Impian Gus Dur
“Guru bangsa. Saya ingin jadi guru bangsanya Indonesia. Itu saja. Saya tidak ingin jadi yang lain. Kalau sekarang saya berkiprah di politik, karena panggilan.”
Begitulah jawaban Gus Dur, ketika ditanya oleh Wahyu Muryadi dan Agus S. Riyanto dari Tempo terkait impian Gus Dur.
Wawancara tersebut terekam di Majalah Tempo edisi 28 Desember 1998, dengan judul:
"Abdurrahman Wahid: Saya Nggak Mau Bangsa Ini Terbakar."
Kalau kita membaca wawancara itu secara lengkap, akan tampak sikap Gus Dur, yang dengan gigih menghalau perpecahan bangsa.
Isi wawancara menyiratkan Indonesia waktu itu berpotensi mengalami perpecahan. Gus Dur berusaha menghindarkan itu dengan wasilah menemui tokoh-tokoh berpengaruh, seperti BJ Habibi, Wiranto dan mantan Presiden Soeharto, yang baru lengser.
Bagi Gus Dur, kerusuhan di berbagai daerah yang terjadi waktu itu bisa diharapkan pemecahannya jika empat tokoh (yang ke empat adalah Gus Dur sendiri) tersebut bertemu.
Walaupun Gus Dur tidak mau terlalu optimis dan pesimis. Namun ia yakin, paling tidak dengan bertemunya tokoh-tokoh tersebut, bisa "ngentengake" (meringankan) masalah. Karena kunci perdamaian saat itu, jika tiga tokoh tersebut bersepakat menyudahi.
Menurut Gus Dur, pengikut Pak Harto, banyak yang tidak puas dengan perlakuan yang diberikan kepada Pak Harto saat itu (reformasi), sehingga bersikap dan bereaksi.
“Pak Harto yang bisa bilangin mereka: jangan,” kata Gus Dur.
Langkah Gus Dur di atas dinilai tidak populer. Ketika ditanya, Gus Dur menjawab:
“Kalau menghitung popularitas dan sebagainya, ya tidak jadi apa-apa dan tidak mengarah ke tujuan negara ini. Bangsa ini akan hancur berantakan. Saya nggak tega melihat bangsa ini hancur berantakan. Apapun alasannya”.
Banyak pengakuan dari banyak orang, bahwa Gus Dur adalah guru bangsa. Tidak hanya dari orang Islam, bahkan non muslim pun menyebut Gus Dur sebagai guru bangsa.
Walaupun banyak yang setuju bahwa Gus Dur pantas menyandang sebut