19/07/2024
HUTANG DAN BUNGA
"Dek, maafkan mas ya, rumah ini terpaksa harus dijual."
"Blaarr...blaarrrr...."
Seperti halilintar yang menyambar di siang bolong, hingga dalam sekejap mata menjadi gelap dan bergemuruh dadaku.
Aku ngga tahu lagi bagaimana harus berkata-kata. Tak kuasa mulutku membuka hanya sekedar bilang "apa?"
Aku diam tak bergeming, sampai aku merasa ada guncangan di pundakku serta suara panggilan yang samar.
Mas Danu ada di sampingku, dengan wajah pucat.
Dia memegang dan mengelus pundakku yang terus melelehkan air mata tanpa suara.
Aku syok!
"_Aku benci dengan keadaan ini, aku benci! "_ gumamku sambil memukulkan genggamanku di atas kasur bertubi-tubi.
Mas Danu berusaha menghentikan aksiku. Namun aku bergeser menjauhinya, dan menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur dan membelakangi mas Danu. Aku berharap dia keluar dari kamar.
"_Aku ingin sendiri, biar air mata ini sementara menemani deritaku_".
Aku masih enggan bicara dengan mas Danu, aku ingin menata hatiku agar lebih tenang manakala dia akan mengulangi lagi perkataannya.
Harusnya aku tetap tegar apapun yang akan terjadi, karena aku sudah tahu apa penyebabnya.
Aku masih ingat betul waktu itu mas Danu bilang ingin memperbaiki rumah peninggalan orang tuaku, karena kondisinya sudah sangat tua dan banyak yang rusak di sana sini.
Waktu itu mas Danu sudah lima tahun menjadi pegawai negeri sipil, dia ingin mengajukan pinjaman di Koperasi tempat dia bekerja, agar bisa memperbaiki rumah yang kami tempati.
"Bagaimana dek, ini ada tawaran dari Koperasi dana pinjaman sebesar 35 juta, aku ambil ya?, tanya mas Danu".
" Mas, bagaimana jika ngga usah ambil pinjaman di Koperasi."
"Meski bukan seperti Bank tapi tetap ada bunganya kan?" Tanyaku.
"Iya lhaa dek, tapi ringan. Namanya juga simpan pinjam, tentu ada jasanya." Bilangnya.
"Ngga usah ya mas, kita nabung saja seadanya dari uang gajimu."
"Anak-anak juga butuh biaya, kalo nanti gajimu di potong untuk angsuran koperasi, jatah untuk keluarga kurang d**g."
"Sudahlah dek, itu nanti mas yang tanggung. Mumpung ada kesempatan pinjam, biar semangat kerjanya." Mas Danu bilang seperti itu sambil meninggikan suaranya satu oktaf.
Aku benar-benar ngga yakin tentang hutang ini, tapi jika ingat watak mas Danu aku enggan menyanggah. Aku akan dibilang istri nggak taat pada suami.
Inilah kelemahanku, jika sudah mendapatkan tekanan dari mas Danu aku mengalah dan membiarkan dia menuruti apa kemauannya, aku tidak berani membantah.
Hari berganti, bulan berganti menjadi tahun dengan begitu cepatnya.
Hidupku mengalami perubahan, rumahku juga sudah berkali-kali di renovasi. Hingga ada garasi dengan satu unit mobil dan dua unit motor.
Selayak pandangan kami menjadi orang berada dan suami punya jabatan.
Namun mereka tidak tahu bahwa derita hutang terus menggerogoti keluargaku. Karena suamiku semakin berani dalam berhutang.
Sedangkan aku tetap tak berkutik!
Bahkan untuk menutup segala kekurangan aku jualan apa saja yang bisa aku jual baik offline atau online. Asal semua nampak baik-baik saja.
Kedua anakku pun merasakan betapa jungkir baliknya akibat hutang ini.
Hingga suatu hari datang surat panggilan untuk mas Danu untuk menghadap atasannya dan menandatangani surat kesediaan untuk membayar hutangnya yang mencapai 200 juta!
Aku kaget bukan main, kok sampai sebesar itu hutangnya?
"Mas, jelaskan padaku kenapa sampai sebesar ini hutangmu?"
"Bukankah gajimu sudah dipotong tiap bulan untuk angsurannya? "
"Jangan diam saja mas..." ๐ญ
"Maafkan mas dek, sebenarnya mas sudah sering dipanggil menghadap kepala, tapi mas ngga bilang padamu."
"Kenapa ngga terus terang mas?"
"Mas berusaha mengatasi semampu mas, biar adek ngga banyak terbebani."
"Tapi nyatanya..."
_Mas Danu berhenti berucap sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya._
"Ternyata apa mas? Bilang mas..." Sergahku.
"Semenjak gaji di transfer lewat rekening pribadi, pemotongan langsung melalui Bank yang bersangkutan, sehingga bagian keuangan menerima catatan gaji bersih pegawai. Dan selama ini pihak koperasi tidak konfirmasi pada peminjam."
"Disusul lagi dengan adanya pandemi Covid 19, laporan jadi amburadul." Kilahnya.
"Ketika mas konfirmasi ke bagian koperasi, mereka bilang yang mas bayarkan cuma bunganya, pokoknya belum."
"Mas juga bingung dan kalut dek, ini harus di urai. Tapi sepertinya semua buntu." Mas Danu mengakhiri ceritanya.
Aku belum puas, aku terus bertanya pada mas Danu, "
"Tapi mas, bukannya pegawai yang lain juga mengalami hal yang sama?" Tanyaku.
"Tidak semua, kebetulan mas yang parah. Dan mas malas ngotot jika semua sudah nggak berpihak."
"Lho!.... "
"Kok mas loyo? Perjuangkan d**g!"
"Malas dek! "
"Mas...Inilah kelemahanmu! " "Cenderung mengalah dengan orang lain, dan mengorbankan keluarga". Aku katakan itu sambil berlalu dari hadapan suamiku.
Aku berusaha tidak menangis dan menahan sekuat-kuatnya agar air mataku tak tumpah.
Aku masuk kamar, belum juga duduk, mas Danu mengikutiku dari belakang dan bilang : "Rumah ini dijual ya dek."
Aku diam dan hampir berhenti nafasku. "Cobaan apalagi ini...??"
Hancur berkeping-keping rasaku, begini akhirnya perjuanganku. Terlalu indah lakon kehidupanku.
Kubiarkan mas Danu terpaku di tempatnya. Aku buru-buru masuk kamar mandi ambil air wudu dan bermunajat padaNya.
Hanya Dia yang akan memberikan solusinya. Ya hanya Dia yang mencintai hambaNya tanpa syarat.