Analisis Intelijen

Analisis Intelijen beyond information and knowledge

Ini baru resmi, setelah sekian purnama 😉Jadi, PDIP yang meninggalkan Jokowi atau Jokowi yang meninggalkan PDIP?-JHW
16/12/2024

Ini baru resmi, setelah sekian purnama 😉

Jadi, PDIP yang meninggalkan Jokowi atau Jokowi yang meninggalkan PDIP?

-JHW

Analisis IntelijenREKONSILIASI JOKOWI-MEGAWATI = PDIP BARUApa yang kembali dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal PDIP Hast...
11/12/2024

Analisis Intelijen

REKONSILIASI JOKOWI-MEGAWATI = PDIP BARU

Apa yang kembali dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto soal “Jokowi dan keluarga bukan lagi menjadi bagian dari PDIP” adalah narasi ulangan yang terus dimainkan sejak akhir 2023. Itu dalam konteks kisruh Pilpres akibat beda posisi politik antara PDIP dan Jokowi, yang saat itu juga sebagai Presiden RI.

Faktanya, Hasto sebagai Sekretaris Jenderal juga tidak pernah menandatangani SK Pemecatan sebagaimana dimaksud dalam AD/ART PDIP, seperti yang ditujukan kepada Budiman Soedjatmiko dan Effendi Simbolon.

Kalau soal pemecatan Jokowi ini sepenuhnya tergantung Hasto, pasti sudah lama terbit SK Pemecatan terhadap Jokowi (dan Gibran). Berarti ada pihak di DPP PDIP yang tidak ingin ada SK Pemecatan terhadap Jokowi-Gibran, sementara Hasto sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, selain bermain dengan narasi kaset rusak tadi. Siapakah pihak “ordal” di DPP PDIP ini?

Sebaliknya, Jokowi (dan Gibran) juga belum mengembalikan KTA, untuk dua alasan. Yang pertama, 𝗽𝗿𝗼𝘀𝗲𝗱𝘂𝗿𝗮𝗹-𝗹𝗲𝗴𝗮𝗹𝗶𝘀𝘁𝗶𝗸, sebab AD/ART PDIP adalah hukum positif yang merupakan derivatif dari UU 2/2011 tentang Partai Politik. Yang kedua, 𝗽𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗿𝗲𝗸𝗼𝗻𝘀𝗶𝗹𝗶𝗮𝘀𝗶.

Alasan kedua ini yang akan saya bahas pada AI kali ini.

****

Dari sudut prosedural-legalistik, sudah terang benderang bahwa status Jokowi-Gibran di PDIP saat ini 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘭𝘰𝘤𝘬𝘪𝘯𝘨 (saling-mengunci). Seperti perdebatan mana lebih dulu, ayam atau telur?

Bila DPP PDIP akhirnya mengeluarkan SK Pemecatan, pasti Jokowi-Gibran akan mengembalikan KTA mereka. Ini soal ketaatan pada hukum yang berlaku di negeri ini. Tetapi, kita tahu, mereka yang berada di garis Sekjen Hasto terus saja memprovokasi agar Jokowi-Gibran mengembalikan KTA mereka lebih dulu, baru SK Pemecatannya dikeluarkan.

Antara “dipecat” (yaitu SK Pemecatan duluan) dan “mengundurkan diri” (pengembalian KTA duluan) adalah dua urusan yang sangat berbeda!

Kalau Jokowi-Gibran memang sejak awal sudah punya rencana keluar dari PDIP, pasti sudah lama mereka mengembalikan KTA-nya. Faktanya tidak demikian, kan?

Ada sesuatu dalam pikiran Jokowi, yang tidak dilihat oleh banyak pengamat politik. Yang umumnya 𝘭𝘰𝘰𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘦 𝘸𝘪𝘯𝘥𝘰𝘸 bahwa solusi bagi Jokowi berada di luar PDIP, entah gabung parpol lain, entah bikin parpol baru.

Tetapi saya melihat sebaliknya. Dengan fakta saling-mengunci antara Jokowi dan PDIP, bagi saya Jokowi justru sedang 𝘭𝘰𝘰𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘸𝘪𝘯𝘥𝘰𝘸, dari posisinya yang sedang berdiri di luar PDIP (namun masih resmi sebagai kader)

“Kalau begitu partainya perorangan,” itu komentar terakhir Jokowi soal ini. Banyak pengamat mencoba menafsirkannya kesana-kemari. Bagi saya, pernyataan Jokowi itu menjelaskan posisinya yang secara formal masih sebagai kader PDIP, tetapi sedang berjalan sendirian.

Kecuali Jokowi sudah memutuskan untuk meninggalkan PDIP, maka tidak mungkin sebagai pemegang KTA PDIP, Jokowi bergabung dengan parpol lain. Atau mendirikan parpol baru.

Maka “KTA Jokowi” ini menjadi 𝘱𝘰𝘪𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘢𝘯𝘢𝘭𝘺𝘴𝘪𝘴 penting.

****

Di Harian Kompas edisi 30 September 2023 Guntur Soekarno Putra menulis artikel berjudul “Indonesia, Jokowi, dan Megawati Pasca-2024.” Guntur memandang bahwa pemikiran dan pengalaman Jokowi dalam menghadapi tantangan geostrategis masih diperlukan oleh bangsa dan negara.

Karena itu, Guntur memandang Jokowi harus tetap berada dalam lingkar kekuasaan dan pemerintahan dengan jabatan sebagai Ketua Umum PDI-P. Jederrrr!

Pandangan dari trah Soekarno senior ini sangat menarik. Bagi saya, yang revolusioner adalah pandangan Guntur bahwa posisi Ketua Umum di PDIP tidak boleh dibatasi oleh mantra “anak biologis Soekarno”— ini paradigma “PDIP lama.”

Maka paradigma “PDIP baru” perlu dilahirkan. Yang terbuka bagi potensi begitu banyaknya “anak ideologis Soekarno.” Guntur gamblang menyebutkan Jokowi adalah “anak ideologis Soekarno,” dan sosok yang tepat untuk menjadi Ketua Umum PDIP. Sekaligus memimpin transisi dari era “PDIP lama” masuk ke era “PDIP baru.”

Politik selalu berubah mengikuti berbagai macam tantangan kehidupan, dengan beragam panggung sandiwaranya. Itu sebabnya 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘪𝘴 𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘸𝘳𝘪𝘵𝘵𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘴𝘵𝘰𝘯𝘦.

Mantra bahwa kepemimpinan di PDIP adalah prerogatif "anak biologis Soekarno" adalah sandiwara yang membawa PDIP terseret kedalam berbagai kisruh. Inti masalahnya adalah Megawati Soekarnoputri sendiri, yang saat ini berusia 77 tahun, dan tengah bingung menghadapi transisi kepemimpinan di partai ini lantaran perebutan warisan kekuasaan siapa jadi Ketum PDIP diantara kedua anaknya.

Kedua ahli waris PDIP ini bersaudara tiri (beda ayah). Perseteruan diantara mereka sekarang telah menimbulkan keterpecahan diantara elit PDIP sendiri. Ada yang pro Puan Maharani, ada yang pro Prananda Prabowo.

Tetapi realitas politik pasca Pemilu 2024 (Pilpres, Pileg dan Pilkada) membuat Megawati bingung atas rencana besarnya sejak lama untuk membesarkan Puan di jalur pemerintahan, dan membesarkan Prananda di jalur partai. Ini soal eksistensi trah Soekarno di PDIP. Sekarang jadi berantakan.

Kepentingan Sekjen Hasto Kristiyanto ada dalam konteks perseteruan dua saudara tiri ini. Itu sebabnya Hasto menolak gagasan Guntur Soekarnoputra melalui justifikasi “arus bawah masih menginginkan Ibu Mega sebagai pengikat.”

Bagi Hasto, mendukung Prananda menjadi besar di jalur partai itu penting demi habitatnya di posisi Sekjen (terlama dalam sejarah PDIP). Tetapi Puan yang bermain di jalur pemerintahan membutuhkan dukungan partai yang sejalan dengan langkah-langkah politiknya sendiri.

Terjadi konflik. Tetapi PDIP tidak bisa bermain dua kaki. Karena pasti terlempar keluar dari arus besar koalisi politik nasional yang sekarang menguasi istana dan parlemen.

****

Itulah keadaan interior PDIP yang sekarang dilihat Jokowi dari luar, 𝘭𝘰𝘰𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘸𝘪𝘯𝘥𝘰𝘸. Persis seperti yang dilihat oleh Guntur Soekarno Putra.

Maka perlu dimulai transisi kepemimpinan di PDIP. Caranya dengan menggeser Megawati ke posisi terhormat sebagai Dewan Pembina. Dan membiarkan Jokowi seratus persen pegang kendali di posisi Ketua Umum.

Memang, tidak pernah ada yang namanya Dewan Pembina di PDIP. Tetapi Kongres sebagai forum tertinggi partai punya kewenangan memutuskan hal strategis. Tentu perlu ada kesepakatan antara Megawati dan Jokowi apa yang dimaksud sebagai “petugas partai” dalam “sistem komandante PDIP.” Tidak bisa dengan pengertian dan cara-cara lama. “PDIP baru” perlu diwujudkan.

Jokowi harus diberi kepercayaan penuh sebagai Ketum, sementara Megawati di Dewan Pembina mengawasi. Ini bentuk konkrit rencana rekonsiliasi Jokowi.

Bagi Guntur, figur Ketum Jokowi yang bisa mewujudkan “PDIP baru,” juga menjadi jalan tengah konflik internal antara Puan dan Prananda.

Kalau Kongres PDIP di 2025 nanti bisa mengakomodasi rencana rekonsiliasi ini, itu artinya Wakil Presiden Gibran Rakabuming adalah kader PDIP. Sedangkan Puan Maharani— yang didukung oleh Ketum PDIP Jokowi— akan tetap menjadi Ketua DPR, sekalipun revisi UU MD3 dilanjutkan. Artinya, ada dua kader PDIP menduduki posisi puncak di eksekutif dan legislatif.

Tetapi, bagi saya, yang lebih utama adalah pembangunan bangsa dibalik VIE 2045 bisa terjamin dengan masuknya PDIP sebagai “anchor” koalisi besar bersama-sama Gerindra dan Golkar. Modal politik ketiga partai ini saja di parlemen sudah 51%. Itu artinya jaminan bagi stabilitas koalisi besar pemerintahan Prabowo-Gibran. Yang barangkali malah bisa menjadi koalisi permanen 𝘣𝘦𝘺𝘰𝘯𝘥 2029.

Tidak sulit menduga, partai-partai papan tengah pasti akan 𝘫𝘶𝘮𝘱 𝘪𝘯𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘢𝘯𝘥𝘸𝘢𝘨𝘰𝘯.

Melihat manuver Jokowi memang perlu menggunakan kacamata kenegarawanan (𝘴𝘵𝘢𝘵𝘦𝘴𝘮𝘢𝘯𝘴𝘩𝘪𝘱). Lensa yang melulu 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘬𝘪𝘯𝘨— yang mengutamakan menang-kalah, tipu-menipu, jegal-menjegal— akan sulit memahaminya.

****

Bahwa Jokowi adalah seorang rekonsiliator, hal itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Sudah sejak tahun 2019, rekonsiliasi Jokowi-Prabowo mewarnai panggung politik nasional.

Jokowi yang sekarang “partai perorangan” sedang mengupayakan rekonsiliasi dengan Megawati. Ini memang pilihan jalan terjal yang tidak mudah. Tantangannya ada pada kualitas kenegarawanan Megawati, bukan Jokowi.

Kalau toh upaya rekonsiliasi Jokowi ini gagal, kenegarawanannya tetap akan dicatat dengan tinta emas sejarah. 𝘚𝘰, 𝘯𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘰 𝘭𝘰𝘴𝘦 𝘧𝘰𝘳 𝘩𝘪𝘮.

-JHW

Quick Count untuk SUMATERA UTARA, BANTEN, JAWA BARAT...
27/11/2024

Quick Count untuk SUMATERA UTARA, BANTEN, JAWA BARAT...

Quick Count untuk DKI JAKARTA, JAWA TENGAH, JAWA TIMUR...
27/11/2024

Quick Count untuk DKI JAKARTA, JAWA TENGAH, JAWA TIMUR...

Analisis Intelijen PILKADA DKI JAKARTA: THE UNDECIDED DECIDE The KPU nomenclature for the gubernatorial election in Jaka...
23/11/2024

Analisis Intelijen

PILKADA DKI JAKARTA: THE UNDECIDED DECIDE

The KPU nomenclature for the gubernatorial election in Jakarta still uses the term “PILKADA DKI JAKARTA." This remains the official terminology because the Presidential Decree (Keppres) on relocating Indonesia's capital to IKN has yet to be signed by the President. As of now, Jakarta retains its status as the capital of Indonesia with the legal designation of "Special Region."

I apply chronological analysis— a core method in Intelligence Analysis— to identify patterns. Consequently, periodization is indispensable: clearly defining the start and end dates of a phenomenon or event is essential for accurate analysis.

****

The electability of Ridwan Kamil (RK) has undergone a dramatic shift between the pre- and post-registration phases with the KPU. Initially perceived as a strong individual candidate, RK's image transformed into a joint ticket with Suswono after official registration. This shift in perception has played a key role in shaping public opinion.

In the PRE-REGISTRATION phase, RK already faced significant hurdles in Jakarta. A Litbang Kompas survey in July this year showed his electability at just 24% if pitted against Anies Baswedan (39%) and Basuki Tjahaja Purnama/Ahok (34.5%). This was a stark contrast to his popularity in his home base of West Java, where he boasted a 52% approval rating.

However, KIM (the government-backed coalition) demonstrated sharp "political acumen." By ensuring that neither Anies nor Ahok entered the gubernatorial race, KIM effectively paved the way for RK to become the frontrunner.

On August 28, 2024, KIM officially registered RK (who is a Golkar cadre) as their candidate for DKI-1, with Suswono (a PKS cadre) as his running mate for DKI-2.

In the POST-REGISTRATION PHASE, from August 28 to today (November 24), the stagnant electability of the RK-Suswono duo, holding steady at an average of 37%, has sparked panic within the KIM camp. Meanwhile, their rivals, the Pram-Doel ticket, have shown a rising trend and now sit at an average of 42% (see Graph)

With election day (November 27) just three days away, the race has taken a tense turn, leaving KIM strategists racing against the clock to shift the momentum.

****

Let’s analyze the relevant graphics, which reflect the current realities of the 2024 Jakarta gubernatorial race.

Out of the five datasets from different pollsters, I’ve selected three for our analysis: Litbang Kompas, Indikator Politik, and SMRC. The remaining two, LSI and Poltracking, have been excluded due to an ongoing dispute within Persepi (the Indonesian Public Opinion Survey Association) over their conflicting and rather unusual results. This decision is purely to maintain scientific credibility in our assessment.

We need to approach this with a cool head and a sharp mind— no room for bias. Take a closer look at the graphics, and a clear pattern emerges: LSI’s research aligns more closely with the three primary pollsters (Litbang Kompas, Indikator Politik, and SMRC). On the other hand, there’s a strong impression that Poltracking might be influenced by the panic within the KIM camp— though this is just a possibility.

When averaging the data, the results show a consistent trend: the electability of RK-Suswono remains steady at 37%, while Pram-Doel leads at 42%. This gap underscores the challenge facing the RK-Suswono ticket as election day approaches.

That’s the first point of analysis. The second is that there remains a significant 15.5% of voters who are still undecided. If these undecided votes were distributed proportionally, neither ticket would likely reach the required threshold of "50% + 1 vote" for an absolute majority under the KPU’s “first past the post” rule. To simplify, let’s use a safer benchmark of 51%— even though we know the 51% figure is somewhat arbitrary.

If no ticket reaches the “first past the post” threshold, the election will proceed to a run-off round, meaning the Jakarta gubernatorial race will be decided in two stages.

So, it’s crystal clear that the undecided voters, making up 15.5%, will be the key factor here. For the RK-Suswono ticket to reach 51%, they need to secure an additional 13.4% of votes from this undecided group. On the other hand, the Pram-Doel ticket has a lighter task, needing to capture just 8.6% (of the undecided).

The average Margin of Error (MoE) is 2.8%, while the average gap in electability between RK-Suswono and Pram-Doel stands at 4.8%. This gap is still within the margin (less than double the MoE, which would be 5.6%), indicating that the race is still quite close and could go either way.

Can Pram-Doel secure the additional 8.6% of votes from the undecided voters by November 27? It’s certainly not an easy job. However, what’s surprising is the fact that the average electability trend for this pair, across various survey periods, has been an impressive 3.9% increase.

A 3.9% increase in less than two months is a significant shift and could be quite concerning for their competitors, especially with election day just around the corner! This surge indicates that Pram-Doel is gaining momentum at a critical juncture, which could shake up the race in the final stretch.

****

What can we conclude from the points of analysis?

𝗙𝗶𝗿𝘀𝘁, the decisive factor in the election will be the 15.5% undecided voters. The battle for influence between the RK-Suswono and Pram-Doel tickets will largely depend on this group. And this 15.5% remains a terra incognita— an unknown territory.

𝗦𝗲𝗰𝗼𝗻𝗱, if the Jakarta gubernatorial election is decided in a single round, it’s highly likely that the Pram-Doel pair will come out on top, given their electability trend which has shown a strong 3.9% increase. Meanwhile, RK-Suswono seems to have stagnated, making it more difficult for them to close the gap.

𝗧𝗵𝗶𝗿𝗱, what are the chances that the Jakarta gubernatorial election will go to a run-off round? The fact that RK-Suswono need to secure an additional 13.4% of votes from undecided voters, coupled with their electability trend of only 2.3%, suggests that their challenge in the second round will be significantly tougher than their competitors. Additionally, looking at historical election trends, the winner of the first round typically also wins in the second round.

However, there’s an exception, as seen in the 2017 Jakarta gubernatorial election. In the first round, the results were: 01 AHY-Sylvi, 17.02%; 02 Ahok-Djarot, 42.99%; 03 Anies-Sandi, 39.95%. In the second round, Anies-Sandi won with 57.96% against Ahok-Djarot who had 42.04%.

It’s clear that AHY-Sylvi’s votes largely shifted to Anies-Sandi, changing the dynamic of the second round.

Therefore, 𝗳𝗼𝘂𝗿𝘁𝗵, KIM is clearly in a state of panic. They now need to come up with some “political creativity” to turn the tide and ensure that the Pilkada DKI Jakarta goes into a second round.

-JHW

In my latest interview on Cokro TV, I emphasized that the PCO needs to design a PROACTIVE strategy, in addition to a REA...
22/11/2024

In my latest interview on Cokro TV, I emphasized that the PCO needs to design a PROACTIVE strategy, in addition to a REACTIVE one, to tackle the widespread issue of DFK (disinformation, slander, and hate).

It’s like public health— preventive measures are always more efficient than curative ones.

Analisis IntelijenHUBUNGAN GUS DUR & BENNY MOERDANIAtas pertanyaan  Khudlori, saya memutuskan untuk sekalian mengulasnya...
16/11/2024

Analisis Intelijen

HUBUNGAN GUS DUR & BENNY MOERDANI

Atas pertanyaan Khudlori, saya memutuskan untuk sekalian mengulasnya dalam format AI, agar sidang pembaca— terutama kaum Millennials dan Gen-Z— memperoleh suatu insight dari sekeping sejarah politik di negeri ini. Silahkan, berdasarkan tulisan ini, nanti Anda melakukan studi ilmiah apa yang saya bahas disini.

Untuk memahami hubungan istimewa antara Gus Dur dan Jend. L.B. Moerdani kita perlu kembali memotret KONTEKS politik Orba di dekade 1980-an. Khususnya, dari 1983 sampai 1988, saat Benny Moerdani menjabat sebagai Panglima ABRI.

Ada empat peristiwa penting dalam catatan saya di periode ini yang menjadi points of analysis:

1983, DIANGKATNYA SEKJEN SIPIL PERTAMA GOLKAR: Ini menandai dimulainya regenerasi dari pimpinan militer ke pimpinan sipil sekaligus generasi muda. Regenerasi ini visi Soeharto sendiri yang melihat Golkar harus mulai berubah menghadapi iklim demokrasi yang sama sekali berbeda dibandingkan dekade 1970-an. Lalu Sarwono Kusumaatmadja (usia 40 tahun) ditunjuk menduduki jabatan Sekretaris Jenderal Golkar 1983-1988.

1984, MUKTAMAR NU DI SITUBONDO: Fakta adanya dua kubu, yaitu Cipete (KH Idham Chalid) vs Situbondo (KH As'ad Syamsul Arifin) yang kemudian dimenangkan oleh kubu Situbondo. Gus Dur muda (masih 44 tahun) ada di kubu Situbondo. Poin penting dari Muktamar Situbondo ini: (1)penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, (2)NU kembali ke Khittah 1926 (keluar dari politik), dan (3)Gus Dur terpilih sebagai Ketua Dewan Tanfidz.

Kita tahu posisi Gus Dur sebagai Ketua Dewan Tanfidz NU berlanjut mulus melalui Muktamar NU di Krapyak, Jogja, tahun 1989.

1985-1986, RANGKAIAN PERTEMUAN LBM-TK-MS: Dibelakang layar ada dua pertemuan rahasia antara Benny Moerdani-Taufik Kiemas-Megawati Soekarnoputri di resto Seafood Kemayoran, Jakarta, dan di Setiabudi, Bandung (kediaman Levana, mantu Soekarno-Hartini). Inilah titik awal rekayasa intelijen kembalinya keluarga Soekarno ke politik.

8 NOVEMBER 1986, GELAR PAHLAWAN UNTUK SOEKARNO: Presiden Soeharto memberikan gelar “Pahlawan Proklamator” kepada Soekarno, Megawati diundang dalam upacara penganugerahan di Istana Negara. Peristiwa ini adalah simbol pengakuan Soeharto bahwa “Soekarnoisme boleh dikampanyekan kembali.” Maka di tahun 1987, Megawati resmi bergabung dengan PDI. Di Pemilu 1987, suara PDI naik signifikan menempati urutan ke-2, dari 6,6% suara nasional pada Pemilu 1982 menjadi 10% (ini ekuivalen dari 24 kursi parlemen di Pemilu 1982 menjadi 40 kursi di Pemilu 1987).

Tidak heran, suara PPP tergembosi habis-habisan, turun ke urutan 3 (buncit), akibat gerbong raksasa NU keluar dari politik sejak 1984 (Muktamar Situbondo).

Dibalik keempat peristiwa politik diatas adalah rekayasa intelijen yang SALING BERKAITAN. Siapa master mindnya? Duet Soeharto-Benny Moerdani. Lebih detil, soal ini sudah saya bahas di kanal Youtube AI.

Sekarang Anda paham kenapa Jenderal Moerdani (atas restu Soeharto) di dekade itu rajin turun ke pesantren-pesantren NU, terutama mengunjungi jajaran “Kyai Khos” mereka.

Memang, “Peristiwa Tanjung Priok” di bulan September 1984, juga menjadi faktor yang menjustifikasi strategi untuk memecah kekuatan oposisi politik menjadi “Naga Merah” dan “Naga Hijau” ini dipercepat eksekusinya. Kita bisa berdiskusi tersendiri soal apa dibalik peristiwa berdarah ini.

****

Apa yang menjadi line of thinking dalam “intelligence masterplan” dibalik keempat peristiwa politik diatas? Soeharto ingin agar dalam “iklim demokrasi yang baru,“ kubu Nasionalis— yaitu Golkar dan PDI— nantinya berkolaborasi membentuk “hidden alliance” kaum Nasionalis. Sebab, gampangnya, IDEOLOGI dan DEVELOPMENTALISME kedua kekuatan politik ini kan pada dasarnya sama.

Dalam visi Soeharto, nampak jelas bahwa “-isme” dalam politik di Indonesia hanya tinggal dua: NASIONAL-isme vs ISLAM-isme. Dan memang REALITAS-nya demikian sampai hari ini, mengingat unsur KOMUNIS dalam visi koalisi besar NAS-A-KOM à la Soekarno sudah dilibas habis sejak pertengahan 1960-an.

Jadi, memang tinggal dua jenis “-isme” politik saja di level nasional kita.

Kenapa di awal dekade 1980-an itu Soeharto mulai memikirkan suatu “iklim demokrasi yang baru”? Ada kronologis dinamika gepolitik dunia yang dibaca oleh Benny Moerdani (dan diamini oleh Soeharto). Begini…

FENOMENA POLANDIA: Pada bulan Agustus 1980, organisasi buruh Solidarność (Solidaritas) dibawah pimpinan L**h Wałęsa resmi didirkan di Galangan Kapal Lenin, di kota Gdańsk. Uniknya organisasi buruh ini menjadi yang pertama bersifat bottom-up yang diakui pemerintah saking masifnya. Biasanya organisasi buruh di negera-negara Pakta Warsawa selalu bentukan pemerintah, alias top-down.

Hanya dalam hitungan minggu, mendadak 10 juta buruh menjadi anggota Solidarność, atau ekuivalen 1/3 penduduk Polandia saat itu. Selanjutnya kita tahu bagaimana L**h Wałęsa-Solidarność membabat pemerintahan otoritarian di Polandia dibawah Jenderal Wojciech Jaruzelski. Bahkan L**h Wałęsa menjadi presiden menggantikan Jaruzelski sendiri.

Fenomena di Polandia ini— yang adalah negara satelit bagi induk komunisme mereka di Uni Soviet— tentu berdampak langsung (menjadi inspirasi) di kalangan Politbiro proletariat dunia. Maka…

FENOMENA UNI SOVIET: Di bulan Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekjen Partai Komunis Uni Soviet dan mulai mempopulerkan ide “Perestroika” (reformasi) dan “Glasnost” (transparansi). Moerdani tahu, Gorbachev ini seorang reformis yang sudah sejak 1984— sewaktu masih sebagai Sekretaris Politbiro Uni Soviet (orang kedua) — sudah koar-koar soal “Perestroika.”

Selanjutnya kita tahu “Perestroika” dan “Glasnost” menjadi cause of the collapse of the Eastern Bloc dan disolusi entitas Uni Soviet di bulan Desember 1991. Bubarnya Uni Soviet ini satu rangkaian peristiwa sejak “Fall of the Berlin Wall” pada bulan November 1989.

Melihat dinamika geopolitik yang anti otoritarian ini, bagi duet Soeharto-Benny pilihannya adalah “menciptakan iklim demokrasi” dengan cara memunculkan “oposisi yang bisa dikendalikan.” Yang formulasinya adalah: munculkan “Naga Merah” (hidden alliance-nya Golkar), sebagai lawan “Naga Hijau” (tetapi minus kekuatan NU).

Dari sudut “-isme” atau ideologis, ini adalah Nasionalis versus Islam.

Tetapi Gus Dur cerdas. Itu kan artinya NU akan menjadi “tie-breaker” dalam politik, justru karena sudah kembali ke “Khittah NU 1926.” Yang maknanya adalah, NU tidak kemana-mana (dalam politik formal), tetapi ada dimana-mana (dalam politik informal)!

Sekarang kita paham kenapa salah seorang yang pertama dikunjungi Gus Dur setelah dilantik sebagai Presiden RI adalah Benny Moerdani. Presiden Wahid yang datang ke rumah Benny di Simprug, bukan Benny dipanggil ke istana.

****

Gara-gara “Peristiwa Meja Biliar” di jalan Cendana pada akhir tahun 1987, duet Soeharto-Benny pecah kongsi. Benny diberhentikan dari jabatan Panglima ABRI dua bulan lebih cepat.

Setelah Benny Moerdani lepas kendali atas tentara, Soeharto terpaksa melakukan politik pecah-belah di tubuh ABRI. Tetapi upayanya dihadang (dengan cerdik) oleh Pangab Try Soetrisno dan penggantinya, Pangab Edi Sudrajat. Baru di era Pangab Feisal Tanjung lahir kubu “ABRI Hijau” (orangnya Soeharto) versus “ABRI Merah-Putih” (orangnya Benny).

Kubu “ABRI Hijau” ini sejalan dengan pilar Islam Politik yang direkayasa oleh Soeharto bersamaan dengan lahirnya civil society yang namanya ICMI— B.J. Habibie menjadi organisatornya.

Soeharto juga melakukan resetting kekuatan politik di sisi “Naga Hijau” melalui Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya (Desember 1994). Dirancang rekayasa intelijen agar Gus Dur digeser dari posisi Ketua Dewan Tanfidz NU dan digantikan oleh Abu Hasan.

Sebetulnya, upaya menjegal Gus Dur sudah tercium sejak Munas Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992. Orang-orang BAIS mulai memecah-belah anggota dan simpatisan NU dari dalam dengan membentuk anasir anti-Gus Dur melalui slogan ABG (asal bukan Gus Dur).

Faktanya, di Cipasung itu, posisi Gus Dur tetap tak tergoyahkan. Harus diakui, ini adalah Muktamar paling panas dalam sejarah NU.

Di sisi “Naga Merah” sambi mawon. Prakondisinya ada di Kongres IV PDI di Medan (Juli 1993), yang menetapkan Soerjadi menjadi Ketua Umum dan Nico Daryanto sebagai Sekretaris Jendral periode 1993-1998. Tetapi Soeharto ingin Budi Harjono yang jadi Ketum, sialnya dia kalah suara. Maka dibuatlah keributan di Kongres Medan ini, sehingga keadaan menjadi deadlock.

Situasi deadlock ini mau diselesaikan pemerintah melalui KLB PDI di Sukolilo, Surabaya (Desember 1993). Disini Soerjadi tidak direstui Soeharto untuk maju, digantikan oleh Budi Harjono. Tetapi faktanya arus bawah PDI justru menginginkan Megawati Soekarnoputri yang jadi Ketua Umum.

Deadlock lagi. Terjadi saling klaim sebagai Ketum yang sah antara Megawati dan Budi Harjono, sampai terjadi peristiwa “Kuda Tuli” (Juli 1996).

KLB Surabaya adalah titik awal perlawanan Megawati hingga PDI terpaksa berubah menjadi PDI-P, dan kemudian memenangkan Pemilu 1999.

****

Terlihat jelas sekali polanya disini. Pasca era Benny Moerdani, masterplan intelijen demokratisasi politik nasional versi Soeharto jadi berantakan. Soeharto kehilangan master mind-nya.

Ka BAIS saat itu, Mayjen Syamsir Siregar, jelas bukan maqomnya Benny Moerdani. Tetapi yang mengusulkan Ka BAIS kan Pangab, bukan?

Dan yang menyetujui usulan Pangab itu kan presidennya sendiri, bukan?

-JHW

10/11/2024
Tesla CEO and US billionaire Elon Musk has exuded confidence of Donald Trump's win in the US Presidential polls, as the ...
06/11/2024

Tesla CEO and US billionaire Elon Musk has exuded confidence of Donald Trump's win in the US Presidential polls, as the early projections showed him ahead of Kamala Harris...

Diperlukan sedikitnya 270 EC votes untuk bisa menang sebagai  Presiden AS. Nampaknya Trump sejauh ini akan mampu meraup ...
06/11/2024

Diperlukan sedikitnya 270 EC votes untuk bisa menang sebagai Presiden AS.

Nampaknya Trump sejauh ini akan mampu meraup 277 suara elektoral, sedangkan Harris hanya meraup 226 suara elektoral. Ini perkiraan melihat perkembangan di swing states seperti Pa, Ga, Nc yang sudah in favor of Trump.

Sedangkan Mich, Nev, Ariz, Wis di dashboard NYT rata-rata diatas 75% in favor of Trump.

Welcome back Donald J. Trump? Most likely.

-JHW

Analisis IntelijenKUASA GELAP DFK: DEMOKRASI = BERKOMENTAR BEBAS?Bagi saya, apa yang dipertontonkan oleh BEM FISIP Unive...
29/10/2024

Analisis Intelijen

KUASA GELAP DFK: DEMOKRASI = BERKOMENTAR BEBAS?

Bagi saya, apa yang dipertontonkan oleh BEM FISIP Universitas Airlangga adalah DFK (Disinformasi, Fitnah dan Kebencian) yang bersembunyi dibalik wajah kaum intelektual (mahasiswa). Alasannya?

Pertama, substansi yang mereka sampaikan merupakan ASUMSI bukan FAKTA. Kedua— sebagai konsekuensi dari poin pertama— maka pilihan GRAFIS dan KATA pada papan bunga mereka pun tone-nya menjadi pelecehan atau penghinaan.

Ekspresi BEM FISIP Universitas Airlangga ini melulu emosional, sama sekali tidak intelektual. Sebab ini bukan KRITIK, tetapi BLACK CAMPAIGN. Kita tahu, black campaign adalah musuh demokrasi, sedangkan kritik adalah sahabat demokrasi.

BLACK CAMPAIGN dilakukan dengan membuat suatu isu atau gosip yang ditujukan kepada pihak lawan, tanpa didukung fakta atau bukti yang jelas (alias fitnah). Karena ini fitnah, maka black campaign— yang adalah DISINFORMASI— tidak membutuhkan intelektualitas. Modalnya hanya KEBENCIAN saja, yang disampaikan secara EMOSIONAL-DEKONSTRUKTIF.

Sedangkan KRITIK kebalikan dari BLACK CAMPAIGN. Kritik selalu berbicara tentang suatu isu publik yang obyektif ada (bukan mengada-ada), didukung fakta atau bukti yang jelas (alias ilmiah). Karena ilmiah, maka kritik— yang adalah INFORMASI— membutuhkan intelektualitas. Modalnya CINTA KEBENARAN, yang disampaikan secara RASIONAL-KONSTRUKTIF.

****

Soal kenapa DFK perlu dirawat, bahkan dikobarkan, oleh mereka yang berkepentingan, sudah saya bahas pada AI yang lalu. Silahkan dibaca kembali:

https://www.facebook.com/share/p/iv7eAhRxQHhSU2DE/ [PARA LOBBYIST DAN PARA EHM]

Dari sudut pandang mereka yang tidak ingin Indonesia menjadi salah satu “global players,” VIE 2045 memang perlu terus-menerus diganggu dengan DFK. Indonesia harus dijadikan negara gagal (failed state) melalui strategi “devide et impera” gaya VOC maupun Kerajaan Belanda kolonial.

Nilai tambah berbagai SDA kita (nikel hanya salah satunya) yang mau dihilirisasi [baca: industrialisasi] sejak Presiden Jokowi dan dilanjutkan oleh Presiden Prabowo, menimbulkan disrupsi di sisi supply chain berbagai industri besar dunia. Ini tidak boleh terjadi! Sebab, Indonesia bisa menjadi negara superpower. Lihat grafis HILIRISASI NIKEL terkait.

Masalahnya, DFK ini sulit dituliskan definisinya. Kata “definisi” dari bahasa Latin “dēfīnīre”, artinya “menarik batas.” Apalagi bila ingin disempitkan ke dalam definisi hukum, lebih sulit lagi. Kita bisa dituduh mendukung “pasal karet” lah, bersikap “anti demokrasi” lah, atau “mau jadi otoriter” lah— seperti yang sering digembar-gemborkan oleh kalangan studi hukum UGM, mereka para kadernya mantan Menkopolhukam itu.

Populasi kita saat ini didominasi Millennials dan Gen-Z, totalnya 52.2 % penduduk Indonesia (Gen-Z 27,9%; Millennials 24,3%). DFK ini sudah menjadi semacam sub-kultur dalam sosiologi kita (di dunia nyata maupun dunia maya), akibat populasi Gen-Z + Millennials umumnya sulit membedakan mana yang KRITIK, mana yang BLACK CAMPAIGN.

Nada nyinyir bagi saya masuk ke dalam black campaign, bukan kritik, karena alasan diatas (beda antara kritik dan black campaign). Itu sebabnya Sdr. Ady Prasetya saya blokir dari forum saya, setelah yang bersangkutan diberi peringatan. Lihat grafis DEMOKRASI = KOMEN BEBAS-BEBAS SAJA?

****

Kampanye ANTI DFK adalah PENDIDIKAN POLITIK. Sama seperti ketika para Bapak Bangsa kita sejak awal dekade 1920-an— yang disebut sebagai Angkatan ’28 — mendidik rakyat untuk melihat suatu masa depan yang “merdeka dari kolonialisme” dibalik ikrar “satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.” Ternyata visi mereka terwujud di tahun 1945. Kita merdeka.

Hari ini, kita punya tantangan mewujudkan VIE 2045. Mantan Presiden Jokowi selama 10 tahun pemerintahannya telah meletakkan berbagai fondasi yang diperlukan. Tekanannya pada infrastruktur kita yang saat itu memang masih amburadul.

Kata kunci pembangunan infrastruktur disini adalah KONEKTIVITAS untuk (1)ORANG, (2)BARANG, (3)JASA dan (4)DATA. Konektivitas ini dampaknya kemana-mana: IPOLEKSOSBUDHANKAM! Hal ini sudah berkali-kali saya bahas juga di kanal AI.

Hanya mereka yang bodoh/sempit wawasannya yang komentar “Rakyat kecil ga bisa makan aspal, ga perlu jalan tol.” Tapi kan mereka makan sayuran yang lebih segar, lebih murah, akibat KONEKTIVITAS di sisi supply chain-nya lebih efisien.

Soal konektivitas orang, barang, jasa dan data ini, adalah bagian strategis dari road map (peta jalan) menuju VIE 2045 yang juga telah disiapkan oleh Presiden Jokowi. Ini juga sudah berulangkali saya bahas. Lihat grafis TAHAPAN DARI REFORMASI KE TRANSFORMASI.

Karena tahun 2045 masih sekitar 20 tahun lagi, sedangkan seorang presiden hanya punya waktu 5 tahun (maksimal dikali 2 periode), maka perlu yang namanya KEBERLANJUTAN KOALISI BESAR yang perlu dibaca sebagai KEBERLANJUTAN PERSATUAN PARA PEMIMPIN POLITIK (para elit politik). Ini untuk menjamin road map VIE 2045 bisa terlaksana.

Elit politik yang bersatu artinya para pendukungnya pun bersatu, maka ini artinya PERSATUAN NASIONAL.

Keberhasilan Angkatan ’28 mewujudkan Proklamasi 1945 adalah keberhasilan mereka MENDIDIK RAKYAT UNTUK BERSATU. Itu sebabnya para Bapak Bangsa kita bersepakat bahwa Indonesia adalah “negara kesatuan” (unitary state) dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 1. Indonesia bukan negara federalistik (federal state).

Disini kita perlu mengenang visi kenegarawanan Sultan HB IX-Paku Alam VIII, yang menyatakan bergabung ke dalam negara kesatuan RI (Amanat 5 September 1945), padahal otonomi Kesultanan Jogja akan lebih diuntungkan bila berada dalam sistem federalistik!

Jangan lupa. KMB di Den Haag pada Desember 1949 itu menghasilkan negara federalistik, namanya Republik Indonesia Serikat (RIS). Ya, kita memang bersepakat dulu dengan Kerajaan Belanda— yang adalah kelanjutan VOC, yang ingin terus memecah-belah RI agar tetap dapat menguasai SDA kita.

Yang penting kedaulatan RI diakui dulu melalui KMB ini, sekalipun hasilnya geografi politik kita dibagi menjadi 7 “federal states” dan 9 “autonom regions.”

Tetapi tidak sampai setahun, pada bulan Agustus 1950, Presiden Soekarno “berkhianat” terhadap KMB. Soekarno mengembalikan RI menjadi unitary state. Bagi Soekarno, persetan dengan KMB!

Yang utama adalah persatuan elit di level pimpinan pusat harus berada diatas elit-elit kecil di daerah. Lebih jauh lagi, bagi Soekarno, ELIT-ELIT POLITIK DI PUSAT HARUS MENJADI DAYA PEREKAT PERSATUAN LINTAS S-A-R-A dalam realitas Indonesia yang majemuk.

Soekarno benar! Tanpa PERSATUAN NASIONAL (artinya terpusat), Indonesia tidak akan pernah bisa membangun.

Dalam konteks dekade 1950-an itu, persatuan nasional ini oleh Soekarno dikonsepsikan sebagai NASAKOM. Yaitu, koalisi besar para elit dari 3 genre politik utama di Indonesia: kaum Nasionalis, Agamawan dan Komunis.

****

Maka, hari ini, elit politik yang bersatu juga amat penting bagi terwujudnya VIE 2045. Itulah yang diupayakan mati-matian oleh mantan Presiden Jokowi sejak 2014, dan sekarang dilanjutkan oleh Presiden Prabowo, dibalik perlunya suatu suatu KOALISI BESAR = PERSATUAN PARA ELIT POLITIK DI LEVEL NASIONAL.

Setelah retret di Akademi Militer Magelang minggu lalu, Kepala PCO Hasan Nasbi mulai menerapkan strategi PRO-AKTIF dalam menangkal DFK ini. Wawancara eksklusif Presiden Prabowo Subianto di SCTV bersama Pimred Retno Pinasti adalah langkah awal. Masih ada banyak langkah lain menyusul.

Saya pun menekankan soal strategi PRO-AKTIF ini dalam wawancara terakhir saya di Cokro TV bersama Mas Akhmad Sahal. Kita tidak bisa hanya mengambil posisi REAKTIF menanggapi serangan DFK yang dilakukan oleh mereka (melalui para proxy dalam negerinya) yang ingin Indonesia menjadi failed state.

Kita harus secara PRO-AKTIF melakukan PENDIDIKAN POLITIK bagi bangsa ini. Terutama bagi generasi muda kita (Millennials dan Gen-Z) yang total proporsinya mencapai 52.2 % populasi Indonesia.

Mereka inilah tulang punggung produktivitas Indonesia dalam apa yang disebut sebagai BONUS DEMOGRAFI, yang puncaknya terjadi pada pertengahan dekade 2030-an mendatang.

Jangan sampai “demographic dividend” ini malah menjadi “demographic disaster,” hanya karena generasi muda kita tidak bisa membedakan antara BLACK CAMPAIGN dan KRITIK.

-JHW

Address

Yogyakarta City

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Analisis Intelijen posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Analisis Intelijen:

Videos

Share