Ruang Rindu

Ruang Rindu “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”
(4)

05/11/2024

Hanya ibu-ibu yang mengerti bahwa anak adalah obat paling mujarab atas luka-luka kehidupan.🌸

02/11/2024
Keluh kesah seorang Ibu hamil😥  Semoga bisa mewakili perasaan bumil🤗Bismillah...Teruntuk buat semua ibu hamil, dan terkh...
09/10/2024

Keluh kesah seorang Ibu hamil😥
Semoga bisa mewakili perasaan bumil🤗

Bismillah...

Teruntuk buat semua ibu hamil, dan terkhususnya buat suami tercinta.

Disaat dia hamil...
Mungkin dia gak banyak cerita, tapi bukan berarti dia lagi baik-baik aja.
Ada kalanya dia cukup waras untuk tidak mengeluh, karena tau, begitu percuma mengeluhkan rasa yang tidak bisa dibayangankan apa lagi dirasakan oleh pasangannya.
Tapi ada kalanya dia cukup lelah dan tanpa sadar keluh kesahnya keluar begitu saja.

Rasa yang tidak akan pernah pasangannya merasakan, rasa yang tidak akan pernah pasangannya bayangkan. Karena rasa itu begitu spesial dan spesifik yang hanya dirasakan oleh wanita.

Mual dan pusing saat sakit, beda sekali mual dan pusing saat hamil.
Kaki bengkak dan kelelehan saat olahraga, beda sekali saat kaki bengkak dan lelahnya saat hamil.

Ngilu pada punggung, selangkangan, kram perut dan lain sebagainya. Tapi semua itu bukanlah penyakit, tapi bagian-bagian itu sedang berproses menyiapkan tempat bayi dan jalan lahir. Entahlah siapa yang bisa menjelaskan begitu nikmat rasa itu. Dan lagi-lagi, pasangan tidak bisa merasakan.

Selera makan yang berubah-ubah dan ketika dia ingin melahap sesuatu yang diinginkan, pahamilah kalau semua itu bukanlah mengada-ada.

Dibalik semua rasa lelah dan sakitnya, dia penuhi hatinya dengan rasa syukur dan s**a cita. Karena dia tau, yang insyaAllah semua itu akan terbayarkan dengan hadirnya mahkluk mungil yang selalu dia cintai sepenuh hati.

Mungkin dia sesekali merasakan takut, gelisah, khawatir. Jangan kau kecilkan dan remehkan perasaannya.
Karena kau tidak akan pernah bisa merasakan apa yang sedang dia hadapi.

Mungkin kau pernah dan akan menemaninya saat ingin melahirkan. Saking indahnya, yang teringat hanyalah saat akhir bayi keluar dengan selamat.
Tapi sebelum itu, apa kau tau bagaimana rasa dan prosesnya?
Apa kau tau apa yang berkecamuk dalam pikirannya?
Antara hidup dan mati!!! Rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan bahasa manapun

Anda tidak akan menyesal menyukai foto ini.🙏🥺
09/10/2024

Anda tidak akan menyesal menyukai foto ini.🙏🥺

TIDURLAH SELAMANYA, NAK (12)Polisi yang duduk di hadapanku menarik laci meja di depannya dan mengeluarkan dua buah benda...
20/09/2024

TIDURLAH SELAMANYA, NAK (12)

Polisi yang duduk di hadapanku menarik laci meja di depannya dan mengeluarkan dua buah benda yang dibungkus plastik bening. Sebuah ponsel dan sebuah buku diari. Aku ingat itu adalah ponsel Santi yang dibelinya sendiri sebelum dia menikah dengan Bayu. Ponsel yang dibelinya dengan uangnya sendiri dari penghasilannya sebagai karyawan di sebuah pabrik sepatu.

"Anggota kami menemukan ponsel di dalam laci lemari yang terkunci, sepertinya saat mengambil paksa ponsel ini dari tangan Bu Santi, Pak Bayu langsung menyimpannya tanpa memeriksa isinya, sehingga gambar-gambar seperti yang ibu sebutkan, semuanya masih tersimpan di dalam. Sedangkan buku diari ini ditemukan di tumpukan baju Bu Santi paling bawah, juga di dalam lemari. Pak Bayu sendiri sangat terkejut waktu diary ini ditemukan, berarti selama ini Pak Bayu tak pernah tahu bahwa istrinya mempunyai diari ini. Kami sudah membaca semua isinya, pada tulisan-tulisan terakhirnya menjelang peristiwa itu, Bu Santi menyebut nama anda di dalam buku diarynya, itulah mengapa kami memanggil anda kemari, karena menurut kami anda harus mengetahuinya sebelum barang ini akan dijadikan barang bukti," ucap polisi di hadapanku sambil menatapku lekat-lekat.

"Pak, apa boleh saya membukanya?" pintaku dengan suara gemetar.

"Silahkan!" jawab beliau sambil mengangguk.
Dengan tangan gemetar aku membuka plastik yang membungkus kedua barang milik Santi. Kuambil buku diary berwarna ivory dan aku mulai membacanya. Aku duduk di kursi tengah diapit oleh Pak Raka di sebelah kiri dan Bu Ratih di sebelah kanan, sehingga saat aku mulai membaca diary, mereka berduapun bisa ikut melihat.

Halaman demi halaman mulai kubuka.

5 Januari
"Mas Bayu melamarku ke rumah sendirian, dia adalah lelaki pemberani yang berani datang untuk meminta kepada Bapak dan Ibuku untuk menjadikanku sebagai istrinya, dia bilang 'Santi akan menjadi bidadari saya, saya akan menyayanginya seumur hidup, Pak. Tolong ijinkan saya menikahinya' Bukankah kata-katanya sangat romantis?"

11 Januari
"Kenapa Mbak Dina bilang kalau dia tak setuju jika aku menikah dengan Mas Bayu? Kalau hanya alasan jarak, sekarang sudah jaman digital, kalau kangen bisa video call kan, ah Mbak Dina berlebihan!"

1 Februari
"Seminggu lagi aku akan menikah dengan lelaki yang sangat aku cintai, aku sangat bahagia, apalagi tadi Mas Bayu berbisik ditelingaku dengan ucapan yang sangat indah 'Kamu akan menjadi bidadariku, sayang' aku sangaaaaat bahagia, tak sabar menunggu saat itu tiba."

15 Februari
"Aku bahagia sekali, seminggu sudah aku menjadi istrinya, dan Mas Bayu sudah tinggal bersamaku bersama ayah, ibu dan adik-adikku."

7 April
"Hari ini aku bahagia sekali, aku dinyatakan positif hamil, Bapak dan Ibu juga berbahagia, ini adalah cucu pertamanya, kira-kira laki-laki apa perempuan ya, ahh aku tak sabar lagi ingin melihatnya."

26 Mei
"Mas Bayu tiba-tiba ingin membawaku p**ang bersamanya ke Kalimantan, Bapak dan Ibu juga adik-adikku terlihat sedih, tapi aku tak punya pilihan lain."

5 Juni
"Ini hari ketiga aku berada di rumah Mas Bayu, semua yang kubayangkan indah ternyata tak terjadi di sini. Mertuaku tak menyukaiku, juga Yuli adik iparku. Sikap mereka sangat kasar, aku diperlakukan seperti pembantu."

7 Juni
"Ya Allah, capek sekali. Baru saja kucuci sprei dan selimut yang diompoli Rafli, dan mencuci semua pakaian kotor Ibu, Yuli, Rafli, Mas Bayu dan punyaku, aku masih dipaksa membersihkan kotoran Rafli yang berceceran di lantai. Itu anak kenapa ngga mau bilang kalau mau berak, Ya Allah, aku mual sekali. Dan ibu, kenapa dia memarahiku saat aku muntah di kamar mandi? Apa ibu tak mencium betapa baunya kotoran cucunya itu?"

8 Juni
"Aku sangat lapar, setelah membersihkan seluruh rumah, saat aku mau makan ternyata nasi dan lauk sudah habis. Ya Allah, bukankah aku tadi masak banyak sekali. Ya sudah aku minum saja, minum air yang banyak."

10 Juni
"Mas Bayu memarahiku lagi, katanya aku istri pemalas. Dia pasti dilapori ibu macam-macam. Ya Allah mas, andaikan kau tahu bahwa istrimu ini diperlakukan seperti pembantu."

15 Juni
"Aku senang Bapak dan Ibu menelponku, aku katakan aku sangat bahagia, aku nggak ingin mereka tahu keadaanku, aku tak ingin mereka bersedih."

21 Juli
"Ya Allah, pipiku sakit sekali. Yuli, kenapa kau tega menjambak rambutku dan mendorongku ke kamar mandi hanya karena bajumu yang kucuci kurang bersih, aku sudah menyikatnya dengan bersih tapi nodanya tak mau hilang. Dan Mas Bayu, kenapa percaya saja saat Yuli bilang aku terpeleset."

1 Agustus
"Perutku sakit sekali Ya Allah, Ibu melarangku ambil air minum yang di teko, bukankah air minum itu aku yang merebusnya? Kamu yang kuat ya, Nak. Maaf karena ibu harus minum air kran, semoga kamu sehat."

Aku menyeka air mata yang tak bisa kubendung lagi, Ya Allah ... mereka bukan manusia. Kuhela napas panjang, dadaku sesak dan terasa sakit. Bu Ratih mengusap punggungku dengan lembut.

9 Agustus
"Mas Bayu menamparku, suamiku menyakitiku? Apa aku salah hanya bilang ingin minta sedikit uang gajinya, aku juga butuh membeli barang pribadiku, tetapi kenapa uang gajinya diberikan semuanya kepada ibu? Mas, aku ini istrimu, aku sering lapar Mas, aku sering tak dapat makanan, andaikan kau tahu Mas, jika kamu tak ada, hanya makanan sisa di piring Rafli yang kumakan saat aku hendak mencuci piring yang selalu banyak, kau tahu aku sangat sedih mas? kau suamiku tapi kau tak pernah memperhatikanku, aku selalu terlihat salah di mataku, apa aku masih bidadarimu?"

"Astaghfirullah ... astaghfirullah, Ya Allah, Ya Allah, bahkan binatang peliharaanpun masih mendapatkan perlakuan yang baik, Santi ... Santi__!"

Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, hatiku hancur luluh lantak.

Bersambung .... !

=======
Selengkapnya di : Aplikasi KBM
Judul: Tidurlah Selamanya, Nak
Penulis: TitinSudiyono

✍️ Titin Sudiyono



TIDURLAH SELAMANYA, NAK (11)"Mas, betulkah apa yang kamu katakan? Alhamdulillah ... alhamdulillah, akhirnya keadilan aka...
20/09/2024

TIDURLAH SELAMANYA, NAK (11)

"Mas, betulkah apa yang kamu katakan? Alhamdulillah ... alhamdulillah, akhirnya keadilan akan berpihak pada adikku," ucapku haru.

"Betul, Dek. Aku sudah menghubungi beberapa teman yang berprofesi sebagai penegak hukum, termasuk dengan Mas Irfan kakak kelasku waktu SMA yang sekarang menjadi jaksa di Ibukota. Beliau berkata bahwa bila kekerasan psikis ini telah menimbulkan dampak yang mengganggu kondisi kejiwaan korban, maka harus segera dihentikan dengan melaporkan kepada lembaga penyedia layanan yang ada. Lembaga-lembaga ini bisa membantu memberikan informasi berbagai hal terkait persoalan KDRT. Lembaga penyedia layanan juga bisa menjadi mediator untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dialami oleh korban. Bila sampai kepada proses hukum, maka diperlukan bukti. Pasal 55 UU PKDRT menyebutkan bahwa keterangan salah seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai salah satu alat bukti lainnya.
Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan psikis dalam rumah tangga tertuang dalam pasal 45 UU PKDRT. Ancaman hukuman maksimal yang bisa dikenakan pada pelaku adalah 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
Itu yang mas Irfan katakan, dan beliau juga mereferensikan saudaranya yang berprofesi sebagai lawyer yang berdomisili dekat dengan TKP, satu kabupaten dengan rumah Bayu, namanya Mas Raka, karena beliau tergabung dalam LBH maka tidak dipungut biaya. Hari ini Mas Irfan akan menghubungi Mas Raka, menginformasikan kasus ini, beliau ingin Mas Raka yang mengawal kasus Santi. Dan satu lagi, istri Mas Raka adalah seorang anggota KPIA( Komisi Perlindungan Ibu dan Anak), yang pastinya akan sangat membantu penanganan kasus ini."

"Masya Allah--terima kasih, Mas. Sungguh Allah Maha Baik, membukakan satu persatu kemudahan. Memang benar kiranya, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Tapi Mas, ancaman hukuman untuk pelaku yang hanya 3 tahun dan denda 9 juta itu apa tidak terlalu ringan, dibanding penderitaan yang Santi terima?"

"Dek, itu sudah ketentuan hukumnya, sudah menjadi aturan hukum yang ditetapkan, maka kita harus mematuhinya, yang terpenting adalah sanksi moral dari masyarakat. Meski nantinya Bayu dan keluarganya mendapatkan hukuman itu, tetapi labeling dari masyarakat bahwa mereka adalah 'eks napi' akan lebih mencabik jiwanya dan berpengaruh pada nama baiknya. Dan pastinya akan berpengaruh pada masa depan Bayu nantinya, cap sebagai laki-laki yang mantan narapidana karena kasus KDRT terhadap istrinya, efek jeranya itu yang semoga bisa membuatnya sadar sehingga nantinya jika qodarullah dia menikah lagi setelah perpisahan dengan Santi karena kasus ini, dia tak akan melakukan hal yang sama pada istri barunya kelak."

Penjelasan panjang lebar dari Mas Haris membuat hatiku sedikit lega. Benar juga yang dikatakannya.

"Iya Mas, aku mengerti. Terima kasih ya Mas, terima kasih karena sudah melakukan ini semua untuk Santi, adikku."

"Dek, Santi tak hanya adikmu tapi juga adikku. Aku menikahimu berarti aku juga menganggap seluruh keluargamu adalah keluargaku, jika mereka merasa sakit, tentu hatiku juga sakit. Apalagi yang terjadi pada Santi, itu sudah di luar batas kewajaran sebagai seorang manusia. Jika butuh sesuatu segera kabari aku ya, kamu baik-baik di sana, jaga kesehatan, juga Paklik. Dampingi beliau dalam situasi apapun, hanya kamu satu-satunya keponakannya."

''Iya Mas, terima kasih," ucapku haru. Ya Allah, terima kasih, Engkau berikan aku seorang suami yang luar biasa baik.

Sepasang netra Paklik menatapku sambil tersenyum, beliau pasti sudah mendengarkan seluruh percakapanku dengan Mas Haris, karena aku mengeraskan speakernya, juga Santi. Entah dia mengerti atau tidak dengan pembicaraanku tadi, tapi terlihat sesungging senyum tipis yang menghiasi bibirnya.

"Kamu sangat beruntung, Nduk, memiliki suami yang sangat baik. Terima kasih atas semua yang kalian lakukan untuk Santi." Mata Paklik berkaca menatapku.

"Iya, Paklik. Paklik adalah pengganti ayah setelah beliau tiada, dan Santi adalah adikku. Tentu kami akan melakukan apapun yang terbaik untuk Santi. Tak ada yang lebih membahagiakan kami selain dapat melihat Santi bahagia, setelah kasus ini ditangani pihak yang berwajib, aku ingin Santi segera bercerai dengan Bayu. Biar dia bisa bebas dari masa lalu dan bayang-bayang penderitaannya."

"Iya, Nduk."

Santi menatapku lama, mengerjapkan matanya lalu berbisik lirih.

"Pulang ... p**ang!"

"Bayiku, anakku, Sinta ... ibu, ini anakku namanya Sinta. Ibu--ini cucu ibu, ini Sinta. Dia cantik 'kan, dia sudah tak menangis lagi. Lihat, Bu. Bayiku tidur ... anakku tidur."

Lalu terdengarlah senandung kecilnya, tepat bersamaan dengan masuknya Dokter Indah dan dua orang polisi ke ruangan. Aku dan Paklik mengangguk pada mereka, sedangkan Santi masih tak bergeming. Dia menekuk kedua lengannya dan berbuat seolah sedang menimang bayi. Santi mengayunkan kedua lengannya, seolah sedang menidurkan anaknya. Senandungnya terdengar kembali.

"Nina bobo ... nina bobo ... kalau tidak bobo nanti dimarahi nenek, kalau tidak bobok nanti dibentak bibi, kalau tidak bobo nanti ibu dicerai ayah. Bobo Nak, tidurlah jangan menangis terus, sini ibu susui ... sini ibu susui. Kenapa, kok nggak mau? Apa ASi ibu tak keluar? ASI ibu nggak enak? Ibu belum makan seharian, Nak, ibu lapar ... lapar ... Ibu nggak boleh makan, Nak. Tapi ibu sudah minum air banyak, Ibu nggak boleh minum air yang di meja, ibu minum air kran ... Ibu sudah minum banyak, Nak, ayo menyusu! Ayo menyusu!"

Kami berlima memperhatikan Santi tanpa bicara sepatahkatapun. Dadaku begitu sesak, menahan tangis, demikian p**a Paklik.

Tiba-tiba Santi menangis mengiba.

"Ampun Bu, ampun Bu. Jangan ... jangan tampar aku, jangan bentak anakku, aku--aku pasti bisa menidurkannya. Jangan Mas, jangan ceraikan aku, aku tak punya siapa-siapa di sini, rumahku jauh, Mas. Aku lelah ... aku capek ... aku sakit ... sakit. Nak, ibu sakit. Tidurlah, tidurlah!"

Santi menurunkan lengannya seolah meletakkan bayinya di kasur dengan hati-hati. Lalu dia mengambil bantal dan meletakkannya di depannya, lalu menekan bantal itu kuat-kuat.

"Tidurlah, Sayang! Tidurlah! Ibu akan membantumu tidur, tidurlah selamanya, Nak--biar tak ada yang marah padamu juga ibu. Tidur sayang!"

Sesungging senyum terlihat dari bibirnya, tubuh Paklik sempoyongan hampir terjatuh jika aku tak segera menggamit lengannya, kedua polisi yang sedari tadi menatap Sinta berkali menghela napas, sedang Dokter Indah--mengusap bulir bening yang menetes dari sudut matanya. Meski beliau seorang dokter, tapi beliau tetaplah seorang wanita, seorang ibu yang pasti bisa merasakan apa yang telah dialami pasiennya.

Santi mengangkat bantal dari depannya dan meletakkannya di samping, tangan kanannya bergerak seolah mengelus sesuatu.

"Kamu sudah tidur, Nak. Kamu sudah lelap ... Ibu sudah membantumu terlelap. Tidur yang nyenyak ya, ibu juga lelah, Ibu akan tidur di sampingmu," ucapnya sambil tersenyum.

Tubuh kurus itu mulai membaringkan tubuhnya, dan lambat laun sepasang mata itu menutup. Tak lama kemudian terdengar napas halusnya, sesungging senyum terukir di bibirnya.

Kami berlima saling berpandangan, aku tak sanggup menahan tangisan yang sedari tadi berusaha kutahan. Aku dan Paklik tersedu, pemandangan di depan kami barusan seperti adegan nyata yang telah dilakukan Santi pada bayinya. Aku memandang kedua polisi itu bergantian.

"Pak Polisi, Bapak pasti sudah melihat semuanya kan, jika Bapak berdua melihatnya dengan hati, yang membunuh bayi Sinta itu bukan Santi sebagai ibunya tetapi keluarganya, ibu mertuanya, suaminya, adik iparnya. Atas nama kemanusiaan dan demi tegaknya hukum di negri ini, tolong bebaskan Santi adik saya dari segala tuduhan, dan tangkap pelaku yang sebenarnya, mereka ... merekalah yang bertanggung jawab. Santi adik saya adalah gadis yang cantik, sehat lahir batin dan sangat penyayang. Dia menjadi seperti ini, kehilangan kewarasannya setelah menikah dengan suaminya dan tinggal bersama keluarga suaminya. Jadi menurut Bapak berdua--patutkah adik saya yang mendapat semua penderitaan ini dipersalahkan?"

Aku tak dapat lagi mengontrol emosiku. Paklik menepuk-nepuk punggungku menenangkan, bahuku terguncang menahan tangisan.

"Tenang, Nduk ... tenang, jangan emosi," ucap Paklik lirih.

Aku melanjutkan ucapanku, menumpahkan semua beban yang ada dalam hatiku.

"Dokter Indah, dokter sudah melihatnya sendiri dan juga sudah mengamati kondisi kejiwaan adik saya, tolong bantu kami menjelaskan kepada Pak Polisi tentang keadaan Santi. Saya--saya akan berjuang hingga titik darah penghabisan, sampai adik saya mendapatkan keadilannya!"

Bersambung .... !

=======
Selengkapnya di : Aplikasi KBM
Judul: Tidurlah Selamanya, Nak
Penulis: TitinSudiyono

✍️ Titin Sudiyono



TIDURLAH SELAMANYA, NAK (10)PoV DinaPart 10 Kabar Baik"Kalau tahu bakal begini kejadiannya, aku nggak bakal sudi menerim...
20/09/2024

TIDURLAH SELAMANYA, NAK (10)

PoV Dina

Part 10 Kabar Baik

"Kalau tahu bakal begini kejadiannya, aku nggak bakal sudi menerimamu menjadi menantuku!" ucap Paklik geram.

"Maksud Bapak apa?" tanya menantu Paklik itu dengan wajah yang berlagak bodoh.

"Jangan berlagak bodoh kamu, kami baru saja menemui dokternya Santi, dan beliau mengatakan banyak hal. Intinya penyebab Santi melakukan tindakan di luar kesadarannya itu dikarenakan tekanan batin yang dahsyat akibat perlakuan orang-orang terdekatnya.
Siapa lagi kalau bukan kalian bertiga di rumah itu? Bayu, tak sadarkah bahwa kamu adalah seorang suami yang seharusnya melindungi istrimu? Mana janjimu yang katanya mau menjaga Santi?"
Paklik menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya, dadanya bergetar menahan amarah yang memuncak.
Aku memeluk Santi dengan erat, wajahnya disembunyikan di belakang punggungku karena ketakutan.

"Aku ... aku tak melakukan apapun pada Santi," ucap Bayu lirih.

Aku tak tahan lagi mendengarnya,

"Apaaa? masih mengelak juga kamu tak melakukan apapun pada Santi? Kamu kira keadaan Santi yang mengenaskan seperti ini bisa datang sendiri tanpa sebab? Dasar suami tak punya hati! Terbuat dari apa hatimu, Bayu? Kenapa bisa setega ini pada istrimu? Wanita yang seharusnya engkau lindungi dengan sepenuh cinta?" Bibirku gemetar hebat menahan amarah yang hampir saja aku tak mampu menahannya.

Tiba-tiba,

"Ada apa ini! kenapa anakku bisa terkapar di lantai begini?"
Ibunya Bayu muncul sambil menampakkan wajah yang tak sedap dipandang.

"Tanya sama anakmu, apa yang dilakukannya pada anakku!" hardik Paklik dengan nada tinggi.

"Anakmu sekarang gila itu karena ulahnya sendiri, jangan nyalahin orang lain!" jawab perempuan paruh baya itu sengit.

"Jangan sembarangan bicara! Anakku ... anakku seperti ini karena ulah kalian!" ucap Paklik dengan tatapan tajam.

"Dengar Bu, saya saat ini masih bisa bersabar karena memandang Ibu sebagai mertua Santi, adik saya. Pagi ini kami sudah menemui dokter yang menangani kondisi kejiwaan Santi, jadi kesimp**annya adalah, Santi melakukan perbuatan ini karena tekanan batin yang hebat, dan penyebabnya karena ancaman, tekanan dan intimidasi dari keluarga ibu, yaitu Ibu mertua, adik ipar juga suaminya sendiri. Meski kami bukan orang kaya, tapi kami bukan orang bodoh! Saya akan memperjuangkan nasib Santi dan memastikan pelaku kekerasan psikis adik saya akan mendapatkan balasan yang setimpal, kalian ... kalian sekeluarga sungguh tak punya hati!" cecarku dengan suara serak.

Wanita di depanku itu tersentak, mungkin dia tak mengira aku bakal seberani ini bicara.
Tak mengucap apapun lagi, lengan anak lelakinya itu ditariknya kasar.

"Ayo kita p**ang, jangan di sini!" ucapnya sambil menyeret anaknya keluar.
Raut wajah kebingungan tersirat dari wajah Bayu. Bak kerbau dicucuk hidungnya, dia tak berani membantah kata-kata ibunya.
Mungkin selama ini seperti itu yang terjadi, Bayu mengabaikan dan selalu menyalahkan Santi karena dia tak berkutik dengan ibunya. Ibunya pasti sudah menguasainya.

Setelah kepergian dua orang itu, Paklik mendekati putrinya.

"Sudah aman, Nduk. Jangan takut, semuanya baik-baik saja. Ada Bapak, ada Mbak Dina, jangan takut lagi ya!" bisiknya lembut.

"Anakku mati? anakku sudah mati? Katanya aku yang membunuhnya, aku membunuh bayiku?" gumam Santi tiba-tiba dengan pandangan kosong.

Aku memegang pipinya lalu mengangkat dagunya.

"Sayang, ini Mbak Dina. Santi percaya Mbak Dina, 'kan? Santi tak membunuh siapapun, Santi itu ibu yang baik yang sangat sayang dengan Sinta. Tak ada yang menyalahkan Santi. Dengar Nduk, kamu tak bersalah, kamu tak bersalah. Percaya 'kan dengan Mbak?"

Wajah pucat itu menatapku, lama dia memandang wajahku, lalu dia tersenyum,

"Iya, anakku tidur, bayiku tidur nyenyak. Dia harus tidur supaya tidak dimarahi, dia harus kutidurkan supaya tak menangis terus ... aku ... aku lapar, aku lapar. Aku tak boleh makan, kalau aku makan aku dimarahi. Aku lapaaar, Bu. Aku mau makan, aku menyusui jadi cepat lapar, lapaaar__"

Aku tak dapat lagi menahan tangis yang kutahan dari tadi.
Astaghfirullah ... astaghfirullah, dadaku Ya Allah, sakit sekali.

"Santi mau makan? ingin makan apa, Sayang? Tunggu di sini ya biar Mbak belikan!"
Entah dia mengerti ataukah tidak, tapi wajah di depanku itu mengangguk.

"Paklik, Dina keluar sebentar ya mau belikan Santi makanan, tolong jangan tinggalkan Santi sampai Dina kembali!" ucapku pelan.

"Iya, Nduk."

Saat keluar ruangan, aku berpapasan dengan perawat yang pagi tadi bersama dengan dokter Indah.

"Maaf Suster, saya ingin bertanya. Adik saya Santi, pagi ini apakah sudah mendapatkan makan pagi?" tanyaku.

"Sudah, Bu. Tadi sewaktu Ibu keluar bersama Dokter Indah, saya sudah memberikan dan menyuapinya. Pemberian jadwal makanan untuk pasien selalu tepat waktu, Bu," jawabnya sambil tersenyum.

"Baiklah, terima kasih suster, saya hanya ingin bertanya tentang hal itu saja. Kalau begitu saya permisi!" pamitku halus. Suster mengangguk sambil tersenyum sementara aku melanjutkan langkah menuju warung makan di depan rumah sakit.
Apa yang diucapkan Santi tadi berarti ingatan yang tiba-tiba muncul saat dia tinggal di rumah Bayu, Ya Allah--tega sekali mereka melakukannya.

Setelah mendapatkan makanan aku baru ingat belum mengabari suamiku. Aku duduk di bangku panjang depan mushola sambil menghubungi Mas Haris. Setelah panggilanku tersambung aku menceritakan semuanya tentang Santi, tentang keadaannya yang memilukan dan perlakuan suami, adik ipar serta ibu mertuanya. Sesekali aku menghela nafas panjang karena emosional, demikian p**a Mas Haris.

"Astaghfirullah ... astaghfirullah, Duh Gusti ... Santi, kenapa nasibmu bisa seperti ini, Nduk?" ucap Mas Haris dengan suara terbata.

"Mas, tolong carikan referensi atau apapun itu namanya, Mas kan punya banyak teman yang profesinya pengacara, jaksa ada juga yang polisi, kondisi yang terjadi pada Santi, kekerasan psikis dan mungkin fisik juga yang menimpanya tersebut, bisakah pelaku kekerasan itu dipidana? aku tak terima Mas, Santi diperlakukan sekeji ini, jika Santi tak mendapat tekanan batin yang dahsyat, tak mungkin dia melakukan hal sedemikian mengerikan, dan itu dilakukan di alam bawah sadarnya."

"Iya Dek, habis ini mas akan hubungi teman-teman mas yang berprofesi sebagai penegak hukum, nanti aku kabari ya?"

"Iya Mas terima kasih, tolong doakan semoga semuanya baik-baik saja, ya?" pintaku pada suamiku.

"Iya Sayang, pasti. Jangan lupa jaga kesehatan ya?" Aku menutup telepon setelah berpamitan dengan suamiku dan bergegas kembali ke ruangan. Paklik dan Santi menatap kedatanganku saat aku datang dan segera kubuka bungkusan nasi yang baru saja kubeli.

"Nduk, ini Mbak bawa makanan, Mbak suapin ya, mulai sekarang kamu nggak akan kelaparan lagi, ada Mbak, ada Bapak di sini, juga di rumah semua orang menyayangimu. Kamu jangan khawatir lagi, ya?" ucapku lembut.

"Paklik, tolong bantu Santi untuk duduk ya, aku akan menyuapinya!" pintaku pada Paklik dan seketika beliau menggamit lengan Putrinya, membantunya duduk.
Sesuap demi sesuap Santi mulai mengunyah makanan yang aku suapkan. Rasa haru menyeruak di dada saat kulihat mata adik tersayangku itu berkaca-kaca.
Setetes dua tetes dan tetes tetes bulir bening mulai jatuh dari sudut mata itu.

"Menangislah Nduk, menangislah! tumpahkan semuanya, buanglah semua kepedihanmu. Bapak di sini, Bapak akan menemanimu dan tak akan pernah meninggalkanmu lagi!" ucap Paklik sambil menggenggam tangan putrinya.

Aku menghentikan suapanku saat kunyahannya mulai melambat, mungkin dia sudah kenyang. Kubersihkan bibirnya yang sedikit belepotan dengan tisu, setelah meletakkan sisa makanan, aku mengambil sebuah sisir dari dalam tas.

"Sayang, kamu lihat ini? Aku akan menyisir rambutmu, sama seperti yang kulakukan padamu waktu kecil dulu. Dulu aku sering merengek pada ibu, Budhemu ... ['Bu, aku ingin punya adik perempuan, belikan aku adik, Bu. Aku ingin punya adik seperti teman-teman yang lain!'] Tapi ibu selalu menjawab, ['Dina kan sudah punya adik perempuan yang cantik, Santi--anaknya Paklik Imam dan Bulik Lastri, meski Ibu tak melahirkannya, anggaplah Santi sebagai adikmu!'] dan saat itu aku berhenti merengek, lalu setiap hari aku selalu mendatangimu, bermain denganmu, mendandanimu dan sering menyisir rambutmu lalu mengepangnya dan memberi pita warna warni yang cantik. Sayang, sungguh Mbak Dinamu ini, Mas Haris, Rian, Nindi sangat mencintaimu, menyayangimu dan akan bersamamu sampai kapanpun. Jadi mulai sekarang, jangan pernah merasa sendiri. Kamu wanita yang hebat, wanita yang tangguh. Dan apapun keadaan dirimu, kami semua sangat menyayangimu, Nduk!"

Aku menyisir rambutnya dengan lembut, satu persatu air mataku luruh, beberapa diantaranya menetes pada rambut hitamnya. Paklik mengusap bulir bening dari sudut netranya dan berkali menghela nafas berat.

Tiba-tiba,

Drrrrt!

Drrrrt!

Ponselku bergetar, saat kulihat layarnya, Mas Haris yang menghubungiku.

"Assalamualaikum, Mas," jawabku.

"Dek, mas sudah menghubungi beberapa teman, dan mereka bilang--Pelaku kekerasan psikis dapat dijerat undang-undang, artinya mereka yang menyebabkan Santi seperti ini, bisa dipidana."

"Ya Allah ... alhamdulillah ... alhamdulillah!"
Dadaku bergemuruh mendengarnya, aku tersenyum dengan perasaan haru.
Tunggulah Bayu, tunggulah balasan yang setimpal dengan perbuatanmu juga keluargamu.

Bersambung .... !

=======
Selengkapnya di : Aplikasi KBM
Judul: Tidurlah Selamanya, Nak
Penulis: TitinSudiyono

✍️ Titin Sudiyono



TIDURLAH SELAMANYA, NAK (9)"Dokter, beberapa kali saya mendengar istilah Baby Blues, saya juga pernah membaca artikel te...
20/09/2024

TIDURLAH SELAMANYA, NAK (9)

"Dokter, beberapa kali saya mendengar istilah Baby Blues, saya juga pernah membaca artikel tentang hal ini, tetapi saya tak menyangka bahwa kasus ini benar-benar ada, saya sempat meragukannya, karena dari kedua kehamilan yang saya alami, saya tak merasakannya. Kenapa kondisi ini bisa menimpa Santi, adik saya? Kenapa dia bisa bertindak kejam terhadap darah dagingnya sendiri?" tanyaku setelah berhasil menenangkan diri. Paklik masih terdiam dengan raut kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

Dokter Indah menatap kami bergantian, helaan napas berat terdengar, lalu ...

"Tindakan kejam tersebut tidak lepas dari kondisi perubahan hormon yang terjadi pada ibu pasca melahirkan. Orang-orang medis menyebut kondisi tersebut dengan Baby Blues Syndrome, yaitu keadaan dimana muncul perasaan gundah dan sedih yang berlebihan yang dialami ibu pasca melahirkan. Ini mayoritas dialami oleh ibu pasca melahirkan sehingga merasa cemas akan keberlangsungan hidup anaknya di masa depan, atau ibu merasa kewalahan dalam mengurus anaknya. Gangguan kesehatan jiwa pada ibu pasca melahirkan terdapat beberapa tingkatan, yaitu Baby Blues Syndrome (Postpartum Blues), Postpartum Depression, dan Postpartum Psychosis. Ketiganya sama-sama berhubungan dengan perubahan hormon dan ada kaitannya p**a dengan kejiwaan yang mana berdampak pada perubahan emosi ibu, dan dapat berdampak p**a pada perilaku yang seharusnya tidak boleh dilakukan seperti membentak, berbuat kasar, ataupun melukai fisik anaknya.
Kebanyakan, apabila ibu pasca melahirkan yang mengalami gangguan jiwa seperti Baby Blues Syndrome, masyarakat langsung menilai bahwa ibu tersebut “gila”, karena pada dasarnya Baby Blues Syndrome selain berkaitan dengan perubahan hormon pasca melahirkan tetapi juga berkaitan dengan kesehatan jiwa ibu, terlebih lagi jika ibu sampai melakukan tindak pidana yang mana korbannya adalah anaknya sendiri yang baru dilahirkan. Banyak masyarakat yang tidak paham bahwa ketiga tingkatan gangguan kesehatan jiwa ibu pasca melahirkan memiliki ciri-ciri, penanganan, hingga pertanggungjawaban yang berbeda apabila ibu melakukan suatu tindak pidana, tergantung ibu masuk ke dalam kategori apa, dan hal itu ditentukan dari tingkat kesadaran ibu pada saat melakukan tindak pidana. Jadi tidak dapat disamaratakan bahwa ibu yang mengalami gangguan kejiwaan pasca melahirkan adalah 'gila'."

Dokter Indah menatap kami bergantian, kembali menghela napas berat. Tersirat raut wajah kesedihan di sana. Ya, penderitaan batin seorang wanita memang paling bisa dirasakan oleh sesama wanita.

"Bu Dina, Pak Imam ... berbeda dengan sakit fisik, jiwa terluka adalah berbicara tentang perih yang tak terlihat.Tentang sakit di dalam hati yang tak mampu dieja.Tentang perubahan emosi tiba-tiba yang tak terkendali.Tentang lelah yang tidak bersambut uluran tangan orang terkasih.Juga tentang beban tekanan yang terasa tak sanggup diangkut lagi. Luka jiwa ini memang tidak terlihat mata, tapi ia NYATA. Saat ini di dunia, ada sekitar 10% ibu hamil dan 13% ibu melahirkan mengalami gangguan kejiwaan, terutama depresi. Di negara berkembang bahkan kisaran angkanya bisa lebih tinggi lagi, sekitar 15% selama masa kehamilan dan 19,8% setelah melahirkan.
Tidak semua ibu yang melahirkan mengalami Baby blues, salah satu faktor terbesar adalah dukungan keluarga. Bu Santi mengalami tekanan psikis yang luar biasa, dia merasa sendirian, mendapat pengabaian, dan mungkin juga intimidasi berat dari keluarga suaminya. Sedangkan suami yang diharapkan mampu menjadi tiang penyangga luka batinnya, tak berfungsi sempurna. Tiap manusia itu butuh manusia lain sebagai " Jangkar " tempat mereka berpegangan dan menahan diri supaya tak oleng, tetap bisa berdiri tegak ketika badai menerjang. Nah, buat suami dan istri, mereka (seharusnya) adalah jangkar bagi satu sama lain. Bahwa pasangan adalah orang yang pendapatnya akan paling kita dengarkan, komentarnya akan paling kita ingat, dan dukungannya yang akan paling membuat kita kuat. Lalu bagaimana jika pendapat dan komentarnya sungguh menyakiti hati dan mendobrak seluruh tingkat kewarasan?
Maka inilah yang terjadi, kondisi seperti Bu Santi terjadi sebagai akibat tekanan batin yang luar biasa dari mertua, saudara ipar dan juga suaminya."

Dokter berparas cantik di hadapan kami itu kembali menghela napas berat, lalu melanjutkan perkataannya.

"Beberapa hari ini saya mengamati Bu Santi, berkali saya mengajaknya komunikasi, ada beberapa kalimat kunci yang selalu diulang-ulangnya. Pada pasien gangguan jiwa, kalimat kunci adalah poin penting yang harus menjadi acuan untuk menyimpulkan diagnosis. Beberapa kalimat yang saya catat adalah,
'Jangan marahi anakku'
'Jangan marah, jangan marah'
'Aku akan menidurkannya'
'Aku akan membantunya tidur'
'Jangan ceraikan aku'
'Sakit, sakit, jangan'
Beberapa kalimat itu adalah kejadian yang dialami Bu Santi, entah kekerasan psikis dan mungkin fisik seperti apa yang diterimanya, yang pasti hal itulah yang menyebabkannya terguncang. Akibat fatal yang bisa terjadi dari baby blues syndrom yang tak segera menerima pertolongan adalah postpartum depression. Postpartum depression membuat penderita merasa putus harapan, merasa tidak menjadi ibu yang baik, sampai kehilangan akal sehat. Bu Santi sampai saat ini masih menganggap apa yang dilakukan pada anaknya adalah bukan membunuhnya. Tetapi sebagai upaya menidurkan bayinya sebagai bentuk tekanan hebat yang diterimanya. Ada ancaman, tekanan-tekanan, intimidasi dari keluarganya yang memicunya untuk melakukan itu. Jadi dia merasa tidak membunuhnya. Dia menganggap bayinya masih hidup."

Penjelasan panjang lebar Dokter Indah membuat hatiku semakin hancur, kemarahan mencengkeram jiwaku, kulirik paklik yang mengepalkan tangan menahan amarah.

"Dokter, yang dilakukan oleh anak saya itu, apakah bisa membuatnya dipenjara?" tanya Paklik dengan suara gemetar menahan tangis.

"Apabila ibu pasca melahirkan melakukan suatu tindak pidana, maka perlu dilakukan pemeriksaan oleh ahli kejiwaan, apakah ibu mengalami suatu sindrom ataukah depresi atau justru psikosis, sehingga nantinya dapat ditentukan apakah ibu tersebut dapat dipidana atau tidak. Karena ibu yang memiliki tingkatan gangguan jiwa yang berbeda, maka berbeda p**a bentuk pertanggungjawabannya, meskipun ibu benar-benar telah terbukti memenuhi suatu delik tindak pidana yaitu melakukan pembunuhan terhadap anaknya sendiri," papar Dokter Indah.

"Tapi anak saya tidak bersalah, Dokter. Anak saya terguncang, anak saya depresi, anak saya sakit, batinnya terluka. Anak saya anak yang baik, dia melakukannya tanpa sadar. Tolong anak saya, Dokter! Dia tak pantas mendapatkan hukuman, dia tak seharusnya dipenjara, harusnya suami dan keluarganya yang menanggung semua penderitaannya, dia ... dia__"
Paklik tak mampu meneruskan ucapannya, bahunya terguncang sambil tersedu. Aku merangkul bahunya dan menepuk-nepuknya, menguatkan.

"Iya Pak, saya tahu. Bu Santi melakukannya tanpa sadar, sebagai akibat dari ketidakstabilan emosi dan guncangan batinnya yang dahsyat, sebagai dokter kejiwaan yang menanganinya, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik untuk Bu Santi. Saya juga seorang wanita, saya bisa merasakan kepiluan yang dialami Bu Santi," ucap Dokter Indah lirih.

"Dokter, terima kasih banyak atas semua bantuan yang dokter berikan, kami bukan orang kaya, tapi kami akan berusaha untuk memperjuangkan nasib Santi," ucapku dengan suara terbata.

"Iya Bu Dina, saya tahu. Dan sekarang yang paling dibutuhkan oleh Bu Santi adalah support system dari keluarga terdekatnya supaya proses pemulihan psikisnya bisa lebih cepat."
Aku dan paklik serentak mengangguk dan berpamitan setelah mendengarkan seluruh penjelasan Dokter Indah.

Kami keluar ruangan dengan langkah gontai, masih terdengar sesekali isakan paklik.

"Andaikan saja dulu kami bersikeras melarang Santi untuk tak menikah dengan Bayu, pasti semua ini tak terjadi. Andaikan kami tak mengizinkannya ikut bersama suaminya, tentu dia tak menderita seperti ini. Santi, kenapa nasibmu bisa seperti ini, Nduk?"

"Sudah, Paklik--jangan menyalahkan diri sendiri berlarut-larut. Ini semua adalah takdir yang harus dijalani oleh Santi, yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita memperjuangkan supaya Santi bisa bebas dari hukuman dan secepatnya membawanya p**ang Ke Jawa."
Paklik tak menjawab, hanya anggukan lemah yang dilakukannya.

Sesampai di ruangan, kemarahanku memuncak, terlihat Santi meringkuk ketakutan sambil menekuk kedua lututnya.
Di depannya Bayu sedang berusaha mengajaknya bicara, bukan ... mengintimidasi lebih tepatnya, masih tertangkap oleh telingaku suaranya saat berucap.

"Anakmu sudah mati, kau yang membunuhnya, kalau ada polisi ke sini katakan bahwa kau yang membunuh anakmu!"

Paklik tersentak, Bayu yang belum menyadari kehadiran kami tetap melanjutkan bicaranya. Segera Paklik mendekat dan seketika mencengkeram krah baju Bayu, lalu ...

Buuug!

Buuug!

Bogem mentah melayang di wajah lelaki tak tau diri itu dan menyebabkannya terjerembab ke lantai.

"B4jingaaan kamu! Manusia ibliiiis!" pekik paklik dengan kemarahan yang memuncak.

Bersambung .... !

=======
Selengkapnya di : Aplikasi KBM
Judul: Tidurlah Selamanya, Nak
Penulis: TitinSudiyono

✍️ Titin Sudiyono




=====

Address

Mamuju

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ruang Rindu posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Ruang Rindu:

Videos

Shortcuts

  • Address
  • Alerts
  • Contact The Business
  • Videos
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share