27/03/2022
*FELIX SIAUW & NEO-OTTOMANISME*
Bagi orang-orang yang memiliki minat mendalam terhadap studi agama-agama, yang selalu memiliki semangat belajar dan memperkaya pengetahuan serta memperdalam ilmunya, tentu saja ia akan mengetahui padanan dari berbagai istilah dalam studi antropologi agama.
Nabi adalah orang yang menyampaikan nubuat (wangsit atau wahyu berupa ramalan untuk menghadapi masa depan berdasarkan fenomena dan pola pada masa lalu dan masa kini, yang dapat dicerap dalam kontemplasi berkesadaran). Nama lain bagi nabi adalah prophet, resi, atau buddha, dsb. Para penyampai risalah, yaitu pesan-pesan nubuat yang biasanya berupa kitab sastra sakral maupun tradisi lisan (seperti sejarah lisan, hadis, sastra lisan, dst), biasa disebut sebagai rasul, apostle, messenger, atau avatar, dsb. Seseorang bisa jadi adalah nabi dan rasul sekaligus. Setiap rumpun bahasa punya istilah masing-masing untuk itu.
Yang saya sampaikan adalah pengertian yang umum, yang meliputi seluruh bentuk keagamaan atau hasil kebudayaan, sesuai studi nafsiologi yang di antaranya mencoba mempelajari alam kemanusiaan dari segi antropologi agama, selain sejarah, sastra, psikologi, sosiologi, seni, dsb.
Setiap peradaban memiliki nabi/resi masing-masing, berdasarkan mitologi masing-masing. Peradaban India, misalnya mempunyai Tujuh Resi utama, salah satunya adalah Waiswamitra yang menghasilkan doa puisi atau mantra paling indah dalam bahasa Sanskrit: Gayatri. (Hehehe). Jadi, Waiswamitra adalah seorang nabi di peradaban India, dan Gayatri adalah puisi mahaindah yang diterimanya sebagai wahyu atau ilham yang dapat digunakan untuk berdoa, bersembahyang, dan berkontemplasi.
Alquran mengatakan bahwa di setiap peradaban dan di setiap waktu, Elohim/Allahumma mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul. Elohim atau Allah adalah nama lain bagi Sang Pencipta sekaligus Sang Nafs (Sang Diri) yang memberi nafas pada setiap kehid**an, bahkan pada mineral, bebatuan, dan unsur-unsur utama di alam semesta. Itulah Tauhid.
Pernyataan Alquran tersebut harus dipahami bahwa setiap peradaban juga memiliki sistem sampradaya dan sistem parampara masing-masing, dan sistem itu dilihat dari kump**an mitologi utama masing-masing. Pernyataan tersebut tidak boleh dipahami secara Manifest Destiny atau secara Iman Kain, bahwa ada sistem parampara dan sistem sampradaya yang paling unggul dan paling puncak untuk menyelamatkan seluruh manusia dengan mengikuti sistem dan tatanannya.
Misalnya, Hinduisme sebagai agama yang namanya berdasarkan toponim (nama tempat: Hindia), kump**an mitologi utamanya adalah Ramayana dan Mahabharata. Maka, dalam sistem sampradaya di Hinduisme, para mursyid mereka mengajarkan berdasarkan kump**an mitologi utama tersebut, bersama-sama dengan teks-teks sastra sakral seperti Empat Weda.
Konon, Gayatri adalah Weda yang utama (Wedhotomo, bahasa Jawa-nya), dan Weda yang Utama menjadi nama bagi teks sastra sakral Jawanisme paling indah dari abad 18 M, yaitu Serat Wedatama. Wujud manusia dari mantra Gayatri dan serat Wedatama adalah Gayatri Wedotami (wkwkwkwkkw). Jika di (benua) Hindia kump**an mitologi utamanya adalah Ramayana dan Mahabharata, di Jawa yang merupakan bagian dari kep**auan Hindia, ada tambahan mitologi yang berkaitan dengan agrikultur yaitu Dewi Sri atau Nyai Pohaci Asri.
Nah, begitu p**a di Peradaban Mesopotamia yang meliputi Peradaban Bulan Sabit Subur, telah muncul suatu sistem sampradaya dan sistem parampara dari kelompok Trans-Semit sekitar 3760 SM, yaitu kelompok transhuman yang biasa berhijrah atau merantau karena mata pencaharian mereka sebagai pedagang dan pelaut maupun karena spiritualitas dan pandangan dunia mereka.
Pada umumnya sarjana dan orang awam menganggap Islam, Kristen, Yahudi, Samaritan, Sabian/Mandean, Druze, Bahai, dan Mani adalah agama-agama Ibrahimiyah. Hal itu semata-mata didasarkan pada teologi serta kump**an mitologi mengenai Ibrahim yang diterima dalam transmisi komunitas-komunitas agama tersebut.
Namun, sebenarnya banyak sekali agama sampradaya dan agama rakyat di Peradaban Mesopotamia, Peradaban Mesir, Peradaban Anatolia, dan sekitarnya di mana terdapat kaum perantau Trans-Semit yang tidak menerima transmisi kump**an mitologi Sinai dan Daud, sebagaimana Islam, Kristen, Yahudi, Samaritan, Sabian/Mandean, Druze, Bahai, dan Mani.
Karena salah satu hal itulah, saya menyebutkan Islam, Kristen, Yahudi, Samaritan, Sabian/Mandean, Druze, Bahai, dan Mani sebagai rumpun agama Sinaisme atau Kearifan Sinai. Bukan Ibrahimiyah. Ini karena Islam, Kristen, Yahudi, Samaritan, Sabian/Mandean, Druze, Bahai, dan Mani menerima kump**an mitologi mengenai Adam, Abel-Kain, Enokh/Khidir/Idris, Nuh, Ibrahim, Ayub, Sinai, dan Daud. Rumpun Sinaisme tak hanya meliputi teologi, tapi juga antropologi, sosiologi, dan kesusastraan.
Walau demikian, Islam, Kristen, Yahudi, Samaritan, Sabian/Mandean, Druze, Bahai, dan Mani telah menjadi entah agama konsensus, atau agama imperial, atau agama imperial-konsensus, dan nyaris hampir tak lagi memelihara agama sampradaya. Kecuali sangat sedikit. Apalagi, Mani telah punah. [Sila lihat grafis pada kolom komentar mengenai definisi agama berdasarkan sistem pengambil kebijakan].
Felix Siauw merupakan anggota HTI, dan kini HTI adalah ormas terlarang di NKRI. Organisasi tersebut tidak lain adalah kelompok Neo-Ottomanis yang menganut agama Islam imperial-konsensus berdasarkan nilai-nilai dan doktrin-doktrin imperial-konsensus Ottoman. Islam imperial-konsensus tentu saja sangat berbeda dengan Islam sampradaya dan tidak memiliki sistem parampara yang secara tradisional dipraktekkan dari generasi ke generasi dengan sanad/silsilah yang jelas dan berkelanjutan.
Ketika Umayyah mengambil alih Islam sampradaya yang populer pada abad 7 M sebagai identitas politik kekaisaran mereka untuk menandingi Romawi dan merebut Persia, Umayyah mengambil Alquran dari para resi parampara sebagai identitas politik. Pada masa Abbasiyah, sosok Sang Nabi Muhammad kemudian dipadatkan dan dikanonisasi untuk menjadi identitas politik yang baru melalui ribuan hadis yang diproduksi dari berbagai tradisi lisan tentang Sang Nabi Muhammad.
Setelah Alquran dan Rasulullah Muhammad SAW (termasuk sosok dan hadis-hadis) menjadi dua totem identitas politik, Ottoman memapankan dua totem itu sebagai berhala untuk politik identitas, untuk Islam Politik, demi melanjutkan cara-cara Manifest Destiny dari Umayyah dan Abbasiyah.
Neo-Islam seperti Ottomanisme, Neo-Ottomanisme, dst menjalankan Manifest Destiny yang dapat saja berbahaya dan destruktif karena ingin menjadikan seluruh dunia dalam tatanan satu gereja bernama Islam, alias khilafah, dengan dalih keselamatan dan mengeksploitasi slogan rahmatan lil alamiin. Tentu saja Rasulullah Muhammad SAW yang menganut Islam sampradaya, tidak mengajarkan semua ini, melainkan nama dan ajaran Beliau dicatut oleh mereka ini!!!
Apa yang dilakukan Ottoman dapat dipahami untuk menandingi Kekristenan Barat yang saat itu juga sangat Manifest Destiny, dan Kekristenan Timur yang sedemikian nasionalis (bahkan ultranasionalis). Jadi, mereka semua hanya memanfaatkan agama-agama sampradaya dari Muhammad, dan Yesus Kristus, untuk imperialisme mereka, untuk syahwat politik mereka.
Maka, dapat dimaklumi ketika Felix Siauw atau admin dari akun Felix Siauw ini secara medioker mengira bahwa nabi hanyalah nabi-nabi dari kaum Trans-Semit (yang biasa dikenal juga sebagai Bani Israil, Yahudi, dan Bani Ismail).
Khong Huchu adalah seorang nabi/resi yang mendirikan sistem sampradaya dan sistem parampara-nya sendiri lebih dari 2500 tahun lalu, tepatnya pada era yang disebut sebagai “Era Seratus Mazhab/Sekolah Filsafat”. Karl Rahner menyebut era ini terjadi ketika seluruh dunia berada dalam Zaman Aksial, zaman ketika para nabi seperti Buddha Gautama, Daniel, Mahawira, dan nabi-nabi Tiongkok pada era tersebut hidup menyampaikan nubuat dan risalah mereka.
Kump**an mitologi dalam sistem Era Seratus Mazhab Filsafat itu berkaitan dengan dewa dan dewi atau konsep ketuhanan setempat yang meliputi keyakinan terhadap Tian (Elohim versi Peradaban Tiongkok dan Mongolia), dan pemujaan kepada leluhur (yaitu tawasul dan tabaruk kepada para rasulullah, nabiullah, dan waliullah versi Peradaban Tiongkok).
Mitologi Tiongkok favorit saya antara lain mengenai Zhaojun (Baca: chaocun, 灶君) Sang Dewa Dapur, etiologi Bulan Hantu Lapar, dan etiologi Cheng Beng.
Selain Khong Huchu ada nabi-nabi lain seperti Lao Tzu dan Mo Tzu. Favorit saya adalah Nabi Mo Tzu. Sayangnya, Mohisme telah punah, meski Neo-Mohisme tampak pada kaum Tionghoa yang menganut sosialisme dan komunisme. Pada abad 19 M, ada seorang rasul Tionghoa yang fenomenal, yaitu Hong Xiukuan, yang mendirikan Kerajaan Surgawi, menggabungkan keimanan versi Sinaisme dengan keyakinan kepada Yesus Kristus dan Dekalog, tetapi melakukan vernakularisasi: melakukan paipai, membakar d**a dan kertas, untuk para leluhur sebagai tawasul dan tabaruk mereka khususnya pada waktu Sabat.
Ya, tentu saja, melihat Hong Xiukuan, leluhur itu tidak harus leluhur biologis yang jelas kentara. Kadang-kadang kita juga terkejut ternyata hasil tes DNA menunjukkan kita punya leluhur dari negeri-negeri yang asing. “Kok bisa?” Ya, bisa, kan nenek moyang kita sudah lama menjadi transhuman dari Afrika sampai ke Amerika.
Jadi, ada juga leluhur spiritual. Ada anak biologis, ada anak kandung. Maka, ada p**a anak angkat, ada anak tiri, dan ada anak ideologis. Dalam sistem parampara, ada anak spiritual yang melanjutkan silsilah para nabi dan rasul sebagai para mursyid. Dalam sistem sampradaya, ada keturunan spiritual yang menerima transmisi ilmu dan kearifan dari suatu silsilah para nabi dan rasul sebagai para mursyid.
Dalam konteks Felix Siauw, saya tidak yakin yang bersangkutan merupakan keturunan spiritual dan anak spiritual dari Nabi Muhammad SAW jika menganut Neo-Ottomanisme. Saya pikir, dia telah tercerabut dari sistem sampradaya dan sistem parampara Tionghoa, karena berlatarbelakang Kristen imperial-konsensus dan akhirnya menganut Neo-Ottomanisme.
Tentunya berbeda dengan Gayatri Wedotami alias Hefzibah. 😁 Ia bukan hanya mengetahui silsilah biologisnya sebagai orang Jawa dan Peranakan Tionghoa, tetapi juga menerima ijazah yang di antaranya berupa silsilah parampara dari para leluhur spiritualnya -- dari Ali Haidar ke Bektash Wali ke Muhammad - ke Yesus Kristus - ke Eliyahu - ke Daud - ke Musa - ke Ibrahim - ke Nuh - ke Enokh/Khidr/Idris.
Di Indonesia ada begitu banyak peranakan atau keturunan hibrida berbagai bangsa. Peranakan dan keturunan Tionghoa sangat banyak melebihi etnis-etnis lainnya yang non-Austronesia. Selain itu, kementerian agama sudah sepatutnya kementerian bagi seluruh agama yang dianut rakyat Indonesia. Bahkan, sejak era Gus Dur, kita tahu Konfucianisme adalah agama ke-6 yang diakui setelah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha; (bukan berarti agama lain dilarang ya!!!).
Mungkin, Gayatri Wedotami alias Hefzibah tidak dapat menunjukkan bukti material bahwa ia adalah keturunan Nabi Muhammad dan Nabi Khonghuchu, dan hanya bisa memastikan dirinya adalah keturunan Pangeran Sambernyowo dan Joko Tingkir berdasarkan kekancingan tradisional Jawa. Tetapi, dengan menganut Islam sampradaya, Gayatri Wedotami jelas adalah seorang keturunan spiritual Nabi Muhammad. Dan, dengan selalu menekuni Kearifan Tionghoa, Gayatri Wedotami adalah juga keturunan spiritual Nabi Khong Huchu, Nabi Lao Tzu, dan Nabi Mo Tzu. Tidak melupakan akar, dari mana pun akarnya, sebagai hibrida atau peranakan segala bangsa.
😍😍
“Semoga Nabi Waiswamitra dan Mangkunegara IV mendoakan saya melalui nama saya.”
“Selamat memperingati Haul Nabi Khonghuchu kepada seluruh saudara Tionghoa terkasih!”
Siddhamastu,
Syekhah Hefzibah.