23/12/2024
DEKOLONISASI NATAL #2: Kelahiran Juruselamat yang Tak Masuk Hitungan
Natal yang sering kita rayakan hari ini penuh dengan kemeriahan pesta, gemerlap lampu, dan kemegahan. Perayaan ini adalah warisan Natal versi Barat, sebuah Natal Kolonial yang secara historis dipengaruhi budaya imperialisme dan kapitalisme.
Akan tetapi, jika kita kembali ke narasi Natal yang ditulis dalam Alkitab, pesan Natal justru kontras secara radikal dengan gambaran tersebut. Natal dalam konteks imperium Roma adalah kisah penindasan, ketidakadilan, dan pengabaian. Ini adalah kisah Tuhan yang hadir di tengah dunia yang dikuasai oleh kekuatan yang menindas, bukan sebagai pahlawan dalam kemenangan budaya triumphalism, tetapi sebagai seorang bayi yang tidak masuk hitungan, tidak dianggap, dan lahir di kandang hewan.
Ketika Kaisar Augustus menghitung seluruh penduduk kerajaannya dalam sebuah sensus, Yesus tidak termasuk di antara mereka. Dia dihitung bersama hewan, lahir di tempat yang jauh dari yang namanya "layak." Mereka yang menyambut-Nya pertama kali bukanlah orang-orang terhormat atau penguasa-penguasa, melainkan para gembala, kelompok yang juga tidak dihitung oleh masyarakat. Saat yang lain berada di rumah mereka, nyaman dan terdaftar dalam struktur sosial Roma, para gembala berada di ladang, di pinggiran masyarakat. Sang Juruselamat yang tidak dihitung ini lahir untuk mereka yang juga tak dihitung dan menghitung mereka yang tak masuk hitungan.
Tak lama setelah kelahiran-Nya, orang-orang majus dari Timur, mereka yang dianggap sebagai "kafir" oleh standar Yudaisme, datang untuk menyembah-Nya. Mereka yang jauh secara geografis dan p**a jauh secara teologis justru mengenali terang itu, sementara para pemimpin agama Yahudi yang merasa diri sebagai pemegang kebenaran malah tidak peduli. Bahkan, mereka bersama dengan Herodes yang penuh iri hati, bersekongkol untuk menolak-Nya.
Dan kisah Natal tidak berhenti dengan sukacita. Ratapan yang menggema memenuhi Betlehem ketika Herodes memerintahkan pembunuhan anak-anak kecil dalam upayanya membunuh Yesus. Tangisan para ibu di Betlehem menggambarkan bahwa Natal, sejak awal, sangat dekat dengan penderitaan, pengabaian, dan ketidakadilan.
Dekolonisasi Natal adalah panggilan untuk kembali kepada akar Natal yang sejati. Natal bukanlah tentang kemegahan atau pesta yang gemerlap, tetapi tentang solidaritas dengan mereka yang tertindas, yang termarginalkan, dan yang terabaikan.
Sang Bayi Kudus tidak lahir di istana atau di tempat-tempat yang mewah, tetapi di kandang, di antara hewan, di tempat yang jauh dari layak.
Oleh karena itu, dalam minggu-minggu advent ini, kita dipersiapkan dan dipanggil untuk merayakan Natal bukan dalam kemewahan dan gemerlap dunia, tetapi di jalan-jalan, di gang-gang kumuh, di tempat-tempt sederhana yang seringkali diabaikan. Di sanalah kita akan menemukan Yesus, yang terus membaringkan kepala-Nya di antara mereka yang menderita.
Sang Bayi Kudus yang tak masuk hitungan itu mengajak kita meninggalkan budaya triumphalism dan kapitalisme Natal yang mendominasi, dan kembali kepada pesan Natal yang sejati. Sebuah pesan solidaritas, kerendahan hati, dan kasih yang melintasi batas-batas sosial.
Natal adalah pengingat bahwa Allah tidak hadir di pusat kekuasaan, tetapi di pinggiran. Dan sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk membawa terang itu, bukan ke pusat-pusat politik, pusat-pusat eknomi, bahkan bukan ke pusat-pusat religiusitas, tetapi ke tempat yang sama saat Yesus lahir, yaitu di pinggiran kehidupan yang tak masuk hitungan kita sembari berharap dan membawa harapan bahwa kelak, Sang Juruselamat yang tak masuk hitungan itu, akan kembali sebagai Raja Agung untuk mendirikan keadilan sejati dan meruntuhkan setiap penindasan dengan cinta kasih yang tiada mengenal batas.
Selamat menyambut Natal
Tuhan Yesus memberkati
~Finki Rianto Kantohe
Pembantaian The massacre (or slaughter) of innocents is recounted in the natiivity narrative of the Gospel of Matthew (2:16-18) in which Herod the Great, Kin...