03/12/2023
"Ya Allah, Pak!" Mak Dami berteriak. Perempuan baya itu panik melihat suaminya terkapar di kamar mandi.
"Pak, Pak!" Mak Dami berusaha menyadarkan suaminya. Berkali-kali dia memanggil dan mengguncang badan lelaki yang sudah membersamainya selama bertahun-tahun itu. Namun, tetap saja tak ada respon.
Mak Dami terpaksa meninggalkan suaminya untuk sementara. Dia berlari ke rumah salah satu tetangga yang rumahnya cukup dekat. Wanita itu sangat ketakutan, wajahnya pucat dengan napas tersengal. Tangannya gemetar ketika mengetuk pintu tetangganya.
"Bud, Budi!" Suara Mak Dami bergetar memanggil yang empunya rumah.
Tak berselang lama sang pemilik rumah membuka pintu. Rasa kantuknya hilang seketika ketika melihat Mak Dami berdiri di depan pintunya.
"Ada apa, Mak?" tanyanya yang ikut panik.
Tanpa menjawab Mak Dami menarik tangan lelaki muda tersebut menuju ke rumahnya.
Beberapa saat kemudian sudah banyak tetangga yang berdatangan. Mereka membantu mengangkat lalu membaringkan tubuh Pak Di di ranjang yang berada di ruang tamu.
Sudah berbagai cara dilakukan agar Pak Di siuman. Dari menggoyang-goyangkan badannya, memanggilnya dengan suara keras, memberi rangsangan pada kulit dan memberikan bau-bauan di hidungnya. Namun, Pak Di masih belum memberikan reaksi apa-apa.
"Coba tempelkan es batu di wajahnya," ucap seseorang dari belakang kerumunan. Membuat semua yang ada di tempat itu menoleh. Rupanya Pak Kamto yang bicara, dia tetangga agak jauh. Setelah berucap lelaki itu menyodorkan kresek berisi es batu.
"Kemarin teman saya juga pingsan, pas dikasih es batu bisa siuman," ucap Pak Kamto menyakinkan. "Dan tolong jangan dikerubungi begini, nanti malah pengap," imbuhnya.
Budi pun dengan cekatan melakukan apa yang diarahkan Pak Kamto. Berhasil, setelah beberapa saat akhirnya Pak Di sadar. Puji syukur terucap dari bibir orang-orang yang sedari tadi menungguinya. Namun, Pak Di terlihat kesusahan ketika hendak menggerakkan tubuhnya. Mak Dami kembali panik. Wanita baya itu terisak hingga napasnya tersengal.
"Bagaimana kalau kita bawa ke rumah sakit saja?" usul Pak Heri yang menjadi RT di lingkungan itu.
"Bagaimana, Mak?" tanya Mina–istri Budi–yang sedari tadi mendampingi Mak Dami.
"Nunggu anak-anak dulu, Min," sahut Mak Dami tanpa menoleh pada Mina, tatapannya lekat pada sang kekasih hati.
"Mereka ke mana, Mak? Tejo dan Surti?" Budi bertanya.
"Masih di Nori, Bud," sahut Mak Dami dengan suara lirih.
"Kalau gitu, biar tak susul aja ke sana." Lelaki itu menawarkan diri.
Perlahan Mak Dami menoleh. "Apa gak terlalu pagi? Takutnya mereka panik."
"Lebih cepat, lebih baik, Mak. Agar kondisi Pak Di bisa segera diatasi," sahut Budi.
"Kalau begitu, bagaimana baiknya saja lah, Bud." Akhirnya Mak Dami pasrah.
"Min, temani Mak Dami dulu ya, jangan ditinggal pulang," pesannya pada sang istri.
Mina mengangguk sebagai tanda mengerti.
"Apa Murti perlu disusul juga gak, Mak?" Harso yang dari tadi memperhatikan kini ikut berbicara.
"Gak usah, Har. Besok pagi aja, sekarang sudah larut, lagian dia lagi hamil tua," sahut Mak Dami. Membuat beberapa orang yang ada di ruangan itu langsung terdiam.
Sebagian tetangga masih bertahan di rumah Mak Dami, menemani wanita baya itu sampai Surti dan Tejo datang. Beruntungnya mereka yang hidup di kampung, di mana rasa persaudaraan masih hangat terasa.
***
Di perjalanan pulang, tak henti-hentinya Surti menangis setelah mendengar cerita Budi tentang keadaan bapaknya.
Sementara Tejo hanya diam. Saat ini dia merasakan kegundahan yang luar biasa. Bisa dipastikan rencananya tak kan terlaksana akibat musibah ini. Tejo memang lelaki berhati baik, meskipun kerap kali kelakuan ibu mertuanya membuatnya kecewa. Namun, dia juga merasakan kesedihan. Tejo sudah menganggap mertuanya seperti orang tua sendiri.
Saat itu juga, setelah Surti dan Tejo sampai di rumah, Pak Di langsung dibawa ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Pak Di langsung ditangani oleh beberapa perawat yang berjaga. Mereka melakukan standar perawatan sebelum diperiksa oleh dokter jaga.
Mak Dami dan Surti menunggu pagi di depan ruangan di mana Pak Di dirawat dengan beralaskan tikar. Sementara Tejo menjaga mertuanya di dalam.
Pagi hari, sebelum dokter jaga datang. Murti datang. Putri kedua Mak Dami itu sangat bersedih setelah mengetahui keadaan bapaknya. Kedua matanya sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya Pak Di diperiksa. Setelah menjalani berbagai pemeriksaan, bapak dua anak itu didiagnosa menderita stroke.
Mendengar berita itu, Mak Dami langsung lemas. Wanita baya itu tak pernah membayangkan kalau suaminya menderita penyakit yang menurutnya sangat menakutkan.
Surti sangat ingin menemani ibunya di rumah sakit, tapi dilarang sama Dokter karena mempunyai anak kecil. Sementara Murti sedang hamil besar jadi dia juga tidak bisa ikut menjaga bapaknya.
Akhirnya Surti dan Murti bersepakat meminta seorang sepupu untuk menemani Mak Dami.
"Maafkan, Murti ya, Bu. Gak bisa ikut menjaga bapak." Murti duduk mendekati ibunya. "Murti akan usahakan, agar bisa ke sini setiap hari," imbuhnya berusaha menghibur ibunya itu.
"Gak usah setiap hari, Mur. Kamu kan sedang hamil besar. Sudah kamu beristirahat aja di rumah, doakan aja agar bapakmu lekas pulih," kata Mak Dami pada putri bungsunya itu.
"Malam ini biar Surti aja yang menemani ibu." Surti yang tengah duduk di sisi lain Mak Dami ikut menyahut.
"Gak usah, Sur. Kasihan Wahid, kamu tadi dengar sendiri kan apa kata Pak Dokter? Anak kecil sebaiknya jangan dibawa ke rumah sakit." Setelah berucap Mak Dami menghela napasnya. Ada bulir bening menetes di pipinya.
"Ibu ..." Surti dan Murti menghambur memeluk Mak Dami. Mereka pun menangis bersama.
***
Surti pulang ke rumah bersama suaminya. Dengan berat hati dia meninggalkan ibunya di rumah sakit. Hatinya tak tenang, walaupun sudah ada Wati yang menemani Mak Dami.
"Mas, nanti sore Sampeyan pergi ke rumah sakit ya," pintanya pada sang suami ketika baru saja mereka masuk ke rumah.
"Kalau Mas ke rumah sakit, Kamu di rumah sama siapa?" sahut Tejo. Setelah duduk di kursi, nampak jelas gurat kelelahan di wajah teduhnya.
"Ya, gak usah sampai malam, usahakan jam sepuluh udah sampai rumah. Gitu loh, Mas." Surti memberi solusi. Setelah itu dia berjalan ke kamar untuk menidurkan anaknya yang sudah terlelap dalam gendongannya.
"Ya udah kalau gitu. Mas mau ke kandang dulu." Tak mempedulikan rasa lelah di badan, Tejo gegas menuju belakang rumah di mana sapi-sapi sudah menunggu untuk diberi makan dan minum.
"Biasa'an! Kalau dari mana-mana, mesti sapi dulu yang diingat," gerutu Surti pelan. Namun, masih bisa didengar oleh suaminya.
"Dek, kamu cemburu sama sapi?" goda Tejo. Lelaki itu tersenyum sambil menaik turunkan alisnya setelah Surti melotot padanya.
Surti langsung mengambil apa saja yang ada di dekatnya, setelah itu dia lemparkan ke arah Tejo, tentu saja Surti memilih barang yang tidak bahaya.
Sebelum terkena lemparan, Tejo terlebih dulu berlari sambil tertawa. "Ah, bahagianya jika bisa tinggal di rumah sendiri, bisa bercanda ses**a hati dengan istri tercintanya," batinnya
***
Mak Dami kembali menjual sapinya untuk membayar biaya rumah sakit. Rencananya dia mau menjual sebidang tanah, tapi menjual tanah tidak bisa cepat laku, jadi pilihannya jatuh pada hewan ternaknya.
Untuk penjualan sapi kali ini, harganya tidak semahal yang kemarin karena yang dijual adalah sapi betina. Jadi, harga jualnya tak semahal sapi jantan.
Setelah dirawat selama hampir dua bulan. Pak Di sudah diperbolehkan pulang. Walaupun keadaan belum sembuh total.
Mak Dami meminta Wati untuk tinggal di rumahnya, agar bisa membantunya merawat suami tercinta. Apalagi setelah dia mengetahui jika Surti tengah hamil. Putri sulungnya itu pasti tidak bisa maksimal membantu merawat suaminya.
"Baru ditinggal di rumah sakit dua bulan, sudah hamil aja si Surti itu," gerutu Mak Dami ketika berita kebahagiaan itu sampai ke telinganya.
"Untung si Wati mau tinggal di sini, jadi kan bisa bantu-bantu." Lagi wanita paruh baya itu menggerutu. Tentu saja hal itu dilakukan di belakang Surti.
Tak hanya Mak Dami, Surti juga sangat senang ketika Wati mau tinggal di rumahnya. Akhirnya dia mempunyai teman mengobrol ketika melakukan kegiatan di dapur. Selain membantu merawat bapaknya. Wati juga bisa membantu membersihkan rumah, pikir Surti.
Kesehatan Pak Di mengalami kemajuan cukup baik, sekarang dia sudah bisa menggerakkan kaki dan tangannya.
Setiap pagi setelah subuh, Mak Dami mengajak Pak Di jalan-jalan menggunakan kursi roda mengelilingi kampung. Setelah itu berjemur setelah kembali ke rumah.
Hari ini Surti merasa kurang enak badan. Kehamilannya yang kedua ini sangat berbeda dengan saat dia mengandung Wahid dulu. Kali ini dia merasa lebih cepat lelah dan malas melakukan apapun. Bahkan untuk mengasuh Wahid pun kadang dibantu oleh sepupunya yang masih betah melajang itu.
Seperti hari ini. Setelah selesai memandikan Wahid, Surti meminta tolong pada Wati untuk menjaga putranya karena dia akan mandi. Walau kurang enak badan, dia tetap mandi menggunakan air hangat.
Surti sangat berterima kasih pada sepupunya itu karena dialah yang sudah mengerjakan semua pekerjaan yang biasa dilakukannya.
Setelah selesai mandi Surti berniat mengambil alih Wahid dari Wati. Tak ada pikiran buruk tentang sepupunya itu. Surti bergegas ke kandang ketika melihat Wati berada di sana sambil menggendong anaknya.
Wati tengah memperhatikan Tejo yang sedang membersihkan kandang. Sesekali Wati mengajak Tejo berbincang, menanyakan banyak hal dan sesekali tersenyum bersama. Sedangkan Wahid terus saja memanggil-manggil bapaknya.
"Apak ... Apak," panggil Wahid sambil mengulurkan tangannya. Tingkahnya yang lucu membuat siapa saja tersenyum bahagia saat melihatnya.
"Wahid!" Surti memanggil putranya dan berjalan menghampiri mereka semua.
"Sudah selesai, Mbak? Sarapan sekalian aja, biar Wahid sama aku dulu," sahut Wati cepat. Dia masih ingin berbincang lebih lama dengan suami sepupunya itu.
"Sudah, Wat," ucapnya sambil tersenyum, "Ayo sini sayange ibu," imbuhnya, sambil mengambil alih Wahid dari gendongan Wati.
"Sekarang gantian kamu yang sarapan, gih," titah Surti.
"Ya sudah." Dengan sedikit kesal Wati menjawab sambil berlalu meninggalkan Surti dan Tejo.
"Sampeyan sudah sarapan, Mas?" tanya Surti pada sang pujaan hati.
"Sudah, Dek." Tejo menjawab sambil tersenyum.
Setelah Wati pergi, Surti pun hendak menyusul masuk ke rumah. Namun, langkahnya berhenti saat Tejo mencekal pelan lengannya.
"Mau ke mana? Sini dulu temani aku." Tejo melepas pegangannya, kemudian meraih dan menggenggam tangan istrinya.
Tejo mendekat kemudian mencium Wahid. Membuat Surti kesal karena sudah merasa dag dig dug.
"Kok Wahid yang dicium?" protes Surti tanpa sadar.
"Kenapa? Ibunya Wahid mau dicium juga?" Tejo senang sekali menggoda istrinya.
"Ish! Malu tuh dilihat sama sapi," ketus Surti. Wanita itu pun langsung berlalu dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Surti sudah merasa bahagia, walau hanya dengan candaan dan godaan-godaan kecil suaminya. Sementara di dalam rumah terlihat seseorang mengawasi mereka dengan tatapan kurang s**a.
SEATAP DENGAN MERTUA - Dedi Sutrisno
Sebuah cerita yang mengisahkan tentang s**a duka, pahit dan manis ketika berkumpul dengan orang tua....