09/12/2024
"SERUAN AKSI MIMBAR BEBAS"
KOMITE AKSI KAMISAN MATARAM
SALAM PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT.!!
SALAM REVOLUSI SOSIALISME.!
PERINGATAN HARI HAM SEDUNIA
NEGARA SEBAGAI ALAT KEKERASAN KELAS PENGUASAT.,
Tanggal 10 Desember 2024 adalah Hari Hak Asasi Manusia sedunia. Human Rights Day atau Hari Hak Asasi Manusia diperingati pada tanggal 10 Desember setiap tahunnya secara internasional di seluruh dunia.
Hari Hak Asasi Manusia diperingati setiap tanggal 10 Desember menandai diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 silam.
Dengan mengatur pasal-pasal dalam hal ini
Pasal. 1 Semua manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani dan harus bertindak terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan.Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini, tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, harta benda, kelahiran atau status lainnya. Lebih jauh, tidak boleh ada pembedaan atas dasar status politik, yurisdiksi atau internasional negara atau wilayah tempat seseorang tinggal, baik negara atau wilayah yang merdeka, negara perwalian, negara yang tidak berpemerintahan sendiri atau yang berada di bawah pembatasan kedaulatan lainnya.
Pasal 3.Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan pribadi. Pasal 4
Tidak seorang pun boleh diperbudak atau dihambat; perbudakan dan perdagangan budak harus dilarang dalam segala bentuknya.Pasal 5
Tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Namun Indonesia setelah mengklonisasi atau menganeksasikan wilayah Papua kedalam Indonesia banget kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Bangsa west Papua dan juga Indonesia sejak 1965-1966 sampi saat ini banyak pelanggaran HAM belum pernah di selesaikan oleh negara itu sendiri.
Sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap orang Papua dapat dikategorikan ke dalam empat periode berikut:
1. Masa Kepresidenan Soekarno yang dikenal dengan “Orde Lama” (1963-1967).
2. Masa Kepresidenan Soeharto yang dikenal dengan “Orde Baru” (1967-1998).
3. Era Reformasi Demokrasi yang dikenal dengan “Reformasi” (1998-2001).
4. Era Otonomi Khusus, yang dikenal sebagai “Otsus” (2001-sekarang).
1. Papua di Era Presiden Soekarno
Soekarno, presiden pertama Indonesia (1945-1967), adalah arsitek aneksasi Papua Barat. Invasi Indonesia dimulai pada akhir Desember 1961. Operasi militer besar yang didukung oleh Uni Soviet ini dikenal sebagai Trikora, singkatan dari Tri Komando Rakyat.
Tahun berikutnya, Amerika Serikat, karena takut akan eskalasi konflik, menekan Belanda untuk menyerahkan administrasi bekas jajahannya kepada PBB, meskipun Belanda memiliki itikad baik yang memberikan kemerdekaan kepada orang Papua pada 1 Desember 1961.
Pada tanggal 1 Mei 1963, PBB menyerahkan obor kepada Indonesia: itu adalah awal pendudukan Indonesia. Secara resmi Indonesia hadir hanya untuk memastikan kelancaran referendum yang akan menentukan pilihan rakyat Papua: merdeka atau terikat dengan Indonesia.
Namun kenyataannya sangat berbeda: sejak hari pertama, tentara Indonesia telah melakukan kekejaman terhadap penduduk sipil. Pengeboman udara terjadi di berbagai tempat.
Fasilitas umum, termasuk rumah sakit, dijarah oleh tentara. Di Manokwari kerusuhan anti-Indonesia pecah: dua orang Indonesia luka berat. Sebagai pembalasan, tentara Indonesia menembaki massa. Hasilnya, antara 1.000 dan 2.000 orang Papua terbunuh.
2. Papua di Era Presiden Soeharto
Pada tahun 1967 Soekarno, presiden pertama Indonesia yang pro-Soviet, mengundurkan diri. Dia digantikan oleh Soeharto, seorang jenderal pro Amerika. Mengutip peribahasa Indonesia, Papua yang baru keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau.
Salah satu langkah pertama yang diambil oleh presiden kedua Indonesia adalah memberikan konsesi kepada Freeport, perusahaan multinasional Amerika, untuk eksploitasi deposit Grasberg di Papua, cadangan emas dan tembaga dunia ketiga. Penandatanganan kontrak berlangsung pada 7 April 1967.
Untuk menjaga Papua tetap dalam perlindungannya, Indonesia mengerahkan seluruh kekuatan militer dan sipilnya untuk memastikan kemenangan dalam Referendum 1969, yang dikenal sebagai The Act of Free Choice atau Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Namun, itu benar-benar referendum palsu, karena hanya melibatkan 1.025 dari sekitar 800.000 orang Papua yang hidup saat itu. Rezim Indonesia menganggap mayoritas orang Papua terlalu terbelakang untuk memahami demokrasi.
Ribuan orang yang terlibat dalam referendum itu tidak lain adalah orang-orang Papua yang dipilih oleh pemerintah Indonesia sendiri, untuk memilih, di bawah tekanan tentara, mendukung aneksasi.
Jumlah korban yang terbunuh sebelum Act of Free Choice masih belum diketahui. Ribuan warga sipil dilaporkan disiksa, diperkosa, dan dibunuh. Eliezer Bonay, mantan gubernur Papua, mengungkapkan sekitar 30.000 orang tewas antara tahun 1963 dan 1969.
Sekitar 5.000 orang Papua melarikan diri ke luar negeri, ke negara tetangga Papua Nugini, serta ke berbagai negara Barat, terutama Belanda.
Tak berhenti di situ. Setidaknya ada sepuluh operasi militer di Papua yang dilancarkan selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto, antara lain: Operasi Pamungkas (1971), Operasi Koteka (1977), Operasi Sapu Bersih (1978-1982), Operasi Sate (1984), Operasi Gagak 1-2 (1985-1987), Operasi Kasuari 1-2 (1987-1990 ), Operasi Rajawali 1-3 (1989-1991).
LP3BH Manokwari dan Universitas Yale di Amerika Serikat mengungkapkan sekitar 100.000 orang Papua telah tewas. Benny Wenda, ketua United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) saat ini, menyebut lebih dari 500.000 orang Papua telah kehilangan nyawa selama setengah abad pendudukan Indonesia.
3. Papua di Era Reformasi Demokrasi
Pada Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa dengan tangan besi, Jenderal Soeharto mengundurkan diri. Peristiwa ini menandai dimulainya reformasi demokrasi di Indonesia.
Di bawah kepemimpinan BJ Habibie, ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup bagi orang Papua kini terbuka. Orang Papua menyerukan pemerintah Indonesia untuk menarik tentara dan mengakhiri program transmigrasi. Yang terakhir tidak lain adalah instalasi masif dan anarkis penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim di Papua yang mayoritas Kristen. Rakyat Papua juga menuntut penghormatan atas hak kemerdekaannya.
Menanggapi gerakan ini, pemerintah Indonesia melakukan banyak penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi singkat terhadap aktivis kunci Papua.
Pembantaian terjadi di Biak pada tahun 1998, di Wamena, Abepura, dan Nabire pada tahun 2000. Di bawah rezim reformasi, tentara, tetapi juga polisi, terlibat dalam berbagai pemerasan terhadap orang Papua. Antara tahun 1998 dan 2003, setidaknya 2.500 orang Papua terbunuh.
4. Papua di Era Otonomi Khusus (Otsus)
Khawatir dengan pergolakan politik di Papua, pemerintah Indonesia pada tahun 2001 memberikan status otonomi khusus (Otsus) kepada provinsi terbesar di timur itu.
Ironisnya, pelaksanaan Otsus di Papua ditandai dengan pembunuhan Theys Eluay, ketua Presidium Dewan Papua (PDP), oleh Komando Pasukan Khusus Indonesia (Kopassus) pada 10 November 2001.
Penyiksaan dan pembantaian terus berlanjut: di Wasior pada tahun 2001, di Wamena tahun 2003, di Paniai tahun 2004 dan 2014, di Abepura tahun 2006, di Nduga tahun 2018, di Intan Jaya tahun 2019, pegunungan bintang 2024 Maybrat, puncak Jaya, beberapa daerah yang saat ini masih dalam pengungsian sejak rezimnya jokowi hingga saat ini. Jumlah korban selama dua puluh tahun terakhir belum terdata dengan baik secara keseluruhan.
Ada juga bentuk-bentuk kekerasan lain yang disembunyikan negara Indonesia: orang Papua yang meninggal karena AIDS, keracunan makanan, kolera, alkohol dan obat-obatan. Jumlah migran Indonesia di kota-kota di Papua meningkat drastis. Perlakuan rasis terhadap orang kulit hitam Papua sedang meningkat di kalangan orang Indonesia. Eksploitasi sumber daya alam dan hutan tidak terkendali.Sayangnya, di bawah rezim otonomi khusus, orang asli Papua mulai menjadi minoritas di negaranya sendiri dan banyak kasus yang terus terjadi setelah menganeksasikan wilayah Papua ke dalam Indonesia sejak 1963 hingga saat ini yang kekerasan dan konflik yang terjadi di Tanah Papua menjadi elemen yang setiap tahunnya dipantau oleh KontraS. Pada Desember 2023-November 2024 tercatat 51 peristiwa kekerasan yang terjadi kepada warga sipil di Tanah Papua. Peristiwa kekerasan tersebut meliputi 22 penembakan, 12 penangkapan sewenang-wenang, 11 kasus pembubaran paksa, 8 tindak penganiayaan, 7 penyiksaan, 7 intimidasi, 2 tindakan tidak manusiawi dan 1 kriminalisasi. Tercatat 51 peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 36 orang luka dan 21 orang tewas. Para pelaku terdiri dari antara lain Polri yang terlibat dalam 19 peristiwa kekerasan, TNI dengan 17 peristiwa, dan TPN-PB dengan 10 peristiwa. Patut digaris bawahi, bahwa setiap tahunnya selalu ada prajurit TNI-anggota Polri, anggota kelompok bersenjata pro-kemerdekaan dan warga sipil yang tewas akibat ekses dari konflik yang terjadi di Tanah Papua. Berulangnya peristiwa semacam itu memberi kesan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana konkrit untuk memutus rantai konflik dan situasi kekerasan yang terjadi di Tanah Papua.
Paradoks Pemerintah Indonesia di panggung internasional juga patut menjadi sorotan. Pada 2024, menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, pemerintah Indonesia kerap menggunakan forum internasional untuk mempromosikan capaian dalam isu hak asasi manusia (HAM), seperti pemilu yang diklaim sukses, pengakuan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan upaya restoratif di Papua. Namun, realitas di dalam negeri menunjukkan pola tokenisme, dengan fakta-fakta lapangan yang sering bertentangan dengan narasi pemerintah. Dalam Sidang ICCPR di Jenewa, misalnya, perwakilan Indonesia dikritik atas kebuntuan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, kekerasan terhadap masyarakat Papua, dan pembatasan ruang sipil. Jawaban pemerintah dinilai normatif dan menghindar dari inti masalah, termasuk isu impunitas dan militerisasi di Papua. Di sisi lain, meski vokal mendukung Palestina di forum internasional, data menunjukkan lonjakan signifikan impor dari Israel, yang memicu kritik akan inkonsistensi sikap HAM Indonesia. Temuan perdagangan dengan Israel, termasuk impor teknologi pengawasan dan intelijen, menyoroti potensi normalisasi hub**gan yang berlawanan dengan klaim resmi pemerintah. Kombinasi diplomasi HAM yang retorik dan praktik domestik yang kontras menggambarkan kompleksitas posisi Indonesia di panggung global.
Berbagai peristiwa tersebut tampaknya akan berlanjut pada pemerintahan Prabowo Subianto, mengingat Prabowo berulang kali menekankan akan melanjutkan berbagai kebijakan Joko Widodo. Paradigma pembangunan yang diusung Prabowo, yang menekankan pada kelanjutan proyek strategis nasional (PSN), cenderung mempertahankan pendekatan ekstraktif dan fokus pada infrastruktur besar-besaran. Pola pembangunan semacam ini telah terbukti kerap mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, termasuk hak atas tanah dan lingkungan hidup, sehingga potensi pelanggaran HAM, terutama di wilayah pedesaan dan daerah terpencil, tetap tinggi. Dengan kata lain, situasi HAM di Indonesia berisiko stagnan atau bahkan mengalami kemunduran ditanah Papua.
Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Desember Tanggal ini dipilih untuk memperingati adopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal yang sama di tahun 1948. Dalam rangka memperingati hari HAM Sedunia kami dari Komite Aksi Kamisan Mataram mengundang seluruh Organisasi Prodem dan Individu Prodem untuk sama-sama menyuarakan agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM dan menuntut negara agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu hingga sekarang. Aksi mimbar bebas akan dilaksanakan pada.
Hari/Tanggal: Selasa, 10 Desember 2024
Jam: 14.30 Wita
Lokasi: Simpang 4 Taman Budaya
Sekian atas perhatian dan partisipasi kawan-kawan!!
Panjang umur perjuangan