26/01/2025
Ujung Kejayaan Pajajaran
Tahun 1579 menjadi penanda akhir dari sebuah era. Kerajaan Sunda yang megah, berpusat di Pakuan Pajajaran, runtuh setelah berdiri kokoh selama 909 tahun (669–1579 M). Kejayaan itu sirna, meninggalkan jejak heroik, perjuangan gigih, dan luka sejarah yang tak terlupakan. Namun, kehancuran ini bukan datang tiba-tiba. Tanda-tanda kemunduran sudah terlihat sejak pemerintahan Prabu Surawisesa (1521–1535), putra Prabu Sri Baduga Maharaja—yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi, pemimpin visioner yang mewariskan berbagai karya monumental seperti hutan Samida dan parit pertahanan Pakuan.
Dalam catatan *Carita Parahiyangan*, Prabu Surawisesa dikenang sebagai raja pemberani yang berjuang di tengah ancaman besar. Selama 14 tahun pemerintahannya, ia memimpin 15 pertempuran melawan aliansi Demak dan Cirebon. Armada Demak, dipimpin oleh Fadillah Khan (dikenal dalam catatan Portugis sebagai Faletehan), terus menekan wilayah strategis seperti Banten dan Sunda Kelapa. Sebagai upaya pertahanan, Kerajaan Sunda menjalin aliansi dengan Portugis pada tahun 1522. Perjanjian penting ditandatangani untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa, tetapi rencana itu tak pernah terealisasi. Pasukan Demak dan Cirebon tetap merangsek maju, menaklukkan wilayah demi wilayah.
Meskipun menghadapi tekanan yang luar biasa, Surawisesa tidak menyerah. Ia memimpin perlawanan hingga titik penghabisan, berusaha mempertahankan pelabuhan-pelabuhan penting seperti Kalapa dan Galuh. Namun, tekanan yang terus-menerus akhirnya melemahkan pertahanan kerajaan. Dalam upaya mengenang dan menghormati jasa ayahnya, Surawisesa mendirikan Prasasti Batutulis pada tahun 1533. Prasasti ini menjadi saksi bisu kejayaan dan kemunduran Pajajaran, mencatat pencapaian monumental Prabu Sri Baduga Maharaja, dari hutan suci hingga parit pelindung kota.
Setelah Surawisesa, takhta Pajajaran diteruskan oleh Ratu Dewata yang menghadapi serangan langsung hingga ke alun-alun Pakuan. Meskipun serangan itu berhasil dipukul mundur, luka yang ditinggalkan menunjukkan lemahnya pertahanan kerajaan. Masa-masa selanjutnya, di bawah Ratu Sakti (1543–1551) dan Prabu Nilakendra (1551–1567), membawa tantangan yang semakin berat. Prabu Nilakendra berusaha memulihkan kejayaan dengan mempercantik istana dan memperbaiki infrastruktur, tetapi tekanan dari Cirebon dan Banten terus menghantui.
Rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Pembangkangan meluas, dan ketakutan akan serangan musuh semakin membayangi kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, tahun 1579 menjadi akhir dari segalanya. Pasukan Banten, dipimpin oleh Maulana Yusuf, melancarkan serangan besar-besaran ke Pakuan Pajajaran. Pertahanan yang pernah menjadi kebanggaan kerajaan tak lagi mampu bertahan. Menurut *Carita Parahiyangan*, keruntuhan ini dipercepat oleh pengkhianatan seorang komandan yang membuka gerbang kota bagi pasukan musuh.
Tanggal 8 Mei 1579 Masehi (11 Rabiulawal 987 Hijriah) menandai lenyapnya Pajajaran. Sirna ing bhumi—"hilang dari bumi"—menjadi ungkapan pahit yang merangkum akhir perjalanan kerajaan Hindu terakhir di tanah Sunda.
Meski Pajajaran telah runtuh, jejaknya masih terasa hingga kini. Prasasti Batutulis, naskah-naskah kuno, dan cerita rakyat tetap menghidupkan kenangan tentang kerajaan ini. Nilai-nilai yang diwariskan oleh para rajanya—keberanian, kehormatan, dan cinta terhadap tanah air—menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Keruntuhan Pajajaran bukan hanya akhir dari sebuah kerajaan, tetapi juga awal dari babak baru dalam sejarah Nusantara. Pajajaran tetap hidup dalam ingatan kolektif bangsa, sebagai simbol kegemilangan yang abadi.