketimbang penjelasan anakku yg jadi korban. Aku tidak terima dengan alasan yg diberikan pihak pondok dan memutuskan untuk tidak mengembalikan anakku di pondok.
Ada beberapa alasan kenapa aku akhirnya bersikeras tidak mengembalikan anak ke pondoknya.
Wali kelas dia sama sekali tidak menunjukkan empatinya, dia terus menyalahkan anakku yg tidak mau bercerita saat di pondok dan kenapa justru bercerita kepada aku. (WTF?) Aku ibunya, semua anakku biasa bercerita apa saja, makanya aku tahu kalau ada yg tidak beres dengan anakku meski aku ada di negara lain.
Saat suami dan anakku bertemu dengan Bu Nyai, istri pemilik pondok, (Saat itu HP sengaja tetap terhubung denganku dan dipegang anakku jadi aku bisa mendengar semua ucapan kasarnya kepada anakku) dia justru mengintimidasi anakku dengan ucapan yang kasar dan sama sekali tidak menunjukkan rasa keibuannya.) Aku berharap banyak saat wali kelas anakku bilang kalau Bu Nyai ingin bicara dengan suami dan anakku sebelum keputusan final. Nyatanya, anakku malah di serang dengan kalimat yang justru menjatuhkan mental. Aku yg mendengarnya langsung emosi dan sempat bicara (Teriak) dari ponsel, tapi suami mematikan ponsel karena enggak mau aku ngamuk lagi.
Selama hampir tiga tahun anakku di pondok, biaya hidup dia sangat tinggi. Kakaknya yg kuliah di Yogya saja enggak sebesar itu. Setelah dia di rumah baru dia mau cerita kenapa selama ini dia sangat boros. Hal sepele dan remeh tapi kalau keseringan, ya, bikin mumet yg cari duit. Anakku seringkali (Dan ini sangat sering terjadi) peralatan mandi yang baru dibeli, tiba-tiba sudah habis. Misal sampo, beli pagi sore mau mandi botolnya sudah kosong. Sabun cuci bubuk, yg 1 kg enggak sampai 3 hari sudah tinggal bungkusnya. Aku belikan yg sachetan kecil. Ditaruh di lemari pun percuma, setiap anakku mau cuci baju, semua udah ludes. Itu terjadi hampir di semua perlengkapan anakku. Peralatan sekolah, seragam, baju, mukena. Dalam tiga bulan, anakku bisa kehilangan mukena 2x, seragam, kerudung, baju dalam, dan banyak lagi yg lain. Semua barang sudah diberi nama, tetapi cara mereka lbh licik. Ada yg dikasih pemutih, ada yang ditindih namanya, ada yg sulamannya digunting. Anakku yg pertama sampai kehabisan akal mencari cara agar barang2 adiknya bisa awet.
Aku sempat protes dan mengatakan kalau ada yg salah dengan sistem di pondok mereka. Tapi wali kelasnya yang baru saja lulus pondok cm bilang, "maaf, ya, Bu."
Finally, sebulan sebelum ujian kelulusan MI, aku resmi mengambil anakku dari pondok. Tiga minggu kemudian anakku menyusul kakak keduanya ke POndok Lirboyo, Kediri.
Apakah masalah selesai? TIdak juga.
Bersambung Part 2.