16/11/2024
Analisis Intelijen
HUBUNGAN GUS DUR & BENNY MOERDANI
Atas pertanyaan Khudlori, saya memutuskan untuk sekalian mengulasnya dalam format AI, agar sidang pembaca— terutama kaum Millennials dan Gen-Z— memperoleh suatu insight dari sekeping sejarah politik di negeri ini. Silahkan, berdasarkan tulisan ini, nanti Anda melakukan studi ilmiah apa yang saya bahas disini.
Untuk memahami hubungan istimewa antara Gus Dur dan Jend. L.B. Moerdani kita perlu kembali memotret KONTEKS politik Orba di dekade 1980-an. Khususnya, dari 1983 sampai 1988, saat Benny Moerdani menjabat sebagai Panglima ABRI.
Ada empat peristiwa penting dalam catatan saya di periode ini yang menjadi points of analysis:
1983, DIANGKATNYA SEKJEN SIPIL PERTAMA GOLKAR: Ini menandai dimulainya regenerasi dari pimpinan militer ke pimpinan sipil sekaligus generasi muda. Regenerasi ini visi Soeharto sendiri yang melihat Golkar harus mulai berubah menghadapi iklim demokrasi yang sama sekali berbeda dibandingkan dekade 1970-an. Lalu Sarwono Kusumaatmadja (usia 40 tahun) ditunjuk menduduki jabatan Sekretaris Jenderal Golkar 1983-1988.
1984, MUKTAMAR NU DI SITUBONDO: Fakta adanya dua kubu, yaitu Cipete (KH Idham Chalid) vs Situbondo (KH As'ad Syamsul Arifin) yang kemudian dimenangkan oleh kubu Situbondo. Gus Dur muda (masih 44 tahun) ada di kubu Situbondo. Poin penting dari Muktamar Situbondo ini: (1)penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, (2)NU kembali ke Khittah 1926 (keluar dari politik), dan (3)Gus Dur terpilih sebagai Ketua Dewan Tanfidz.
Kita tahu posisi Gus Dur sebagai Ketua Dewan Tanfidz NU berlanjut mulus melalui Muktamar NU di Krapyak, Jogja, tahun 1989.
1985-1986, RANGKAIAN PERTEMUAN LBM-TK-MS: Dibelakang layar ada dua pertemuan rahasia antara Benny Moerdani-Taufik Kiemas-Megawati Soekarnoputri di resto Seafood Kemayoran, Jakarta, dan di Setiabudi, Bandung (kediaman Levana, mantu Soekarno-Hartini). Inilah titik awal rekayasa intelijen kembalinya keluarga Soekarno ke politik.
8 NOVEMBER 1986, GELAR PAHLAWAN UNTUK SOEKARNO: Presiden Soeharto memberikan gelar “Pahlawan Proklamator” kepada Soekarno, Megawati diundang dalam upacara penganugerahan di Istana Negara. Peristiwa ini adalah simbol pengakuan Soeharto bahwa “Soekarnoisme boleh dikampanyekan kembali.” Maka di tahun 1987, Megawati resmi bergabung dengan PDI. Di Pemilu 1987, suara PDI naik signifikan menempati urutan ke-2, dari 6,6% suara nasional pada Pemilu 1982 menjadi 10% (ini ekuivalen dari 24 kursi parlemen di Pemilu 1982 menjadi 40 kursi di Pemilu 1987).
Tidak heran, suara PPP tergembosi habis-habisan, turun ke urutan 3 (buncit), akibat gerbong raksasa NU keluar dari politik sejak 1984 (Muktamar Situbondo).
Dibalik keempat peristiwa politik diatas adalah rekayasa intelijen yang SALING BERKAITAN. Siapa master mindnya? Duet Soeharto-Benny Moerdani. Lebih detil, soal ini sudah saya bahas di kanal Youtube AI.
Sekarang Anda paham kenapa Jenderal Moerdani (atas restu Soeharto) di dekade itu rajin turun ke pesantren-pesantren NU, terutama mengunjungi jajaran “Kyai Khos” mereka.
Memang, “Peristiwa Tanjung Priok” di bulan September 1984, juga menjadi faktor yang menjustifikasi strategi untuk memecah kekuatan oposisi politik menjadi “Naga Merah” dan “Naga Hijau” ini dipercepat eksekusinya. Kita bisa berdiskusi tersendiri soal apa dibalik peristiwa berdarah ini.
****
Apa yang menjadi line of thinking dalam “intelligence masterplan” dibalik keempat peristiwa politik diatas? Soeharto ingin agar dalam “iklim demokrasi yang baru,“ kubu Nasionalis— yaitu Golkar dan PDI— nantinya berkolaborasi membentuk “hidden alliance” kaum Nasionalis. Sebab, gampangnya, IDEOLOGI dan DEVELOPMENTALISME kedua kekuatan politik ini kan pada dasarnya sama.
Dalam visi Soeharto, nampak jelas bahwa “-isme” dalam politik di Indonesia hanya tinggal dua: NASIONAL-isme vs ISLAM-isme. Dan memang REALITAS-nya demikian sampai hari ini, mengingat unsur KOMUNIS dalam visi koalisi besar NAS-A-KOM à la Soekarno sudah dilibas habis sejak pertengahan 1960-an.
Jadi, memang tinggal dua jenis “-isme” politik saja di level nasional kita.
Kenapa di awal dekade 1980-an itu Soeharto mulai memikirkan suatu “iklim demokrasi yang baru”? Ada kronologis dinamika gepolitik dunia yang dibaca oleh Benny Moerdani (dan diamini oleh Soeharto). Begini…
FENOMENA POLANDIA: Pada bulan Agustus 1980, organisasi buruh Solidarność (Solidaritas) dibawah pimpinan L**h Wałęsa resmi didirkan di Galangan Kapal Lenin, di kota Gdańsk. Uniknya organisasi buruh ini menjadi yang pertama bersifat bottom-up yang diakui pemerintah saking masifnya. Biasanya organisasi buruh di negera-negara Pakta Warsawa selalu bentukan pemerintah, alias top-down.
Hanya dalam hitungan minggu, mendadak 10 juta buruh menjadi anggota Solidarność, atau ekuivalen 1/3 penduduk Polandia saat itu. Selanjutnya kita tahu bagaimana L**h Wałęsa-Solidarność membabat pemerintahan otoritarian di Polandia dibawah Jenderal Wojciech Jaruzelski. Bahkan L**h Wałęsa menjadi presiden menggantikan Jaruzelski sendiri.
Fenomena di Polandia ini— yang adalah negara satelit bagi induk komunisme mereka di Uni Soviet— tentu berdampak langsung (menjadi inspirasi) di kalangan Politbiro proletariat dunia. Maka…
FENOMENA UNI SOVIET: Di bulan Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekjen Partai Komunis Uni Soviet dan mulai mempopulerkan ide “Perestroika” (reformasi) dan “Glasnost” (transparansi). Moerdani tahu, Gorbachev ini seorang reformis yang sudah sejak 1984— sewaktu masih sebagai Sekretaris Politbiro Uni Soviet (orang kedua) — sudah koar-koar soal “Perestroika.”
Selanjutnya kita tahu “Perestroika” dan “Glasnost” menjadi cause of the collapse of the Eastern Bloc dan disolusi entitas Uni Soviet di bulan Desember 1991. Bubarnya Uni Soviet ini satu rangkaian peristiwa sejak “Fall of the Berlin Wall” pada bulan November 1989.
Melihat dinamika geopolitik yang anti otoritarian ini, bagi duet Soeharto-Benny pilihannya adalah “menciptakan iklim demokrasi” dengan cara memunculkan “oposisi yang bisa dikendalikan.” Yang formulasinya adalah: munculkan “Naga Merah” (hidden alliance-nya Golkar), sebagai lawan “Naga Hijau” (tetapi minus kekuatan NU).
Dari sudut “-isme” atau ideologis, ini adalah Nasionalis versus Islam.
Tetapi Gus Dur cerdas. Itu kan artinya NU akan menjadi “tie-breaker” dalam politik, justru karena sudah kembali ke “Khittah NU 1926.” Yang maknanya adalah, NU tidak kemana-mana (dalam politik formal), tetapi ada dimana-mana (dalam politik informal)!
Sekarang kita paham kenapa salah seorang yang pertama dikunjungi Gus Dur setelah dilantik sebagai Presiden RI adalah Benny Moerdani. Presiden Wahid yang datang ke rumah Benny di Simprug, bukan Benny dipanggil ke istana.
****
Gara-gara “Peristiwa Meja Biliar” di jalan Cendana pada akhir tahun 1987, duet Soeharto-Benny pecah kongsi. Benny diberhentikan dari jabatan Panglima ABRI dua bulan lebih cepat.
Setelah Benny Moerdani lepas kendali atas tentara, Soeharto terpaksa melakukan politik pecah-belah di tubuh ABRI. Tetapi upayanya dihadang (dengan cerdik) oleh Pangab Try Soetrisno dan penggantinya, Pangab Edi Sudrajat. Baru di era Pangab Feisal Tanjung lahir kubu “ABRI Hijau” (orangnya Soeharto) versus “ABRI Merah-Putih” (orangnya Benny).
Kubu “ABRI Hijau” ini sejalan dengan pilar Islam Politik yang direkayasa oleh Soeharto bersamaan dengan lahirnya civil society yang namanya ICMI— B.J. Habibie menjadi organisatornya.
Soeharto juga melakukan resetting kekuatan politik di sisi “Naga Hijau” melalui Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya (Desember 1994). Dirancang rekayasa intelijen agar Gus Dur digeser dari posisi Ketua Dewan Tanfidz NU dan digantikan oleh Abu Hasan.
Sebetulnya, upaya menjegal Gus Dur sudah tercium sejak Munas Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992. Orang-orang BAIS mulai memecah-belah anggota dan simpatisan NU dari dalam dengan membentuk anasir anti-Gus Dur melalui slogan ABG (asal bukan Gus Dur).
Faktanya, di Cipasung itu, posisi Gus Dur tetap tak tergoyahkan. Harus diakui, ini adalah Muktamar paling panas dalam sejarah NU.
Di sisi “Naga Merah” sambi mawon. Prakondisinya ada di Kongres IV PDI di Medan (Juli 1993), yang menetapkan Soerjadi menjadi Ketua Umum dan Nico Daryanto sebagai Sekretaris Jendral periode 1993-1998. Tetapi Soeharto ingin Budi Harjono yang jadi Ketum, sialnya dia kalah suara. Maka dibuatlah keributan di Kongres Medan ini, sehingga keadaan menjadi deadlock.
Situasi deadlock ini mau diselesaikan pemerintah melalui KLB PDI di Sukolilo, Surabaya (Desember 1993). Disini Soerjadi tidak direstui Soeharto untuk maju, digantikan oleh Budi Harjono. Tetapi faktanya arus bawah PDI justru menginginkan Megawati Soekarnoputri yang jadi Ketua Umum.
Deadlock lagi. Terjadi saling klaim sebagai Ketum yang sah antara Megawati dan Budi Harjono, sampai terjadi peristiwa “Kuda Tuli” (Juli 1996).
KLB Surabaya adalah titik awal perlawanan Megawati hingga PDI terpaksa berubah menjadi PDI-P, dan kemudian memenangkan Pemilu 1999.
****
Terlihat jelas sekali polanya disini. Pasca era Benny Moerdani, masterplan intelijen demokratisasi politik nasional versi Soeharto jadi berantakan. Soeharto kehilangan master mind-nya.
Ka BAIS saat itu, Mayjen Syamsir Siregar, jelas bukan maqomnya Benny Moerdani. Tetapi yang mengusulkan Ka BAIS kan Pangab, bukan?
Dan yang menyetujui usulan Pangab itu kan presidennya sendiri, bukan?
-JHW