07/10/2024
[Menantu yang kupikir hanya seorang jand4 miskin dan yatim piatu itu, ternyata justru yang melun4si hut-4ng dan menyelamatkanku dari caci maki saudara kandungku sendiri. Tak kusangka ternyata dia...]
~~
"Hei! Kalian mau bantu-bantu atau pacaran di sini?! Cepat kerja sana. Jangan sampai ke sini cuma numpang makan saja," tukas Warsih lagi membuat Tasya melotot seketika.
"Numpang makan?" lirih Tasya sembari menoleh pada Fatih yang menghela napas panjang.
"Sudah, Sayang. Ke dapur sekarang ya. Jangan jauh-jauh dari ibu. Aku yakin istriku yang cantik ini cukup sabar menghadapi mereka. Kalau ada kata-kata yang teramat menyakitkan, anggap angin lalu saja ya, Sayang. Jangan diambil hati." Fatih tersenyum lalu mengusap p**i kiri istrinya pelan.
Tasya masih terdiam di tempat. Dia melihat laki-laki yang menikahinya dua minggu lalu itu melangkah tergesa ke arah bapak yang sibuk menata kursi. Di saat itu p**a, Warsih melotot sembari berkacak pinggang lalu menunjuknya lagi.
"Cepat sana!" sentak wanita paruh baya itu saat melihat Tasya yang belum beranjak dari tempatnya berpijak.
"Iya, Bude. Kalau minta tolong jangan bentak-bentak d**g, saya bukan pembantu," balas Tasya setengah kesal saat wanita itu mendorong bahunya kasar.
Tadinya dia tak ingin membalas seperti yang dipesankan Fatih, tapi saat merasakan dorongan kasar itu, mendadak mulutnya tak bisa diajak kompromi. Kata-kata itu muncul begitu saja dari sana.
"Apa katamu? Kamu nggak tahu kalau keluarga suamimu memang pembantu? Mereka terbiasa bantu-bantu di rumahku sejak dulu demi seliter dua liter beras. Kamu kan menantunya, jadi sama saja kamu pembantuku. Jadi, jangan ngelunjak!" Warsih semakin mengeraskan suaranya, seolah sengaja agar beberapa tetangga atau tamu yang datang menoleh ke arah mereka, termasuk Fatih.
Seperti yang Tasya duga, para tetangga mulai saling bisik sembari menatapnya lekat lalu mengalihkan pandangan pada Warsih yang terus mengomel. Tasya yakin mereka sedang membicarakannya.
"Kamu itu baru jadi menantu dua minggu lalu. Jadi, jangan sok tahu dan sok jadi pahlawan kesiangan! Memangnya kamu punya duit untuk beli beras dan bayar hutang-hutang mereka selama ini? Datang ke sini saja kamu nggak bawa apa-apa. Bahkan nggak jelas keluargamu di mana. Pakai membantah perintahku segala! Kamu itu cuma numpang dan menambahi beban suami dan mertuamu. Makanya, cepat bantu mereka sana! Jangan pernah menolak disebut pembantu karena dari dulu kerjaan mereka memang membantu ini dan itu di rumahku. Paham!" Warsih semakin meninggikan suaranya.
"Meskipun ibu dan bapak bantu-bantu di rumah bude, tak sepantasnya bude memperlakukan mereka seperti ini. Walau bagaimanapun mereka saudara bude, bukan orang lain," tukas Tasya masih tak terima.
Fatih menoleh. Dia kembali mendekati istrinya lalu mengusap punggungnya pelan.
"Sayang, sudah jalan diladeni. Malu dilihat banyak orang. Kamu cari ibu di dapur saja ya? Nggak usah ikut duduk di sini," bisik Fatih sembari melirik ke kanan-kiri.
Beberapa tetangga dan kerabat sudah mulai berdatangan. Mereka tak ada yang membela. Seperti biasa hanya saling bisik dan takut pada Warsih yang cukup terpandang di desa itu.
"Sekadar duduk di sini pun nggak boleh, Mas?" Tasya cukup kaget mendengar permintaan suaminya.
"Iya! Kursi-kursi itu kusewa untuk para tamu undangan. Mereka biasanya memberikan amplop untuk kedua mempelai, sementara kamu paling cuma mau numpang makan. Mana mungkin bawa amplop, sekalipun bawa isinya cuma berapa," sentak Warsih lagi yang diikuti anggukan kedua anak perempuannya.
"Maaf ya, Bude. Saya pikir kedatangan kami ke sini memang untuk menghadiri hajatan, bukan malah disuruh ke dapur sebagai pembantu. Tadinya saya mau ngasih amplop ini buat mempelai, tapi melihat kejadian ini saya urungkan. Daripada buat mempelai, mending dimasukin ke kotak masjid dapat pahala," ujar Tasya tak mau kalah.
"Halah lagaknya mau ngasih amplop segala. Paling isinya satu lembar lima ribuan atau mentok lima puluh ribu. Sama sajalah, anggap itu buat bayar makan mereka sekeluarga. Tetap saja judulnya cuma numpang makan." Calon pengantin perempuan itu tersenyum sinis.
"Nggak perlu berlagak seperti nyonya, kalau kerjamu saja cuma jadi pembantu di warung makan!" ujar Warsih lagi. Tasya menatap perempuan dengan rambut disanggul itu lekat lalu membuka amplop yang berisi lima lembar seratus ribuan miliknya. Amplop yang tadi dibeli suaminya dari minimarket.
"Kalian pikir saya cuma numpang makan? Saya buka di sini dan saksikan sendiri berapa isi amplop ini. Kalian bisa menghina suami dan kedua mertua saya, tapi itu dulu sebelum saya datang, Bude. Mulai sekarang saya nggak akan membiarkan mereka diperlakukan semena-mena seperti ini. Mereka bukan pembantu, mereka saudaramu!" tukas Tasya sembari memperlihatkan lima lembar uang seratus ribuannya itu.
Warsih tersentak. Dia benar-benar kaget melihat isi amplop Tasya yang di luar dugaan. Lebih kaget lagi mendengar balasan tak terduga darinya.
"Sayang, sudah. Kumohon cari ibu di dapur. Jangan membuat masalah, nanti akan semakin panjang." Fatih kembali memohon.
Melihat ekspresi suaminya yang tak nyaman dan begitu mengiba, akhirnya Tasya mengalah. Dia menghela napas panjang lalu mengangguk pelan.
"Maafkan aku ya, Mas. Aku benar-benar shock melihat perlakuan mereka padamu dan keluargamu." Tasya berkaca-kaca, sementara Fatih kembali mengusap punggungnya pelan.
"Nggak apa-apa, Sayang. Wajar kamu sekaget ini. Sudahlah. Ke dapur ya? Biar aku bantu bapak lagi. Kasihan bapak sendirian."
Tasya pun mengangguk. Dia melangkah pergi saat Fatih kembali membantu bapaknya menata meja dan kursi.
"Heh, kamu! Berhenti! Jangan kabur begitu saja! Aku belum selesai bicara!" Warsih menghampiri Tasya sembari menarik lengannya kasar.
Wajah perempuan itu memerah karena marah dan mungkin malu sudah menuduh Tasya begini begitu soal amplop itu. Nyatanya isi amplopnya di luar dugaan.
"Ada apalagi, Bude? Masih mau menuduh saya macam-macam lagi?"
"Kalau memang mau nyumbang dan nggak numpang makan doang, kasih amplopnya buat Niken d**g! Kenapa kamu masukin saku lagi?!" tukas Warsih sedikit mengurangi volume suaranya.
Tasya melipat tangan ke dada lalu tersenyum tipis.
"Bukannya saya sudah bilang kalau uang ini lebih baik saya masukan ke kotak masjid daripada saya masukan ke kotak itu?!" balas Tasya begitu menohok sembari menunjuk kotak uang di samping pelaminan.
"Kamu!" Warsih nyaris menampar p**i Tasya, tapi perempuan itu buru-buru menangkis tangan Warsih.
"Jangan pernah menyakiti saya, apalagi menyakiti keluarga suami saya, Bude. Mulai sekarang saya tak akan tinggal diam jika bude terus berbuat ulah pada mereka. Paham?!" ujar Tasya lagi dengan sedikit penekanan membuat wajah Warsih semakin memerah penuh amarah.
***
Link Cerita di kolom komemtar ya.
Judul : AIR MATA SANG MERTUA
Penulis : NawankWulan
CERITA INI ADA DI KBM APP