20/09/2024
TIDURLAH SELAMANYA, NAK (10)
PoV Dina
Part 10 Kabar Baik
"Kalau tahu bakal begini kejadiannya, aku nggak bakal sudi menerimamu menjadi menantuku!" ucap Paklik geram.
"Maksud Bapak apa?" tanya menantu Paklik itu dengan wajah yang berlagak bodoh.
"Jangan berlagak bodoh kamu, kami baru saja menemui dokternya Santi, dan beliau mengatakan banyak hal. Intinya penyebab Santi melakukan tindakan di luar kesadarannya itu dikarenakan tekanan batin yang dahsyat akibat perlakuan orang-orang terdekatnya.
Siapa lagi kalau bukan kalian bertiga di rumah itu? Bayu, tak sadarkah bahwa kamu adalah seorang suami yang seharusnya melindungi istrimu? Mana janjimu yang katanya mau menjaga Santi?"
Paklik menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya, dadanya bergetar menahan amarah yang memuncak.
Aku memeluk Santi dengan erat, wajahnya disembunyikan di belakang punggungku karena ketakutan.
"Aku ... aku tak melakukan apapun pada Santi," ucap Bayu lirih.
Aku tak tahan lagi mendengarnya,
"Apaaa? masih mengelak juga kamu tak melakukan apapun pada Santi? Kamu kira keadaan Santi yang mengenaskan seperti ini bisa datang sendiri tanpa sebab? Dasar suami tak punya hati! Terbuat dari apa hatimu, Bayu? Kenapa bisa setega ini pada istrimu? Wanita yang seharusnya engkau lindungi dengan sepenuh cinta?" Bibirku gemetar hebat menahan amarah yang hampir saja aku tak mampu menahannya.
Tiba-tiba,
"Ada apa ini! kenapa anakku bisa terkapar di lantai begini?"
Ibunya Bayu muncul sambil menampakkan wajah yang tak sedap dipandang.
"Tanya sama anakmu, apa yang dilakukannya pada anakku!" hardik Paklik dengan nada tinggi.
"Anakmu sekarang gila itu karena ulahnya sendiri, jangan nyalahin orang lain!" jawab perempuan paruh baya itu sengit.
"Jangan sembarangan bicara! Anakku ... anakku seperti ini karena ulah kalian!" ucap Paklik dengan tatapan tajam.
"Dengar Bu, saya saat ini masih bisa bersabar karena memandang Ibu sebagai mertua Santi, adik saya. Pagi ini kami sudah menemui dokter yang menangani kondisi kejiwaan Santi, jadi kesimp**annya adalah, Santi melakukan perbuatan ini karena tekanan batin yang hebat, dan penyebabnya karena ancaman, tekanan dan intimidasi dari keluarga ibu, yaitu Ibu mertua, adik ipar juga suaminya sendiri. Meski kami bukan orang kaya, tapi kami bukan orang bodoh! Saya akan memperjuangkan nasib Santi dan memastikan pelaku kekerasan psikis adik saya akan mendapatkan balasan yang setimpal, kalian ... kalian sekeluarga sungguh tak punya hati!" cecarku dengan suara serak.
Wanita di depanku itu tersentak, mungkin dia tak mengira aku bakal seberani ini bicara.
Tak mengucap apapun lagi, lengan anak lelakinya itu ditariknya kasar.
"Ayo kita p**ang, jangan di sini!" ucapnya sambil menyeret anaknya keluar.
Raut wajah kebingungan tersirat dari wajah Bayu. Bak kerbau dicucuk hidungnya, dia tak berani membantah kata-kata ibunya.
Mungkin selama ini seperti itu yang terjadi, Bayu mengabaikan dan selalu menyalahkan Santi karena dia tak berkutik dengan ibunya. Ibunya pasti sudah menguasainya.
Setelah kepergian dua orang itu, Paklik mendekati putrinya.
"Sudah aman, Nduk. Jangan takut, semuanya baik-baik saja. Ada Bapak, ada Mbak Dina, jangan takut lagi ya!" bisiknya lembut.
"Anakku mati? anakku sudah mati? Katanya aku yang membunuhnya, aku membunuh bayiku?" gumam Santi tiba-tiba dengan pandangan kosong.
Aku memegang pipinya lalu mengangkat dagunya.
"Sayang, ini Mbak Dina. Santi percaya Mbak Dina, 'kan? Santi tak membunuh siapapun, Santi itu ibu yang baik yang sangat sayang dengan Sinta. Tak ada yang menyalahkan Santi. Dengar Nduk, kamu tak bersalah, kamu tak bersalah. Percaya 'kan dengan Mbak?"
Wajah pucat itu menatapku, lama dia memandang wajahku, lalu dia tersenyum,
"Iya, anakku tidur, bayiku tidur nyenyak. Dia harus tidur supaya tidak dimarahi, dia harus kutidurkan supaya tak menangis terus ... aku ... aku lapar, aku lapar. Aku tak boleh makan, kalau aku makan aku dimarahi. Aku lapaaar, Bu. Aku mau makan, aku menyusui jadi cepat lapar, lapaaar__"
Aku tak dapat lagi menahan tangis yang kutahan dari tadi.
Astaghfirullah ... astaghfirullah, dadaku Ya Allah, sakit sekali.
"Santi mau makan? ingin makan apa, Sayang? Tunggu di sini ya biar Mbak belikan!"
Entah dia mengerti ataukah tidak, tapi wajah di depanku itu mengangguk.
"Paklik, Dina keluar sebentar ya mau belikan Santi makanan, tolong jangan tinggalkan Santi sampai Dina kembali!" ucapku pelan.
"Iya, Nduk."
Saat keluar ruangan, aku berpapasan dengan perawat yang pagi tadi bersama dengan dokter Indah.
"Maaf Suster, saya ingin bertanya. Adik saya Santi, pagi ini apakah sudah mendapatkan makan pagi?" tanyaku.
"Sudah, Bu. Tadi sewaktu Ibu keluar bersama Dokter Indah, saya sudah memberikan dan menyuapinya. Pemberian jadwal makanan untuk pasien selalu tepat waktu, Bu," jawabnya sambil tersenyum.
"Baiklah, terima kasih suster, saya hanya ingin bertanya tentang hal itu saja. Kalau begitu saya permisi!" pamitku halus. Suster mengangguk sambil tersenyum sementara aku melanjutkan langkah menuju warung makan di depan rumah sakit.
Apa yang diucapkan Santi tadi berarti ingatan yang tiba-tiba muncul saat dia tinggal di rumah Bayu, Ya Allah--tega sekali mereka melakukannya.
Setelah mendapatkan makanan aku baru ingat belum mengabari suamiku. Aku duduk di bangku panjang depan mushola sambil menghubungi Mas Haris. Setelah panggilanku tersambung aku menceritakan semuanya tentang Santi, tentang keadaannya yang memilukan dan perlakuan suami, adik ipar serta ibu mertuanya. Sesekali aku menghela nafas panjang karena emosional, demikian p**a Mas Haris.
"Astaghfirullah ... astaghfirullah, Duh Gusti ... Santi, kenapa nasibmu bisa seperti ini, Nduk?" ucap Mas Haris dengan suara terbata.
"Mas, tolong carikan referensi atau apapun itu namanya, Mas kan punya banyak teman yang profesinya pengacara, jaksa ada juga yang polisi, kondisi yang terjadi pada Santi, kekerasan psikis dan mungkin fisik juga yang menimpanya tersebut, bisakah pelaku kekerasan itu dipidana? aku tak terima Mas, Santi diperlakukan sekeji ini, jika Santi tak mendapat tekanan batin yang dahsyat, tak mungkin dia melakukan hal sedemikian mengerikan, dan itu dilakukan di alam bawah sadarnya."
"Iya Dek, habis ini mas akan hubungi teman-teman mas yang berprofesi sebagai penegak hukum, nanti aku kabari ya?"
"Iya Mas terima kasih, tolong doakan semoga semuanya baik-baik saja, ya?" pintaku pada suamiku.
"Iya Sayang, pasti. Jangan lupa jaga kesehatan ya?" Aku menutup telepon setelah berpamitan dengan suamiku dan bergegas kembali ke ruangan. Paklik dan Santi menatap kedatanganku saat aku datang dan segera kubuka bungkusan nasi yang baru saja kubeli.
"Nduk, ini Mbak bawa makanan, Mbak suapin ya, mulai sekarang kamu nggak akan kelaparan lagi, ada Mbak, ada Bapak di sini, juga di rumah semua orang menyayangimu. Kamu jangan khawatir lagi, ya?" ucapku lembut.
"Paklik, tolong bantu Santi untuk duduk ya, aku akan menyuapinya!" pintaku pada Paklik dan seketika beliau menggamit lengan Putrinya, membantunya duduk.
Sesuap demi sesuap Santi mulai mengunyah makanan yang aku suapkan. Rasa haru menyeruak di dada saat kulihat mata adik tersayangku itu berkaca-kaca.
Setetes dua tetes dan tetes tetes bulir bening mulai jatuh dari sudut mata itu.
"Menangislah Nduk, menangislah! tumpahkan semuanya, buanglah semua kepedihanmu. Bapak di sini, Bapak akan menemanimu dan tak akan pernah meninggalkanmu lagi!" ucap Paklik sambil menggenggam tangan putrinya.
Aku menghentikan suapanku saat kunyahannya mulai melambat, mungkin dia sudah kenyang. Kubersihkan bibirnya yang sedikit belepotan dengan tisu, setelah meletakkan sisa makanan, aku mengambil sebuah sisir dari dalam tas.
"Sayang, kamu lihat ini? Aku akan menyisir rambutmu, sama seperti yang kulakukan padamu waktu kecil dulu. Dulu aku sering merengek pada ibu, Budhemu ... ['Bu, aku ingin punya adik perempuan, belikan aku adik, Bu. Aku ingin punya adik seperti teman-teman yang lain!'] Tapi ibu selalu menjawab, ['Dina kan sudah punya adik perempuan yang cantik, Santi--anaknya Paklik Imam dan Bulik Lastri, meski Ibu tak melahirkannya, anggaplah Santi sebagai adikmu!'] dan saat itu aku berhenti merengek, lalu setiap hari aku selalu mendatangimu, bermain denganmu, mendandanimu dan sering menyisir rambutmu lalu mengepangnya dan memberi pita warna warni yang cantik. Sayang, sungguh Mbak Dinamu ini, Mas Haris, Rian, Nindi sangat mencintaimu, menyayangimu dan akan bersamamu sampai kapanpun. Jadi mulai sekarang, jangan pernah merasa sendiri. Kamu wanita yang hebat, wanita yang tangguh. Dan apapun keadaan dirimu, kami semua sangat menyayangimu, Nduk!"
Aku menyisir rambutnya dengan lembut, satu persatu air mataku luruh, beberapa diantaranya menetes pada rambut hitamnya. Paklik mengusap bulir bening dari sudut netranya dan berkali menghela nafas berat.
Tiba-tiba,
Drrrrt!
Drrrrt!
Ponselku bergetar, saat kulihat layarnya, Mas Haris yang menghubungiku.
"Assalamualaikum, Mas," jawabku.
"Dek, mas sudah menghubungi beberapa teman, dan mereka bilang--Pelaku kekerasan psikis dapat dijerat undang-undang, artinya mereka yang menyebabkan Santi seperti ini, bisa dipidana."
"Ya Allah ... alhamdulillah ... alhamdulillah!"
Dadaku bergemuruh mendengarnya, aku tersenyum dengan perasaan haru.
Tunggulah Bayu, tunggulah balasan yang setimpal dengan perbuatanmu juga keluargamu.
Bersambung .... !
=======
Selengkapnya di : Aplikasi KBM
Judul: Tidurlah Selamanya, Nak
Penulis: TitinSudiyono
✍️ Titin Sudiyono