10/03/2022
INDONESIA GAGAL MENEGAKKAN HAM DI PAPUA BARAT, DAN PROSEDUR KHUSUS UNHRC MEMBUAT TUDUHAN ATAS DASAR ‘DATA ANTE-MORTEM’.
By: Kristian Griapon, Maret 10, 2022.
Indonesia negara anggota PBB yang telah meratifikasi Hak Asasi Manusia PBB melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia. dan implementasinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Sebagaimana terurai dengan jelas pada alinea pertama pertimbangan, poin (d). “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima”.
Yang dimaksud pelanggaran Hak Asasi Manusia menurut definisi Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 pasal satu (1) ayat (6). Menyebutkan bahwa:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Dan, Pasal 104 Ayat (1) menyebut yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Pada pasal satu (1) ayat tujuh (7). Undang-Undan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, menyebutkan bahwa:
“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia”.
Guna mengimplementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia di indonesia.
Sebagaimana dijelaskan pada alinea pertama huhuf (b). ”bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;”
Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dipertegas melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000, yang terurai pada pasal tujuh (7) bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat meliputi: a.kejahatan genosida; b.kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada pasal delapan (8) menjelaskan Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal (7) huruf (a), adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pada pasal sembilan (9) menjelaskan, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Ruang lingkup peradilan HAM Ad Hoc di Indonesia, telah diatur dengan jelas melalui Undang- Undang Republik Indonesia Nomon 26 Tahun 2000. Namun setelah undang-Undang ini disahkan lebih dari 20 tahun, tak satupun Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia diadili melalui pengadilan HAM Ad Hoc.
Misalnya salah satu kasus "Berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dikembalikan karena berdasarkan penelitian tim jaksa penyelidik pada Direktorat HAM Berat Jampidsus, berkas penyelidikan tersebut belum memenuhi kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM Berat, baik pada syarat-syarat formil maupun pada syarat-syarat materiil," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setiyono, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (detiknews,20/3/2020).
Menurut Anggota KOMNAS-HAM Mohammad Choirul Anam, penyelesaian kasus ini tidak bisa hanya dilihat dari kacamata hukum sebab pengembalian berkas penyelidikan sebanyak dua kali dari Kejagung ini sudah di luar konteks hukum. "Jadi kalau masih minta petunjuk begitu ya, menurut saya tidak melihat soal teknis, ini soal politik penegakan hukumnya," ucapnya.(suara.com, Kamis 18/6/ 2020)
Pelanggaran HAM di Papua Barat termasuk dalam kategori “Pelanggan Hak Asasi Manusia Berat” menurut definisi Pasal 104 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 39 Tahun 1999. Dan dipertegas dalam Pasal 7 huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000, tentang Pengertian Pelanggangaran Hak Asasi Manusia. Sehingga menunjukkan dengan jelas, bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat terhap Pribumi Papua di Papua Barat, termasuk “Kejahatan Genosida”, karena berhubungan langsung dengan etnik Papua.
Indonesia telah gagal menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) Pribumi Papua di Papua Barat, sehingga hal itu membuka ruang. serta mendorong masyarakat internasional melalui Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) mengintervensi dugaan “Kejahatan Genosida” terhadap Pribumi Papua di Papua Barat.
Indonesia sebagai negara pihak yang telah meratifikasi Hak Asasi Manusia PBB, kini telah mendapat pengaduan di Dewan HAM PBB dari negara-negara pihak yang tergabung dalam OACP, dimana negara-negara itu melihat Indonesia sebagai negara pihak telah melanggar kewajibannya dari perjanjian yang dibuatnya. Sehingga Indonesia dijadikan negara mandat yang menerima Komunikasi dari UNHRC melalui Pelapor Khusus PBB dan Indonesia wajib memberikan tanggapan yang meyakinkan. Jika Indonesia tidak memenuhi kewajibannya untuk menjawab Komunikasi (Surat Tuduhan) Pelapor Khusus, maka Indonesia akan dibawa ke badan perjanjian PBB yang berwenang guna Badan PBB yang berwenang itu mencari jalan penyelesaiaan yang dapat dierima kedua belah pihak (Jalan Penyelesaian Politik Internasional).
Dari Analisa Penulisan diatas, penulis berasumsi bahwa, masalah kemanusiaan di Papua Barat diintervensi oleh Dewan HAM PBB beralasan pada “Data Ante-Mortem”, yaitu: “Informasi tentang kekerasan yang mengakibatkan kematian dengan pola data kejadian yang beulang dalam berbagai peristiwa dan menyebar luas di seluruh wilayah Papua Barat, yang dilakukan oleh Alat Kekuasaan Negara Republik Indonesia (TNI-POLRI) terhadap Orang Asli Papua.
Data Ante-Mortem pembunuhan diluar hukum, tindakan sewenang-wenang, serta penghilangan orang secara paksa, adalah informasi yang diperoleh melalui akun lisan (keluhan HAM), maupun catatan dari korban, yang menjadi keluhan saksi korban, maupun melalui pegiat HAM di Papua Barat telah memposisikan kasus pelanggaran HAM di Papua Barat kedalam kejahatan internasional, yaitu “Kejahatan Genosida, karena melibatkan subjek negara dan objek kekerasan pembunuhan diluar hukum adalah etnik Papua”.
Kesimpulannya, Dewan HAM PBB (Pelapor Khusus) membuat Surat Tuduhan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat beralasan pada data Ante-Morten, yang akan dikembangkan ke Tindakan Post-Morten, yaitu: “penyelidikan porensik terhadap mayat atau kerangka korban sesuai dengan panduan “Protokol Minnesota” yang menjadi bagian dari rujukan prosedur penyelidikan terhadap tindakan kejahatan internasional.
Tindakan hukum kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua Barat akan dihadapi oleh personal negara yang bertanggung jawab langsung atas perintah atau keputusan yang dibuatnya, sehingga berakibat pada kejahatan terhadap kemanusiaan, dan imbas politik internasional dari tindakan kejahatan kemanusiaan itu, akan ditanggung oleh Negara Republik Indonesia, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.
Gambar Ilustrasi (Disediakan Google.com)