Yayasan Cahaya Sunnah Darut Taqwa Cicurug

Yayasan Cahaya Sunnah Darut Taqwa Cicurug Donasi Sosial/Dakwah/Operasional No. REK : 7136307686 a.n YayasanCahayaSunnahDarutTaqwa konfir tf : 085724222843

30/07/2024

HAK IBU LEBIH BESAR DARI PADA HAK AYAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Di dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (p**a). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a, “Ya Rabb-ku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri“.

Ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari) di tambah 2 tahun menyusui anak jadi 30 bulan, sehingga tidak bertentangan dengan surat Lukman ayat 14. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar dari pada kepada bapak.

Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ : أُمُّكَ، قَالَ : ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ : ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ،قَالَ : ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوكَ

“Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bapakmu’ “[Hadits Riwayat Bukhari (Al-Fath 10/401) No. 5971, Muslim 2548]

Imam Adz-Dzhabai dalam kitabnya Al-Kabair berkata:
“Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun.
Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.
Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.
dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya.
Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufiq, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat di sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga disisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.
Engkau puas dalam keadaan dia haus.

Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.
Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat.
Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal adalah urusan yang mudah.
Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.
Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.
Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘Aalamin.

ذَٰلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

“(Akan dikatakan kepadanya), ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya“[Al-Hajj/22 : 10]

Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung. Ketika Ibnu Umar menemui seseorang yang menggendong ibunya beliau mengatakan, “Itu belum bisa membalas”. Kemudian juga beberapa riwayat disebutkan bahwa seandainya kita ingin membalas jasa orang tua kita dengan harta atau dengan yang lain, masih juga belum bisa membalas. Bahkan dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَنْتَ ومَالُكَل لأَِبِيْكَ

“Kamu dan hartamu milik bapakmu” [Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas’ud, Lihat Irwa’ul Ghalil 838]

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam. Komplek Depkes Jl. Raya Rawa Bambu Blok A2, Pasar Minggu – Jakarta. Cetakan I Th 1422H /2002M]
Referensi : 0.https://almanhaj.or.id/457-hak-ibu-lebih-besar-dari-pada-hak-ayah.html

PENUNTUT ILMU DAN WAKTU LUANGOlehAl-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه اللهWahai para penuntut ilmu!  Waktu yang A...
29/07/2024

PENUNTUT ILMU DAN WAKTU LUANG

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Wahai para penuntut ilmu! Waktu yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan lebih mahal dari pada emas karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia tidak akan pernah bisa mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang lalai terhadap waktunya, semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْـرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
“Dua nikmat, yang manusia banyak tertipu dengan-nya: nikmat sehat dan waktu luang.”[1]
Seorang Muslim yang terkumpul dua nikmat ini pada dirinya: kesehatan badan dan waktu luang, maka seharusnyalah menunaikan hak keduanya, yaitu bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan memanfaatkan keduanya untuk melakukan ketaatan dan meraih keridhaan-Nya.
Jika ia menyia-nyiakannya maka ia adalah orang yang tertipu alias merugi besar dan bangkrut. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal, ia harus meraih keuntungan dengan modalnya itu. Begitu juga seorang Muslim memiliki modal, yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakannya pada selain ketaatan kepada Allah Sub-haanahu wa Ta’ala, yang merupakan perdagangan paling menguntungkan.[2]
Seorang penuntut ilmu harus memanfaatkan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak boleh me-nunda-nunda melakukan berbagai kebaikan.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.

“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir.’”
Dan Ibnu ‘Umar pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi.
Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore.
Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.”[3]
Dengan kemurahan Allah Ta’ala semoga contoh-contoh berikut dapat membangkitkan semangat kita dalam mencari ilmu dan menyadari bahwa kita telah banyak menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga.
Muhammad bin ‘Abdul Baqi (wafat th. 535 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari umurku untuk bermain-main dan berbuat yang sia-sia.”[4]
Ketahuilah sesungguhnya waktu itu dibagi menjadi beberapa bagian.
Al-Khalil bin Ahmad (wafat th. 160 H) rahimahullaah mengatakan, “Waktu itu ada tiga bagian : waktu yang telah berlalu darimu dan takkan kembali, waktu yang sedang kaualami, dan lihatlah bagaimana ia akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu, bisa jadi engkau tidak akan mendapatkannya.”[5]

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan kesungguhan mereka dalam mengguna-kan waktu. Yaitu riwayat yang disebutkan Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’laamin Nubalaa’ tentang Dawud bin Abi Hindun (wafat th. 139 H) rahimahullaah. Dawud berkata, “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika p**ang, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga tempat tertentu. Jika telah sampai tempat itu, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga tempat selanjutnya… hingga sampai di rumah.”[6]
Tujuannya adalah menggunakan waktu dari umurnya.

Kesempatan yang Disia-siakan
Di antara beberapa kesempatan yang sering disia-siakan adalah:

1. Banyak berkunjung.
Banyak berkunjung dan berkumpul merupakan tali pengikat dan penguat rasa kasih sayang dan per-saudaraan. Selain itu, ia juga dapat menambah keimanan seorang hamba ketika dekat dengan saudara-saudara-nya. Tetapi, apabila perkump**an itu tidak dimanfaatkan untuk menambah ilmu dan saling menasihati, maka pada beberapa kesempatan kita wajib meninggalkannya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Berkumpul bersama teman itu terbagi dua; salah satunya adalah berkumpul bersama mereka untuk saling bekerja sama dalam meraih kesuksesan hidup dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Hal ini temasuk perbuatan yang paling mulia dan bermanfaat, namun menimbulkan tiga bahaya: saling berbasa-basi, banyak berbicara, dan berkumpul lebih dari kebutuhan. Hal ini akan menjadi kecenderungan hati dan kebiasaan sehingga menghalangi tujuan utamanya…”[7]

Kita dapat membuktikan perkataan ini jika kita memperhatikan perkump**an sebagian saudara-saudara kita bersama teman-temannya. Kita akan mengetahui bahwa mereka menghabiskan satu sampai dua jam bahkan lebih. Seandainya waktu berkumpul itu digunakan untuk membaca buku dengan seksama, niscaya didapatkanlah manfaat dan pengetahuan yang banyak.

2. Sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting.
Orang yang sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting dan orang yang apabila telah membaca satu jam sudah merasa puas, maka ia akan banyak meng-gunakan banyak waktu luangnya untuk bersantai-santai saja. Salah satu kebiasaan buruk yang mesti dijauhi adalah menonton televisi, baca koran, SMS yang tidak penting, berbicara di telepon untuk hal yang tidak penting, dan yang sepertinya.

Sebagian kita tentu akan merasa heran ketika berada di perpustakaan dengan bukunya yang sekian banyak, namun pemiliknya enggan membaca??!! Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah mengatakan, “Ummat ini telah menguasai berbagai bidang ilmu dengan baik. Orang yang diberikan cahaya oleh Allah Ta’ala dalam hatinya, akan diberi petunjuk dengan apa yang telah dikuasai dari ilmu tersebut. Dan orang yang dibutakan hatinya oleh Allah Ta’ala, buku-buku yang dimilikinya akan semakin membuatnya bingung dan tersesat.”[8]
Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi (wafat th. 280 H) rahimahullaah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dipancarkan Allah Ta’ala ke dalam hati. Dan syarat mendapatkannya adalah dengan ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dan meninggalkan hawa nafsu dan bid’ah.”[9]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pernah ditanya, “Bagaimana keinginan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Ibarat seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang, dan ia tidak memiliki anak, kecuali anak tersebut.”[10]

3. Mendengarkan kaset pengajian.
Demi Allah, kaset adalah salah satu nikmat, tetapi kebanyakan kita menyia-nyiakannya. Penyebabnya adalah ketidakpedulian kita dalam mengatur waktu. Apakah bukan nikmat Allah jika ilmu selalu menyertai kita dalam perjalanan, ketika berbaring di tempat tidur, dan ketika duduk di meja makan???

Seorang pemuda pernah mengatakan tentang dirinya bahwa ia berhasil menghafal Al-Qur-an lantaran mendengarkan bacaan Al-Qur-an Syaikh Shiddiq al-Minsyawi selama dua tahun. Setiap selesai satu kaset, ia mengulangnya kembali sehingga Al-Qur-an pun mudah ia ucapkan. Subhaanallaah.

Aturlah waktu untuk mendengarkan pelajaran dalam perjalanan. Ibaratnya, janganlah kita turun dari mobil, kecuali setelah mendengarkan pelajaran-pelajaran yang bermanfaat.[11]

4. Waktu antara adzan dan iqamat.
Di antara waktu yang sering kita sia-siakan adalah waktu antara adzan dan iqamat. Siapa pun yang menggunakan waktu antara adzan dan iqamat untuk membaca Al-Qur-an, baik mengulang hafalannya maupun menghafalkannya, niscaya ia akan banyak menghafalkan Al-Qur-an. Gunakan juga waktu antara adzan dan iqamat untuk berdo’a, sebab do’a pada waktu ini tidak ditolak. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ.

“Tidak ditolak do’a antara adzan dan iqamat.”[12]

Seandainya kita menggunakan waktu antara keduanya, bukan saja karena berharganya waktu ini, tetapi juga ingin mendapatkan pahala bersegera menuju shalat, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat berupa ketenangan jiwa dan raga, selain manfaat men-dapatkan ilmu.

Berusahalah dengan sungguh-sungguh, setelah mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala, untuk meng-gunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca, menulis, muraja’ah, mudzakarah, dan lainnya.[13]

Pentingnya Waktu dalam Menuntut Ilmu[14]
Waspadalah dari menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang membahayakan atau hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebab, hari-hari itu bagaikan kehidupan kita. Apabila satu hari berlalu, hilanglah sebagian dari kehidupan kita. Bersungguh-sungguhlah dalam mengatur waktu dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Di antara bentuk memanfaatkan waktu adalah bersegera menuntut ilmu di masa muda karena masa ini adalah masa yang penuh kekuatan, semangat, dan tekad yang kuat. Imam Ibnu Jama’ah mengatakan, “Ia bersegera –maksudnya penuntut ilmu– memanfaatkan masa mudanya dan seluruh waktu dari umurnya untuk memperoleh ilmu. Ia tidak tergoyahkan dengan tipuan angan-angan kosong dan menunda-nunda karena setiap jam dari umurnya akan berlalu dan itu mesti terjadi serta takkan pernah kembali.”[15]

Di antara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah mengatur waktu dalam menuntut berbagai ilmu, menga-turnya untuk setiap ilmu yang sesuai, dan mengaturnya untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya. Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah mengatakan tentang jenis yang kelima dari adab-adab penuntut ilmu ter-hadap dirinya sendiri, “Hendaklah ia membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan umur yang tersisa padanya karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.”[16]

Di antaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam bergaul, keluar ke jalan-jalan, ke pasar atau tempat lainnya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat. Karena perbuatan seperti ini bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dengan demikian wajib berhati-hati darinya. Bahaya yang paling kecil adalah menyia-nyiakan waktu teman duduknya, dan tidak adanya manfaat yang mereka peroleh dibalik duduk-duduknya itu karena banyaknya canda, berbasa-basi, bergurau, dan ngobrol yang tidak ada manfaatnya.

Di antara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam tidur. Tidurlah sesuai dengan kebutuhan. Imam Ibnu Jama’ah rahima-hullaah mengatakan mengenai adab penuntut ilmu syar’i dengan dirinya sendiri, “Hendaklah menyedikitkan tidur selama tidak mendatangkan kemudharatan pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu tidurnya melebihi delapan jam, yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika keadaannya memungkinkan untuk tidur kurang dari waktu tersebut, maka lakukanlah.”[17]

Di antaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum dan jima’ (bersetubuh). Begitu p**a meninggalkan perhatian dalam mencari makanan yang berlebihan, karena hal itu menghabiskan waktu, baik dalam memperolehnya maupun mempersiapkan berbagai sebabnya.

Di antara bentuk memanfaatkan waktu yang lainnya adalah menjauhi banyak gurau dan tawa. Hendaklah mengadakan perkump**an untuk menghafalkan Al-Qur-an, giat menghadiri kajian ilmiah dan majelis-majelis ilmu, giat mendengarkan kaset dan CD kajian Islam dan mencatat poin-poin penting darinya, meng-hafalkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya.

Kewajiban kalian, wahai penuntut ilmu, adalah memelihara waktumu, jangan kauhabiskan, kecuali untuk hal yang bermanfaat karena ia adalah modalmu, bersungguh-sungguhlah menjaganya sebagaimana kesungguhanmu dalam menuntut ilmu. Wallaahul Muwaffiq.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan bahwa ada empat hal yang dapat merusak hati, yaitu berlebihan dalam berbicara, berlebihan dalam makan, berlebihan dalam tidur, dan berlebihan dalam ber-gaul.[18]

Teladan Para Ulama dalam Menjaga Waktu
Inilah, sesungguhnya para pendahulu kita yang shalih adalah orang yang paling bersemangat dalam memanfaatkan waktunya. Mereka tidak menyia-nyia-kannya pada apa yang tidak membawa manfaat. Mereka tidak mencurahkannya pada apa yang tidak mendatang-kan keuntungan di belakangnya. Sebaliknya, mereka menghabiskan waktunya untuk berjuang di jalan Allah Ta’ala, mereka pun menyibukkan dirinya dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, bertasbih, beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.
Di dalam perjalanan hidup para ulama kita yang mulia terdapat sesuatu yang mendorong kita agar menjaga waktu dan meninggalkan semua yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya.

Al-Hafizh al-Kabir Abul Qasim bin ‘Asakir (wafat th. 571 H) rahimahullaah pemilik karya tulis yang banyak dan bermanfaat. Beliau tidak pernah menyia-nyiakan sekejap pun dari waktunya, kecuali untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Anak beliau, Bahauddin, berkata, “Ayahku –rahimahullaah- adalah orang yang rajin menghadiri shalat berjama’ah dan membaca Al-Qur-an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya pada bulan Ramadhan setiap hari. Beliau melakukan i’tikaf di menara timur di Masjid Jami’ Dimasyq (Damaskus). Beliau banyak melakukan shalat sunnah dan berdzikir, selalu mengintrospeksi dirinya atas setiap waktunya yang telah berlalu.”

Abul Muwahib bin Shashri berkata, “Beliau belum pernah sibuk semenjak 40 tahun, yakni semenjak gurunya mengizinkannya untuk meriwayatkan hadits, kecuali dengan mengumpulkan dan mendengarkan hadits hingga pada saat beliau mengasingkan diri.”[19]

Sebagian ulama kita tidak menyia-nyiakan waktunya hingga ketika mereka berada di setiap perjalanannya, bahkan mereka menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang bermanfaat.

Di antara mereka adalah al-Hafizh al-Kabir Abu Nu’aim al-Ashbahani (wafat th. 430 H) rahimahullaah. Imam adz-Dzahabi rahimahullaah berkata tentang biografi beliau dalam kitabnya, Tadzkiratul Huffaazh, “Telah berkata Ahmad bin Muhammad bin Mardawaih, ‘Pada zamannya banyak para ulama yang mengembara untuk mendatanginya. Tidak ada seorang pun dari setiap ufuk (di seluruh dunia) yang lebih hafal dan lebih dijadikan sandaran daripada dirinya. Para hafizh (penghafal hadits) dunia telah berkumpul di hadapannya. Setiap hari bergiliranlah setiap orang dari mereka membacakan apa yang beliau inginkan hingga mendekati waktu Zhuhur. Apabila beliau beranjak menuju rumahnya, mungkin dibacakanlah kepadanya di jalan sekitar satu juz, dan beliau tidak pernah bosan. Makanan pokok beliau tidak lain adalah mendengarkan hadits dan mengarang buku.”[20]

Dan di antara ulama pada abad ini yang menjaga waktunya, bersungguh-sungguh dalam berjihad menegakkan Sunnah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menghabiskan waktunya dalam menuntut ilmu adalah Syaikh al-Muhadditsiin Imamul ‘Ulama asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani (wafat th. 1420 H) rahimahullaah.

Beliau rahimahullaah menghabiskan sebagian besar waktunya di Perpustakaan azh-Zhahiriyyah untuk menuntut ilmu. Beliau menutup kiosnya dan tetap berada di dalam perpustakaan selama dua belas jam. Beliau tidak pernah lelah dalam muthala’ah, memberi komentar dan meneliti, kecuali pada waktu-waktu shalat, hingga makan siang beliau tidak dimakan, melainkan di dalam perpustakaan. Beliau adalah orang yang pertama kali memasuki perpustakaan dan orang yang terakhir keluar darinya.

Sungguh, di dalam perjalan hidup mereka, para ulama yang mulia, terdapat teladan yang baik dan pelajaran yang agung bagi kita.[21]

[Disalin dari Bab II, buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258, 344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306) dan lainnya, lafazh ini milik al-Bukhari, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2] Disarikan dari kitab Aadaab Thaalibil ‘Ilmi (hal. 107), oleh Dr. Anas bin Ahmad Kurzun.
[3] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6416), Ahmad (II/24, 132), at-Tirmidzi (no. 2333), Ibnu Majah (no. 4114), dan al-Baihaqi (III/369).
[4] Siyar A’laamin Nubalaa’ (XX/26).
[5] Thabaqaat al-Hanaabilah (I/288). Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 35-36).
[6] Siyar A’laamin Nubalaa’ (VI/378).
[7] Al-Fawaa-id (hal. 63) dan Fawaa-idul Fawaa-id (hal. 447). Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 38-39).
[8] Majmuu’atur Rasaa-il al-Kubra (I/239), dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 40).
[9] Siyar A’laamin Nubalaa’ (XIII/323).
10] Aadaabusy Syafi’i wa Manaaqibuhu, karya ar-Razi. Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 41).
[11] Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 41-42).
[12] HR. At-Tirmidzi (no. 212, 3595), Ahmad (III/119, 155, 225), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 67, 68, 69), Ibnu Khuzaimah (no. 425, 426, 427). Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah tentang hal ini dalam Shahiih al-Waabilish Shayyib (hal. 182-185) dan Zaadul Ma’aad (II/391-392).
[13] Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 43-45), secara ringkas dan sedikit tambahan.
[14] Dinukil dari ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 81-83) dengan diringkas dan ditambah.
[15] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 114-115).
[16] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 118).
[17] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 124-125).
[18] Lihat Fawaa-idul Fawaa-id (hal. 262).
[19] Tadzkiratul Huffaazh (IV/84-85).
[20] Tadzkiratul Huffaazh (III/196) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/459).
[21] Disarikan dari kitab ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 81-85).
Referensi : .https://almanhaj.or.id/13792-penuntut-ilmu-dan-waktu-luang.html

PENUNTUT ILMU DAN WAKTU LUANG Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله Wahai para penuntut ilmu! Waktu yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan lebih mahal daripada emas karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak menyia-nyiakan waktu luangnya untu...

26/07/2024

همة ابن تيمية في العلم

قال ابن القيم رحمه الله: «حدثني شيخنا قال: ابتدأ بي مرض، فقال لي الطبيب: إن مطالعتك وكلامك في العلم يزيد المرض. فقلت له: لا أصبر عن ذلك، وأنا أحاكمك إلى علمك: أليست النفس إذا فرحت وسُرّت قويت الطبيعة، فدفعت المرض؟ فقال بلى! فقلت له: فإنّ نفسي تُسرّ بالعلم، فتقوى به الطبيعة، فأجد راحة. فقال: هذا خارج عن علاجنا» روضة المحبين ١٠٩.

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Badr

Ibnul Qayyim Raẖimahullāh berkata, “Syekh kami bercerita kepadaku dengan mengatakan, ‘Aku mulai sakit-sakitan, lalu seorang tabib berkata kepadaku, “Aktivitasmu membaca dan berbicara tentang ilmu memperparah sakitmu.” Lantas aku berkata kepadanya, “Aku tidak bisa menahan diri dari hal itu. Aku akan membantahmu dengan landasan keilmuanmu: Bukankah jiwa jika mendapatkan kesenangan dan kegembiraan akan menguatkannya dan menangkal penyakit?” Dia menjawab, “Ya!” Lalu aku berkata kepadanya, “Jiwaku senang dengan ilmu, sehingga itu menguatkannya dan aku bisa merasa rileks.” Dia berkata, ‘Ini di luar pengobatan kami.’” (Rauḏatu al-Muẖibbīn 109).

25/07/2024

BID’AH DAN NIAT BAIK
Oleh : Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]
Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatikan semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.
Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporer yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh coba-coba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah : “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu!”.
Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.
Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti dijelaskan dalam hadits.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak”.
Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.
Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang lahir dan yang batin. Dimana hadits : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolak ukur lahiriah setiap amal.
Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar adalah bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun yang batin.
Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam, maka amalnya diterima, dan siapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak. [1]
Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” [Al-Mulk/67: 2]
Beliau berkata, “‘Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah” [2]
Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata [3], “Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?
Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?
Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedangkan agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah”.

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (I/231) berkata, “Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat : Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengan ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”.
Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu Ajlan, ia berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : Takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)” [4]
Kesimp**annya, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” itu maksudnya, bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya.[6]
Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik orang yang melakukannya!
Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian, “Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih”
Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.
Dan diantara yang menguatkan bahwa diterimanya amal bukan hanya karena niat baik orang yang melakukannya saja, tetapi harus p**a sesuai dengan Sunnah adalah hadits sebagai berikut.
رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ. فَقَالَ: “أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا؟ قُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ
“Bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tetapi katakanlah : “Apa yang dikehendaki Allah semata” [6]
Niat baik dan keikhlasan hati sahabat yang agung ini tidak diragukan. Tetapi ketika ucapan yang keluar darinya bertolak belakang dengan manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah dan bertutur kata, maka Rasulullah mengingkari seraya mengingatkan kesalahannya dan menjelaskan yang benar tanpa melihat niatnya yang baik.
Hadits tersebut [7] adalah pokok dalil dalam sub kajian ini.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
_______
Footnote
[1]. Bahjah Qulub Al-Abrar : 10 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
[2]. Hilyatu Auliya : VIII/95, Abu Nu’aim. Dan lihat Tafsir Al-Baghawi V/419, Jami’ul Al-Ulum wal Hikam : 10 dan Madarij As-Salikin I/83
[3]. Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan : 35
[4]. Jami Al-Ulum wal Hikam : 10
[5]. Lihat Fathul bari : I/13 dan Umdah Al-Qari : I/25
[6]. Hadits hasan, lihat takhrijnya dalam risalah saya : At-tasfiyah wat-tarbiyyah : 61
[7]. Dan hadist lain yang seperti itu masih banyak.
Referensi : .https://almanhaj.or.id/7988-bidah-dan-niat-baik-2.html

Address

Kp. Kebon Cau Rt 02/02 Kec. Cicurug Kab. Sukabumi
Sukabumi
43359

Opening Hours

Monday 09:00 - 17:00
Tuesday 09:00 - 17:00
Wednesday 09:00 - 17:00
Thursday 09:00 - 17:00
Friday 09:00 - 17:00
Saturday 09:00 - 17:00
Sunday 09:00 - 17:00

Telephone

+6281905054116

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Yayasan Cahaya Sunnah Darut Taqwa Cicurug posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Yayasan Cahaya Sunnah Darut Taqwa Cicurug:

Videos

Share

Category


Other Media in Sukabumi

Show All

You may also like