19/10/2022
Simfoni Bunga Rumput Part 1
Pagi yang sibuk. Pagi yang meramalkan siang nan garang dan berkeringat. Seperti biasa di musim kemarau. Sosok-sosok dengan wajah tegang, yang keluar dari rumah-rumah petak sempit dengan tatapan malas, menyusuri trotoar, menjejali halte, berharap mendapatkan tempat duduk cukup untuk beristirahat hingga tempat kerja masing-masing. Jangan bayangkan hanya lima atau sepuluh menit. Terkadang sampai dua jam. Apalagi jika jalanan macet. Karena itu, sebagian dari mereka, akhirnya nekad memilih berzig-zag di antara kendaraan-kendaraan roda empat yang merayap pelan dengan motor kreditan—yang juga dikredit dengan nekad p**a. Di sebuah jalan di daerah Jakarta Timur, kondisi tak kalah semerawut. Ibarat pembuluh yang dialiri darah melebihi kapasitas, dengan dinding-dinding yang ruangnya dikorupsi kolesterol.
Kinanti menghela napas panjang, menata kesabaran. Lampu merah telah berubah hijau, dan kembali merah, sedangkan ia masih belum memiliki kesempatan untuk meng-gas motor bututnya. Peluh mengucur, padahal belum ada satu jam ia membersihkan badan, tadi pagi. Matahari belum tinggi betul, tetapi panasnya sudah mulai menyengat
Inilah Jakarta! Salah sendiri, menceburkan diri di kota tempat bermuara segala jenis kesibukan. Bukan salah dia! Ia tak pernah merencanakan hidupnya bakal menjadi bagian dari kota megapolitan ini. Semua ini karena ….
Lampu hijau menyala. Kinanti menarik gas. Mobil buntutnya meluncur.Jadi, semua ini salah siapa? Bukan salah Bapak dan Ibu. Mereka pun tak ingin anaknya yang bungsu ini kuliah jauh-jauh di Jakarta. “Di dekat Wonogiri juga banyak perguruan tinggi yang bagus. Di Solo atau Yogya, atau Semarang. Tak harus ke Jakarta.”
Akan tetapi ….Sepasang mata Kinanti melebar. Seperti derap banteng pada pertunjukan matador yang tengah mabuk, sedan merah itu tiba-tiba nyelonong begitu saja di tengah lalu lintas pagi yang padat dan semerawut, melanggar marka jalan dengan sewenang-wenang dan melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Gawat! “Astaghfirullah!” Kinanti berteriak kaget. Sontak ia menginjak rem, lalu membanting setang ke kiri. Namun tak ayal, benturan pun terjadi. “Daaar! Gubrakk!!” Lumayan keras.
Kinanti merasakan motornya bergoyang ala penyanyi dangdut, limbung, dan ia sendiri terpental membentur bahu trotoar. Untung tanaman hias yang tumbuh rimbun di trotoar itu mampu menjadi bantalan empuk yang cukup membuatnya terselamatkan. Coba jika ia terpental tepat di tepi saluran paceran dekat rumpun tanaman hias, yang aromanya jauh lebih busuk dibanding seratus ton terasi busuk (memang ada terasi yang nggak busuk?). Kejadiannya tentu akan jauh lebih menyeramkan. Mungkin ia akan bermetamorfosis menjadi memedi sawah dengan muka belepotannya, atau bahkan hantu yang muncul di siang hari karena lumpur busuk yang berwarna hitam itu melumuri sekujur tubuhnya.
Tetapi, meski tidak harus menjadi memedi sawah atau hantu yang gentayangan di siang bolong, tetap saja sekujur tubuhnya terasa nyeri. Mungkin ada beberapa luka menggoresi tubuh terbungkus jilbab rapinya. Mungkin ada darah yang mengucur. Mungkin juga fraktur tulang. Mungkin ….
Uh, dasar sopir berandalan! desisnya jengkel, seraya mencoba tertatih bangkit. Nanar tatapannya mengarah pada sedan merah yang beringsut menepi. Pengemudinya, semula ia pikir seorang lelaki gondrong bertampang preman yang tengah mabuk berat, ternyata seorang gadis belia dengan pakaian supermodis, jeans ketat, kaos ngatung dan kacamata hitam. Ia keluar, menghampirinya, bukan untuk menolong, tetapi ….
“Brengsek! Kalau jalan lihat-lihat d**g! Mobil gue lecet, tahu nggak Lo?” Dih, bukannya minta maaf, malah marah-marah? Kinanti mengerutkan kening, seraya menggigit bibirnya, bengong. Kerumunan orang yang mencoba menolongnya pun terlongong. Begitu juga para sopir dan penumpang mobil yang terpaksa harus bersabar dengan kemacetan yang kembali terskesta.
“Hei, Non! Jaga sikap kamu! Bukannya kau yang melanggar marka jalan?” tanya seorang bapak dengan tampang gahar, tampak sebal dengan sikap tak ramah si kacamata hitam itu. “Makanya, kalau jalan … jangan asal jalan. Main kebut aje. Kalau mau kebut-kebutan, di sirkuit sono! Jangan di tempat umum kayak gini. Emang ini jalan milik nenek moyang kamu?”
Kinanti menoleh kearah si bapak, lalu mengacungkan ibu jarinya sembari tersenyum senang karena merasa dibela oleh si bapak itu. Namun si gadis rupanya tak mau terima. Melihat adanya kong kalikong yang tampak jelas antara si korban dengan para penolong, ia membuka kaca mata hitamnya, memperlihatkan sepasang mata bundarnya yang melotot garang.
“O, ya? Terus, apa mau kalian?” tantangnya seraya mengacungkan kaca mata hitamnya ke arah si bapak. “Mau melanggar marka, kek … mau nggak kek … itu urusan gue. Mestinya, lihat mobil bagus kayak gini lewat, semua motor butut kayak milik Lo ini harus tahu diri! Harus minggir, karena jelas nggak level, tahu nggak?! Lihat, mobil gue sekarang rusak. Semestinya Lo ngerti, mobil bagus kayak gini, kalau lecet saja biaya buat servisnya besar. Awas, akan kutuntut Lo nanti di pengadilan!” “Alaaaah …! Jangan banyak omong!” bentak seorang pemuda berkemeja putih, sambil turun dari atas motornya, tak sabar. “Belum pernah ngerasain enaknya minum lumpur busuk, ya?”
Kinanti diam-diam merinding. Riwayat penyakit bernama kecemburuan sosial di daerah ini konon telah sedemikian parahnya. Pernah ada kisah, seorang anak jenderal ditenggelamkan di paceran tepi jalan gara-gara memukul seorang anak kecil yang main-main di sekitar mobil mewahnya yang terparkir di tepi jalan, sehingga mengeluarkan bunyi sirine pengaman yang bising. Merasa terganggu, si anak jenderal memukuli anak itu sampai babak belur. Tentu saja masyarakat di sekitar situ yang karakternya memang berdarah panas tak mau terima. Si anak jenderal yang sok itu diangkat beramai-ramai dan dicemplungin ke paceran.
Katanya si anak jenderal itu tidak mau terima. Ia membawa belasan preman untuk menghajar beberapa warga yang menenggelamkannya ke paceran bau busuk itu. Tetapi tingkah reaktifnya justru semakin memancing kemarahan warga. Tawuran massal pun terjadi. Para preman babak belur, dan mobil Nissan Terano milik si anak jenderal hancur luluh digebukin massa.
Kasus itu berbuntut panjang. Sampai ke pengadilan segala. Mas Danu, kakak Kinanti yang dosen hukum sebuah universitas swastalah yang akhirnya pontang-panting mencarikan pengacara untuk membela warga. Alhamdulillah, hakim memenangkan pihak warga.
Saat itu, Kinanti masih tinggal di kampung, tetapi cerita mas Danu yang penuh semangat membuatnya seakan-akan ikut mengalami peristiwa itu. Sekarang, kalau si gadis itu terlalu banyak tingkah, BMW itu bisa hancur lebur diremuk massa. Bukan cerita yang menarik untuk dikonsumsi. Ia ingin berusaha keras agar drama konyol itu tak terjadi. Tapi, bagaimana caranya?
“Saksi disini banyak, bego!” lanjut si pemuda. Nah, tuh kan? “Nomor kendaraanmu pun sudah kami catat. Posisi motor ini jelas-jelas tidak salah. Yang nabrak itu kendaraan kamu. Kalau mau dituntut, silahkan! Jelas kau yang akan kalah di pengadilan. Jangan dikira kami ini buta hukum, ya? Meski rakyat kecil, kami ini nggak goblok, tahu! Mentang-mentang mobil mewah, mau belagu ya?!”
Melihat banyak orang berdiri di pihak Kinanti, yang semuanya berlomba-lomba memajang tampang garang, gadis itu rupanya keder juga. Maka sambil terus ngedumel, seperti kijang ia bergegas kencang menuju ke mobil. Syukurlah, bisa mengaca diri. Namun seorang ibu berbadan gemuk yang entah mengapa mampu mengeluarkan gerakan gesit, tiba-tiba saja menahan lengan gadis itu. “Hei, jangan kabur begitu saja! Selesaikan dulu urusannye!”
Duh, apa-apaan lagi nih? Kinanti mendadak merasa kepalanya berdenyut kencang. Memang ada beberapa luka yang terasa nyeri, mungkin berdarah dan harus sesegera diobati supaya tidak infeksi. Tetapi kondisi supergenting yang sangat mungkin terjadi, yang mirisnya—disebabkan oleh keberadaannya, membuatnya lupa pada rasa sakit akibat kecelakaan barusan.
“Urusan apa lagi?!” teriak si kacamata hitam sambil berkacak pinggang. “Gue nggak nuntut aja semestinya sudah harus kalian syukurin!” “Nuntut … nuntut! Kau ini yang harusnya kasih ganti rugi!” “Iya tuh! Ini anak kayak nggak pernah makan sekolahan.” “Bego banget. Tampang sih borju, tapi otak udang!”
“Ayo, selesaikan urusan ini, sekarang juga! Atau kami panggil polisi?!” ancam si pemuda berseragam karyawan sebuah perusahaan swasta itu, galak. Gadis itu tampak mulai panik. “Gue ada urusan penting di kampus! Gak ada waktu buat ngurusin orang-orang bego kayak kalian!” Itu sih urusan kamu! Kami nggak mau ngerti!”
“Tetapi kalau gue terlambat, gue bisa dihukum senior!” kini suara si gadis terdengar parau, seperti hendak menangis. Hehe, meski galaknya seperti macan, rupanya gadis itu cengeng juga. Barangkali ia mahasiswa baru. Diam-diam Kinanti tersenyum geli.
“Selesaikan dulu urusan, baru kau pergi. Itu namanya bertanggungjawab. Jangan asal kabur. Mentang-mentang kaya, mau bersikap seenak sendiri?” “Kagak bisa begitu! Noh! Korban kamu ini terluka dan motornya rusak. Kamu harus belajar bertanggungjawab!” Jelas sekali bahwa paras si gadis itu sekarang tampak merah padam. Kasihan juga, Kinanti nyengir kecut. Makanya, jangan berlagu! “Aku nggak bawa duwit! Ketinggalan. Tadi buru-buru!" “Yaah, orang kaya kok bokek!” ejek seorang pemuda. “Iye, tampangnya aja yang sok borju, padahal miskin ….”
“Nggak dapat jatah uang saku dari Babe ya?” olok yang lain. “Atau jangan-jangan Babe Lo lagi ngendon di tahanan gara-gara kasus korupsi lagi … sebentar lagi sedan mewah kamu akan disita, dan kemana-mana kamu harus naik bajaj seperti gue, haha … ha!”
“Diaaam!” bentak si gadis, semakin panik. “Yee … malah sewot!” “Kalau nggak bawa duit, kau bisa serahkan HP atau barang berharga lainnya! Atau kami terpaksa harus lapor polisi, heh?” ancam si bapak.
"https://fiksiislami.com/simfoni-bunga-rumput-02/" BERSAMBUNG KE BAGIAN DUA.
Belum baca bagian pertama? Silakan klik: Simfoni Bunga Rumput 01 Si gadis itu kini benar-benar menangis sesenggukan. Galak-galak tapi cengeng, ya. Tapi biar bagaimanapun, Kinanti akhirnya jatuh kasihan juga. Meski kadang tomboy dan sering seradak-seruduk, siapa pun tahu, jika Kinanti memiliki hati s...