07/12/2021
BERGABUNGLAH BERSAMA KAMI!
KEGIATAN: LAPAK BACA DAN DISKUSI DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN MANDALIKA KOTA MATARAM
_______________________________________________
Seruan Belajar dan Berjuang bersama PEMBEBASAN Mataram
“…agar mental petualangan dan keberanian mencari jalan sendiri di luar dunia orang tua jangan tercekik oleh dunia sekolah dan pendidikan.” (YB Mangunwijaya)
“…kita harus belajar mendapatkan sebuah kebebasan yang baru, yakni kebebasan yang membuat kita mampu untuk mengaktualisasikan jatidiri kita masing-masing, untuk memiliki kepercayaan mendalam atas diri-sendiri dan atas hidup itu sendiri.” (Erich Fromm)
Kawan, ijinkan kami memberitahukan: sekarang Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) telah hadir di Kota Mataram—pada 12 Juni 2021 silam, organisasi ini dideklarasikan. Di Mataram, kami memang kecil dan masih berusia seumur jagung; tapi kami berjanji akan terus belajar dan berjuang bersama. Kami tidak ingin menjadi organisasi yang menumpuk anggota tanpa menajamkan pemikirannya, menghaluskan perasaannya, dan mengeraskan kehendaknya. Sudah terlampau banyak organisasi mahasiswa di negeri ini yang mengonggokan anggotanya secara kuantitas, tapi tersendat-sendat dan berjalan lunglai soal kualitasnya. Bagi kami: organisasi yang enggan mengembangkan potensi dan meradikalkan kameradnya hanya akan menyulap perkump**annya jadi lumbung kader perahan, bahkan dapat memperpanjang barisan penindasan. Sementara kita mengerti: di negeri ini kekerasan, perampokan, penipuan, dan beragam eksploitasi dan banalitas kejahatan telah lama menyelimuti kehidupan kaum tertindas, terhisap dan miskin hingga julurannya tak segan-segan menerabas bilik-bilik pendidikan. Kami yakin: dalam dunia kemahasiswaan saja pasti kalian pernah melihat maupun merasakan bagaimana kekejaman itu berlangsung. Tengoklah kampusmu, tak butuh data-data yang kompleks dan dingin untuk mengetahui jalannya penindasan. Cobalah kalian ingat dosen mana yang memperlakukanmu bagai budak-budak pengetahuan. Mereka mewajibkanmu mengisi daftar hadir tapi memberi kuliah yang membosankan, menekan, dan tanpa bisa disanggah sedikitpun. Mereka juga memaksamu mengerjakan tugas bertumpuk-tumpuk, menggiringmu mengikuti seminar-seminar dengan ancaman atau imbalan. Serta mangharuskanmu berkelakuan menyenangkan, saling-bersaing mengejar peringkat, hingga wisuda cekatan terutama untuk beroleh jabatan-jabatan di perusahaan atau kantor-kantor apapun yang menawarkan kekayaan. Dalam catatannya tentang kaum intelektual, Ali Syariati mengkritik fenomena pendidikan yang lancung ini sebagai bentuk perbudakan modern:
"…saya menyaksikan jenis perbudakan lain yang sedang dipraktekkan di pusat-pusat intelektual … yang diperdagangkan bukannya manusia primitif dari rimba raya Afrika akan tetapi adalah intelektual-intelektual yang sangat pintar … mereka menawarkan dirinya untuk dilelang di hadapan barisan para kapitalis dan agen-agen korporasi dan perusahaan-perusahaan raksasa … seseorang mengatakan mereka sanggup bayar tinggi sarjana yang baru lulus … yang lain dijanjikan jumlah uang, kendaraan, sopir pribadi. Budak-budak modern yang dijadikan sasaran tawar menawar akan melihat calon-calon tuannya lebih dulu … dan kemudian akan mengikuti tuan yang bersedia memberikan bayaran yang paling tinggi…."
Kawan, bukankah selama ini jarang sekali bahkan tidak pernah kalian temui dosen yang membuatmu berani menolak kemapanan? Daripada mengajarkanmu tentang keberanian, mereka justru terus-menerus menatarmu dengan teori-teori yang membuat pikiran, perasaan, dan kehendakmu nyaris tak berfungsi. Sudah waktunya kalian mengerti, mereka telah lama memangkas nyalimu dengan absensi, gudang larangan, dan ceramah basa-basi. Sementara di kampus ini setiap semesternya kalian dibanduli bukan hanya dengan mahalnya biaya pembangunan dan semester perkuliahan, tapi juga beragam ongkos pendidikan yang terus melambung. Di kampus kita tidak pernah diajarkan mengubah keadaan. Daripada mengajarkan perlawanan, birokrasi pendidikan justru membuat kita terlelap hingga mengganggap perbudakan dan pemerasan sebagai hal-hal wajar. Seolah kampus tidak mau memberikan kebebasan kepada mahasiswanya untuk berbicara dan membangun gerakan. Elit-elit birokratnya soalnya mencoba memancang budaya diam. Dalam keadaan inilah mahasiswa diperlakukannya tak ubah anak-anak ingusan. Kultur budak begini masih dilanggengkan secara menjijikan. Lihatlah bagaimana selama ini mahasiswa-mahasiswa dibujuk-rayu bahkan ditipu supaya tidak protes dengan cara memberlakukan kebijakan penyicilan dan pemotongan uang pendidikan. Fenomena picik itu persis yang Everest Reimer tuturkan:
"Inti budaya diam tercermin dalam budaya anak-anak (culture of childrenhood), di mana mereka diperbolehkan menyanyi dan mengobrol, tetapi tidak diperbolehkan mengetahui dan membicarakan persoalan orang dewasa. Budaya diam itu menyerupai budaya budak Yunani di zaman Romawi, yang diperbolehkan mempelajari apa saja, kecuali seni perang dan ilmu politik."
Sekarang tidak mungkin lagi kita berdiam, termangu, dan menerima keadaan. Sudah waktunya budaya perlawanan ditanam, tumbuh, dan mekar di relung-relung lembaga pendidikan. Salah satu cara untuk mendorong kebudayaan tandingan inilah mengapa kami mengajak kawan-kawan sekalian untuk mengikuti Pendidikan Politik yang akan segera dilaksanakan. Melalui pendidikan inilah kami yakin dapat berbagi pengetahuan untuk menentang perbudakan dan penghisapan. Tidak mungkin lagi kalian diperlakuan seperti anak-anak yang dilarang membicarakan soal-soal berkait perkara orang dewasa: sosial-budaya dan ekonomi-politik. Tak bisa p**a kalian dibiarkan terus-menerus terilusi oleh sistem yang melanggengkan penindasan dalam kehidupan akademik. Kini sudah waktunya kalian mempelajari bukan sekadar tentang bagaimana lahir dan berjalannya sistem eksploitasi itu, tapi juga dengan cara apa kita bisa merubah status-quo tersebut. Kawan, telah dipaparkan bagaimana motif kami dalam mengajak kalian untuk belajar dan berjuang bersama. Kini pertanyaannya: tidakkah kalian berminat mengikutinya? Bukankah kalian ingin melawan dan mempercepat perubahan? Bergeraklah! Keluarlah dari kemapanan yang selama ini membelenggu kehidupanmu sebagai mahasiswa. Antonio Gramsci selama hidupnya jadi mahasiswa gelisah dengan keadaaan yang persis kalian alami sekarang ini: pendidikan menempatkan mahasiswa sebagai budak birokrasi. Dia memandang pendidikan sebagai gudang harapan sekaligus benteng gerakan, bukan penyalur moralitas borjuis yang individualis, hipokrit, bigot dan korup. Dia sangat-sangat cemas kalau kalian berkuliah hanya berorientasi pada gelar, status, martabat, apalagi hidup mapan sebagai sarjana-sarjana dan tokoh-tokoh kelas kakap. Andai kampus memuluska langkahmu menuju alam kepandiran, maka jangan kaget jika suatu saat kau dapati hidup dalam barisan kaum terpelajar yang pengecut. Dalam catatan harian yang ditulisnya di penjara, Gramsci pernah berucap:
"Anak-anak muda menjadi pengecut sekaligus melihat terlalu banyak kepengecutan. Kekerasan psikologis yang melanda anak-anak muda itu begitu memalukan dan menyedihkan … sekolah-sekolah itu tengah mengalami disintegrasi sebagaimana yang dialami oleh institusi-institusi yang lain, dan dipenuhi dengan segerombolan gangster … dan tak mungkin bagi negeri kita untuk berharap tercipta suatu pembaharuan dari berandal-berandal muda ini…."
Kawan, mengapa kalian tidak menganggap itu sebagai sebuah masalah? Tidakkah kamu mengerti bahwa lingkungan kemahasiswaan kita selama ini diam-diam dicemari racun pengontrolan, penataaan, dan pendisiplinan yang sangat berbahaya bagi perkembanganmu sebagai anak muda. Keadaan ini dapat menciutkan nyalimu untuk mengikuti organisasi yang mengajakmu bertualang menghadapi beragam suka-duka dalam melawan penindasan. Jika saja keberanian kalian masih tersisa, maka buktikanlah. Beranikah kalian menerima tantangan kami untuk belajar dan berjuang bersama PEMBEBASAN Mataram? Bila nyalimu ada; ikutilah pendidikan sekaligus rekrutmen yang akan segara kami adakan. Kawan, perlu rasanya kami jujur pada kalian: kegiatan yang kami rencanakan bukan sekedar untuk menguji keberanian, tapi terutama membekali dengan teori-teori revolusioner. Kami percaya dengan apa yang dipesankan Tan Malaka: ‘kini kebutuhan kita bukan pada keberanian semata-mata, tapi lebih pada pengetahuan revolusioner dan kecakapan mengambil sikap revolusioner’.
Medan Juang, 07 Desember 2021
Atas Nama Kaum Tertindas, Terhisap dan Miskin; Panjang Umur Perjuangan,
PEMBEBASAN Kolektif Kota Mataram