Info Rokan hilir

Info Rokan hilir Informasi di sekitar kita

02/12/2024

🎙 ℕ𝕒𝕫𝕒𝕣𝕒 // 🎧 𝙔𝙖𝙣𝙜 𝙏𝙚𝙧𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢
{ 𝘓𝘺𝘳𝘪𝘤 𝘝𝘪𝘥𝘦𝘰 ~ 𝘕𝘰𝘢𝘩 }
Menikmati keindahan jalan yang ada di Rokan hilir yang juga di temani dengan lagu-lagu yang populer terkini....
Yok mari kita nikmati keindahan dan dengan lagu-lagu terpopuler.....

29/11/2024

ORANG YANG SALAH
WLS WARAAU

 "Sudah hampir sore, acara akan segera berakhir. Mungkin saya akan terlambat masuk ke kamar ini, kamu istirahatlah dulu....
28/10/2024



"Sudah hampir sore, acara akan segera berakhir. Mungkin saya akan terlambat masuk ke kamar ini, kamu istirahatlah dulu." ucap Akbar, setelah dapat menstabilkan gejolak tubuhnya.

Perhatiannya tak lepas dari wajah cantik Puteri.

Merasa terus diperhatikan, Puteri langsung pergi kekamar mandi, tanpa ucapan apapun.

"Hhuuuhhhh..ya Allah, jantungku rasanya mau copot. Tolong hamba ya Allah, hamba takut. Dia seperti harimau." guman Puteri dan terdengar lirih.

Begitu melihat wajahnya dipantulan cermin dikamar mandi, Puteri baru tersadar kalau dia sudah tidak menggunakan hijab sejak tadi.

"Mati aku, pak Akbar melihat rambutku yang kucel ini, malunya..?" Puteri segera membersihkan tubuhnya yang sudah sangat lengket dan gerah.

Hari mulai gelap, tamu- tamu undangan sudah pada berpulangan. Pak Akbar baru saja selesai melaksanakan solat magrib di kamar hotel tempat istri pertamanya.

"Kenapa mama tidak solat?" Tanya pak Akbar lembut, sambil melangkah menghampiri istrinya yang sedang duduk diatas pembaringan.

"Kenapa papa bisa membuat keputusan sendiri, untuk menikahinya?" tanya bu Nova yang sudah mulai terisak.

"Keadaan terdesak ma, aku harus bertanggung jawab atas perbuatan Rizal putera kita...!"

"Tapi pernikahan bisa dibatalkan, kalau salah satu mempelai tidak ada, pa." Jawab bu Nova dengan nada kesal.

"Dan itu ide kalian kan...? Kalau tidak mau kenapa tidak dari sebulan yang lalu, membatalkannya?" tanya pak Akbar yang sudah mulai emosi.

Emosi dan malu yang tertahan, belum lagi tanggung jawab kepada wanita muda yang soleha yang baik, yang telah ditinggalkan Rizal.

"Kalau mama tidak membantunya, ini tidak akan terjadi, mama sendiri yang mempermalukan papa, kelakuan mama sendiri yang buat papa melakukan keputusan ini..." dengan nada tinggi dan kecewa pak Akbar meluapkan isi hatinya.

"Oo...! baru satu hari papa menikahinya, mama sudah papa sudutkan seperti ini." ucap nu Nova dengan wajah dendam dan benci

"Perempuan seperti itu yang papa bilang akhlaknya baik, tidak dapat anaknya, ayahnya pun jadi. Dasar munafik." Maki bu Nova.

"Sifat mama yang satu inilah yang tidak bisa diubah, s**a menilai kejelekan orang tanpa melihat kelakuan sendiri. Karena itu Rizal jadi keterlaluan, dan hidup s**a- s**a. Mama lebih s**a melihat Rizal berzina dengan perempuan diluaran sana, dari pada Rizal menikah dengan perempuan baik-baik." Ucap pak Akbar.

"Kenapa mama membantu dan menyarankan Rizal untuk pergi ma...?" tanya pak Akbar sekali lagi dengan nada yang kembali lembut.

Menunggu istrinya untuk menjawab, pak Akbar membuka layar ponselnya, mencoba kembali untuk menghubungi sang putera.

"Aku tidak menyukai perempuan itu, aku yakin dia hanya mau harta Rizal saja." Jawab bu Nova.

"Hanya alasan itu sajakah...?" tanya Akbar kembali.

"Semuanya...! aku tidak menyukai apa yang ada dirinya." Jawab bu Nova emosi.

"Sekarang bukan lagi untuk menghabiskan harta anakku, dia pasti akan menghabiskan hartamu pa, dengan wajah cantik yang pura- pura lugu."sambung Bu Nova lagi dengan raut wajah benci.

Akbar menggeleng tak habis fikir, dengan ucapan istrinya. Dia tidak bisa melanjutkan kata nasehatnya, karena percuma saja.

Orang yang sudah membenci, dia akan tetap membenci walaupun ada kebaikan dari seseorang yang dibencinya itu. untuk itu pak Akbar diam.

***

"Papa mau kemana?" tanya bu Nova, yang tiba-tiba tiba melihat suaminya seperti akan keluar.

"Papa mau melihat Puteri, walau bagaimanapun dia istri papa sekarang." Jawab pak Akbar pelan.

Dengan cekatan bu Nova langsung menahan pintu hotel agar pak Akbar tidak keluar.

"Aku gak izin pa? Aku gak ikhlas berbagi, aku gak ikhlas kalau papa menyentuhnya." tutur Bu Nova dengan suara bergetar.

Ada rasa kasihan dihati pak Akbar melihat kondisi istrinya, tapi tidak mungkin juga dia menceraikan Puteri. Terlalu banyak masalah rumah sakit yang harus dia tangani. Belum lagi kepergian Rizal, pasti meninggalkan segudang masalah.

"Jangan egois ma, kamu sendiri yang menyalakan api dalam masalah ini, karena cintaku yang terlalu padamu, menjadikan dirimu seperti imam ku saja." Omel pak Akbar akhirnya.

Setelah berucap demikian, pak Akbar membaringkan tubuhnya diatas sofa, memejamkan mata, mencoba untuk mengistirahatkan tubuh dan fikirannya.

Bu Nova yang melihat suaminya terbaring diatas sofa, mendekat dan memperhatikan sosok pria gagah yang sangat menyayanginya itu, ada rasa sesal dihati karena mengikuti kemauan Rizal.

Tak terlintas sedikitpun kalau suaminya, akan mengambil keputusan untuk membagi cinta. nasi telah menjadi bubur, yang ada dihatinya kini, hanya dendam dan benci yang terlalu pada Puteri yang sekarang telah menjadi madunya.

Sementara di kamar pengantin hotel, Puteri baru menyelesaikan solat isya.

Berniat untuk menghubungi sang ayah, Puteri segera naik keatas tempat tidur pengantin, yang sudah disulap dengan indah. Namun tidak seindah nasibnya.

"Assalamualaikum, hallo ayah?" sapa Puteri lembut dari sambungan ponselnya.

"Waalaikum salam, sayang." Jawab sang ayah.

"Ayah dimana? sampai rumah jam berapa? sudah makan ?" Puteri bertanya tanpa jeda, membuat orang diseberang sana tersenyum mendengar pertanyannya.

"Ayah dirumah kita sayang, tadi sore jam lima sampai rumah, ayah sudah makan." Jawab pak Yusuf, dengan rasa hati haru yang sulit untuk dijabarkannya.

Sifat anaknya yang selalu menerima apapun tentang kehidupannya, tidak pernah menuntut ini dan itu kepadanya, hingga masalah cita dan cintapun dia meminta keputusan sang ayah.

Permintaan Puteri sangat sederhana, dia mau ayahnya bahagia dan tidak banyak beban fikiran, cukuplah kepergian sang ibu menghadap sang Khalid membuat ayahnya hampir putus asa kala itu.

Selebihnya, setelah mempunyai semangat hidup kembali, Puteri ingin ayahnya bahagia dengan menuruti semua kehendak sang ayah, tentang hati, hati Puteri hanya untuk ayah dan ibunya.

"Kamu sudah makan nak?" tanya pak Yusuf kepada sang anak, yang tiba-tiba diam dari balik ponsel masing-masing.

"Tadi sore sudah ayah, malam ini sepertinya Puteri gak makan, masih kenyang." jawab Puteri lembut.

"Ayah, boleh Puteri minta tolong?" tanya Puteri kemudian.

"Tolong apa sayang," pak Yusuf bertanya balik.

"Katakan pada kawan ayah itu, Puteri ingin terus bekerja, Puteri gak mau duduk diam dirumah."

"Ikuti kata suamimu sayang, ayah tidak mau ikut campur pada semua keputusan tentang hidupmu." Jawab pak Yusuf setelah beberapa saat berfikir.

"Ya sudah, kalau begitu, nanti Puteri mau ngomong sendiri dengan kawan ayah itu," ujar Puteri pelan.

"Ayah istirahatlah, sudah malam. Puteri tutup dulu ya yah, Assalamulikum.?"

"Waalaikum salam," jawab sang ayah dari seberang.

Sadar dengan banyaknya kelopak bunga, dan hiasan diatas tempat tidur. Puteri segera memindahkan semua dekorasi yang membuatnya sumpek.

"Sudah lapang dan bersih, waktunya untuk tidurrr...!" Gumannya.

Mencari posisi ternyaman, beberapa kali Puteri membolak balikkan tubuhnya, hingga akhirnya dia tertidur. Melupakan sejenak masalah yang akan segera memburunya.

Setelah beberapa saat kemudian, suara handle pintu yang dikunci dari dalam terbuka.

Muncul seseorang pria gagah yang masih kelihatan tampan dan yang pasti beribawa, perawakan tinggi besar dengan brewok tipis yang selalu menghias dipipi, adalah ciri khas dari seorang Akbar Firdaus.

Orang terpenting dalam dunia kesehatan, telah menjadi suami sah dari Adriani Puteri, yang hanya bekerja sebagai pegawai kesehatan di bahagian gizi dirumah sakit miliknya.

JUDUL CALON MERTUAKU MENJADI MADUKU
PENULIS MAYAMAHARANI3F

Baca cerita selengkapnya hanya di KBM app

ANAK BERHARGA 10 JUTA  #3 "Terus ini bagaimana? Yu As ini memang ndak bisa dipasrahi pekerjaan! Hadu!" Pas ketika aku da...
28/10/2024

ANAK BERHARGA 10 JUTA #3

"Terus ini bagaimana? Yu As ini memang ndak bisa dipasrahi pekerjaan! Hadu!"

Pas ketika aku datang, Julaiha memegangi kepala. Kepulan asap dari panci presto ukuran jumbo menyengat penciumanku. Bau gosong. Tangan Emak gemetar, dua telur digenggamannya jatuh ke lantai, membuat Emak buru-buru mengambil baskom kecil dekat kompor. Tetapi, wanita itu malah melempar baskom plastik itu ke badan Emak. Air mataku sejak tadi jelas tertahan. Rahangku mengeras, hingga tak kusadari air mataku menetes. Keterlauan mereka!

"Ada apa sih Buk? Sudah to wong cuma panci, nanti Bapak belikan lagi. Malu sama rewang, malu juga sama besan."

"Ndak Pak! Bapak ini bela keluarga mlarat itu terus! Lihat Pak, baru kerja saja sudah buat Ibuk rugi!" Wanita itu masih saja mengomel. "Denger yo Yu As! Ganti panciku, aku ndak mau tahu! Terserah situ mau ngutang ke siapa yang penting panciku harus diganti!"

"Buk, sudah." Lelaki berkumis tebal itu tampak melihat ke arah Emak yang sibuk mengelap lantai bekas telur. Lelaki itu lalu membawa istrinya masuk ke dalam rumah.

Sejak tadi aku terpaku. Emak menunduk dalam.

"Emak?" tanya Tantri, perempuan tua itu rupanya sedang menangis. Bibirnya tak lagi tersenyum seperti biasa. Emak hanya diam, lalu bibirnya bergetar.

"Emak ke dapur dalam cuma mau ngambil telur untuk adonan dadar gulung di dapur luar, Tantri." Berkali-kali kulihat beliau menyeka matanya.

"Emak masuk sudah bau gosong. Kompor nyala, Emak mau matikan kompor, tapi belum sempat, pancinya meledak." Suaranya lirih. Dapur ini, seharusnya ada yang menjaga panci itu!

"Kambing kurban Emak biar dijual saja yo buat ganti panci presto."

"Gak perlu Mak," ucapku membuat wanita itu sadar akan kehadiranku sejak tadi. Aku lantas keluar mencari seseorang yang tadi memang berada di dapur dalam sejak pagi.

Tadi, aku melihatnya duduk main ponsel ketika aku dan Tantri sibuk meletakkan wadah-wadah yang sudah dicuci. Aku masih hafal wajahnya. Dia masih gadis remaja.

Setelah kucari-cari, wanita muda itu ternyata sedang bersama Yuni, mereka mau kemana, kenapa gadis itu ditarik Yuni? Yuni itu kenapa ada di mana-mana sih! Aku harus bertanya pada wanita muda itu, kenapa dia meninggalkan panci prestonya sampai gosong dan meledak. Setelah kuikuti diam-diam, ternyata mereka berhenti di ujung bangunan, dibalik tembok.

"Kamu ini yok opo to Widya, duh!" Terdengar suara Yuni yang kedengaran kesal. Aku jadi kepo. Kutempelkan telingaku, aku berada di balik tembok tempat mereka bicara.

Cicitan gadis remaja yang sudah pasti wanita muda yang kumaksud itu terdengar kesakitan.

"Sakit to Ma! Widya tadi kebelet pup. Widya ndak bisa nahan, jadi Widya pulang terus lupa ndak ngabarin Mama."

"Siapa yang nyuruh pulang, hah! Mbok ya kalau mau pulang titipin sama rewang yang lain biar dicek terus Widya! Prestonya mahal tahu Wid!"

"Aw sakit to Ma, aku kok dijiwit, tak bilangin Ayah biar Mama diomelin!"

"Ssttt, jangan berisik Widya! Sudah, Mama ndak ngomelin kamu tapi kamu ndak usah bilang-bilang kalau kamu yang jaga prestoannya yo? Tante Julaiha marah besar."

"Terus gimana Ma, Widya gak mau diomelin tante Julaiha."

"Makanya diam. Untung saja tadi ada Yu As."

"Yauda Widya mau pulang. Ada kerja kelompok."

"Iyo, hati-hati. Ndak usah wadul Ayahmu!"

Kuberikan tepuk tangan saat Yuni melihatku. Aku berdiri bersender ke tembok menatap wajahnya yang kelihatan kaget.

"Well. Sudah ketahuan siapa yang salah di sini. Jadi, anak anda yang bikin onar terus Emak As yang jadi kambing hitamnya?" Sekali lagi aku bertepuk tangan, tepat di depan wajahnya.

"Ma-maksudmu? Heh, tamu yang cuma numpang, jangan nuduh-nuduh deh."

"Nuduh?" tanyaku, bibirku tersenyum memperlihatkan audio rekaman yang sudah kusimpan.

Mata wanita itu terbelalak. Tangannya berusaha meraih ponselku. Aku tahu dia sedang keheranan menatap kamera ponsel dan logo ponsel yang mungkin saja ia kira KW juga. Aku tak akan membicarakan itu, sekarang yang terpenting adalah membuatnya mengaku.

"Saya memang tamu, tamu dari Emak Astiah yang anggaplah sedang liburan. Aslinya aku sedang menjaganya tahu?" Aku terkekeh.

"Selama aku di sini, aku tak akan membiarkan siapa pun menyakiti Emak, Bapak dan juga Tantri."

"Si-siapa kamu hah? Pergi sana, ndak perlu sok jadi pahlawan. Lebih baik situ yang balik pulang, sebelum warga ngusir kamu! Kamu ndak perlu ikut campur"

Kini aku tak lagi bersandar ke tembok. Kutatap matanya dengan sangat tajam. Aku ingat, kata Mama mataku ketika tak senyum ibarat belati bermata dua. Tapi ketika aku tersenyum, mataku bak megah bulan sabit.

"Mengakulah kepada Julaiha, maka saya akan membuatmu aman." Kutarih ia, sebuah kesepakatan yang sayangnya ia anggap enteng dengan sebuah kikikan. Wanita itu menunjuk mukaku. Bibir merahnya bergerak-gerak.

"Anak kecil, pendatang, jangan coba-coba ngancam saya ya! Anda tahu! Sejak tadi saya masih sopan! Sekarang anda tahu, saya ini istri kasun! Saya bisa bilang ke suami saya agar anda bisa diusir!"

Giliranku yang kini menertawainya.

"Saya juga bisa bilang ke suami anda tentang hubungan gelap yang anda jalani."

Wanita itu terkesiap.

"Yuni Saraswati, awalnya saya gak tertarik untuk tahu siapa anda. Awalnya, saya hanya akan membuat pasangan gelap anda menyesal, tapi ternyata dua-duanya perlu dibasmi."

Yuni kini mencicit, seperti tikus diinjak ekornya.

"Saya bisa mengganti sepuluh kali lipat panci presto itu, tapi saya ingin seseorang membayar mahal atas air mata yang Emak keluarkan." Kubuat dia tak berkutik sama sskali. Aku berjalan balik badan, memunggungi wanita yang mungkin masih bingung atau kaget atau entah, semoga dia tak kena stroke.

"Mengakulah, dan minta maaflah kepada Emak."

BACA SELANJUTNYA DI KB M APP. SUDAH TAMAT.
Judul: ANAK BERHARGA 10 JUTA
Penulis: Heraa_Kless

BELAKANGAN AKU BARU TAU, TERNYATA CINTA SEJATI SUAMIKU ADALAH KAKAKKU SENDIRI. Kenyataan itu membawa kehancuran dalam ru...
28/10/2024

BELAKANGAN AKU BARU TAU, TERNYATA CINTA SEJATI SUAMIKU ADALAH KAKAKKU SENDIRI.

Kenyataan itu membawa kehancuran dalam rumah tanggaku hingga aku memilih mundur.

Saat aku memutuskan pergi, justru suamiku bersikeras ingin rujuk. Apa dia tau kalau aku sebenarnya sudah ....

Part 3

Alunan musik yang berasal dari handphone membuat pendengaran terganggu. Tak berniat membuka pesan, wanita itu melemparkan begitu saja ke hadapan seseorang yang baru saja ke luar dari kamar mandi.

"Dibalas kenapa, sih? Biar dia sedikit lega," ucapnya dengan bibir mengerucut. Anita mendadak jengah dengan suara handphone milik Fatih.

"Kan sudah kubilang, biarkan saja, abaikan pesannya. Nanti juga bakal bosan sendiri."

"Dia masih mencarimu."

"Abaikan!" ucap Fatih. Ia duduk meraih handphone yang semula di lemparkan di atas kasur, "Biar dia puas, kubuka pesannya, tapi tidak akan kubalas." Fatih membuka pesan yang beruntun itu, hanya sekilas tanpa membacanya.

"Seharusnya, suruh ibu saja untuk memberitahu. Dengan begitu 'kan, Alina tidak perlu lagi mengejar-ngejar kamu."

"Alasanku sudah jelas, kalaupun Alina masih berusaha mencari, anggap saja karena dia sedang rindu."

"Berarti ... kamu akan benar-benar meninggalkannya, kan??"

Fatih mengangguk pasti. Anita memapas jarak. Kini duduk di samping Fatih.

"Sebelumnya kita sudah pacaran. Jauh sebelum aku menikahi Alina. Berarti bukan salah dirimu, tapi salahkan papanya Alina yang memaksaku menikahi putri semata wayangnya.”

"Sudah, ah! Jangan membahas papanya yang sudah almarhum. Biarlah beliau tenang di sana."

"Nita, kadang aku merasa bersalah pada adikmu itu. Apa sebaiknya kita jujur saja tentang hubungan kita? Alina wanita yang baik. Aku yakin, ia bisa memaklumi kita." Ucapan Fatih mengalihkan perhatian Anita. Keningnya mengerut oleh karena rasa tidak percaya akan ucapan yang baru saja ia dengar.

"Jangan bilang kamu menyukai Alina!"

"Ya nggaklah, Sayang. Ucapan cinta padanya waktu itu 'kan cuma pura-pura."

" Aku pegang ucapanmu. Kita sudah melangkah sejauh ini, Fatih. Aku ingin, kita bisa menikah secepatnya. Secara siri juga tidak apa-apa, kita bisa resmikan setelah kamu bercerai dari Alina."

"Aku tidak bisa, Nita. Prinsipku, aku tidak pernah berkeinginan untuk berpoligami. Makanya aku memintamu untuk menunggu."
Anita tertunduk. Permintaannya untuk segera dihalalkan terhalang oleh adiknya sendiri, Alina.

***

Alina membuka handphone, berselancar dengan serius. Sesekali keningnya mengerut dan bibirnya tampak komat-kamit membaca harga yang tertera di bawah gambar sepeda motor.

"Mahal, ya? Tabunganku mana cukup," keluhnya sambil menghela nafas.

"Papa, kenapa dulu selalu memanjakan Alina? Tau begini nasibku, lebih baik menjadi mbak Nita saja." Ia merebahkan tubuh di atas kasur yang hanya muat untuk satu orang. Tatapannya menengadah ke langit-langit kamar.

Tiba-tiba ia berjingkrak dari pembaringan dan dan langsung menyambar dompetnya.

"Motor seken ajalah. Jadi, tabunganku gak ke pakai buat beli motor. Gak melulu menyusahkan mbak Nita," usai bergumam sendiri, Alina mengenakan jilbab instan. Ia memesan ojek online supaya tidak perlu naik turun angkot seperti sebelumnya.

Lima menit berselang, seorang pengendara ojek online menghampiri Alina yang sudah menunggu di pinggir jalan. Mereka berbicara sebentar, memastikan bahwa Alina pemesanan jasa si mamang ojek yang baru datang.

Alina memberikan sebuah alamat sebuah dealer motor, tak jauh dari kontrakan sebenarnya. Hanya saja, Alina enggan berjalan kaki atau menaiki angkot dengan berbagai macam aroma keringat di dalamnya.

Tak payah memilih kendaraan yang ia butuhkan. Sebuah motor matic hitam dengan harga sesuai isi dompet Alina. Uang yang tidak seberapa itu, menjadikan Alina tidak bebas memilih.
Ia langsung membawa pulang barang beliannya itu setelah meninggalkan uang delapan juta rupiah.

Sebuah mobil mewah terparkir di halaman depan kontrakan, Alina memberikan senyuman ketika mengetahui pemiliknya.

"Kok, gak ngomong mau datang, Mbak?" tanya Alina sambil melepas helm.

"Gimana mau ngomong. Makanya kalau punya handphone itu di letakkan di dekat telinga. Biar tau kalau ada orang memanggil."

"Oh, iya, maaf. Handphone tadi kuletakkan dalam jok motor." Alina membuka jok belakang dan mengambil handphone di dalam tas kecil di sana. Benar saja, ada delapan penggilan tak terjawab dan sebuah pesan yang semuanya dari Anita.

"Motor siapa?" tanya Anita memandang motor yang baru datang bersama Alina.

"Motorku, baru beli."

"Seken?"

"Iya Mbak. Mana punya uang kalau beli yang baru. Yang penting, gak merepotkan Mbak Nita kalau nanti pas dapat kerjaan."

"Oh, bagus, deh! Oh ya, Al. Besok datang ke kantor bawa CV lamaran pekerjaan. Tapi sebelumnya, buka dulu pesan yang kukirimkan tadi. Di situ berisi persyaratan dan nama perusahaan yang harus kamu datangi. Ingat, besok jam delapan pakai baju hitam putih." Anita memberi penjelasan.

"Iya Mbak, siap. Tapi ... aku belum punya baju hitam putih."

"Ya ampun, Alina ... malang bener, sih, hidup Lo. Beli d**g, Al! Apa perlu kukirimkan pakaian mbak?"

"Nggak usah, Mbak. Biar beli aja. Mbak Nita sudah banyak kurepotkan."

"Nah, gitu, d**g! Jangan manja, kamu harus mandiri dan jangan bergantung sama orang lain. Oh, ya, ambil makan siangmu di dalam mobil. Mbak tadi membawakan ayam panggang kes**aan kamu."

"Beneran Mbak?" Alina berbinar dengan cepat membuka pintu mobil. Ia menemukan sebuah bungkusan di jok belakang.

"Makasih ya, Mbak. Kita makan sama-sama. Aku sudah masak nasi." Baru saja membuka pintu kamar, Anita berjalan ke arah mobilnya.

"Nggak usah, Al. Aku sudah makan tadi bersama Adam."

"Mas Adam? Gak pergi lagi?"

"Nggak d**g. Mas Adam ku sekarang sudah menetap di sini. Jadi, dia punya waktu lebih banyak denganku."

"Berarti ... boleh d**g, aku dikenalin?"

"Kapan-kapan, ya? Nunggu dianya gak sibuk. Ya sudah, Mbak pergi dulu."

"Hati-hati ya, Mbak?" Seulas senyum mengembang di bibir Anita sebagai balasan dari ucapan Alina.

Tangan Alina melambai mengikuti kendaraan Anita yang melaju perlahan meninggalkannya yang masih bergeming dengan perhatian lebih kakak angkatnya.

"Beruntung ada mbak Nita. Aku jadi merasa lebih kuat saat ini."

***

Anita membolak-balik surat lamaran pekerjaan di atas meja. Mencari satu persatu nama yang tertera di sana.

"Kenapa susah sekali mencari namanya, sih!" keluh Anita. Ia mulai tidak sabar dan menghentakkan pena yang ada di tangan ke atas meja.

"Maaf, Bu." Seorang karyawan mengetuk dan langsung membuka pintu. Mega, salah seorang bawahan Anita.

"Sini, kamu!" Anita cepat memberi perintah dengan tangan melambai.

"Gimana?" tanyanya menggantung.

"Beres, Bu. Atas nama Alina Putri Bramantyo sudah masuk daftar rekrutmen. Sekarang sedang menandatangani kontrak," ucap karyawan itu memberi penjelasan.

"Sudah kamu pastikan kalau dia menandatangani kontrak kerja? Kalau sampai gagal, bonus bulananmu akan aku tarik kembali."

"Oh, iya sebentar, Bu." Wanita itu mengeluarkan handphone dan menunjukkan dua buah foto.

"Ini yang bersangkutan 'kan, Bu? Yang ini surat tanda tangan kontrak di atas materai."

Anita memandang dengan saksama kedua foto, sebelum akhirnya tersenyum puas.

"Bagaimana, Ibu? Kerja saya sukses 'kan." Mega berucap sambil menarik handphone dari hadapan Anita.

"Jangan bangga dulu. Tugas kamu masih banyak," ucap Anita sambil menyandarkan punggungnya.

"Siap, Bu."

"Sekarang, keluarlah!" perintah Anita bersamaan dengan pintu yang di buka paksa sehingga meninggalkan suara.

"Fatih," kejut Anita. Mega buru-buru keluar dan menutup pintu. Ia tahu, atasannya itu sedang tidak dalam kondisi yang baik. Sebab, Fatih datang dengan membawa surat lamaran pekerjaan yang terpampang foto Alina.

"Apa maksudmu memasukkan Alina ke sini? Kamu mau membuat nama baikku hancur?" Fatih melemparkan lembaran kertas ke atas meja di hadapan Anita.

"Sabar, Sayang. Alina butuh pekerjaan."

"Tapi tidak di sini tempatnya."

"Hai, kamu tidak sedang galau 'kan?" Anita menangkap keresahan dari diri kekasihnya.

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin balas dendam, betapa sakitnya hidup di abaikan."

"Tidak begini caranya, Nita! Aku tidak akan bisa bekerja membawahi Alina. Begitupun sebaliknya, dia tidak mungkin bisa bekerja dengan bersinggungan langsung denganku. Gila kamu, ya?"

"Justru aku ingin mempermudah prosesnya, Sayang. Alina perlu tau kebenarannya, bahwa kita lebih dulu membangun, kemudian baru datang dirinya yang menghancurkan."

"Dia adikmu, Nit."

"Bukan lagi setelah dia merebut kamu dariku."

"Jangan bilang, kalau kamu akan menyiksanya di sini selama dua tahun. Itu menyakitkan, Nit."

"Sebentar-sebentar, aku menangkap maksud lain dari ucapanmu. Fatih ... kamu tidak benar-benar jatuh cinta padanya 'kan?"

••••
SETELAH KITA BERPISAH

Next-nya ke aplikasi KBM App ya. Di sana sudah tamat. Cari di akun penulis Ina Shalsabila dengan judul yang sama.

SEMUA MENG HI NAKU GEN DUT DAN TAKKAN DAPAT JODOH. TAPI TERNYATA JODOHKU....(7) “Kamu ngasih duit lima juta ke Ibu, dari...
28/10/2024

SEMUA MENG HI NAKU GEN DUT DAN TAKKAN DAPAT JODOH. TAPI TERNYATA JODOHKU....(7)

“Kamu ngasih duit lima juta ke Ibu, dari mana?” Begitu Lila pulang, Kharisma si Kakak sudah langsung menginterogasi.
��
“Dari Mas Luki,” jawab Lila datar. Pria itu memang mengiriminya 5 juta meski Lila hanya minta 3 juta, dan Lila langsung mengirimkan semuanya pada si Ibu tanpa terkecuali.

Sepertinya kejadian ini cukup menghebohkan karena Risma tahu tanpa dia cerita, yang berarti Bu Darminah sudah pamer pada si Kakak.
��
“Mana mungkin. Dia mau kasih sebanyak itu?” Kedua alis Kharisma yang rapi tertaut tanda perempuan itu curiga.
��
Lila si gadis tambun mengangguk.
��
“Kok bisa? Kamu bohong ya? Apa kamu jual laptop?” tuduh Risma. Lila menggeleng.
��
“Laptopku masih ada di kamar, Kak. Aku dapat uangnya dari Mas Luki karena Ibu suruh aku minta aja sama dia.” Ia menjawab polos. “Lagian laptop aku kan turunan dari punya Kharan yang udah sering eror, mana laku itu 5 juta. Dijual 500 ribu aja belum tentu ada yang mau.”
��
Risma masih tak percaya, mengikuti Lila sampai masuk ke dalam kamarnya yang sempit. “Gimana caranya kamu minta sama dia?” Masih saja si Kakak bertanya begitu, Lila sendiri tak habis pikir kenapa wanita itu akhir-akhir ini jadi sering mengurusi urusannya. Biasanya mana pernah dia peduli?
��
“Ya sama kayak Kak Risma kalau minta duit ke Pak Hanan,” balas Lila ringan, sambil menaruh tasnya di atas tempat tidur.
��
“Mas Hanan nggak pernah mau akhir-akhir ini kalau aku minta uang, katanya uang harus disimpan supaya setelah menikah bisa hidup nyaman.” Balasan si Kakak semata wayang membuat Lila tersadar. Ternyata selama ini pacar si Kakak pelit.

Tapi Lila tak mau banyak berkomentar, dia malas bertengkar dengan perempuan itu. Lagipula urusan keuangan Risma dan Hanan bukan urusan dia.

“Pantesan beberapa hari ini Ibu dan Bapak baik banget sama kamu, rupanya karena habis kamu sogok ya.” Masih saja perempuan itu nyinyir. “Kok Luki mau ya kasih kamu uang gitu? Ini pasti ada sesuatu.”

Lila malas merespon, juga ingin menyembunyikan kegelisahannya soal permintaan Luki waktu itu yang hingga sekarang masih dia tunda pelaksanaannya.
��
Walau setelah Lila pikir-pikir, tidak mungkin Luki tertarik berbuat tak senonoh padanya yang berbadan besar ini. Kenapa juga dia harus khawatir?
��
“Aku kira dia nipu kamu, tapi ternyata dia malah kasih uang. Cuma aku masih curiga. Soalnya kamu ngaku pacaran, tapi di medsos dia gak ada foto kalian.” Celotehan Risma membuat Lila mengernyit dahi. “Berapa nomor telepon dia? Aku mau coba cek di aplikasi pengecekan nomor.”

“Ngapain Kakak kepoin dia?”

“Emang nggak boleh?” Si Kakak balas mendelik. Lila menghela napas, benar-benar membuang waktu sekali bicara dengan Kakaknya yang selalu merasa benar.
��
“Tanya aja sama Pak Hanan,” balas Lila akhirnya. Risma mendengkus.
��
“Kamu pikir apa wajar aku tanya soal cowok lain ke calon suamiku? Nanti kalau dia curiga gimana?”
��
‘Kalau takut pacarmu curiga ya gak usah ribut nanyain soal Mas Luki.’ Itu hanya ada di pikiran Lila, aslinya sih dia tak menjawab, memilih membuka lemari sendiri demi mengeluarkan baju ganti.

“Itu apa?” Risma menunjuk jam tangan yang dipakai Lila, tentu saja hadiah dari Luki. Perempuan itu mendelik, langsung mencengkram pergelangan tangan Lila yang gembul.

“Aw! Sakit Kak!”
��
“Astaga. Ini jam merek Swatch? Gila!” Tanpa basa-basi, Risma melepaskan jam analog itu dari tangan Lila dan memasangnya di tangan sendiri.

�“Nah gini, lebih bagus dipake sama aku daripada sama kamu.” Wanita itu senyam-senyum senang, memperhatikan pergelangan tangannya yang sudah berhiaskan jam baru dengan tali metalik yang terlalu besar untuk dia. Lila jelas tak terima.
��
“Balikin, Kak! Itu jam hadiah dari Mas Luki!” serunya sambil menarik tangan Kharisma. Si Kakak sepertinya kaget karena Lila akhir-akhir ini selalu melawan, balas menyerangnya dengan menjitak kepala Lila lalu menjambak rambutnya.
��
�“Halah, berisik lo Ndut! Mentang-mentang baru punya cowok, dibelikan gini doang pelit setengah mampus! Lo kan bisa minta lagi!” teriak Risma.

“Nggak mau, balikin! Aaaaaa!”
��
“Eh apa ini ribut-ribut??” Bu Darminah muncul di pintu kamar. “Risma! Kenapa kamu jambak adikmu??”
��
Dunia sudah terbalik karena Lila lebih dibela oleh Ibu mereka daripada si Kakak. Perempuan itu buru-buru melepaskan tarikannya di rambut Lila, lalu menunjukkan jam tangan yang ia pakai pada sang Ibu.
��
“Lihat Bu, si Ndut pelit banget. Masa aku minta jam ini nggak boleh!”
��
Bu Darminah melihat sekilas jam itu lalu menatap Lila. “Kasih Kak Risma nggak apa-apa kan La? Kan Lila bisa minta lagi sama Mas Luki.” Lembut sekali permintaan sang Ibu, walau itu tetap tidak merubah pendirian Lila.
��
“Nggak mau, Bu. Itu punya Lila. Lila dibelikan Mas Luki dan Lila nggak mau banyak-banyak minta sama dia.” Lila bersikeras. Syukur Bu Darminah benar-benar membelanya.
��
“Sudah Risma, kembalikan! Jangan ganggu Lila lagi, kalau kamu perlu kan kamu bisa minta ke Hanan, kenapa malah minta sama adikmu?” Teguran Bu Darminah membuat Risma kesal, perempuan itu langsung melepas jam tangan Lila dari tangannya dan melemparnya kasar ke atas kasur.
��
“Nih! Makan tuh jam biar makin kayak gajah badan lo itu!” Ejekannya yang sengit tidak ditegur sang Ibu karena wanita itu sudah melipir entah kemana. Lila mengabaikan, menulikan pendengaran demi meraih jam kesayangannya dan menyimpan rapi di dalam laci meja.
��
Di sisi lain, kekesalan Risma sepertinya makin memuncak karena perempuan itu malah mengancam.
��
“Awas lo ya Ndut, lihat aja. Gue jamin lo sama Mas Luki nggak akan bertahan lama!”

Lila jelas bingung.

“Maksud Kakak apa?” tanyanya pada Kharisma yang tidak dijawab apapun selain pelototan tajam. Perempuan itu keluar dari kamarnya dan membanting pintu.


Judul: Cinta Tak Kenal Timbangan
Penulis: Ashadiya
Baca di KBM App

"Selamat sore!" sapa seorang petugas kepolisian. "Selamat sore, Pak! Ada apa ya?" tanya bu Ana, Ibu Akbar merasa heran."...
28/10/2024

"Selamat sore!" sapa seorang petugas kepolisian.

"Selamat sore, Pak! Ada apa ya?" tanya bu Ana, Ibu Akbar merasa heran.

"Apa benar, ini rumah bapak Akbar?" tanya polisi tersebut.

"Benar, Pak! Saya ibunya! Tapi, dia tidak tinggal disini! Dia sekarang tinggal di rumah istri barunya! Ada apa, Pak, mencari anak saya?"

"Mohon maaf. Kami dari pihak kepolisian mendapat perintah untuk menyita rumah,mobil, dan isinya hingga proses penyidikan selesai."

"Penyidikan apa?" tanya Ibu Akbar heran.

"Bapak Akbar menjadi tersangka atas kasus penggelapan dana di PT Sentosa Makmur."

"Tidak, Pak! Itu tidak mungkin! Anak saya tidak seperti itu!" ujar Ibu Ana.

"Mohon maaf, Ibu! Kami hanya menjalankan perintah! Mohon rumah ini dikosongkan!" ujar petugas kepolisian itu tegas.

"Jangan, Pak! Jangan disita! Kami akan tinggal dimana kalau rumah ini disita!" teriak bu Ana histeris.

Teriakan Ibu Akbar dan kedatangan anggota kepolisian mengundang kerumunan warga. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi.

"Ibu, ada apa?" tanya Aira yang tiba-tiba muncul dari belakang.

"Polisi ini mau menyita rumah kita, Ra! Trus, sekarang kita tinggal dimana?" ujar Ibunya sambil menangis.

"Sebentar. Maaf, Pak! Ada apa sebenarnya?" tanya Aira penasaran.

Polisi tersebut menyerahkan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa seluruh aset Akbar dibekukan hingga proses penyidikan selesai.

"Maaf, Mbak! Rumah ini harus dikosongkan!"

"Baik, Pak! Tolong beri waktu kepada kami untuk berkemas!"

"Silahkan!"

"Ayo, Bu!" Aira mengajak Ibunya masuk ke dalam rumah.

"Ra, kalau rumah ini disita, kita tinggal dimana?" tanya Ibunya masih shock.

"Kita ke rumah kak Rachel, Bu! Toh, rumah itu kan yang berikan mas Akbar. Kota juga punya hak disana!" ujar Aira.

"Benar juga! Ya sudah! Ayo!"
Mereka segera mengemas barang-barang mereka ke dalam koper. Satu jam kemudian, mereka siap meninggalkan rumah tersebut.

"Maaf, Mbak! Mobil ini juga disita!" ujar petugas kepolisian tersebut saat Aira akan menaikinya.

"Apa? Mobil ini punya saya, bukan mas Akbar," jawab Aira sewot.

"Maaf, mbak. Tapi, surat-surat mobil ini juga atas nama bapak Akbar. Semua aset atas nama bapak Akbar, tanpa kecuali, harus disita."

Aira tidak jadi naik mobil tersebut dan memilih untuk naik taksi online.

"Bu Ana? Ada apa? Kok ada polisi segala? Trus, kalian mau kemana kok bawa-bawa koper segala?" tanya Bu Hindun, biang gosip di daerah mereka.
"Bukan urusanmu. Minggir! Kalian semua juga, bubar!" teriak Bu Ana.

"Hu …." Teriakan Bu Ana disambut sorakan oleh para warga. Banyak bisik-bisik tak sedap yang terdengar. Mereka memilih untuk tidak mendengarkan, dan swgwra meninggalkan tempat tersebut.

"Rachel! Rachel! Bi Murni!" teriak mertuanya saat memasuki rumah Rachel.

"Ada apa sih,Bu? Kok teriak-teriak? Kayak di hutan saja," sahut Rachel sambil ngedumel.

"Kalian ngapain kesini bawa koper segala?" tanya Rachel sambil mengernnyit heran.

"Rumah kita disita polisi. Jadi, kami akan tinggal disini," jawab Aira.

"Apa? Kenapa harus disini?"

"Lalu kami harus kemana? Lagian, rumah ini yang beli juga Akbar. Jadi, kami juga punya hak atas rumah ini," jawab Bu Ana sewot.

"Bi, tolong bereskan kamar tamu! Mulai sekarang, kami akan tinggal di sini!" ujar Bu Ana kepada Bi Murni.
"Iya, Bu!" jawabnya, lalu undur diri.

"Kalian beneran mau tinggal disini?" tanya Rachel lagi.

"Kenapa? Keberatan?" tanya Bu Ana sewot.
***
Kum*skinkan Mantan Suami dan Gund1knya
Penulis: Rara Qumaira
Ke aplikasi KBM app yuk

Address

Jalan Tuanku Tambusai
Rokan

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Info Rokan hilir posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share

Category


Other Rokan media companies

Show All