06/02/2020
KEKASIH YANG KAU ABAIKAN
"Dion kamu di mana sih? Berat amat apa yah buat bales chat gue? Apa segitu sibuknya sampai buat ngabarin aja gak bisa?"
Keluh gadis itu seraya membolak-balikkan ponsel miliknya, bingung dengan keadaan kekasihnya yang belakangan ini makin jarang mengabarinya. Sebenarnya Raina sudah terbiasa di abaikan oleh pacar kesayangannya itu, tapi tidak sampai seperti ini. 2 hari ini Dion sama sekali tidak mengabari apa pun padanya. Terkadang Dion mengabarinya, walau pun jarang. Kecewa? Ya dia memang sangat kecewa akan sikap Dion padanya. Tapi, sedikit pun tak pernah ia tunjukkan perasaan itu pada Dion. Rasa putus harapannya, semakin lekat di hatinya. "Mungkin berpisah akan lebih baik!" Pikirnya. Tapi, sekali lagi, nuraninya belum sepenuhnya rela melepas Dion. "Bertahanlah sedikit lagi!" Begitu bisiknya setiap kali rasa jenuh membajiri batinnya. Itulah mengapa hingga 2 tahun ini ia mampu bertahan dalam hubungan yang tak seimbang. Satu hal yang menjadi harapannya, kelak sepenuhnya Dion menoleh ke arahnya. Walau pun sulit, Raina masih tetap berjuang menyempurnakan posisinya di hati Dion.
"Ya elah Rain, pacar kayak gitu masih aja lu pertahanin. Lu tuh cantik? Iya, baik? Iya. Sayang banget lu harus buang waktu buat Dion. Gue yakin di luar sana masih banyak kok yang mau, dan nunggu lu buat di jadikan pacar, atau mungkin buat di jadiin istri. Sayang boleh aja, tapi gak gitu juga kali Rain, kayak gak ada yang lain aja!" Ujar Jessica.
Jessica sudah sering kali menasehati Raina, dia tidak ingin terus-terusan melihat sahabatnya itu murung. Seperti yang sudah-sudah, Raina tak pernah mau mendengarkannya. Cinta yang di milikinya jauh lebih besar di banding kecewanya.
Berbanding terbalik dengan Raina yang gelisah menunggu kabar darinya, justru Dion di luar sana menikmati waktunya tanpa Raina. Bersama Nara, kekasih lain Dion.
Berbeda dengan Raina yang terpaksa ia pacari karna keingingan kakaknya, Nara memang sudah lama ia idamkannya, dan sekarang menjadi kekasihnya. Hanya saja terhalang restu dari kakaknya, yang tidak begitu menyukai Nara. Bukan karna paras, tapi kepribadian Nara yang menurut Dimas, tidak cukup baik untuk Dion. Dimas hanya tak mau adiknya terbawa pengaruh buruk, jika dekat dengan Nara. Berbeda dengan Raina yang sudah di kenalnya sejak kecil.
Raina tak pernah menuntut banyak dari Dion, ia pun sadar akan posisi dirinya di hati Dion. Ia pun tak mungkin memaksakan seseorang untuk menyayangi dirinya, seperti ia menyayangi orang itu. Namun bukan Raina yang meminta pada Dion untuk menjadikannya kekasih. Sama sekali tak pernah ia meminta akan hal itu. Rasanya tak adil, Raina harus menyanggung siksa atas apa yang sama sekali bukan salahnya. Dion sendiri yang datang pada Raina, memohon agar ia mau menjalin kasih dengannya. Raina pernah menolak, namun Dion memaksakan diri agar Raina mau menerimanya sebagai pacar Raina. Dengan segudang janji, yang pada nyatanya tak bisa ia tepati. Hanya untuo sebuah tujuan 'kebebasan'. Bebas dari kekangan seorang kakak, dengan menjadikan Raina sebagai alasan.
"Rapih amat! Mau ke mana?"
Sesaat langkah Dion terhenti mendengar suara Dimas.
"Ini loh kak, Raina ngajak jalan, biasa.. kangen katanya!" Jawabnya santai.
Tanpa curiga, Dion membiarkan Dion pergi. Tapi sebelum itu, ia meminta agar Dion menghungi Raina di hadapannya. Terpaksa Dion harus mengajak Raina bersamanya, agar Dimas tidak mencurigainya.
Raina begitu semangat menerima ajakan Dion. Ia pilihkan dress terbaik, merias diri secantik mungkin. Berharap agar Dion senang melihatnya dan tak malu kencan dengannya.
Seketika semua harapannya sirna, saat Dion menghentikan laju mobilnys, tepat di halaman rumah Nara. "Lo tunggu di sini!" Perintahnya.
Sakit rasanya hati Raina, melihat Dion menggenggam tangan Nara saat ke luar dari rumah itu. Sementara, saat menjemputnya, Dion hanya menunggu dalam mobil saja, bahkan tak menghampiri pintu rumahnya sama sekali.
"Gak pa-pa Rain!" Katanya menguatkan hati.
"Pindah lu!" Ujar Nara, memintanya pindah ke kursi belakang, agar dia bisa duduk di samping Dion.
"Perempuan gila!!!" Geramnya dalam hati. Tapi ia bukan orang yang egois, ia lebih s**a mengalah di bandingkan harus bertengkar.
Tak habis di situ, Raina masih harus menahan nafas saat pacarnya, memanjakan perempuan itu di hadapannya. Sedangakan keberadaannya seperti tidak berarti apa-apa. Dan akhirnya air matanya, tak bisa ia bendung. Seketika tumpah, saat Dion memeluk Nara di hadapannya. Sedangkan dia? Jangan di peluk seperti itu, memandangnya saja, dion seakan jijik.
Gadis yang malang..
Kekasihnya hanya datang padanya saat butuh bantuannya.
Kekasih yang hanya sebagai selingan sepi, mengisi ruang di mana wanita lain mengabaikan Dion.
Entah sampai kapan Raina akan bertahan dengan orang yang sama sekali tidak perduli akan dia. Sudah terlanjur sayang, lalu mau di bagaimanakan?
Sebenarnya Raina sudah hampir menyerah, tapi dia tak punya cukup nyali untuk melepas Dion.
"Loh kok abis jalan sama pacar pulangnya nangis?" Tanya ibunya.
Raina enggan bebagi cerita dengan ibunya, ia takut sama seperti sahabatnya, ibunya akan memintanya meninggalkan Dion. Rasanya itu tak mungkin ia lakukan. Tapi menyimpan bebannya sendiri rasanya menyakitkan. Ia sadar, ia butuh teman untuk sedikit ringankan beban di hatinya.
"Cerits d**g sayang!" Ucapnya, sembari mengusap rambut Raina.
Perlahan Raina tumpahkan semua beban yang mengikat batinnya. "Dion bu, Dion punya pacar lain!"
"Semua tergantung sama kamu sayang, tanyakan pada hatimu, apa Rain masih masih mau bertahan? Atau..? Ibu yakin Rain pasti tau jawabannya, karna Rain yang ngejalinin ini semua!"
Nasehat ibunya perlahan membuat membawa Raina mencerna apa yang ia harus lakukan dengan hubungannya.
Semakin hari kehadiran Nara membuat Raina semakin tak di hargai. Dion pun semakin menunjukkan sikap siapa yang ia inginkan, dan Raina sadar ia sudah tak di butuhkan. Bertahan di antara mereka hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Dion dan Nara bahkan sudah tak sungkan membawa hubungan mereka ke hadapan banyak orang.mereka bahkan makin berani memamerkan kebersamaan di media sosial.
"Rain, lu yakin masih mau bertahan? Saran aja nih ya, mending lu putusin aja!" Kata Jessica
"Iya Rain, mending putus aja deh!" Sahut Rasty.
Sahabat Raina bahkan sangat mendukung bila Raina berpisah dari Dion. Mereka tau Raina sudah sangat menderita. Semua hanys tinggal menunggu keputusan Raina.
Raina kini berani mengambil sikap, melawan perasaanya pada Dion. Gelisahnya, rindunya, kini ia abikan, seperti dion mengabaikannya.
Justru Dion yang kini merasa harinya aneh tanpa kabar dari Raina. Pesan, WA, telepon semua tak menunjukkan kabar Raina. "Tumben?" Ia sebenarnya sedikit kehilangan tapi ia membantah perasaan itu. "Baguslah! Gue jadi bebas, gak ada lagi yang ganggu hubungan gue sama Nara!"
Sebulan lebih sudah di laluinya tanpa sedikit pun menerima kabar dari Raina. "Dia ke mana ya?" Makin sulit sembunyikan resahnya.
"Bang Dimas tau gak Rain di mana, kok sebulan ini dia gak ada kabar?"
"Gak tau! Emang Rain gak ngàbarin kamu? Kamu kan pacarnya!"
"Itu dia bang, biasanya sih Rain selalu ngabarin. Tapi, sebulan ini dia gak ngabarin sama sekali!"
"Samperin aja ke rumahnya!" Ujar Dimas, dan berlalu dari hadapan Dion.
Dion coba mencari Raina ke rumahnya, tapi tak ada tanda-tanda keberadaannya di sana. Dion juga sudah bertanya pada sahabat Raina, namun tak satu pun memberi tau tentang Raina.
Dion kembali mencoba menelpon Raina, tapi, ia tak menjawab. "Mungkin dis gak denger?" Pikirnya. Tapi kok Raina tak menelponnya kembali? Beberapa menit ponselnya berdering. 'Nara' tertulis di layar ponselnya, dan ia abaikan. Saat ini ia hanya menunggu kabar Raina, bukan Nara.
"Kamu di mana? Kok gak di angkat? Anterin aku ya, aku mau ketemu teman-teman aku sekarang! -Nara-"
Dion hanya melihat isi pesan itu, dan tidak menanggapinya sama sekali.
Ponselnya kembali berdering singkat. "Aduh apa lagi sih ini?" Ia nyalakan layar ponselnya.
" besok aku ke rumah kamu ya. -Raina-"
Rasanya hati Dion sangat bahagia menerima pesan dari Raina. Rasanya hingga malam pun ia tak bisa pejamkan mata, tak sabar menunggu besok tiba.
Esok hari..
"Wiih, wangi banget Dion!" Ledek dimas dan istrinya.
"Raina mau ke sini!" Jawabnya semangat.
Tak lama... "assalamuaikum.." Dion bergegas membuka pintu, dia tau itu pasti Raina.
"Waalaikumsalam.. masuk Rain!" Ajaknya.
"Rain aku kangen banget sama kamu. Kamu ke mana aja sih? Aku senang akhirnya kamu dateng."
Rasanya ia ingin bercerita banyak hal, sampai Raina tak sempat menjawab ia terus saja bicara.
"Rain, aku minta maaf ya, aku banyak banget salah sama kamu! Kamu mau kan maafin aku?"
"Iya aku maafin" jawabnya.
"Rain kita perbaiki ya hubungan kita yang hampir rusak karna kebodohan aku. Aku janji kali ini tanpa Nara atau wanita mana pun selain kamu!"
Kali ini sebenarnya Dion bersungguh hati.
"Maafin aku ya, aku gak bisa!" Tegas Raina.
"Tapi..." tak habis kalimat Dion.. Raina meletakkan selembar undangan di tangan Dion. "Aku ke sini cuma mau nganterin ini. Maaf benget aku baru sempat ngabarin kamu sekarang. Aku harap besok kamu, ķak dimas, dan kak Nisya bisa datang ke pernikahan aku dan Rangga. Oh ya ajak Nara sekalian."
Dion hanya bisa diam mendengar jawaban Raina, sambil terus memandangi selembar udangan di tangannya, dengan sampul berhiasa nama ukiran Nama Raina & Rangga di atasnya.
"Kamu jangan sia-sia'in Nara ya, karna dia pilihan kamu. Oh ya aku doain biar kamu dan Nara bisa cepet nyusul aku ke pelaminan.."
Pada akhirnya Raina kini bisa menemukan senyuman dalam cintanya, meski itu bukan bersama Dion, namun bersama Rangga. Tak sedikit pun hungannya bersama Dion tak memberi penyesalan baginya, Dion tetap seseorang yang cukup lama berada di hatinya.
Di sisi lainnya Dion sadar Penyesalan tak pernah ada di depan. Wanita yang dulu berjuang untuknya, bersolek untuknya, hari ini tampak sangat cantik, di hiasi gaun putih, ia tampak seperti bidadari, tapi kali ini bukan untuknya. Ini memang berat tapi ia harus terima. Kini si pengganggu itu telah benar-benar pergi darinya. Tak ada lagi yang menanyakan kabarnya setiap hati, tak ada lagi yang menyibukkan harinya. Si pengganggu itu kini hanya akan menyibukkan harinya dengan lelaki yang telah menjadikannya istri.
Terkadang hati terlambat menyadari dia yang berarti. Namun tak harus menunggunya pergi, untuk ia pantas di hargai.
-SELESAI-