17/08/2021
REKTOR INAIFAS; PESANTREN MELAWAN PENJAJAH SEBAB TAK MAU BUDAYA SEKULER BARAT HADIR DI NUSANTARA
Pesantren tak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan Islam semata, namun juga sangat lekat dengan kehidupan sosial masyarakat. Pesantren hadir melakukan pemberdayaan dan memberi solusi atas problematika umat.
Pesantren juga menjadi wadah pergerakan nasional dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme. Pesantren tidak pernah terpengaruh oleh kepentingan politik kolonial, baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang.
Dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, peran pesantren termasuk para ulama tidak bisa dipandang sebelah mata. Para ulama terbukti mampu menanamkan semangat jihad kepada para santri maupun masyarakat untuk bangkit melawan penjajah.
Membahas tentang peran pesantren dan ulama dalam kemerdekaan, Wartawan LANGIT7.ID Muhajirin berkesempatan melakukan wawancara dengan Rektor Institut Agama Islam Al Falah As Sunniyah (INAIFAS) Kencong Jember, Gus Rijal Mumazziq Z, M.HI.
Pria yang pernah Nyantri di Pesantren al Islam Joresan Ponorogo, Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Pengurus LTN NU Surabaya itu membahas seputar peran pesantren dan ulama dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang.
Beliau juga membahas peran ulama dan pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan setelah B**g Karno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Berikut petikan wawancaranya:
Selain sebagai institusi pendidikan, di masa sebelum kemerdekaan kita tahu Pesantren adalah institusi perjuangan melawan penjajah. Bisa diceritakan bagaimana peran pesantren dalam melawan kolonial dan memperjuangkan kemerdekaan?
Pertama harus kita pahami bahwa pesantren itu bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga berkembang sebagai institusi sosial, kultural, maupun politik. Sehingga jika ada beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan, sosial, kultural, dan politik, maka dipastikan pesantren akan bereaksi.
Demikian p**a pada masa penjajahan, sejak era VOC, di antara peran yang dijalankan pesantren antara lain pendidikan, peran sosial yakni kepedulian terhadap sosial misalnya memberikan kesadaran terhadap warga masyarakat yang ada di sekitar untuk turut serta di dalam belajar di bidang agama Islam.
Adapun fungsi kultural di era penjajahan, yaitu bagaimana pesantren tetap mempertahankan identitasnya sebagai sebuah lembaga keislaman dengan cara melakukan dakwah terhadap warga masyarakat dengan cara yang baik, populer, dan tidak ada kekerasan.
Sedangkan secara politis, pesantren banyak melahirkan kader-kader yang turut serta di dalam upaya kemerdekaan bangsa. Pada tahap awal, masa VOC, Mataram, sebelum kemerdekaan, para kiai, santri, dan para alumni banyak sekali terlibat di dalam perlawanan terhadap institusi kekuasaan kolonialisme yang mencengkeram Indonesia saat itu.
Misalkan Kiai Mojo yang membantu Pangeran Diponegoro dalam perlawanan tahun 1825-1830 M. di mana perlawanan Diponegoro ini banyak didukung oleh para kiai, dan juga para santri. Mengapa? Karena di situ dikonsepkan, apabila perlawanan dilakukan oleh beliau-beliau ini sebagai bagian dari ikhtiar jihad fi sabilillah.
Perlawanan semacam ini kurang lebih sejak Pangeran Diponegoro ditangkap 1830 sampai menjelang kemerdekaan, ada beberapa pesantren yang melakukan perlawanan-perlawanan secara sporadis, tetapi kemudian lebih banyak ditumpas oleh pemerintah kolonial pada saat itu.
Makanya pada era 1860-an sampai 1945, para ulama di pesantren lebih fokus memperkuat basis pendidikan bagi para santrinya, sehingga kemudian ketika mereka sudah alim, sudah menjadi dai, maka juga disisipkan yang namanya semangat jihad fi sabilillah.
Sehingga pada puncaknya, ketika B**g Karno memproklamasikan Indonesia, maka para ulama juga secara fikih, menganggap apabila kemerdekaan yang diproklamasikan B**g Karno itu sah secara hukum Islam, atau sah secara institusional dalam kacamata fiqih.
Lalu setelah itu para ulama lebih intens bergerak di bidang jihad fi sabilillah dengan melakukan perlawanan dan mempertahankan Republik Indonesia pada saat sekutu mau menguasai Indonesia lagi melalui Jakarta dan melalui Surabaya, dan melalui Yogyakarta.
Bisa disebut pesantren mana saja yang menjadi kantong-kantong perjuangan melawan penjajah? seperti apa perannya?
Soal pesantren yang menjadi kantong-kantong perjuangan melawan penjajah, khususnya ini yang lebih banyak berkembang pada pasca kemerdekaan, atau setelah diproklamasikannya Republik Indonesia.
Antara lain tentu saja pesantren-pesantren yang banyak menyumbangkan para kiai dan santrinya untuk terlibat dalam perang gerilya, baik melalui pasukan yang menggabungkan para santri dengan pasukan Hizbullah maupun kiainya terlibat menjadi anggota barisan Sabilillah, dua milisi santri, organisasi yang mengkondisikan para santri dan kiai untuk melawan penjajahan pasca proklamasi.
Di antaranya ada pesantren Lirboyo, Pondok Tebuireng, Ploso, Sukorejo, Situbondo, dan juga beberapa pesantren lain yang ada di Banten, ada Buntet di Cirebon dan sebagainya.
Yang pasti setiap pesantren ketika Indonesia sudah merdeka, dan dibutuhkan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, para kiai, para santri bahu-membahu dengan pejuang lain untuk mempertahankan Republik Indonesia.
Inilah yang menjadi alasan bagi mereka, para kiai ini, untuk terlibat aktif. Karena bagi mereka, Islam itu harus diperjuangkan, dan kemerdekaan itu harus dirawat dan dijaga.
Artinya, beliau-beliau ini memiliki kepedulian ganda, yaitu kepeduliaan terhadap Islam dan juga kepeduliaan terhadap Tanah Air-nya.
Mengapa pesantren memilih melawan penjajah? apa korelasinya antara ilmu agama dan perjuangan?
Pesantren memilih melawan penjajah, yang pertama karena penjajahan tidak diperbolehkan di dalam Islam. Penindasan senantiasa menjadi unsur yang dibenci oleh Islam.
Kedua, karena ketika penjajah menguasai Indonesia, maka ditakutkan kehidupan sekuler ala barat maupun budaya-budaya mereka itu banyak yang masuk ke dalam alur pemikiran generasi muda, sehingga dikhawatirkan ghirah keagamaannya akan turun.
Ketiga, ini yang paling penting, ketika penjajah masuk, maka dikhawatirkan juga mengubah sistem dan tatanan pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang ada di Nusantara saat itu. Terbukti kan, banyak para pangeran, sebelum era Pangeran Diponegoro berperang itu, semua para pangerannya itu biasanya mondok di beberapa pesantren. Tetapi ketika Diponegoro kalah, Belanda lebih mencengkram lagi dengan adanya taktik tanam paksa, maka para pangeran pada saat itu tidak lagi diajari tata-cara kehidupan orang pesantren atau dipondokkan, melainkan justeru diwajibkan mengikuti kurikulum ala orang-orang Belanda.
Maka kemudian ketika B**g Karno pada 1945 memproklamirkan kemerdekaan, bagi para kiai, ini sudah saat kita mewujudkan kemerdekaan, sehingga lebih leluasa menjalankan Islam, lebih leluasa memberikan pendidikan Islam kepada umat islam, dan sebagainya.
Banyak sekali ulama yang mendapatkan gelar pahlawan nasional, bagaimana peran ulama dalam perjuangan melawan penjajah?
Pertama, peranan secara moral, menjaga agar warga masyarakat tidak mengikuti kehidupan ala penjajah. Misal sistemnya, gaya hidupnya, karakteristiknya, keserakahannya, dan lain sebagainya.
Kedua, peranan secara edukatif, yaitu peranan dengan cara mendirikan pondok pesantren, agar masyarakat tercerahkan secara keilmuan keagamaan, bisa shalat dan sebagainya.
Ketiga, dengan cara pembinaan secara karakteristik atau secara akhlak, dan juga secara keilmuan kepada warga masyarakat melalui pesantren. Ini yang paling penting, sehingga peranan yang nomor empat, yaitu perlawanan fisik, yaitu dengan cara memobilisasi para kiai dan para santri untuk secara aktif terlibat dalam upaya melawan penjajah atau terlibat secara aktif dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Lalu, ketika Indonesia sudah merdeka, ngapain ini ulama? Tentu saja dengan mengisi kemerdekaan dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat, ya ngaji, berdakwah, dan sebagainya.
Apa yang menjadi alasan sekaligus pemersatu pada akhirnya kalangan alim ulama memilih melawan penjajah?
Hal yang menjadi alasan pemersatu ada tiga, pertama yaitu semangat melawan penindasan penjajah. Kedua, alasan menginginkan kehidupan yang merdeka. Ketiga, semangat jihad fi sabilillah.
Bisa disebut mungkin beberapa nama-nama ulama sekaligus peran signifikannya dalam perjuangan kemerdekaan?
Ada banyak. Tentu saja, yang paling utama adalah KH Hasyim Asy’ari, karena beliau itu secara mental spiritual dan moral melalui resolusi jihad itu banyak mempengaruhi orang untuk turut andil dan turut serta dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru berusia 30-an.
Bisa dibayangkan, andai kata KH Hasyim Asy’ari tidak mengeluarkan resolusi jihad yang mendukung semangat untuk mempertahankan kemerdekaan, maka pada saat itu bisa dipastikan tidak ada pertempuran berdarah-darah sampai pasukan sekutu p**ang ke negaranya.
Lalu yang selanjutnya KH Wahab Hasbullah juga sama, KH Wahid Hasyim. Bahkan KH Wahid Hasyim itu terlibat sebagai salah satu perumus Piagam Jakarta, atau sekarang kita sebut Pancasila dan juga terlibat dalam penyusunan konstitusi Indonesia.
Banyak ulama-ulama yang berjasa. Termasuk ada ulama yang diberi gelar pahlawan seperti KH Zainul Arifin, beliau adalah pimpinan dari kelaskaran Hizbullah. Terus ada KH Syamsul Arifin dari Sukorejo, beliau terlibat sebagai salah satu unsur terpenting ketika merebut senjata dari tangan Jepang yang tidak mau menyerah, beliau ikut bergerilya, termasuk ikut dalam pertempuran 10 November, dan seterusnya.
Artinya, para ulama-ulama yang tercatat itu banyak, yang tercatat sebagai ulama yang berjuang membela kemerdekaan Indonesia, tapi lebih banyak lagi ulama yang sengaja menutupi kontribusinya di dalam mempertahankan Indonesia. Mengapa?
Karena bagi mereka itu salah satu pertanggungjawabannya kepada Allah, tidak perlu dipamerkan, dan seterusnya.
https://langit7.id/read/2410/1/rektor-inaifas-pesantren-melawan-penjajah-sebab-tak-mau-budaya-sekuler-barat-hadir-di-nusantara-1629166126