Kumpulan Novel

Kumpulan Novel Kump**an Novel Dari Berbagai Penulis
KBM App

SETELAH AKAD (8)By : Oryza Ryz Kubuka mata perlahan, dan kemudian mendapati jam dinding menunjukkan pukul 4 sore. Perlu ...
08/12/2024

SETELAH AKAD (8)
By : Oryza Ryz

Kubuka mata perlahan, dan kemudian mendapati jam dinding menunjukkan pukul 4 sore.

Perlu waktu untuk menyadari kalau aku ... sudah tertidur cukup lama. Ya ampun! Tersisa aku sendiri dalam ruangan.

Mata ini berkedip berkali-kali sebelum kuputuskan untuk bangkit. Tadi, saat tak bisa menyingkirkan Rayyan yang sudah dengan lancang memeluk, aku malah ikut terlelap dalam dekapan pria itu. Aish!

***

Setelah salat Asar, aku melangkah ke luar rumah. Di halaman, terdapat seorang pria paruh baya tengah membersihkan mobil. Siapa dia?

"Sore, Bu. Perkenalkan, saya Purnomo--sopirnya keluarga Mas Rayyan yang sekarang dipindahtugaskan menjadi sopir pribadi pemilik rumah ini." Si Bapak menampakkan deretan gigi putih itu.

"Kalau Bu Amara dan Mas Rayyan mau pergi, saya siap mengantar ke mana saja," ujarnya.

"Gitu, ya, Pak?" Aku mengangguk pelan.

"Oh ya ... Bapak gak perlu panggil saya Bu. Panggil nama aja, Pak. Santai."

"Gak enak kalau panggil nama. Panggil Neng aja gimana?"

Pak Purnomo ini orangnya asik juga. Lantas aku tersenyum.

"Boleh, Pak. Boleh banget." Kusetujui itu tanpa berpikir lama.

***

"Bapak makan di bawah aja, ya, Mas."

"Saya juga makan di bawah, ya."

Malam, Pak Pur dan asisten rumah tangga kami yang barusan kuketahui nama aslinya yakni Teti, terlihat sungkan saat diajak oleh Rayyan untuk makan bersama.

"Jangan, Pak, Mbak. Duduk di sini aja." Kusiapkan kursi untuk mereka berdua.

"Tapi, Neng ....

"Duduk di kursi yang sudah istri saya sediakan merupakan perintah, Pak. Kalau Bapak menolak, saya akan merasa tersinggung." Rayyan memotong perkataan Pak Pur.

Alhasil, baik Pak Pur ataupun Bu Teti segera bergabung bersama kami.

Menu makan malam yang ada di depan mata, beragam, dan enak-enak semua. Baru pertama kali aku dihadapkan pada situasi seperti ini. Tak akan kusiakan kesempatan. Nanti ... jika sudah tidak ada orang di dapur, aku akan mengambil separuh dari masakan Mbak Teti untuk diberikan ke Ayah dan Ibu.

Di sela menyantap hidangan, pandanganku bertemu dengan Rayyan. Lekas kuputuskan kontak mata, sebab tak tahu bagaimana harus meresponnya. Mau kukedipin, tapi ntar dia sawan.

***

Pukul setengah delapan, sepertinya aman. Aku mulai beraksi, melangkah cepat menuju tempat di mana makanan disimpan. Kuedarkan pandangan ke kiri dan ke kanan, memastikan kalau memang tidak ada orang yang memergoki.

Mbak Teti entah ke mana. Pak Pur pun tak kelihatan batang hidungnya. Apalagi Rayyan. Sejak makan malam, aku sama sekali tak melihat keberadaan sang pria.

Secepat mungkin kumasukkan satu persatu menu ke dalam tempat yang telah kusediakan. Tak butuh waktu lama untuk aku memindahkan makanan itu. Setelah semua berhasil kulakukan, aku melangkah dengan berhati-hati ke arah pintu depan.

Bang Ojol yang sejatinya memang sudah kuhubungi beberapa saat lalu, telah menunggu di luar pagar. Segera kuhampiri ia, kemudian menaiki motornya, dan langsung menuju ke kediaman orang tua.

Di sepanjang perjalanan, aku tersenyum lebar. Ayah dan Ibu pasti senang. Selain makanan berat, aku juga membawa cemilan dan beberapa buah. Kapan lagi kami bisa makan enak begini? Usia pernikahanku dan Rayyan belum tentu panjang. Selagi masih ada kesempatan, ya, sebaiknya memang dimanfaatkan.

***

"Kamu dapat dari mana semua makanan ini, Nak?"

Setibanya di tempat tujuan, Ayah terkejut dengan bawaanku. Beliau sontak menginterogasi anak tunggalnya ini.

"Dari menantu Ayah, d**g." Kujawab dengan senyum yang tak pernah luntur menghiasi wajah.

"Nak Rayyan?"

"Iya, Yah. Rayyan. Memang siapa lagi?" Kutata hidangan di meja.

"Ayah udah makan, belum?" tanyaku.

"Udah, tadi."

"Apa lauknya?"

"Nggak pake lauk, cuman pakai mi."

Mendengar jawaban Ayah, hatiku langsung nyes. Pedih banget.

"Ayah mah nggak terlalu s**a lauk. Mi yang terbaik." Senyum tipis terpatri di wajah pria berusia 50 tahun tersebut.

"Ibu udah tidur, Yah?" Kualihkan pembicaraan. Sebab khawatir air mata tumpah. Ayah terampil menyembunyikan perasaan, tapi tidak denganku.

Pasti karena mau hemat, makanya makan hanya pakai mi. Aku tahu, selama ini Ayah sudah bekerja keras untuk menabung buat biaya operasi sang istri.

"Udah. Habis makan bubur dan minum obat tadi."

"Yaah, sayang banget."

"Bangunin aja. Ibu pasti senang melihat putri kesayangannya di sini."

"Gak usah, Yah. Besok aja Amara main lagi. Kasihan. Ibu pasti lagi nyenyak-nyenyaknya."

"Benar juga itu. Berhubung ibumu tidur, jadi semua makanan ini Ayah yang kuasai." Sang pria terkekeh pelan, yang kutanggapi dengan senyum tertahan.

Mataku lagi-lagi terasa panas. Bulir bening itu mencoba menerobos pertahanan. Sebab Ayah pun kulihat sama. Menahan gejolak rasa. Berusaha ia sembunyikan mata yang berkaca-kaca.

"Ya udah, makan, Yah," ujarku sesaat setelah menghela napas panjang.

Kulihat Ayah begitu bersemangat menyantap hidangan makan malam yang sebelumnya jarang kami rasakan ini. Bahkan yang belum pernah kami cicipi pun ada. Biasanya dikasih sama mamanya Fika yang tak lain merupakan adik kandung Ayah. Itu pun terkadang basi.

"Permisi ke toilet, Yah."

"Iya, iya."

Tanpa berlama-lama, aku beranjak dari hadapan sang pria. Toilet menjadi tempat pelarian. Air mataku tumpah, membanjiri di setiap jengkal kesedihan yang sejak tadi kusembunyikan.

***

"Yah, Amara ...."

Sekembalinya dari toilet, aku disambut oleh pemandangan yang ... entah.

Tak hanya ada Ayah di meja makan. Di samping Ayah, terdapat pria dengan baju kaus lengan panjang berwarna hitam yang digulung sampai siku.

"Nah, itu Amara, Nak Rayyan."

Mam-pus!

Fatih Rayyan Arrazi, kenapa bisa ada di sini? Ketahuan, d**g, aku nyuri makanan.

"Ehkm." Aku berusaha untuk terlihat biasa saja. Tetap cool, walau gerogi brutal.

"Oh ya ... Nak Rayyan ke sini mau jemput Amara, ya?"

"Enggak, Yah. Kalau diizinkan, saya ingin menginap."

Deg!

"Tapi, Nak ... rumah Ayah sempit."

"Nggak apa-apa, Yah. Saya s**a yang sempit."

"Uhuk!"

Aku yang tadinya berusaha untuk menutupi salting dengan makan buah seketika tersedak pasca Rayyan berucap.

"Ruangan." Ia melanjutkan. Telat.

Otakku sudah jalan-jalan.

Bersambung...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Link di kolom komentar

SETELAH AKAD (7)By : Oryza Ryz "Tuan Kapten, ayolah! Mohon kerjasamanya." Aku menangkupkan kedua tangan di depan wajah. ...
05/12/2024

SETELAH AKAD (7)
By : Oryza Ryz

"Tuan Kapten, ayolah! Mohon kerjasamanya." Aku menangkupkan kedua tangan di depan wajah. Terpaksa, sebab berharap Rayyan mau diajak berpura-pura ciuman.

"Saya sibuk." Rayyan duduk di pinggir kasur sembari mengutak-atik ponsel.

"Saya butuh banget uang itu."

"Usaha sendiri! Jangan bawa-bawa saya."

"Oke."

Aku menyanggupi perkataannya.

Kugenggam erat ponsel, bersiap dengan kamera. Duduk di samping Rayyan, mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Ah, udah kayak mau nyosor aja.

"Mohon maaf, kepalanya bisa diangkat sedikit, gak? Kalau nunduk gitu, susah." Aku memberanikan diri bersuara. Namun, tak digubris olehnya.

Rayyan sibuk dengan ponselnya. Aku kesulitan berpose.

"Sip!"

Setelah cukup lama menentukan angle, akhirnya jadi juga satu foto. Akan tetapi ... tidak ada bagus-bagusnya foto itu. Aish! Nampak jelas aku halu. Rayyan terlalu menyebalkan jadi orang. Padahal apa susahnya berhenti main ponsel sebentar, dan bantu aku.

Ketika aku masih mencari-cari posisi yang bagus, entah kenapa pandangan ini berhenti di dia terus. Dilihat dari dekat, wajah pria itu ... membius.

Mataku terbelalak tatkala tiba-tiba ia memalingkan wajah. Hingga bibir kami hampir bersentuhan. Sontak aku segera menarik diri.

Tatapan pilot tersebut begitu tajam. Aku jadi merasa tidak enak. Tingkahku pasti membuatnya kesal.

"Ma-maaf." Kepala ini tertunduk.

Berhubung di luar sedang hujan, aku tidak pergi ke mana-mana. Cukup berbaring di atas tempat tidur, dan bersembunyi di balik selimut tebal.

Kasurnya empuk. Aku s**a. Tak ingin berpisah rasanya. Baru kali ini aku berbaring di tempat sebagus dan senyaman ini.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan. Semoga suatu saat aku bisa membelikan Ayah dan Ibu tempat tidur persis seperti yang kutempati sekarang.

"Apa?" Aku menaikkan kedua alis saat mendapati Rayyan masih mengarahkan pandangannya padaku.

"Saya ngantuk," ujarnya.

"Terus?"

"Silakan beralih ke sofa."

"Kenapa harus beralih ke sofa?"

"Karena saya akan tidur di sini."

"Ya udah, tidur aja."

"Saya ogah seranjang sama kamu. Takut dilecehkan."

Mendengar penuturan Rayyan, aku bangkit.

"Punya mulut dijaga, ya. Memangnya situ oke?"

"Sangat sangat oke." Enteng dia mengucapkan itu. Cih! Sok kegantengan.

Emang ganteng, sih!

"Semalam kita tidur seranjang, aman-aman aja, tuh." Aku melipat kedua tangan di depan dada.

"Semalam kamu masih jinak. Siang ini sepertinya mulai brutal. Saya jadi merasa tidak aman." Rayyan berucap asal. Ngeselin banget. Sumpah.

Bukannya kebalik, ya? Seharusnya aku yang berbicara begitu.

***

Sehari rasanya berminggu-minggu. Bersama Rayyan, aku sering merasa kesal. Kuharap masa cutinya segera berakhir.

Hujan turun dengan begitu lebatnya. Kulihat pria itu tertidur dengan p**as di kasur. Dia terlihat lelah. Seperti baru bisa merasakan tidur nyenyak.

Aku memenangkan debat dengan Rayyan. Alhasil kami kembali menempati tempat tidur yang sama. Toh, tempat tidur ini besar. Aku yakin, akan aman dari terkaman.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga sore. Kuembuskan napas kasar. Teringat hari-hari yang telah berlalu. Aku jarang di rumah, apalagi untuk rebahan seperti ini. Waktuku habis untuk kerja, kerja, dan kerja. Apa pun, yang penting halal. Tak jarang hujan-hujanan.

"Kerja mati-matian, tapi gak kaya-kaya." Begitu yang pernah diucapkan oleh Tante Rani--mamanya Fika.

Aku lelah, tentu saja. Uang bukan segalanya, tetapi segalanya perlu uang.

"Miskin itu bawaan kali, ya. Seberapa keras pun kalian bekerja, ya, nasib kalian akan tetap gitu-gitu aja."

Mentalku terlatih dalam lingkungan keluarga yang selalu memandang remeh keluarga kami. Sudah menjadi hal yang biasa ketika di hari perayaan tertentu, yang paling banyak menyumbangkan tenaga adalah Ayah dan Ibu.

Aku pernah menjaga jarak dari keluarga besar, tetapi Ayah bilang itu memutuskan tali silaturahim, dan tidak baik untuk dilakukan.

"Astaghfirullah!" Aku terkejut saat tiba-tiba telapak tangan seseorang meraih pinggangku, seiring tubuh yang mendekat, memeluk erat. Dia pikir aku guling apa?

Kulirik sang pelaku. Matanya terpejam. Ingin kupukul jidatnya, tetapi takut kualat. Walau bagaimana pun, dia suamiku.

Walau dia bukan seseorang yang kucintai, rasanya tetap saja deg-degan. Udara yang semula terasa dingin, mendadak panas.

Pilot ini benar-benar ....

Kucoba menyingkirkan lengannya. Namun, bukannya lepas, malah tambah erat.

Woylah!

Bersambung...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.
Link di kolom komentar

Setelah Akad (6)By : Oryza RyzMbak Weni terus memerhatikanku. Bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku risih dipa...
05/12/2024

Setelah Akad (6)
By : Oryza Ryz

Mbak Weni terus memerhatikanku. Bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku risih dipandangi begitu.

"Mbak!" tegur Rayyan pada kakak kandungnya tersebut.

Suami dan anaknya Mbak Weni tengah berada di ruang depan TV. Tersisa kami di sini. Mbak Weni tak bosan-bosannya menguji kesabaran.

"Karena kamu sudah terlanjur jadi adik ipar saya, jadi tolong, ya. Tolong jaga nama baik keluarga kami." Mbak Weni berucap ketus.

"Kamu udah di-unboxing Rayyan belum, sih?"

"Uhuk!"

Aku yang baru saja meneguk minuman sontak terbatuk. Pertanyaan macam apa itu?

"Mama nyebut nama Mbak terus dari kemarin. Kangen katanya." Rayyan mengalihkan pembicaraan.

"Mbak minta maaf karena gak ngasih kabar beberapa hari. Mbak juga kangen sama Mama, sama Papa, sama kamu, tapi, ya ... namanya juga kejutan. Kep**angan ini terpaksa Mbak rahasiakan."

Aku menghela napas tatkala perhatian Mbak Weni bisa teralihkan.

"Lain kali, jangan begitu lagi, Mbak. Kasihan Mama."

"Iya, iya." Mbak Weni terkekeh pelan. Namun, saat bertemu pandang denganku, ekspresinya kembali datar.

"Ray."

"Ya, Mbak."

Kakak dan adik itu lanjut mengobrol.

"Dilihat-lihat istri kamu manis juga."

Perkataan tak terduga yang keluar dari mulut Mbak Weni membuatku menahan napas beberapa detik.

"Oh, ya?" Rayyan menatapku sebentar. Lalu kembali mengalihkan pandangan.

Aku terdiam seperti patung. Bingung. Mbak Weni sedang memuji atau menyindir secara halus, ya?

***

Sebelum tidur siang, aku membaca ulang chat dengan seseorang. Senyum terpatri di wajah ini. Sebahagia itu aku dengannya. Percakapan online kami penuh dengan emoticon tertawa.

Marvin Ilyas, tadinya kukira dia jodohku. Tak tahunya takdir berkata lain. Pada akhirnya aku malah menikah dengan pria asing.

"Ekhm."

Terdengar deheman dari arah belakang. Aku menoleh sebentar. Setelah itu kembali ke posisi semula.

Rayyan di sana. Berdiri di samping kasur dengan kedua tangan berada dalam saku celana.

Mbak Weni p**ang ba'da Zuhur. Ia beserta anak dan suaminya menginap di rumah mama mertua. Syukurlah.

"Amara."

Pertama kalinya Rayyan melafazkan namaku setelah akad dilangsungkan. Aku sempat menelan ludah. Sebab merasa setiap huruf yang ia ucapkan penuh dengan penekanan.

"Amara Hilda Binti Abdul Arifin Husein."

"Apa?"

Dengan kesal, aku membalik badan. Menoleh padanya. Kenapa nama ayahku dibawa-bawa?

"Apa maumu, Fatih Rayyan Arrazi Bin Muhammad Effendi?" ucapku, tak mau kalah.

"Saya melarangmu menyebutkan nama Papa!" tegasnya.

"Saya juga melarang kamu menyebutkan nama Ayah!" Aku bangkit dari posisi berbaring.

Hening menyelimuti suasana selama beberapa saat. Aku dan Rayyan saling tatap. Saling mengedepankan ego masing-masing.

Menyebalkan!

"Kita harus bicara." Rayyan bersuara pasca sempat terdiam cukup lama.

***

"Apa yang membuatmu menerima perjodohan ini? Bukankah seharusnya Fika yang menikah dengan saya?"

Kami berada di balkon kamar. Mengobrol tetapi tidak saling memandang antara satu sama lain.

"Saya dibayar." Aku berterus-terang.

"Dibayar?"

"Ya, dibayar untuk menggantikan Fika." Aku berucap pelan.

"Kamu menyukai Fika?" tanyaku kemudian.

"Tidak. Saya hanya penasaran, kenapa kalian bisa semudah itu bertukar takdir."

"Saya butuh uang banyak untuk biaya operasi Ibu."

"Dengan cara mengorbankan kebahagiaanmu?"

"Ya."

"Berapa?"

"Apa?" Mataku mengerjap pasca Rayyan menanyakan hal yang terdengar ambigu.

"Kamu butuh uang berapa?" lanjutnya.

Mendengar itu, aku lantas menoleh. Memerhatikan sang pria dari samping.

"Saya akan menanggung semuanya."

Deg!

Jujur, apa yang Rayyan ucapkan barusan di luar ekspektasi. Kami baru kemarin menikah, dan belum saling mengenal. Jangan-jangan, Rayyan mengatakan itu, karena ada maunya.

"Tidak perlu. Saya bisa mengatasi ini. Bayaran dari Fika sudah lebih dari cukup. Hanya saja, dia mengajukan satu syarat lagi sebelum mentransfer uang itu."

"Apa syaratnya?"

"Mengirim foto ci-u-man kita." Kuucapkan dalam tempo yang secepat-cepatnya. Malu setengah gila.

"Maksudku pura-pura. Aku hanya perlu mengambil angle gambar yang tepat agar terlihat asli."

Setelah aku mengatakan semuanya, Rayyan terdiam. Terdengar helaan napas panjang. Hembusan angin menembus pakaian yang kukenakan. Suhu dingin seketika terasa, seiring langit menghitam, menandakan akan segera turun rahmat Tuhan.

Rayyan kini sepenuhnya mengarahkan pandangan padaku. Aku mundur beberapa langkah saat ia bergerak maju. Pria itu menarik bagian belakang leher ini dengan lembut, mendekatkan pada wajahnya.

"Begini?" Rayyan berbisik. Mataku berkedip berkali-kali.

"Pura-pura ci u man itu seperti ini?" Ia menatap lekat.

"Ayo, foto," suruhnya. Namun, aku sedang tidak memegang ponsel.

"Sa-saya ngambil HP dulu, ya."

"Oke, saya hitung mundur."

Berusaha kumanfaatkan dengan baik kesempatan yang ada. Akan tetapi ....

"Tiga, dua, satu ... waktumu habis." Rayyan sepertinya tidak punya niat tulus untuk membantu.

Masa menghitungnya cuma sampai tiga. Secepat kilat p**a. Paan?

"Bisa ulang sekali lagi?"

"Bisa, tapi bayar."

Dih!

Bersambung...

Baca selengkapnya di Aplikasi KBM App
Link di kolom Komentar

KAKEK TUA itu SUAMIKU (9)By : Sarinah "Terimakasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempe...
24/11/2024

KAKEK TUA itu SUAMIKU (9)
By : Sarinah

"Terimakasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempel di telingaku. Nafasnya yang hangat kini beralih di leher. Aku merinding ketika sebuah kecu*an mendarat di tengkuku. Rasanya bulu-bulu halus di seluruh tubuhku sudah berdiri. Dia membalikkan badanku, kini kami saling bertatapan. Tangannya yang sedianya melingkar di perutku kini beralih memegang kedua pipiku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, semakin dekat bahkan hidung kami sudah saling menempel.

Apa yang harus aku lakukan?

Oh Tuhan bibirku ini masih perawan jangan sampai ternoda oleh suamiku. Aku belum rela … Berikan pertolongan untuk hambaMU yang selalu bersikap manis ini atau sebentar saja, ubah wajah suamiku seperti Bang Jimin atau Bang Lee Min Hoo ya boleh lah, atau kalau lokalan ya udah Bang Billar ya nggak apa-apa.

Tok tok tok

"Permisi Bos, mobil sudah siap apa jadi p**ang sekarang?"

Alhamdulillah ternyata Tuhan mengirimkan penyelamat itu Bang Agus, produk lokal yang amat dekat, mungkin jika dikirim sesuai permintaanku bayar ongkirnya terlalu mahal. Nggak apa-apa deh yang penting sekarang aku terlepas dari Kakek Kanda yang cinta banget sama Dinda.

"Kenapa Agus datang disaat yang nggak tepat sih?" Suamiku menggerutu walaupun pada akhirnya dia membukakan pintu untuk Agus. "Hih, kamu ganggu aja Gus! Dah sana masuk bawain barang-barang Nyonya!"

"Maaf Bos, kan Agus nggak tau" ucap Pak Agus sambil menggaruk kepalanya.

"Pak Agus, jangan panggil aku Nyonya ya, panggil aku nama aja, nggak enak rasanya" protesku. Risih aja dipanggil Nyonya, kayak gimana gitu.

"Terus Dinda maunya dipanggil apa? Apa Agus juga harus panggil Dinda? Ya Kanda yang nggak rela."

"Panggil apa aja deh yang penting jangan nyonya!" Sungutku kesal.

"Turuti permintaannya Gus, panggil dia Nona Bos!"

"Siap! Baiklah Nona Bos, ini barang-barangnya saya bawa ke mobil ya, apa ada lagi yang mau dibawa?"

"Nggak ada Pak Agus, terimakasih."

Sebelum p**ang kami mampir dulu ke tempat penjual oleh-oleh. Banyak sekali oleh-oleh yang dibeli suamiku katanya dibagi buat tetangga tak lupa juga membeli baju untuk kami, dan harganya memang bukan kaleng-kaleng seratus ribu dapet tiga! Eh itu dulu paling banter pergi ke toko yang tulisannya serba 35.

"Dinda, sini deh," Kakek Kanda melambaikan tangannya ke arahku persis boneka kucing di toko mas. "Lihat tuh, bagus-bagus, Dinda beli ya" Kuarahkan pandanganku sesuai arah jarum jam 45 derajat, hiyaaaa toko apaan itu?

Baju tipis terawang kurang bahan bahkan hanya berupa tali warnanya pun ngejreng kayak lampu lalu lintas. Masa iya katanya bagus. Belum selesai rasa heranku, kepalaku sudah dipegang dengan kedua tangannya lalu dibelokannya pandanganku ke arah yang lain.

"Dinda lihatin apa? Itu loh, baju gamis sama kerudungnya bagus." O, jadi tadi nunjuk gamis aku kira baju itu. "Dinda mau pakai kayak gitu?" Ditunjuknya baju terawang yang tadi aku lihat. "Kalau sudah siap ayok deh Kanda beliin."

"Ogah! Takut masuk angin." Mending aku kabur ke toko baju muslimah aja.

Kubelikan Ibu baju gamis ada lima setel lengkap dengan kerudungnya, daster juga sandal yang bagus buat Ibu. Sementara Bapak dan Seno entah memilih apa, yang aku tau tadi Bapak dipilihkan baju Koko sama sajadah.

"Sudah Bu? Sini biar Seva bawa ke kasir. Seva yang bayarin" Kuambil baju yang dipegang ibu, biar aku saja yang bayar. Selama ini mereka yang penuhi kebutuhan sandang ku.

"Gayamu loh mau bayarin! Punya uang berapa Dinda?" tanya suamiku.

"Banyak donk, kan kemarin dikasih sepuluh juta ini masih utuh bisa buat bayar" jawabku sombong. Jawabanku justru membuat suamiku tertawa.

"Gus! Bawa ini ke kasir, ini pake ini. Belanjaanmu juga sekalian bayar. Anak sama istrimu sudah dipilihkan kan?" Suamiku mengeluarkan kartu ajaib dari dompetnya kemudian diserahkan ke Pak Agus. Bahkan keluarga Pak Agus pun diperhatikan sama suamiku. Oh suamiku betapa baiknya dirimu. Beh! Apa aku tadi menyanjungnya? Aduh gawat! Pikiranku sudah nggak normal ini!

"Sudah Bos, ini sudah semua. Terimakasih banyak Bos sudah baik sama keluargaku" ucap Pak Agus.

"Hmmm, dah sana bayar, aku tunggu di mobil."

***

"Sebelum sampai rumah, kita makan dulu ya," tawar suamiku. "Kalian mau makan apa?" Suamiku yang duduk di kursi depan sebelah sopir menengok ke belakang.

"Apa ya? Seno mau makan apa?" Kutanya adikku karena dia yang biasanya makannya banyak.

"Apa aja deh, Seno nurut."

"Kita ke restoran Jepang ya, Gus,"

"Jangan! Jangan ke restoran Jepang!" Sergahku.

"Kenapa? Enak loh, nanti Kanda pilihkan makanan yang enak" Bujuknya.

"Pokoknya jangan ke restoran Jepang deh, aku aja yang pilih gimana?" Nggak mungkin kujelaskan jujur alasannya kalau aku nggak bisa pakai sumpit. Tengsin donk.

Kuputuskan untuk makan-makanan yang dipinggir jalan. Tentunya aku pilih menu yang ada kuahnya soto Lamongan kayaknya ada.

Masuk ke dalam rumah makan tenda kami langsung duduk lesehan. Pak Agus juga duduk bareng dengan kami. Itu jadi poin sendiri tentang penilaianku pada suamiku. Dia tak pernah membedakan orang biarpun Pak Agus adalah sopirnya.

Makanan tersaji di meja, ada soto lamongan, ayam goreng, ayam bakar, lele goreng, tahu tempe goreng, lalapan juga sambal. Serta aneka minuman telah siap semuanya.

"Va, layanin suamimu!" Tangan ibu tak lupa menyikutku.

"Iya Bu," jawabku.

Kuambilkan nasi dan soto lamongan. Ingin aku ambilkan juga lele goreng terus aku cemplungin ke soto lamongan biar kayak hiu berenang di lautan, tapi dicegah sama Ibu. Malah Ibu menyuruhku memisahkan daging lele dari durinya terus disuwir kecil-kecil. Persis kalau mau nyuapin anak kecil.

***

"Va, temani Ibu yuks?" Ajak Ibu.

"Kemana Bu? Tumben minta temenin? Ini masih siang loh, belum ada hantu yang keluar." Iseng kujawab pertanyaan Ibu.

"Ini lebih dari hantu kalau keluar."

"Dih Ibu bikin penasaran aja, mau kemana sih, kok minta temenin?"

"Ke rumah Bude Ratmi, buruan temenin!" Pantes aja ini lebih serem daripada hantu.

Sebenarnya males banget kalau udah nyebut Bude Ratmi, tapi demi Ibu ya mau nggak mau deh.

"Assalamualaikum, Bude Ratmi," ucapku begitu sampai di depan rumah.

"Eh kalian, tumben? Mau ngutang ya?" jawab Bude Ratmi ketus.

"Nah kan, p**ang aja yuks Bu, nggak usah jadi kasih oleh-olehnya!"

"Oleh-oleh? Kalian mau nganterin oleh-oleh? Sini masuk dulu, nggak baik di depan kayak gitu" Begitu denger kata oleh-oleh sikapnya langsung berubah.

"Ini, Mbak, ada oleh-oleh sedikit, kemarin beli waktu diajak liburan" Diserahkannya satu kresek besar yang berisi oleh-oleh pada Bude Ratmi.

"Apaan Mah?" Mbak Susi yang baru datang ikut melongok isi dalam kantong kresek. "Kamu habis liburan Va?" tanya Mbak Susi.

"Iya, Mbak, kemarin nginep di villa sekeluarga" jawabku.

"Enak donk. Va, sini deh, aku mau ngomong sama kamu." Mbak Susi memintaku untuk lebih menjauh dari Bude Ratmi juga Ibu. Mau ngomong apa dia, biasanya juga nggak pernah mau ngomong sama aku.

"Ehm, Va, suamimu yang tua itu punya temen nggak?" Pertanyaan Mbak Susi aneh, masa iya tanya temen suamiku. Mana aku tau coba, tapi masa iya suamiku nggak punya temen.

"Ya punya lah, masa nggak punya" jawabku asal.

"Beneran? Nanti tolong minta sama suamimu buat kenalin temennya sama aku ya, bilangin aku siap menikah." Aku tepuk jidat mendengar ucapan Mbak Susi.

"Ada, tapi usianya lebih tua lagi. Gimana?"

"Nggak apa-apa, semakin tua semakin bagus. Aku s**a!" Busyet ini Mbak Susi seleranya lebih parah ternyata.

"Besok deh kalau Ibu pesen cendol lagi, aku kenalin sama Mbak Susi."

"Kok jadi pesen cendol?" tanya Mbak Susi heran.

"Iya, temennya itu tukang cendol, kemarin Ibu beli terus kakek itu kenalan sama suamiku sekarang jadi temenan deh, mau nggak?"

"Sialan kamu! Masak kakek cendol dikenalin sama aku!"

"Loh Mbak, gitu gitu juga juragan loh. Juragan cendol!"

"Dah p**ang sana! Nyesel aku minta sama kamu!"

"Nggak disuruh juga ini mau p**ang, ayo Bu,"

***

Pagi ini cuaca sedikit mendung, aku yang sedianya akan berangkat sekolah jadi merasa kurang bersemangat.

"Dinda, nanti diantar Pak Agus ya berangkatnya bentar lagi hujan loh,"

"Nggak usah deh, kayaknya cuma mendung nggak sampe hujan."

"Dinda sekarang udah jadi pawang hujan ya?"

"Pawang hujan? Enak aja. Aku sekarang udah jadi pawang aki-aki!" Jawabku kesal.

"Seva … nurut aja sama suamimu kenapa? Niatnya baik kok, masa kamu tolak." Bapak justru mendukung suamiku.

"Tapi Pak, Seva nggak mau nanti temen-temen curiga."

"Ya udah nanti turunnya jangan deket gerbang, yang lumayan jauhan biar nggak ketemu temen Seva, gitu aja kok bingung Va?" Bapak memberikanku usul.

"Ya udah deh, Seva mau dianterin. Seva berangkat dulu. Assalamualaikum"

Akhirnya aku mengalah, sekolah diantar sama Pak Agus. Pertama nganter Seno dulu lalu kemudian baru anter aku.

"Pak Agus, Seva berhenti disini aja!"

"Siap Nona Bos, nanti siang jemput jam berapa?"

"Nggak usah dijemput, Seva bisa p**ang sendiri Pak Agus."

"Maaf Nona, Bos yang nyuruh buat jemput katanya harus mau."

"Ya udah jemput jam tiga ya, Pak. Jemputnya disini kalau nggak disini Seva nggak mau."

"Oke, Nona Bos" Mobil Pajer* yang kemarin pun kini melesat kembali.

Akhirnya kini aku berjalan sendirian menuju ke sekolah.

Tes!

Tetesan air jatuh di hidung minimalisku. Ya biarpun hidungku minimalis tapi ini yang membuatku terlihat makin cantik.

Tes!

Kembali air menetes di hidungku kali ini malah datang keroyokan. Hujan!

Segera aku berlari agar aku tidak kehujanan. Kudekap tas sekolah agar tidak basah.

"Kamu cepet juga kalau lari, persis atlet marathon."

"Hah?" Aku melirik orang yang mengatakan itu. Oh Tuhan itu Andi! Andi berlari mensejajariku. Kedua tangannya mengangkat jaket di atas kepalaku untuk menutupinya dari air hujan.

"Jangan berhenti nanti basah, ayo lari lagi!" titahnya. Ah, rasanya ini seperti romansa Galih dan Ratna.

"I—iya," jawabku.

Ya Tuhan, kali ini aku berharap panjangkan jalan menuju sekolah. Sepuluh kilometer juga nggak apa-apa dan jangan hentikan hujan dulu, makin deras juga tambah bagus. Tapi jangan ditambah petir ya, aku takut. Pintaku dalam hati.

"Kita berhenti di pos satpam dulu ya!" ajaknya. Akhirnya kita pun berhenti di pos satpam. Sekolah terlihat masih sepi mungkin efek hujan atau juga ini masih terlalu pagi.

Wusssshhhh

Angin bertiup sangat kencang, reflek Andi memasang badan untuk melindungiku. Aku pun mundur ke belakang mepet ke tombok. Kini aku dan Andi saling berhadapan.

"Kamu cantik Va," ucapnya.

"Heh? Aku cewek tentu saja cantik," jawabku malu. Rasanya dada ini berdebar sangat kencang. Mimpi apa aku semalam sampai bisa tercipta adegan seperti ini. Andi sang ketua OSIS, cowok idola siswi di sekolah bisa bilang aku ini cantik.

"Kamu beda, sudah sejak lama aku s**a sama kamu"

Jeder!

Sambaran petir turut mengiringi ungkapan hati Andi. Aku yang ketakutan langsung menutup kedua telingaku. Iya, aku ingat kalau aku sudah bersuami, nggak usah diingetin pakai petir! Batinku.

"Va, mau ikut nggak?" Riska yang berjalan menggunakan payung menghampiriku.

"I—ya, aku ikut. Makasih ya, Ndi. Aku masuk kelas dulu."

"Aku tadi serius, Va" teriak Andi.

Antara rasa percaya dan tidak dengan yang tadi diucapkan Andi.

***

"Dinda siap-siap ya, sore nanti kita pergi"

"Kemana? Apa harus ikut?" Malas rasanya pergi-pergi.

"Ya, Dinda harus ikut nggak boleh nolak."

Sore itu jadilah kami pergi, kukenakan gamis baru yang kemarin aku beli. Bahkan aku sudah memoles wajahku dengan bedak yang lebih baik.

"Mobilnya beda lagi?" tanyaku saat memasuki mobil berwarna hitam dengan ukuran lebih tinggi dari mobil Pajer* kemarin.

"Iya, ini ganti. Dinda mau yang kayak gini?"

"Nggak, motor aja belum pernah aku pakai!" Ya, motor N*ax yang dibelikannya masih terparkir manis di ruang tamu. "Apa ini mobil alphamart?" Aku pernah membaca artikel tentang jenis-jenis mobil. Saat itu ya cuma baca nggak pernah terlintas bisa menaikinya.

"Alphamart? Bukankah itu supermarket?" tanya suamiku.

"Mungkin maksud Nona Bos Toyot* Alphard Bos" Pak Agus ikut mengomentari pertanyaanku.

"Ha ha ha Dinda lucu, supermarket disamakan mobil. Bukan sayang, ini mobil Lexu* terbaru lebih mahal dari alphamart." Lah malah dia ikut ikutan alphamart. Sungguh aku sangat malu dengan ketidaktahuanku. Kualihkan saja pandanganku ke luar melihat pemandangan.

"Gus, kita ke salon dulu!"

"Salon? Mau ngapain? Potong rambut?" tanyaku. Tapi sayang pertanyaanku nggak dijawab, malah masih senyum-senyum sendiri.

***

"Tolong rias wajahnya dan ganti juga bajunya, tapi jangan menor!" Perintah suamiku pada laki-laki gemulai di salon.

"Siap! Eyke pasti akan sulap wajahnya jadi kayak putri."

Ternyata bedak yang tadi aku gunakan masih belum cukup, kini aku harus dirias kembali. Mau kemana sih kok pakai rias segala. Baju yang aku kenakan juga diganti dengan gaun panjang berwarna putih lengkap dengan hijab yang senada layaknya artis yang mau ke pesta. Sepatuku juga sudah berganti menjadi sepatu pesta berwarna keemasan. Entahlah darimana semua baju ini didapat.

"Taraaaaa! Yu, cuantik buanget dech. Itu kamu punya kakek pasti tambah pangling liat cucunya dah kayak Cinderella." Laki-laki kemayu itu memujiku yang telah selesai di rias.

"Dia suamiku!" Kujawab saja sesuai kenyataan toh aku tak mengenalnya.

"What? Suami? Eyke nggak salah denger kan? Apa stok laki-laki sudah habis? Minum! Eyke butuh minum! Eyke harus kembali ke asal jangan sampai ada aki-aki jadi incaran gadis lagi!"

Mobil berhenti di gedung hotel mewah. Seorang pelayan membukakan pintu mobil kami, kemudian mengarahkan kami ke lantai tiga.

Terlihat orang-orang memakai baju warna putih sedang berlalu lalang di sebuah ruangan yang luas. Dekorasi ruangan juga sangat bagus. Warna putih lebih mendominasi isi ruangan. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan, di depan sana terlihat iringan pemusik yang sedang menyanyikan sebuah lagu.

Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Bener nggak ya?

Benar! Mataku nggak salah lihat! Dia memakai setelan jas yang juga berwarna putih. Kenapa Andi juga ada disini?

Bersambung...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Link di kolom komentar

KAKEK TUA itu SUAMIKU (8)By : Sarinah Memasuki halaman terlihat mobil mewah yang kemarin aku tumpangi bersama Nyonya Lid...
24/11/2024

KAKEK TUA itu SUAMIKU (8)
By : Sarinah

Memasuki halaman terlihat mobil mewah yang kemarin aku tumpangi bersama Nyonya Lidiya. Mau ngapain lagi dia kesini?

Baiknya aku masuk atau aku menghindar dulu ya? Tunggu, di dalam masih ada Ibu, Bapak juga Seno. Bagaimana kalau mereka tau kejadian kemarin? Kalau begitu aku masuk saja.

"Assalamualaikum," ucapku saat akan memasuki rumah.

"Waalaikumsalam," jawab mereka serempak. Ternyata bukan hanya Nyonya Lidiya tapi ada juga Nyonya Tania.

"Sini, Nak, mereka anak-anak suamimu" Ibu memperkenalkan mereka. Ibu menyangka aku belum tau siapa mereka.

"O, ini ya istri baru Ayah? Wah, cantik ya, Ayah pinter banget cari ibu baru buat kita. Bener nggak Mbak Lidiyia?" Nyonya Tania mengatakan seolah-olah kita baru saja bertemu.

"Be—betul. Cantik banget, pantes Ayah langsung klepek klepek," jawab Nyonya Lidiya.

Aku yang masih bingung dengan sikap mereka hanya bisa terdiam, sikap mereka sungguh sangat berbeda dengan yang kemarin. Apa mereka sudah sadar dan menerimaku sebagai istri dari ayah mereka? Sementara suamiku dari tadi hanya diam.

"Kok, bengong? Ayo sini duduk" Ibu kemudian berdiri dan menyuruhku untuk duduk. "Kalian ngobrol aja dulu ya, Ibu sama Bapak tinggal dulu, ada perlu sebentar. Nggak apa-apa kan?"

"Nggak apa-apa, kita juga pengin banget ngobrol sama ibu baru kami. Begitu juga sebaliknya, Mamih juga pengin kan ngobrol sama anak barunya? Bener kan?"

What? Mamih? Mamih apa lagi ini? Mamih tiyi? Eh Mamih tiri maksudnya.

Ibu dan Bapak kemudian meninggalkan kami semua. Entah mereka benar-benar ada perlu atau memang hanya mencari alasan.

"Apa mau kalian?" Suamiku akhirnya bersuara.

"A—ayah, Lidiya, minta maaf soal kemarin. Lidiya menyesal, Yah"

"Bener, Yah, Tania juga minta maaf. Tania juga menyesal"

Wah, mereka menyesal? Beneran?

"Seharusnya kalian minta maaf bukan padaku! Kalian lihat bibirnya? Itu akibat yang kalian lakukan kemarin. Apa Ayah pernah mengajari kalian untuk berbuat hal keji seperti itu?" Aku mend**gakkan wajahku kemudian menatap mereka satu persatu.

"Mamih, kami minta maaf, kemarin kami salah. Mamih mau kan maafkan kami?"

Rasanya masih enggan untuk memaafkan mereka, setelah semua penghinaan dan perlakuan mereka.

"Ayah, Ayah mau kan maafin kami? Sungguh Yah, kami sangat menyesal" Kali ini Nyonya Tania mengucapkan dengan air mata yang mengalir. Bukankah tadi wajahnya masih biasa aja? Kenapa cepet banget keluar air mata?

"Dinda, Apa Dinda mau maafin anak-anak Kanda? Kalau Dinda maafin mereka, Kanda juga maafin. Semua tergantung Dinda" Suamiku menyerahkan semua keputusan kepadaku.

"Apa perlu kami bersujud agar dimaafkan? Iya Mih, Tania mau kok bersujud di kaki Mamih asal Mamih mau memaafkan."

"Ti—tidak perlu, aku sudah memaafkan, aku sudah melupakannya, tidak usah bersujud." Gil* aja mereka mau bersujud. Daripada mereka melakukan itu lebih baik memaafkannya.

"Beneran Mih, mkasih banget ya Mamih udah mau maafin kami" ucap Nyonya Lidiya, dengan sumringah.

"Iya, saya sudah maafkan Nyonya Lidiya dan Nyonya Tania."

"Tidak usah memanggil mereka dengan sebutan Nyonya, biasa aja. Dinda itu ibu mereka nggak seharusnya memanggil seperti itu" Suamiku protes aku memanggil mereka dengan sebutan apa. Masa iya cuma nama, kan nggak sopan. Usia mereka aja jauh di atasku. Mungkin sepantaran Ibu.

"Terimakasih Mamih sudah memaafkan kami, itu tandanya Ayah juga sudah memaafkan kami kan?"

"Ya, Ayah sudah memaafkan. Tapi ingat! Jaga sikap kalian! Jika masih bersikap tidak baik Ayah nggak segan-segan untuk mencoret kalian dari daftar warisan. Mau?"

"Nggak Yah, jangan lakukan itu. Kami janji akan bersikap baik sama Mamih. Mamih percaya kan sama kami?"

"Ehm, iya, saya percaya," jawabku bohong, aslinya masih ragu dengan mereka.

"Nah, kan Mamih percaya. Makasih ya, Mih" Mereka tersenyum kemudian mendekatiku dan memelukku. Aku yang kaget hanya bisa mematung tak kubalas pelukan mereka. "Kalau begitu, kami permisi p**ang dulu ya," ucap mereka setelah melepas pelukannya. Kemudian aku dan suamiku mengantar kepergian mereka sampai mereka masuk ke mobil.

***

Waktu menunjukkan pukul satu siang, kita semua baru saja selesai makan siang. Ibu memasak sayur asem, ayam goreng juga sambal tak lupa ada kerupuk tersaji di meja.

"Nanti sore kita berangkat liburan ya," ucap suamiku selepas makan.

"Liburan? Kemana?" tanyaku.

"Mbak seneng banget deh, kemarin jalan-jalan nanti tinggal liburan." Seno menyela obrolan kami.

"Seno juga nanti ikut kok, kita semua nanti berangkat liburan semua. Besok tanggal merah kan?" Suamiku ternyata mengajak semuanya untuk liburan bukan hanya aku. Syukurlah, aku tidak sendirian.

"Beneran? Pak Bambang nggak bohong?" Seno seakan tak percaya dengan ucapan suamiku.

"Beneran, setelah ini Seno siap-siap nanti malam kita semua tidur di hotel."

"Oke, siap Bos! Seno siap-siap dulu."

Seno langsung beranjak dari meja makan dan memasuki kamarnya. Kami yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Ah, adikku memang tak pernah merasakan rasanya liburannya. Pernah juga paling jauh ke pantai itu juga entah sudah berapa tahun yang lalu.

Tepat pukul tiga sore, Pak Agus sudah sampai di rumah sesuai perintah dari suamiku. Kami pun bersiap-siap akan berangkat.

"Mbak, ayo! Mobilnya udah siap!" Seno yang sedari tadi sudah menunggu begitu gembira melihat Pak Agus sudah sampai.

"Sabar Seno, bentar lagi kita juga berangkat," sahut Bapak.

"Loh, mobilnya kok ganti warna putih?" Biasanya kan sedan hitam, ini ganti Pajer*.

"Bos yang meminta tukar mobil. Katanya mau dibawa liburan, biar muat." Pak Agus menjawab rasa heranku. Memang benar juga kalau pakai mobil yang biasa ya nggak akan muat, hanya untuk kapasitas empat penumpang.

***

Dua jam perjalanan harus kami tempuh untuk menuju hotel, bukan hotel sebenarnya tapi lebih mengarah ke vila. Menurutku.

Kami langsung beristirahat sebentar selepas Maghrib kemudian kami berkumpul di samping kolam renang. Ternyata sudah disediakan aneka makanan untuk kami bakar bersama-sama. Ada jagung, sosis, ayam, ikan dan menu lainnya. Malam kami habiskan dengan bersantai dan saling bercengkrama.

"Selamat pagi Dinda"

Aku mengerjapkan mataku, kepalaku terasa hangat tapi kenapa jantungku berdetak lebih cepat? Suaranya juga terdengar lebih keras seperti tepat ditelingaku. Lalu ini apa? Aku mengusap-usapnya. Ini perut, tapi perasaan perutku nggak gembur-gembur kayak gini deh. Tunggu! Jangan-jangan?

"Kalau masih s**a, Kanda nggak apa-apa kok kayak gini terus, lebih dari semalam juga nggak apa-apa." Seketika aku terbangun dan mengeceknya. Dibelakangku terlihat suamiku sedang senyum menampilkan gigi palsunya.

"Tidak! Kita tidak melakukan apapun kan semalam?" Aku melihat ke baju yang aku pakai ternyata masih utuh tanpa ada yang terlepas. Dan suamiku juga masih memakai baju yang sama semalam dengan lengkap.

Aman!

"Tenanglah, Dinda semalam hanya tidur di atas sini" Dia menunjukkan dadanya.

Tok tok tok

"Mbak, udah bangun belum, ayo renang!" Teriak Seno. Semalam aku berjanji akan berenang bersama.

"Turunlah, ajak adikmu berenang, nanti aku menyusul."

Sepanjang hari itu kami habiskan untuk bersenang-senang. Terlihat binar bahagia Seno, saat diajak ke tempat wisata terdekat dengan villa. Bapak dan Ibu pun tak kalah bahagia dengan Seno. Bapak dan Ibu yang selama ini berjuang mati-matian demi aku dan Seno sekarang gantian aku yang akan bahagiakan kalian. Bagaimanapun caranya.

Sore menjelang, hujan diluar turun begitu deras. Kubuka tirai jendela di kamar villa. Terlihat pemandangan hijau nan asri yang terguyur air hujan. Kusilangkan tanganku di depan dada agar mengurangi rasa dingin.

Tiba-tiba ada tangan yang melingkar di perutku. Suamiku memelukku dari belakang.

"Terimakasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempel di telingaku. Nafasnya yang hangat kini beralih di leher. Aku merinding ketika sebuah kecu*an mendarat di tengkuku. Rasanya bulu-bulu halus di seluruh tubuhku sudah berdiri. Dia membalikkan badanku, kini kami saling bertatapan. Tangannya yang sedianya melingkar di perutku kini beralih memegang kedua pipiku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, semakin dekat bahkan hidung kami sudah saling menempel.

Apa yang harus aku lakukan?

Bersambung...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Link ada di kolom komentar

Address

Pekanbaru
28292

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Kumpulan Novel posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share