24/11/2024
KAKEK TUA itu SUAMIKU (9)
By : Sarinah
"Terimakasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempel di telingaku. Nafasnya yang hangat kini beralih di leher. Aku merinding ketika sebuah kecu*an mendarat di tengkuku. Rasanya bulu-bulu halus di seluruh tubuhku sudah berdiri. Dia membalikkan badanku, kini kami saling bertatapan. Tangannya yang sedianya melingkar di perutku kini beralih memegang kedua pipiku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, semakin dekat bahkan hidung kami sudah saling menempel.
Apa yang harus aku lakukan?
Oh Tuhan bibirku ini masih perawan jangan sampai ternoda oleh suamiku. Aku belum rela … Berikan pertolongan untuk hambaMU yang selalu bersikap manis ini atau sebentar saja, ubah wajah suamiku seperti Bang Jimin atau Bang Lee Min Hoo ya boleh lah, atau kalau lokalan ya udah Bang Billar ya nggak apa-apa.
Tok tok tok
"Permisi Bos, mobil sudah siap apa jadi p**ang sekarang?"
Alhamdulillah ternyata Tuhan mengirimkan penyelamat itu Bang Agus, produk lokal yang amat dekat, mungkin jika dikirim sesuai permintaanku bayar ongkirnya terlalu mahal. Nggak apa-apa deh yang penting sekarang aku terlepas dari Kakek Kanda yang cinta banget sama Dinda.
"Kenapa Agus datang disaat yang nggak tepat sih?" Suamiku menggerutu walaupun pada akhirnya dia membukakan pintu untuk Agus. "Hih, kamu ganggu aja Gus! Dah sana masuk bawain barang-barang Nyonya!"
"Maaf Bos, kan Agus nggak tau" ucap Pak Agus sambil menggaruk kepalanya.
"Pak Agus, jangan panggil aku Nyonya ya, panggil aku nama aja, nggak enak rasanya" protesku. Risih aja dipanggil Nyonya, kayak gimana gitu.
"Terus Dinda maunya dipanggil apa? Apa Agus juga harus panggil Dinda? Ya Kanda yang nggak rela."
"Panggil apa aja deh yang penting jangan nyonya!" Sungutku kesal.
"Turuti permintaannya Gus, panggil dia Nona Bos!"
"Siap! Baiklah Nona Bos, ini barang-barangnya saya bawa ke mobil ya, apa ada lagi yang mau dibawa?"
"Nggak ada Pak Agus, terimakasih."
Sebelum p**ang kami mampir dulu ke tempat penjual oleh-oleh. Banyak sekali oleh-oleh yang dibeli suamiku katanya dibagi buat tetangga tak lupa juga membeli baju untuk kami, dan harganya memang bukan kaleng-kaleng seratus ribu dapet tiga! Eh itu dulu paling banter pergi ke toko yang tulisannya serba 35.
"Dinda, sini deh," Kakek Kanda melambaikan tangannya ke arahku persis boneka kucing di toko mas. "Lihat tuh, bagus-bagus, Dinda beli ya" Kuarahkan pandanganku sesuai arah jarum jam 45 derajat, hiyaaaa toko apaan itu?
Baju tipis terawang kurang bahan bahkan hanya berupa tali warnanya pun ngejreng kayak lampu lalu lintas. Masa iya katanya bagus. Belum selesai rasa heranku, kepalaku sudah dipegang dengan kedua tangannya lalu dibelokannya pandanganku ke arah yang lain.
"Dinda lihatin apa? Itu loh, baju gamis sama kerudungnya bagus." O, jadi tadi nunjuk gamis aku kira baju itu. "Dinda mau pakai kayak gitu?" Ditunjuknya baju terawang yang tadi aku lihat. "Kalau sudah siap ayok deh Kanda beliin."
"Ogah! Takut masuk angin." Mending aku kabur ke toko baju muslimah aja.
Kubelikan Ibu baju gamis ada lima setel lengkap dengan kerudungnya, daster juga sandal yang bagus buat Ibu. Sementara Bapak dan Seno entah memilih apa, yang aku tau tadi Bapak dipilihkan baju Koko sama sajadah.
"Sudah Bu? Sini biar Seva bawa ke kasir. Seva yang bayarin" Kuambil baju yang dipegang ibu, biar aku saja yang bayar. Selama ini mereka yang penuhi kebutuhan sandang ku.
"Gayamu loh mau bayarin! Punya uang berapa Dinda?" tanya suamiku.
"Banyak donk, kan kemarin dikasih sepuluh juta ini masih utuh bisa buat bayar" jawabku sombong. Jawabanku justru membuat suamiku tertawa.
"Gus! Bawa ini ke kasir, ini pake ini. Belanjaanmu juga sekalian bayar. Anak sama istrimu sudah dipilihkan kan?" Suamiku mengeluarkan kartu ajaib dari dompetnya kemudian diserahkan ke Pak Agus. Bahkan keluarga Pak Agus pun diperhatikan sama suamiku. Oh suamiku betapa baiknya dirimu. Beh! Apa aku tadi menyanjungnya? Aduh gawat! Pikiranku sudah nggak normal ini!
"Sudah Bos, ini sudah semua. Terimakasih banyak Bos sudah baik sama keluargaku" ucap Pak Agus.
"Hmmm, dah sana bayar, aku tunggu di mobil."
***
"Sebelum sampai rumah, kita makan dulu ya," tawar suamiku. "Kalian mau makan apa?" Suamiku yang duduk di kursi depan sebelah sopir menengok ke belakang.
"Apa ya? Seno mau makan apa?" Kutanya adikku karena dia yang biasanya makannya banyak.
"Apa aja deh, Seno nurut."
"Kita ke restoran Jepang ya, Gus,"
"Jangan! Jangan ke restoran Jepang!" Sergahku.
"Kenapa? Enak loh, nanti Kanda pilihkan makanan yang enak" Bujuknya.
"Pokoknya jangan ke restoran Jepang deh, aku aja yang pilih gimana?" Nggak mungkin kujelaskan jujur alasannya kalau aku nggak bisa pakai sumpit. Tengsin donk.
Kuputuskan untuk makan-makanan yang dipinggir jalan. Tentunya aku pilih menu yang ada kuahnya soto Lamongan kayaknya ada.
Masuk ke dalam rumah makan tenda kami langsung duduk lesehan. Pak Agus juga duduk bareng dengan kami. Itu jadi poin sendiri tentang penilaianku pada suamiku. Dia tak pernah membedakan orang biarpun Pak Agus adalah sopirnya.
Makanan tersaji di meja, ada soto lamongan, ayam goreng, ayam bakar, lele goreng, tahu tempe goreng, lalapan juga sambal. Serta aneka minuman telah siap semuanya.
"Va, layanin suamimu!" Tangan ibu tak lupa menyikutku.
"Iya Bu," jawabku.
Kuambilkan nasi dan soto lamongan. Ingin aku ambilkan juga lele goreng terus aku cemplungin ke soto lamongan biar kayak hiu berenang di lautan, tapi dicegah sama Ibu. Malah Ibu menyuruhku memisahkan daging lele dari durinya terus disuwir kecil-kecil. Persis kalau mau nyuapin anak kecil.
***
"Va, temani Ibu yuks?" Ajak Ibu.
"Kemana Bu? Tumben minta temenin? Ini masih siang loh, belum ada hantu yang keluar." Iseng kujawab pertanyaan Ibu.
"Ini lebih dari hantu kalau keluar."
"Dih Ibu bikin penasaran aja, mau kemana sih, kok minta temenin?"
"Ke rumah Bude Ratmi, buruan temenin!" Pantes aja ini lebih serem daripada hantu.
Sebenarnya males banget kalau udah nyebut Bude Ratmi, tapi demi Ibu ya mau nggak mau deh.
"Assalamualaikum, Bude Ratmi," ucapku begitu sampai di depan rumah.
"Eh kalian, tumben? Mau ngutang ya?" jawab Bude Ratmi ketus.
"Nah kan, p**ang aja yuks Bu, nggak usah jadi kasih oleh-olehnya!"
"Oleh-oleh? Kalian mau nganterin oleh-oleh? Sini masuk dulu, nggak baik di depan kayak gitu" Begitu denger kata oleh-oleh sikapnya langsung berubah.
"Ini, Mbak, ada oleh-oleh sedikit, kemarin beli waktu diajak liburan" Diserahkannya satu kresek besar yang berisi oleh-oleh pada Bude Ratmi.
"Apaan Mah?" Mbak Susi yang baru datang ikut melongok isi dalam kantong kresek. "Kamu habis liburan Va?" tanya Mbak Susi.
"Iya, Mbak, kemarin nginep di villa sekeluarga" jawabku.
"Enak donk. Va, sini deh, aku mau ngomong sama kamu." Mbak Susi memintaku untuk lebih menjauh dari Bude Ratmi juga Ibu. Mau ngomong apa dia, biasanya juga nggak pernah mau ngomong sama aku.
"Ehm, Va, suamimu yang tua itu punya temen nggak?" Pertanyaan Mbak Susi aneh, masa iya tanya temen suamiku. Mana aku tau coba, tapi masa iya suamiku nggak punya temen.
"Ya punya lah, masa nggak punya" jawabku asal.
"Beneran? Nanti tolong minta sama suamimu buat kenalin temennya sama aku ya, bilangin aku siap menikah." Aku tepuk jidat mendengar ucapan Mbak Susi.
"Ada, tapi usianya lebih tua lagi. Gimana?"
"Nggak apa-apa, semakin tua semakin bagus. Aku s**a!" Busyet ini Mbak Susi seleranya lebih parah ternyata.
"Besok deh kalau Ibu pesen cendol lagi, aku kenalin sama Mbak Susi."
"Kok jadi pesen cendol?" tanya Mbak Susi heran.
"Iya, temennya itu tukang cendol, kemarin Ibu beli terus kakek itu kenalan sama suamiku sekarang jadi temenan deh, mau nggak?"
"Sialan kamu! Masak kakek cendol dikenalin sama aku!"
"Loh Mbak, gitu gitu juga juragan loh. Juragan cendol!"
"Dah p**ang sana! Nyesel aku minta sama kamu!"
"Nggak disuruh juga ini mau p**ang, ayo Bu,"
***
Pagi ini cuaca sedikit mendung, aku yang sedianya akan berangkat sekolah jadi merasa kurang bersemangat.
"Dinda, nanti diantar Pak Agus ya berangkatnya bentar lagi hujan loh,"
"Nggak usah deh, kayaknya cuma mendung nggak sampe hujan."
"Dinda sekarang udah jadi pawang hujan ya?"
"Pawang hujan? Enak aja. Aku sekarang udah jadi pawang aki-aki!" Jawabku kesal.
"Seva … nurut aja sama suamimu kenapa? Niatnya baik kok, masa kamu tolak." Bapak justru mendukung suamiku.
"Tapi Pak, Seva nggak mau nanti temen-temen curiga."
"Ya udah nanti turunnya jangan deket gerbang, yang lumayan jauhan biar nggak ketemu temen Seva, gitu aja kok bingung Va?" Bapak memberikanku usul.
"Ya udah deh, Seva mau dianterin. Seva berangkat dulu. Assalamualaikum"
Akhirnya aku mengalah, sekolah diantar sama Pak Agus. Pertama nganter Seno dulu lalu kemudian baru anter aku.
"Pak Agus, Seva berhenti disini aja!"
"Siap Nona Bos, nanti siang jemput jam berapa?"
"Nggak usah dijemput, Seva bisa p**ang sendiri Pak Agus."
"Maaf Nona, Bos yang nyuruh buat jemput katanya harus mau."
"Ya udah jemput jam tiga ya, Pak. Jemputnya disini kalau nggak disini Seva nggak mau."
"Oke, Nona Bos" Mobil Pajer* yang kemarin pun kini melesat kembali.
Akhirnya kini aku berjalan sendirian menuju ke sekolah.
Tes!
Tetesan air jatuh di hidung minimalisku. Ya biarpun hidungku minimalis tapi ini yang membuatku terlihat makin cantik.
Tes!
Kembali air menetes di hidungku kali ini malah datang keroyokan. Hujan!
Segera aku berlari agar aku tidak kehujanan. Kudekap tas sekolah agar tidak basah.
"Kamu cepet juga kalau lari, persis atlet marathon."
"Hah?" Aku melirik orang yang mengatakan itu. Oh Tuhan itu Andi! Andi berlari mensejajariku. Kedua tangannya mengangkat jaket di atas kepalaku untuk menutupinya dari air hujan.
"Jangan berhenti nanti basah, ayo lari lagi!" titahnya. Ah, rasanya ini seperti romansa Galih dan Ratna.
"I—iya," jawabku.
Ya Tuhan, kali ini aku berharap panjangkan jalan menuju sekolah. Sepuluh kilometer juga nggak apa-apa dan jangan hentikan hujan dulu, makin deras juga tambah bagus. Tapi jangan ditambah petir ya, aku takut. Pintaku dalam hati.
"Kita berhenti di pos satpam dulu ya!" ajaknya. Akhirnya kita pun berhenti di pos satpam. Sekolah terlihat masih sepi mungkin efek hujan atau juga ini masih terlalu pagi.
Wusssshhhh
Angin bertiup sangat kencang, reflek Andi memasang badan untuk melindungiku. Aku pun mundur ke belakang mepet ke tombok. Kini aku dan Andi saling berhadapan.
"Kamu cantik Va," ucapnya.
"Heh? Aku cewek tentu saja cantik," jawabku malu. Rasanya dada ini berdebar sangat kencang. Mimpi apa aku semalam sampai bisa tercipta adegan seperti ini. Andi sang ketua OSIS, cowok idola siswi di sekolah bisa bilang aku ini cantik.
"Kamu beda, sudah sejak lama aku s**a sama kamu"
Jeder!
Sambaran petir turut mengiringi ungkapan hati Andi. Aku yang ketakutan langsung menutup kedua telingaku. Iya, aku ingat kalau aku sudah bersuami, nggak usah diingetin pakai petir! Batinku.
"Va, mau ikut nggak?" Riska yang berjalan menggunakan payung menghampiriku.
"I—ya, aku ikut. Makasih ya, Ndi. Aku masuk kelas dulu."
"Aku tadi serius, Va" teriak Andi.
Antara rasa percaya dan tidak dengan yang tadi diucapkan Andi.
***
"Dinda siap-siap ya, sore nanti kita pergi"
"Kemana? Apa harus ikut?" Malas rasanya pergi-pergi.
"Ya, Dinda harus ikut nggak boleh nolak."
Sore itu jadilah kami pergi, kukenakan gamis baru yang kemarin aku beli. Bahkan aku sudah memoles wajahku dengan bedak yang lebih baik.
"Mobilnya beda lagi?" tanyaku saat memasuki mobil berwarna hitam dengan ukuran lebih tinggi dari mobil Pajer* kemarin.
"Iya, ini ganti. Dinda mau yang kayak gini?"
"Nggak, motor aja belum pernah aku pakai!" Ya, motor N*ax yang dibelikannya masih terparkir manis di ruang tamu. "Apa ini mobil alphamart?" Aku pernah membaca artikel tentang jenis-jenis mobil. Saat itu ya cuma baca nggak pernah terlintas bisa menaikinya.
"Alphamart? Bukankah itu supermarket?" tanya suamiku.
"Mungkin maksud Nona Bos Toyot* Alphard Bos" Pak Agus ikut mengomentari pertanyaanku.
"Ha ha ha Dinda lucu, supermarket disamakan mobil. Bukan sayang, ini mobil Lexu* terbaru lebih mahal dari alphamart." Lah malah dia ikut ikutan alphamart. Sungguh aku sangat malu dengan ketidaktahuanku. Kualihkan saja pandanganku ke luar melihat pemandangan.
"Gus, kita ke salon dulu!"
"Salon? Mau ngapain? Potong rambut?" tanyaku. Tapi sayang pertanyaanku nggak dijawab, malah masih senyum-senyum sendiri.
***
"Tolong rias wajahnya dan ganti juga bajunya, tapi jangan menor!" Perintah suamiku pada laki-laki gemulai di salon.
"Siap! Eyke pasti akan sulap wajahnya jadi kayak putri."
Ternyata bedak yang tadi aku gunakan masih belum cukup, kini aku harus dirias kembali. Mau kemana sih kok pakai rias segala. Baju yang aku kenakan juga diganti dengan gaun panjang berwarna putih lengkap dengan hijab yang senada layaknya artis yang mau ke pesta. Sepatuku juga sudah berganti menjadi sepatu pesta berwarna keemasan. Entahlah darimana semua baju ini didapat.
"Taraaaaa! Yu, cuantik buanget dech. Itu kamu punya kakek pasti tambah pangling liat cucunya dah kayak Cinderella." Laki-laki kemayu itu memujiku yang telah selesai di rias.
"Dia suamiku!" Kujawab saja sesuai kenyataan toh aku tak mengenalnya.
"What? Suami? Eyke nggak salah denger kan? Apa stok laki-laki sudah habis? Minum! Eyke butuh minum! Eyke harus kembali ke asal jangan sampai ada aki-aki jadi incaran gadis lagi!"
Mobil berhenti di gedung hotel mewah. Seorang pelayan membukakan pintu mobil kami, kemudian mengarahkan kami ke lantai tiga.
Terlihat orang-orang memakai baju warna putih sedang berlalu lalang di sebuah ruangan yang luas. Dekorasi ruangan juga sangat bagus. Warna putih lebih mendominasi isi ruangan. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan, di depan sana terlihat iringan pemusik yang sedang menyanyikan sebuah lagu.
Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Bener nggak ya?
Benar! Mataku nggak salah lihat! Dia memakai setelan jas yang juga berwarna putih. Kenapa Andi juga ada disini?
Bersambung...
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Link di kolom komentar