1. Maiyah adalah di mana saja kita berada – di rumah, ditempat bekerja, di rumah ibadah maupun di pasar, di jalan dan di manapun saja – selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh. Kapan saja kita sadar maupun tidur, di pagi hari, siang, sore, atau malam hari – selalu kita bersama. Maiyah adalah membangun perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala tindakan membangun rumah-rumah yang menjauhkan manusia dari Alloh dan Rosullulloh, terhadap konsep pasar dunia yang menyepelekan Alloh, terhadap manajemen penataan kehldupan yang mendhalimi Alloh dan Rosululloh. 2. Maiyah adalah dengan siapapun saja kita berada – dengan keluarga, dengan teman-teman, dengan masyarakat, bahkan ketika kita sedang berada di tengah makhluk-makhluk Alloh yang memusuhi kita – selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh.Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala kekuasaan yang tidak menghadirkan Alloh dan Rosululloh didalam bangunan keluarga-keluarga manusia, didalam peta pergaulan masyarakat. 3. Maiyah adalah apapun yang kita alami- kegembiraan atau kesedihan, kekayaan atau kemiskinan, kesepian atau tidak kesepian, di kesunyian atau di keramaian, dalam keadaan sehat atau sakit, dalam kekalahan atau kemenangan – selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh. Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala macam sistem dan ideologi kehidupan yang membangun kesedihan manusia, yang memiskinkan manusia di tengah luasnya rahmat dan rizqi Alloh, yang mengucilkan kemanusiaan, yang menyakiti dan menyakitkan manusia, yang memenangkan energi setan dan menindas Rahman-Rahim Alloh didalam bangunan negeri dan negara manusia. 4. Maiyah adalah apapun sebab-sebab kehidupan yang menimpa kita – ketika dijunjung atau dicaci, ketika dipuji atau dihina, ketika ditemani atau dikucilkan, ketika diangkat atau dijatuhkan, ketika disayang atau tak diperdulikan, ketika disapa atau diacuhkan, ketika diberi atau dicuri- akibatnya hanya satu: ialah selalu kita bersama Alloh dan Rosululloh.Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala jenis kebudayaan, segala jenis benda teknologi, sastra dan lagu, kesenian dan kerajinan, berita dan hiburan – yang menjunjung kebodohan dan mencaci ilmu, yang memuja kekonyolan dan melecehkan derajat manusia, yang membiayai besar-besaran kehinaan nilai, yang menghancurkan kehormatan makhluk Alloh, yang mencuri Rahmat Alloh untuk kepentingan sendiri. 5. Maiyah adalah apaun yang kita jumpai atau menjumpai kita – batu, air langit, dedaunan, cahaya, kegelapan, kaca, keburaman, peristiwa, sejarah, revolusi dan amuk, peluru, otoritas yang memalsukan kekuasaan Tuhan, angin, nafas dan seluruh badan kita sendiri – rnembawa kita untuk selalu bersama Alloh dan Rosululloh. Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala bentuk kekuasaan dan pemerintahan yang memperlakukan alam dan kehidupan manusia untuk makar kepada kehendak suci Alloh yang di-informasikan melalui Rosullulloh. 6. Maiyah adalah apapun yang mengepung kita dan menyerbu kita – roh halus, jin setan, energi liar, santet dan tenung, dzat-dzat makar, rudal, kelicikan penguasa, kesombongan cendikiawan, getaran-getaran kejahatan dalam ilmu dunia dan kendaraan informasi, nafsu kaum munafiqin, tipuan kaum musyrikin dan Eyuan kaum dholimin – tidak mengakibatkan apa-apa kecuali istiqamah kebersamaan kita dengan Alloh dan Rosullulloh. Maiyah adalah perlawanan Badar yang sabar dan ilmu matang untuk membangun Daulah Maiyatullah, kebersamaan dengan Alloh dan Rosululloh, kerajaan syukur kepada Alloh dan pemerintahan terima kasih kepada Rosululloh, beriringan dengan idzinillah dan qudntillah membaur seluruh alam dan kehidupan manusia bersama Rosululloh untuk bertasbih dan bersujud kepada Alloh.
Warga Kiai Kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, ke rumah-rumah masyarakat, ke alun-alun, lapangan masjid atau kelurahan, gedung olah raga, jalan raya, trotoar atau dimana pun saja: melakukan maiyahan – Bercelana putih, berbaju putih, bertutup kepala putih. Belum tentu karena mereka orang-orang alim (istilah ini sungguh menggelikan), religius, rajin shalat, suntuk wiridan. Pakaian putih-putih itu bukan kostum pentas, dan sama sekali tidak diperuntukkan bagi siapa pun yang melihatnya. Pakaian putih itu mereka peruntukkan bagi diri mereka sendiri. Mereka itu orang-orang yang mengerti bahwa hidup mereka masih kotor, masih banyak dosa dan maksiat, kepada rnanusia maupun maksiat kepada Alloh. Maka mereka memerlukan dorongan dan rangsangan untuk melakukan proses pembersihan diri “reresik”. Maka putih-putih itu mereka tujukan kepada suasana hati dan konsentrasi pikiran mereka sendiri, agar kalau bisa jangan menerus-neruskan yang kotor-kotor, yang belum tentu baik dan benar, yang tidak sejati dan tidak abadi.Jadi benar-benar pakaian putih itu bukan show custome bagi para penonton atau siapapun, melainkan untuk dirinya sendiri. Kalau pun kepada Tuhan mereka persembahkan putih-putih itu, bukan untuk melaporkan kesucian, melainkan justru untuk mengakui kehitaman.
Maiyah Bunyi
Mereka membara alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi, terkadang berteriak-teriak, disaat lain menggeremang atau bahkan memekik. Apa gerangan yang mereka bunyikan? Nyanyian-nyanyian bersama kepada Allah swt. Tidak kita sebut untuk Allah swt. Sebab kalau bernyanyi kepada Allah swt, bisa kita lakukan dimana saja tanpa harus menghadap Allah swt, asal nyanyiannya kita peruntukkan bagi Allah swt. Kata kepada dipilih untuk menggambarkan dinamika proses, suluk -menempuh perjalanan rohaniah – menuju atau kepada Allah swt. Jadi tatkala mereka memekik-mekik, sesungguhnya hati mereka berlari sekencang-kencangnya ke keharibaan Allah swt – tentu dengan rasa malu yang sangat atas banyak dosa- dosa. Kenapa shalawatan, wiridan, berdzikir, mengaku dosa kok pakai musik? Karena manusia itu khalifahtulloh, mandataris yang ditunjuk oleh Allah swt untuk mengurus dirinya sendiri dan alam semesta. Khalifah itu pengelola, manager, direktur kehidupan, eksekutif badan pelaksana. Para khalifah alias direktur-direktur ini menentukan apakah saron dibunyikan untuk mengiringi tayuban atau memperindah peryataan cinta kepada Allah swt. Mereka yang mengambil keputusan apakah biola digesek, keyboard dipencet, seruling ditiup, perkusi ditabuh, terbang ditampar – untuk memeriahkan tarian atau lagu-lagu yang tidak terjamin keamanannya di depan pandangan nilai Allah swt, ataukah dipakai untuk memper-asyik lagu pujian-pujian atas keagungan Allah swt. Tentu saja, asalkan jangan lantas orang adzan diiringi biola, orang sholat ditabuhi pakai gendang, orang thawaf diiringi genderang massal. Mai’yah bukan ibadah mahdloh. la hanya kegiatan budaya yang menggali inspirasi dari Agama. la hanya me-religius-kan pelaku budaya. la hanya aktivitas sosial budaya yang tidak merelakan dirinya kalau hanya diperuntukkan buat yang bukan Allah. Karena Sabbaha lillahi maa fis samaawaati wa maa fil ard, seluruh makhluk yang dilangit dan di bumi ini bertasbih kepada Allah SWT. Dan para khalifah Kiai Kanjeng Sepuh tahu, bahwa yang bertasbih kepada Allah itu bukan Jin dan Manusia, tapi juga benda-benda, saron, biola, seruling, terbang, bahkan capung, rumput, daun-daun kering. Bukankah Allah tidak menggunakan kata man fis samaawaati, melainkan maa fis samaawaati.
Maiyah Kata
“lnna ma’ya Robbi,” tutur Musa, Nabi alaihissalaam, untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasululaah saw, juga menggunakan kata sama – di gua Tsur, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh -untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita Rodhlialloohu ‘anhu: “La takhof wa la tahzan, innalloha ma’anaa.” Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita. Jadi, asal usulnya dan ma’a, artinya dengan, bersama, beserta. Ma’iyyatullaah, kebersamaan dengan Allah. Ma’iyyyah itu kebersamaan, Ma’anaa bersama kita. Ma’iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu ‘kesandung’ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan. Mengenai lbu Bapakmu, hal anak cucu para keponakan dan sanak famili, tentu kau ucapkan innahum ma’tya, sesungguhnya (mereka) bersamaku. Bersamaku artinya bukan ke mana-mana ubyang-ubyung bareng, makan bareng, mandi bareng. Maknanya substansial, haqiqiyyah. Kalau engkau bersamaku berarti engkau adalah bagian dari hatiku.Engkau adalah salah satu serat-serat dari struktur perasaanku. Kalau engkau riang, aku gembira. Kalau engkau berduka, aku menderita. Kalau engkau disakiti, aku mengaduh. Kalau engkau disengsarakan, aku menangis. Kalau engkau ditimpa masalah, itu juga masalahku. Kalau engkau memerlukan, aku mengupayakan pemenuhan. Kalau engkau membutuhkan, aku mengusahakan ke-beres-an. Engkau dan aku sayang menyangi, kasih mengasihi, tolong menolong, bela membela satu sama lain.
Maiyah Sosial
Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warga negara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya – tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak haruskah – engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga: Innahum ma’iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada bersama mereka?Kiai Kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, menembus berbagai sisi, segmen, lapisan, golongan, wilayah, daerah, dan jenis sosiologis masyarakat untuk menumbuhkan pertanyaan dan kesadaran inna ma’iya semacam itu. Adakah dengan tetanggamu, masyarakat dan bangsamu, engkau tidak bersedia tolong menolong, melainkan mengancam? Tidak bersedia saling setia, melainkan saling khianat? Tidak mau saling membela, melainkan saling menghancurkan? Tidak siap saling ikhlas melainkan saling tidak rela? Tidak saling mengharapkan kebahagiaan bagi yang lain, melainkan diam-diam mensyukuri penderitaan mereka?
Maiyah Bahasa
Bahasa kenegaraan Maiyah itu nasionalisme. Bahasa mondialnya universalisme. Bahasa peradabannya pluralisme. Bahasa kebudayaannya heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metode atau manajemen pengelolaan itu namanya demokrasi. Bahasa ekonomi Maiyah adalah tidak adanya kesenjangan penghidupan antara satu orang atau suatu kelompok dengan lainnya. Tapi ini terlalu ideal dan utopis: jadi mungkin lebih realistis kita pakai ungkapan; Maiyah adalah proses dinamis menyempitnya atau mengecilnya jarak atau kesenjangan penghidupan di antara manusia. Diproses secara sistemik-kolektif jangan sampai ada yang terlalu kaya sementara lainnya terlalu fakir. Kadar maiyah semakin tinggi dan kualitatif berbanding lurus dengan semakin mengecilnya kesenjangan itu. Di dalam teori Maiyah nasionalisme, selalu ditemukan adanya banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan wamanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendi dan kecenderungan sendiri-sendiri. Setiap mereka menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing. Sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka. Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat dan prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan mensejahterakan. Demikianlah berita gembira berdirinya Republik lndonesia dulu. Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua. Di era sejarah orde baru, berlangsung policy politik nasional atau strategi kebudayaan di mana para ‘masing-masing’ itu dilarang menunjukkan kemasing-masingannya. Maksudnya baik, orang jangan menonjolkan siapa dirinya, bagaimana wajahnya dan apa wamanya. Semua dipersatukan, diseragamkan, identitas masing-masing disembunyikan semaksimal mungkin. Ode Baru berprinsip Tunggal Ika. Maiyah adalah Bhinneka Tunggal lka. Yang Batak ngomonglah dengan logat Batak. Yang Bugis ya dialek Bugis. Yang Madura ya cengkok Madura. Tak ada perlunya ditutup tutupi, sepanjang ada kesepakatan untuk saling melindungi, saling menyayangi dan memproses tujuan kebahagian bersama.Yang Budha, berpakaianlah Budha. Yang Katholik, Katholiklah. Yang lslam, lslamlah. Omswastiatu tak usah diganti Padamu Negeri. Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalaatullaah salaamullaah tak usah diganti lbu Kita Kartini- Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. ltulah Maiyah. Maiyah Lingkaran Dulu Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton. Kiai Kanjeng Sepuh yang bermaiyah tidak berada di panggung dan tidak ditonton oleh siapa-siapa. Mereka melingkar, sehingga terserah orang lain akan bergabung menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya atau tidak. Kiai Kanjeng Sepuh tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton. Mereka hanya bemyanyi, bersholawat, benrwirid, membaca puisi, atau apapun, tetapi yang ada di hadapan mata kesadaran mereka adalah Alloh Swt. Maka pada kebanyakan momentum selama ber-maiyah, tak seorangpun di antara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele: materi, benda-benda, gedunng-gedung, lembaran-lembaran uang, kecantikan wanita dan kegantengan lelaki, menara pencakar langit. Dan itu semua bersifat sementara dan sangat gambar hancur. Kiai Kanjeng Sepuh serak-serak suaranya untuk Alloh habis bunyinya untuk mencintai-Nya. Bemyanyi, membunyikan alat musik, berkeringat, untuk memelihara hubungan dengan Alloh. Karena Alloh sebagai pengasuh, penyantun, tempat bergantung – tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tentara, menteri ekuin, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang dituhankan oleh sangat banyak orang. Alloh swt berjanji kepada kekasih-Nya untuk menjalankan empat fungsi, asalkan oleh para kekasih-Nya dibeli dengan taqwa dan tawakkal. Peran pertama, Alloh swt sebagai pemberi jalan keluar, solusi atas masalah apa saja: coba sebutkan satu masalah yang Alloh tidak sanggup menyelesaikan! Peran kedua Alloh sebagai penabur rizqi melalui jalan, cara, metoda dan modus yang semau-mau Dia. Sehingga para kekasih-Nya tidak bisa menduga atau memperhitungkannya. Para kekasih Alloh swt tinggal terima jadi, terima matang – anugerah rejeki yang mereka beli dengan “mata uang” taqwa dan tawakkal. Ah, apa sih taqwa? Angen-angen Alloh kapan saja. Menjadikan Alloh sebagai tuan rumah bathin kita. Tawakkal adalah taqwa yang diperdalam, ditancapkan, dihujamkan terus menerus. Peran ketiga Alloh swt sebagai manager dan akuntan. Kalau berasmu menipis, jangan memfitnah dengan mengganggap Alloh swt bersikap acuh tak acuh atas keadaan dapurmu itu. la managermu, ia atur nafkahmu, ia jamin penghidupan keluargamu. Engkau cukup menyetor taqwa dan tawakkal. Peran keempat Alloh swt adalah menjadi humasmu, public relation-mu. Keperluanmu atas seseorang atau suatu pihak, kebutuhanmu terhadap akses ini atau itu, disampaikan oleh Alloh kepada yang bersangkutan. Engkau cukup memberi “honor” taqwa dan tawakkal.
Azas Maiyah
1. Segitiga cinta Allah-Muhammad-Manusia 2. Perniagaan Dunia-Akherat (Untung Rugi dimata Allah) 3. Tidak keliru menentukan cara/jalan dan Tujuan (Hancur karena enuhankan dunia) 4. Peradaban Lingkaran (Dari Innalillahi sampai revolusi roda) 5. Kebenaran-Kebaikan-Keindahan (Komposisi 3 dimensi nilai kehidupan) 6. Langit-Bumi (Bangunan meninggi dan meluas) 7. Azas maslahat-Mudharot (identifikasi diri dan perbuatan) 8. Fardhu a’in – fardhu kifayah (Tahu mana yang utama dan mana yang tidak utama) 9. Mempersatukan muhajirin dan Anshor (Mentauhidkan kebudayaan)
Ikrar Maiyah
1. Agar supaya kita saling menjamin, bahwa di dalam lingkaran kita tidak ada kotoran -kotoran batin, kepalsuan niat, kecurangan fikiran, atau apapun yang membuat Muhammad menitikkan air mata dan membuat Alloh mengurangi atau bahkan membatalkan kasih sayangnya kepada kita. 2. Agar supaya perjalanan hijrah demi hijrah kita tidak disesatkan oleh arus masyarakat, oleh Alloh atau oleh diri kita sendiri. 3. Agar supaya perjalanan jihad kita tidak disertai oleh dendam dan ketakaburan. 4. Agar supaya perjalanan ijtihad kita tidak dilalimi oleh mahluk apapun, serta tidak melalimi diri sendiri. 5. Agar perjalanan mujahadah kita dianugerahi bekal iman dan istiqomah, bekal kekuatan dan muthmainnah, bekal penghidupan yang barokah, pintu rejeki yang membuka lebar-lebar aas perjuangan kita, pintu kegembiraan, keasyikan uluhiyah, serta perlindungan dari Quwatihi wa haulih Maka: - Kami berkumpul melingkar menghadap-Mu dan memunggungi dunia - Kami berkumpul melingkar menumpahkan cinta kepada-Mu, karena telah dilukai hati kami oleh cinta dunia, negara serta golongan-golongan manusia. - Kami berkumpul melingkar menyanyikan lagu-lagu untuk kekasih-Mu karena ummat manusia lebih menyukai kepalsuan - Kami berkumpul menciptakan lingkaran kebersamaan antara harnba-hamba yang dilemahkan oleh pelaku-pelaku kekuasaan dan keuangan. - Kami berkumpul merapatkan lingkaran kebersamaan antara hamba-hamba yang dilalimi oleh kebohongan dan kemunafikan kaum mutakabbirun. - Kami berkumpul memadatkan kesatuan antara hamba-hamba yang diremehkan dan kini mengerti bahwa diremehkan. Antara hamba-hamba yang ditindas dan kini mengerti bahwa ditindas, antan hamba-hamba yang direndahkan dan kini mengerti bahwa direndahkan, antara hamba-hamba yang dibuang dan kini mengerti bahwa dibuang. - Kami berkumpul menghidupi lingkaran kesadaran, kepahaman dan kemengertian akan dusta dan kebohongan dunia. - Kami berkumpul membangkitkan pengetahuan dan ilmu bahwa kami dibodohkan, difitnah, dimusnahkan, dan dibunuh sebelum kematian. - Kami berkumpul menebar jaring lingkman para pecinta-Mu, para pecinta kekasih-Mu, para pecinta kesejatian, para pecinta kebenaran yang sungguh-sungguh kebenaran, para pecinta cinta yang benar-benar cinta. - Kami berkumpul melingkar bersholawat bersama-Mu serta bersama para malaikat-Mu untuk manusia agung pilihan-Mu, Muhammad Saw. - Kami berkumpul merangkai lingkaran ma’iyyatul hubbi, ma’iyyatul haqqi, fii ma’iyyatillahi’jalla jalalah
Negeri Maiyah
Kebersamaan dengan Alloh dan Rosullulloh berarti (berdasarkan pembidangan): Bermaiyah:
- Kepada Alloh - Kepada Rosullulloh - Kepada Aulia & Ulama - Kepada diri sendiri - Kepada sesama Jamaah Maiyah - Kepada sesama Kaum Muslimin - Kepada sesama saudara sebangsa - Kepada sesama ummat manusia - Kepada negara dan pejabat - Kepada alam/bumi/tanah air Bermaiyah: - Mental (nafsiayah) - Moral (khuluqiyah) - Intelektual (‘aqliyah) - Spiritual (ruhaniayah) Bermaiyah: - Bidang kemanusiaan - Bidang sosial budaya - Bidang ekonomi - Bidang politik dan negara
***
Salam, Maiyah Nusantara Ngawi
"JAMA'AH MAIYAH"
Oleh ; Muhammad Ainnun Nadjib
Siapakah Jamaah Maiyah? Sebutan Jamaah atau Jemaah ini tidak benar-benar bergerak secara institutif sebagai kelompok eksklusif tertentu. Jemaah ini secara rutin berkumpul dalam forum bersama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ). Acara ini mungkin bisa dibilang pengajian, tapi standar yang biasa ditemui dalam sebuah acara pengajian tidak benar-benar menjadi dominan. Sebab di dalamnya lebih banyak mengajarkan semangat hidup, sikap toleran dan hidup bersama dalam kontribusi kebaikan. Jadi boleh juga dibilang bahwa Jemaah Maiyah tidaklah identik sebagai sekumpulan orang Islam saja. Malah seringkali hadir dalam pengajian ini tokoh2 lintas Agama, Aliran, Suku Bangsa, Etnik, LSM, Mahasiswa dalam dan luar negeri, dan lain-lain. Nuansanya sangat berbudaya dan tidak juga serta-merta menjadi sinkretisme.
Bahkan banyak kejadian unik, salah satunya hadirnya orang gila yang akhirnya bisa sembuh di salah satu acara Jemaah Maiyah. Dengan gaya bicara khasnya, Cak Nun bilang “Acara ini bukan acara khusus untuk orang Islam, tapi untuk semua manusia yang Islam dan yang tidak Islam, Manusia waras dan manusia yang tidak waras, bahkan Jin, Setan, Dhemit, Gendruwo, kalau memang berminat untuk jadi baik akan disambut dengan tangan terbuka”. Jemaah Maiyah memang tidak bisa melepaskan diri dari Cak Nun sebagai figur panutan. Tapi pengkultusan bukan menjadi ideologi masal di Jemaah Maiyah. Jadi meskipun Cak Nun tidak bisa hadir di dalam acara, tetap saja acara bisa berlangsung dengan baik. SejarahMaiyah lahir pada malam menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001, tepatnya pada tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik semakin memanas, Emha secara khusus menggelar acara “Sholawatan Maulid” di kediamannya bersama sahabat-sahabatnya Kiai Kanjeng untuk mensikapi situasi politik yang semakin tidak menentu. Kegiatan semacam ini sebelumnya sudah sering digelar namun belum menggunakan kata-kata Jamaah Maiyah, sebab hanya berupa kegiatan pengajian yang tidak hendak menekankan pada eksistensi substansif. Dalam perkembangannya sebutan Jamaah Maiyah tetap dipertahankan nilai esensialnya bukan mengacu pada kelompok, golongan, ataupun aliran. Pendekatan dengan nama Jamaah Maiyah lebih bertujuan sebagai bentukan kebersamaan meraih semangat bertahan hidup bahwa Allah berada pada setiap napas kehidupan. Di hadapan sahabat-sahabat setianya itu, Emha memberi ilmu dan hikmah, bahwa rakyat Indonesia semakin tidak mendapat jaminan apapun dari negara dan pemerintahnya. Nyawa dan keamanan hidupnya tidak dijamin oleh kepolisian, kedaulatan negerinya tidak dijamin oleh tentara, kesejahteraan ekonominya tidak dijamin oleh produsen-produsen budaya serta media massa. Bahkan Indonesia secara transparan mempertunjukkan politik iblis, industri iblis, budaya iblis. Artinya apa yang sehari-hari diperoleh oleh masyarakat adalah hal-hal yang memusnahkan kemandirian ekonominya serta memerosotkan akhlak kebudayaannya. Maka Emha kemudian mengajak, untuk membangun sendiri negeri-negeri di dalam dirinya, negeri kemandirian dalam kebersamaan, yang dilukiskannya sebagai lingkaran, yang kemudian disebut sebagai Lingkaran Maiyah atau Lingkaran Kebersamaan, suatu kumpulan sebagian rakyat Indonesia yang bergandengan tangan untuk semaksimal mungkin memerdekakan dirinya dari keadaan-keadaan yang membahayakan. Maiyah yang berarti kebersamaan, pertama melakukan apa saja bersama Allah. Kedua bersama siapa saja mau bersama. Maiyah bisa berarti komitmen nasionalisme, kedewasaan heterogenisme, kearifan pluralisme, dan tidak ada kesenjangan ekonomi. Maiyah sendiri secara “kata” muncul dari untaian hikmah yang disampaikan oleh Ustadz Wijayanto, MA, di tengah-tengah acara internal itu, dengan menyebut beberapa kalimat : “Inna ma’iya rabbi”, menirukan Musa AS. Untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. “La takhaf wa la tahzan, Innallaha ma’ana”, Jangan takut jangan sedih, Allah bersama kita. Tutur Muhammad SAW, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh, untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar. Maka di dalam Maiyah, Emha dan Kiai Kanjeng tidak memfokuskan kegiatannya pada musik dan kesenian, melainkan proses dan komunikasi sosial yang komprehensif. Emha dan Kiai Kanjeng berkeliling Indonesia untuk menumbuhkan spiritualitas manusia, melalui sholawat, wirid, dan doa, untuk pencerdasan pikiran masyarakat, untuk mengajak membangun kemandirian, dan untuk menawarkan alternatif kebudayaan yang tidak membahayakan jiwa masyarakat, tetapi bergembira dan diridhoi Allah di dunia dan akhirat. Dulu Emha dan Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton, dalam Maiyah tidak berada dipanggung dan tidak ditonton oleh siapapun. Dulu berpakaian hitam-hitam, dalam Maiyah mereka berpakaian putih-putih, yang tidak untuk menunjukkan bahwa mereka sudah putih melainkan agar terdorong untuk putih. Mereka duduk melingkar, menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya, tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton, Emha dan Kiai Kanjeng hanya bernyanyi, bersholawat, berwirid, membaca puisi atau apapun dengan membawa kesadaran bahwa yang dihadapan mereka adalah Allah. Maiyah Dan Alunan BunyiKenapa Shalawatan, wiridan, berdzikir, mengaku dosa kok pakai musik? Karena manusia itu khalifatullah, mandataris yang ditunjuk oleh Allah untuk mengurus dirinya sendiri dan alam semesta. Khalifah itu pengelola. Manager, Direktur kehidupan. Eksekutif, badan pelaksana. Para khalifah alias direktur-direktur ini menentukan apakah saron dibunyikan untuk mengiringi tayuban ataukah untuk memperindah pernyataan cinta kepada Allah. Mereka yang mengambil keputusan apakah biola digesek, kibor dipencet, seruling ditiup, perkusi ditabuh, terbang ditampar – untuk memeriahkan tarian atau lagu-lagu yang tidak terjamin keamanannya di depan pandangan nilai Allah, ataukah dipakai untuk memperasyik lagu puja-puji atas keagungan Allah. Tentu saja, asalkan jangan lantas orang azan diiringi biola, orang salat ditabuhi pakai gendang, orang thawaf diiringi genderang massal. Maiyah bukan ibadah makhdloh. Ia hanya kegiatan budaya yang menggali inspirasi dari Agama. Ia hanya mereligiouskan perilaku budaya. Ia hanya aktivitas sosial budaya yang tidak merelakan dirinya kalau hanya diperuntukkan buat yang bukan Allah. Karena sabbaha lillahi ma fis samawati wa ma fil ardli, seluruh mahluk yang dilangit dan dibumi ini bertasbih kepada Allah. Dan para khalifah Kiai Kanjeng tahu, bahwa yang bertasbih kepada Allah itu bukan hanya Jin dan manusia, tapi juga benda-benda, saron, biola, seruling, terbang, bahkan capung, rumput, daun-daun kering. Bukankah Allah tidak menggunakan kata man fis samawati, melainkan ma fis samawati? Etimologi Maiyah“Inna ma’iya rabbi”, tutur Musa, Nabi ‘alaihissalam, untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasulullah saw, juga menggunakan kata yang sama – di gua Tsur, tatkala dikejar-kejar pasukan musuh – untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita radiallahu’anhu : “La takhaf wa la tahzan, innallaha ma’ana”. Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita. Jadi, asal usulnya dari ma’a. Artinya, dengan, bersama, beserta. Ma’iyatullah, kebersamaan dengan Allah. Ma’iyah itu kebersamaan. Ma’ana bersama kita. Ma’iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu ‘kesandung’ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan. Sedikit argumentasi dengan kata kebersamaan. Mengenai Ibu Bapakmu, hal anak cucu para keponakan dan sanak famili, tentu kau ucapkan inna ma’iya, sesungguhnya (mereka) bersamaku. Bersamaku artinya bukan ke mana-mana ubyang-ubyung bareng, makan bareng, mandi bareng. Maknanya substansial, haqiqiyah. Kalau engkau bersamaku berarti engkau adalah bagian dari hatiku. Engkau adalah salah satu serat-serat dari struktur perasaanku. Kalau engkau riang, aku gembira. Kalau engkau berduka, aku menderita. Kalau engkau disakiti, aku mengaduh. Kalau engkau disengsarakan, aku menangis. Kalau engkau ditimpa masalah, itu juga masalahku. Kalau engkau memerlukan, aku mengupayakan pemenuhan. Kalau engkau membutuhkan, aku mengusahakan keberesan. Engkau dan aku sayang menyayangi, kasih mengasihi, tolong menolong, bela membela satu sama lain. Maiyah dan Nilai SosialKepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warga negara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya – tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak haruskah – engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga: inna ma’iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada bersama mereka? Kiai Kanjeng berkeliling ke mana-mana, menembus berbagai sisi, segmen, lapisan, golongan, kelompok, wilayah, daerah dan jenis sosiologis masyarakat untuk menumbuhkan pertanyaan dan kesadaran inna ma’iya semacam itu. Adakah dengan tetanggamu, masyarakat dan bangsamu, engkau tidak bersedia tolong menolong, melainkan ancam mengancam? Tidak bersedia saling setia, melainkan saling khianat? Tidak mau saling membela, melainkan saling menghancurkan? Tidak siap saling ikhlas, melainkan tidak saling rela? Tidak saling mengharapkan kebahagiaan bagi yang lain, melainkan diam-diam mensyukuri penderitaan mereka? Sudut BahasaBahasa kenegaraan Maiyah itu nasionalisme. Bahasa mondialnya universalisme. Bahasa peradabannya pluralisme. Bahasa kebudayaannya heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metoda atau manajemen pengelolaan itu namanya demokrasi. Bahasa ekonominya Maiyah adalah tidak adanya kesenjangan penghidupan antara satu orang atau suatu kelompok dengan lainnya. Tapi ini terlalu ideal dan utopis : jadi mungkin lebih realistis kita pakai ungkapan Maiyah adalah proses dinamisnya menyempitnya atau mengecilnya jarak atau kesenjangan penghidupan di antara manusia. Diproses secara sistem – kolektif jangan sampai ada yang terlalu kaya sementara lainnya terlalu fakir. Kadar Maiyah semakin tinggi dan kualitatif berbanding lurus dengan semakin mengecilnya kesenjangan itu. Di dalam teori Maiyah nasionalisme, selalu ditemukan ada banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan warnanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Setiap ika (tunggal) menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing, sehingga pada semuanya tampak sebagai bhineka (beragam). Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat oleh prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan menyejahterakan. Demikianlah berita gembira berdirinya Republik Indonesia dulu sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua. Di era sejarah bangsa Indonesia yang mungkin masih bertahan hingga saat ini, yakni berlangsung policy politik nasional atau strategi kebudayaan di mana para ‘masing-masing’ itu dilarang menunjukan kemasing-masingannya. Maksudnya baik, orang jangan menonjolkan siapa dirinya, bagaimanna wajahnya dan apa warnanya. Semua disatukan, diseragamkan, identitas masing-masing disembunyikan semaksimal mungkin. Bila demikian maka masih berprinsip Tunggal Ika. Maiyah berusaha merealisasikan Bhineka Tunggal Ika. Yang Batak omonglah dengan logat Batak. Yang Bugis ya dialek Bugis. Yang Madura ya cengkok Madura. Tak ada perlunya ditutup-tutupi, sepanjang ada kesepakatan untuk saling melindungi, saling menyayangi dan memproses tujuan kebahagiaan bersama. Yang Budha, berpakaianlah Budha. Yang Katolik , Katoliklah. Yang Islam Islamlah. Om swastiastu tak usah diganti Padamu Negeri. Heleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalatullah salamullah tak usah diganti Ibu Kita Kartini. Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip : saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. Itulah Maiyah. Lingkaran MaiyahDulu Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton. Kiai Kanjeng yang bermaiyah tidak berada dipanggung dan tidak ditonton siapa-siapa. Mereka duduk melingkar, sehingga terserah orang lain akan bergabung menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya atau tidak. Kiai Kanjeng tidak mempertunjukan musik dan suaranya kepada penonton. Mereka hanya bernyanyi, bershalawat, berwirid, membaca puisi, atau apapun, tetapi yang ada di hadapan mata kesadaran mereka adalah Allah swt. Maka pada kebanyakan momentum selama ber-maiyah, hampir tak seorangpun di antara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele: materi, benda-benda, gedung-gedung, lembaran-lembaran uang, kecantikan wanita dan kegantengan lelaki, menara pencakar langit. Dan itu semua bersifat sementara dan sangat gampang hancur. Jemaah Maiyah serak-serak suaranya untuk Allah. Habis bunyinya untuk mencintaiNya. Bernyanyi, membunyikan alat musik, berkeringat, untuk memelihara hubungan baik dengan Allah. Karena Allah sebagai pengasuh, penyantun, tempat bergantung – tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tentara, menteri ekuin, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang dituhankan oleh sangat banyak orang. Allah berjanji kepada para kekasihnya untuk menjalankan empat fungsi, asalkan oleh para kekasihnya dibeli dengan taqwa dan tawakkal. Peran pertama, Allah sebagai pemberi jalan keluar, solusi atas apa saja: coba sebut satu masalah yang Allah tidak sanggup menyelesaikannya! Peran kedua, Allah sebagai penabur rizqi melalui jalan, cara, metoda dan modus yang semau-mau Dia, sehingga para kekasih Nya tidak bisa menduga atau memperhitungkannya. Para kekasih Allah tinggal terima jadi, terima matang – anugrah rejeki yang mereka beli dengan ‘mata uang’ taqwa dan tawakkal. Ah, apa sih taqwa? Rindukan Allah kapan saja. menjadikan Allah sebagai tuan rumah batin kita. Tawakkal adalah taqwa yang diperdalam ditancapkan dihujamkan terus menerus. Peran ketiga, Allah sebagai manager dan akuntan. Kalau berasmu menipis, jangan memfitnah dan menganggap Allah bersikap acuh tak acuh atas keadaan dapurmu itu. Ia managermu, ia atur nafkahmu, ia jamin penghidupan keluargamu. Engkau cukup menyetor taqwa dan tawakkal. Peran keempat, Allah adalah menjadi humasmu, public relation-mu. Keperluanmu atas seseorang atau suatu pihak, kebutuhanmu terhadap akses ini atau itu, disampaikan oleh Allah kepada yang bersangkutan. Engkau cukup memberi ‘honor’ taqwa dan tawakkal. Padhang Mbulan dan Induk Jamaah MaiyahBermula dari keinginan untuk “memaksa” agar Emha dapat selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung, minimal satu bulan sekali, juga untuk mengantisipasi banyaknya undangan pengajian di Jawa Timur, ketika itu tahun 1992, berlangsung pertemuan keluarga di Jogjakarta, yang akhirnya memutuskan bentuk dari keinginan itu adalah dengan rutin menggelar pengajian, yang oleh Emha diberi nama pengajian Padhang mBulan. Hingga akhirnya Padhang mBulan berkembang sebagai wahana komunikasi sosial dan workshop sejarah yang merangkum hampir seluruh dimensi nilai aktual yang dialami oleh komunitas yang digelutinya. Muatan Padhang Mbulan bermacam-macam dan terbuka untuk segala upaya kebaikan dan kebenaran manusia, ia bermuatan spiritual, dialektika ilmu sosial, ilmu hidup, informasi dan pendidikan politik. Karena di Padhanag Mbulan itu berlangsung dialog tentang berbagai persoalan masyarakat mulai dari harga pupuk, tukang blandong dan elit politik, sehingga Padhang Mbulan dengan jamaah maiyahnya bukan saja sekedar peristiwa pengajian tetapi sudah menjadi nilai di dalam masyarakat. Di setiap Padhang Mbulan, Emha selalu menyatakan bahwa jamaah maiyah ingin membantu Indonesia, minimal tidak merepotkan, tidak mengharap apa-apa, tidak meminta atau memimpikan serta tidak kaget oleh apapun yang dialaminya. Ketika Emha dan Kiai kanjeng lebih banyak menggunakan metode maiyah, Padhang Mbulan-pun menjadi pusat silaturahmi dan komunikasi bagi semua jaringan jamaah Maiyah, terutama dari Jawa Timur dan sekitarnya. Macapat Syafaat, Hatinya Jamaah MaiyahMacapat syafaat adalah kegelisahan Emha dan cara Emha untuk menyapa Jogja, sekaligus merespon kondisi masyarakat Jogjakarta, yang juga merupakan “Padhang Mbulan-nya” Jogja. Sehingga yang ditawarkan acara ini adalah spiritualitas, estetika dan kemesraan kemanusiaan. Dialektika intelektual hanya berposisi subordinatif terhadap langit spiritualitas, karena rasionalitas memang hanya kulit ari dari arasy spiritualitas, atau karena akal yang diwacanakan oleh Al-Qur’an tidaklah identik dengan otak, rasio atau intelektualitas. Salat, dzikir dan sholawat. Acara yang diselenggarakan tiap tanggal 17 masehi ini lebih banyak dipakai oleh Emha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari jamaah atau merundingkan masalah apa saja dengan keadilan berpikir dan kejernihan hati, sehingga ia tidak perlu berceramah sebagaimana di acara yang lain. Emha memuncaki acara ini dengan mengajak bersama-sama untuk salat, wiridan, sholawatan dan do’a. Selain Padhang mBulan dan Macapat Syafaat, acara serupa juga dikenal sebagai Gambang Syafaat di Semarang, Kenduri Cinta di (Jakarta), Bangbang Wetan di Surabaya, dan beberapa kali secara tentatif di berbagai kota di Indonesia, misal: Papparandang Ate di (Tinambung, Mandar, SulSel), Tali Ka Asih di (Bandung), Obor Ilahi di (Malang).
................................................................................................................
Nardi Wijaya sang pemimpi sejati
Maiyah Nusantara Ngawi