02/01/2020
MOBILE DIGILIB: SEBUAH WABAH KESALAHPAHAMAN LITERASI INDONESIA
Tahun 2015 menjadi era baru perkembangan perpustakaan digital (selanjutnya disebut “digilib”) di Indonesia. Diluncurkannya iJakarta sebagai aplikasi perpustakaan berbasis mobile menjadi penanda. Aplikasi hasil kolaborasi Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT. Woolu Aksara Maya menjadi yang pertama di Indonesia. Konsep digilib plus tersedianya fitur-fitur sosial media layak dibilang luar biasa ditengah minimnya inovasi bidang perpustakaan. Tidak lupa, ada ribuan judul buku dengan beragam kategori, mulai dari buku pelajaran sekolah, kuliah, ilmu pengetahuan umum, biografi, sejarah, dan buku-buku populer yang bisa diakses secara gratis, menambah rasa bahagia para penggemar buku di Indonesia, khususnya Jakarta.
Setahun setelah diluncurkannya iJakarta, Perpustakaan Nasional seolah tak mau kalah, Berlandasakan hasil survei mengenai tingginya penggunaan gadget, internet, serta media sosial masyarakat Indonesia, dan kecilnya minat baca masyarakat dari UNESCO. Pada Agustus 2016, tepatnya sehari sebelum peringatan kemerdekaan, iPusnas diluncurkan. Munculnya aplikasi ini digadang-gadang menjadi pembaharu perpustakaan dalam upaya meningkatkan kegemaran membaca masyarakat. Namun, dirilisnya iPusnas menjadi tidak spesial, sebab konsep, fitur, dan tampilan hampir tidak ada bedannya dengan iJakarta yang sudah ada. Bisa dimaklumi karena keduanya sama-sama dikerjakan bersama PT. Woolu Aksara Maya.
Semenjak iPusnas muncul, digilib berbasis mobile ini banyak dibuat. Bisa dibilang tumbuh subur atau sebaliknya menjadi wabah yang menjamur. Bagaimana tidak, lebih dari 100 aplikasi digilib (yang dinominasi milik Perpusda) di Indonesia muncul dalam kurun waktu dua tahun saja (2016–2018). Beberapa perusahan jasa pengembang terlibat dalam kolaborasi pengerjaannya. Meskipun dominasi milik Aksara Maya dan PT. Enam Kubuku Indonesia, namun perlahan perusahaan lain mengejar dibelakang, seperti Sygma Media Innovation.
Entah bagaimana bisa perkembangan digilib berbasis mobile dalam lingkup Perpusda begitu cepat. Padahal jika menengok pernyataan Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional, Dedi Junaedi. Perpustakaan daerah diminta memanfaatkan fasilitas layanan digital yang dimiliki Perpusnas, seperti perangkat lunak INLISLite, iPusnas, Repositori Digital Perpustakaan Indonesia OneSearch (IOS), dan portal jurnal dan buku ilmiah elektronik e-Resources.
___________________
MENGINTIP APLIKASI MOBILE DIGILIB PERPUSTAKAAN DAERAH
Menurut artikel berita Prokal(dot)com pengembangan paket perpustakaan digital ini ditaksir memakan biaya sebesar 150–200 juta rupiah, Namun besaran itu juga tergantung pada total pengadaan e-buku dan perusahaan penyedia jasa digilib. Dengan biaya sebesar itu mampukah perpustakaan digital berbasis mobile mendukung suksesnya peningkatan kegemaran membaca di daerahnya?
Per tanggal 28 Agustus 2018 kami melakukan observasi mengenai pengembangan digilib daerah melalui Google Playstore. Hasilnya kami menemukan 94 aplikasi mobile digilib yang dikembangkan oleh 5 pengembang. Sebagai pelopor digilib di Indonesia tentu saja iJakarta menjadi aplikasi yang paling banyak diunduh di Google Playstore dengan total kurang lebih seratus ribu unduhan, kemudian disusul oleh iJogja dengan kurang lebih sepuluh ribu unduhan. Meskipun di urutan satu dan dua, namun iJakarta dan iJogja cukup terpaut jauh total unduhannya. Lebih miris lagi, dari total 94 aplikasi yang tercatat oleh penulis, dapatkan sebanyak 89.85 persen aplikasi digilib hanya memperoleh kurang lebih lima ribu unduhan dan 26 aplikasi mencapai tidak lebih dari 10 unduhan.
Entah ada atau tidak riset yang dilakukan perpustakaan daerah sebelum mengembangkan aplikasi. Nyatanya digilib berbasis mobile yang dibuat tiap daerah tidak banyak digunakan masyarakat. Pengembang dan perpustakaan daerah seakan acuh pada realita bahwa mayoritas masyarakat kita cenderung menggunakan internet untuk akses aplikasi chat serta media sosial, yang didalamnya banyak mengandung konten hiburan. Bahkan penetrasi untuk aplikasi hiburan masyarakat Indonesia dalam sehari saja mencapai 81,45 persen.
Pola akses informasi seperti ini membuat kita mundur satu abad ke belakang. Paul Otlet yang dikenal sebagai bapak informasi pada saat itu membuat dan mengumpulkan katalog berbagai pengetahuan dunia yang disimpan di Mundaneum. Tujuannya jelas, Otlet menginginkan adanya satu titik akses pengetahuan bagi seluruh masyarakat dunia untuk mempermudah dalam menemukan informasi. Namun mengapa banyak perpusda yang ngeyel membuat titik akses sendiri, padahal jelas dalam beberapa aplikasi, terdapat banyak keluhan yang disampaikan pengguna cukup serupa, seperti kurang beragamnya koleksi buku hingga buku yang dicari terdapat di aplikasi digilib lain. Bahkan menurut Ahmad Masykuri Kabid Pengembangan Koleksi dan Bahan Pustaka Perpusnas, iPusnas-pun masih mengalami defisit antrian pengguna sebanyak 50 ribu dari total 118 ribu pengunduh aplikasinya. Hal tersebut tanpa disadari mengindikasikan gagalnya pola digilib yang telah dibentuk selama ini.
Sederhananya, apakah masyarakat Indonesia mau memakai dua atau lebih aplikasi mobile digilib yang memiliki fitur sama? Kalu saya sih tidak.
Perpusnas harus mengentikan wabah ini, anggaran harus digunakan dengan efektif mungkin. Ultimatum patut diberikan kepada perpustakaan daerah. Pengembangan mobile digilib harusnya berangkat dari kebutuhan masyarakat bukan sebuah bentuk adu wibawa antar perpusda. Banyak yang harus dilakukan Perpusda selain berkutat dengan digilib dalam meningkatkan budaya baca dan literasi bangsa Indonesia.
Sebagai tambahan, berikut adalah 94 produk mobile digilib yang penulis temukan lewat Google Playstore.
https://drive.google.com/open?id=1YUKgsI43QNAP0xG94XW3Ag_yf4dIYPN4MOBILE DIGILIB: SEBUAH WABAH KESALAHPAHAMAN LITERASI INDONESIA
Tahun 2015 menjadi era baru perkembangan perpustakaan digital (selanjutnya disebut “digilib”) di Indonesia. Diluncurkannya iJakarta sebagai aplikasi perpustakaan berbasis mobile menjadi penanda. Aplikasi hasil kolaborasi Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT. Woolu Aksara Maya menjadi yang pertama di Indonesia. Konsep digilib plus tersedianya fitur-fitur sosial media layak dibilang luar biasa ditengah minimnya inovasi bidang perpustakaan. Tidak lupa, ada ribuan judul buku dengan beragam kategori, mulai dari buku pelajaran sekolah, kuliah, ilmu pengetahuan umum, biografi, sejarah, dan buku-buku populer yang bisa diakses secara gratis, menambah rasa bahagia para penggemar buku di Indonesia, khususnya Jakarta.
Setahun setelah diluncurkannya iJakarta, Perpustakaan Nasional seolah tak mau kalah, Berlandasakan hasil survei mengenai tingginya penggunaan gadget, internet, serta media sosial masyarakat Indonesia, dan kecilnya minat baca masyarakat dari UNESCO. Pada Agustus 2016, tepatnya sehari sebelum peringatan kemerdekaan, iPusnas diluncurkan. Munculnya aplikasi ini digadang-gadang menjadi pembaharu perpustakaan dalam upaya meningkatkan kegemaran membaca masyarakat. Namun, dirilisnya iPusnas menjadi tidak spesial, sebab konsep, fitur, dan tampilan hampir tidak ada bedannya dengan iJakarta yang sudah ada. Bisa dimaklumi karena keduanya sama-sama dikerjakan bersama PT. Woolu Aksara Maya.
Semenjak iPusnas muncul, digilib berbasis mobile ini banyak dibuat. Bisa dibilang tumbuh subur atau sebaliknya menjadi wabah yang menjamur. Bagaimana tidak, lebih dari 100 aplikasi digilib (yang dinominasi milik Perpusda) di Indonesia muncul dalam kurun waktu dua tahun saja (2016–2018). Beberapa perusahan jasa pengembang terlibat dalam kolaborasi pengerjaannya. Meskipun dominasi milik Aksara Maya dan PT. Enam Kubuku Indonesia, namun perlahan perusahaan lain mengejar dibelakang, seperti Sygma Media Innovation.
Entah bagaimana bisa perkembangan digilib berbasis mobile dalam lingkup Perpusda begitu cepat. Padahal jika menengok pernyataan Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional, Dedi Junaedi. Perpustakaan daerah diminta memanfaatkan fasilitas layanan digital yang dimiliki Perpusnas, seperti perangkat lunak INLISLite, iPusnas, Repositori Digital Perpustakaan Indonesia OneSearch (IOS), dan portal jurnal dan buku ilmiah elektronik e-Resources.
___________________
MENGINTIP APLIKASI MOBILE DIGILIB PERPUSTAKAAN DAERAH
Menurut artikel berita Prokal(dot)com pengembangan paket perpustakaan digital ini ditaksir memakan biaya sebesar 150–200 juta rupiah, Namun besaran itu juga tergantung pada total pengadaan e-buku dan perusahaan penyedia jasa digilib. Dengan biaya sebesar itu mampukah perpustakaan digital berbasis mobile mendukung suksesnya peningkatan kegemaran membaca di daerahnya?
Per tanggal 28 Agustus 2018 kami melakukan observasi mengenai pengembangan digilib daerah melalui Google Playstore. Hasilnya kami menemukan 94 aplikasi mobile digilib yang dikembangkan oleh 5 pengembang. Sebagai pelopor digilib di Indonesia tentu saja iJakarta menjadi aplikasi yang paling banyak diunduh di Google Playstore dengan total kurang lebih seratus ribu unduhan, kemudian disusul oleh iJogja dengan kurang lebih sepuluh ribu unduhan. Meskipun di urutan satu dan dua, namun iJakarta dan iJogja cukup terpaut jauh total unduhannya. Lebih miris lagi, dari total 94 aplikasi yang tercatat oleh penulis, dapatkan sebanyak 89.85 persen aplikasi digilib hanya memperoleh kurang lebih lima ribu unduhan dan 26 aplikasi mencapai tidak lebih dari 10 unduhan.
Entah ada atau tidak riset yang dilakukan perpustakaan daerah sebelum mengembangkan aplikasi. Nyatanya digilib berbasis mobile yang dibuat tiap daerah tidak banyak digunakan masyarakat. Pengembang dan perpustakaan daerah seakan acuh pada realita bahwa mayoritas masyarakat kita cenderung menggunakan internet untuk akses aplikasi chat serta media sosial, yang didalamnya banyak mengandung konten hiburan. Bahkan penetrasi untuk aplikasi hiburan masyarakat Indonesia dalam sehari saja mencapai 81,45 persen.
Pola akses informasi seperti ini membuat kita mundur satu abad ke belakang. Paul Otlet yang dikenal sebagai bapak informasi pada saat itu membuat dan mengumpulkan katalog berbagai pengetahuan dunia yang disimpan di Mundaneum. Tujuannya jelas, Otlet menginginkan adanya satu titik akses pengetahuan bagi seluruh masyarakat dunia untuk mempermudah dalam menemukan informasi. Namun mengapa banyak perpusda yang ngeyel membuat titik akses sendiri, padahal jelas dalam beberapa aplikasi, terdapat banyak keluhan yang disampaikan pengguna cukup serupa, seperti kurang beragamnya koleksi buku hingga buku yang dicari terdapat di aplikasi digilib lain. Bahkan menurut Ahmad Masykuri Kabid Pengembangan Koleksi dan Bahan Pustaka Perpusnas, iPusnas-pun masih mengalami defisit antrian pengguna sebanyak 50 ribu dari total 118 ribu pengunduh aplikasinya. Hal tersebut tanpa disadari mengindikasikan gagalnya pola digilib yang telah dibentuk selama ini.
Sederhananya, apakah masyarakat Indonesia mau memakai dua atau lebih aplikasi mobile digilib yang memiliki fitur sama? Kalu saya sih tidak.
Perpusnas harus mengentikan wabah ini, anggaran harus digunakan dengan efektif mungkin. Ultimatum patut diberikan kepada perpustakaan daerah. Pengembangan mobile digilib harusnya berangkat dari kebutuhan masyarakat bukan sebuah bentuk adu wibawa antar perpusda. Banyak yang harus dilakukan Perpusda selain berkutat dengan digilib dalam meningkatkan budaya baca dan literasi bangsa Indonesia.
Sebagai tambahan, berikut adalah 94 produk mobile digilib yang penulis temukan lewat Google Playstore.
https://drive.google.com/open?id=1YUKgsI43QNAP0xG94XW3Ag_yf4dIYPN4