10/10/2024
*Kearifan Lokal, Titik Temu antara Sakral dan Profan*
Oleh NASARUDDIN UMAR, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Kompas, 11 Oktober 2024
Kearifan lokal sering diartikan sebagai pengetahuan, nilai, kebiasaan, tradisi, dan praktik yang berkembang di suatu masyarakat lokal yang diwarisi dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal ini berkaitan dengan kesadaran kolektif masyarakat setempat tentang relasi dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya, serta bagaimana mereka beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sendiri dan lingkungan dari luar.
Kearifan lokal sesungguhnya lebih banyak berada dalam wilayah profan ketimbang wilayah sakral. Profan sebagaimana dijelaskan Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) merujuk pada hal-hal yang biasa, sehari-hari, dan tak memiliki makna religius atau spiritual yang khusus.
Obyek atau aktivitas yang profan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan tak dianggap memiliki kekudusan atau signifikansi khusus dalam konteks agama atau spiritualitas, seperti bekerja, makan, atau bersosialisasi di luar konteks keagamaan. Sebaliknya, sakral merujuk ke hal-hal yang dianggap suci, keramat, atau memiliki nilai spiritual tinggi dalam suatu kebudayaan atau agama.
Obyek atau peristiwa yang sakral dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dari keseharian, penuh dengan makna dan kekudusan, dan sering kali dihubungkan dengan ritual keagamaan. Hal yang sakral sering diperlakukan dengan rasa hormat dan kehati-hatian karena dianggap memiliki kekuatan tertentu yang lebih tinggi, seperti tempat ibadah, kitab suci, relik suci, atau upacara keagamaan.
Beberapa kearifan lokal masih sering diperhadap-hadapkan dengan doktrin keagamaan karena terjadinya unsur sakralisasi terhadap yang profan dan sebaliknya profanisasi unsur sakral atas nama kearifan lokal.
Kontroversi sering muncul terutama yang bersentuhan dengan tradisi magis yang sering dipraktikkan di dalam suatu masyarakat atas dasar kearifan lokal, yakni mengikuti tradisi luhur nenek moyang setempat.
Misalnya, festival panen raya, pindah rumah baru, upacara pembukaan lahan pertanian/perkebunan, upacara ”persahabatan” dengan laut, danau, dan obyek lain yang dianggap memberi keuntungan atau kerugian bagi manusia, dengan berbagai ragam upacara lokal setempat.
Termasuk yang dipersoalkan ialah menghadirkan kembali obyek wisata yang dinilai bersifat sakral seperti festival budaya yang berbau mistik. Tak heran jika akronim bidah, khurafat, sinkretisme, dan syirik sering kali diperhadapkan dengan sejumlah praktik kearifan lokal.
Kearifal lokal yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya dapat diterima secara universal seperti etika moral yang menjaga kohesi sosial. Misalnya, gotong royong, penghormatan kepada orangtua, cara-cara menyelesaikan konflik secara damai, cara bercocok tanam, sistem irigasi, penggunaan tanaman obat, dan teknik berburu atau memancing yang efektif, arsitektur rumah yang sesuai dengan iklim, pola tanam yang mengikuti musim, atau metode pengelolaan air yang berkelanjutan.
Termasuk bahasa, seni, musik, tari, dan cerita rakyat yang menjadi ciri khas komunitas tersebut yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain. Kearifan lokal seperti ini amat konstruktif untuk terbinanya keindahan sebuah masyarakat yang menganut filosofi Bhinneka Tunggal Ika.
Antara sakral dan profan
Di masyarakat Indonesia, perbedaan antara yang sakral dan profan terkadang sangat halus. Ada sekelompok masyarakat menganggap sebuah tradisi itu sakral, sementara yang lainnya menganggapnya profan. Ada juga sebaliknya, sesuatu yang sesungguhnya masuk wilayah profan, dianggap sakral.
Yang pertama tentu mereka berasumsi terjadi desakralisasi hal-hal yang bersikap sakral. Atas dasar itu, muncullah klaim sekuler, pendangkalan agama, dereligioisasi, atau deislamisasi, dan lain-lain. Yang kedua berasumsi sebaliknya, terjadi sakralisasi hal-hal yang tidak sakral. Atas dasar itu muncul p**a klaim bidah, khurafat, sinkretik, syirik, dan lain-lain.
Roy A Rappaport dalam bukunya, Ritual and Religion in the Making of Humanity (1999), mencoba mengembangkan analisis yang cukup mendalam, dengan mengemukakan tujuh peran ritual untuk membedakan antara yang sakral dan profan.
Pertama, ritual berperan sebagai mekanisme utama untuk memediasi antara yang sakral dan yang profan. Melalui ritual, manusia dapat mengakses dan mengalami yang sakral, yang tidak dapat dijangkau dalam kehidupan profan.
Kedua, sakral bukanlah sesuatu yang inheren pada obyek atau tindakan tertentu, tetapi lebih merupakan konstruksi sosial yang dibangun melalui ritual. Artinya, suatu obyek, tempat, atau tindakan jadi sakral karena diperlakukan sebagai sakral oleh komunitas melalui praktik-praktik ritual. Konsekuensinya, sakralitas adalah hasil kesepakatan sosial yang dihasilkan dan dipelihara melalui ritual.
Ketiga, salah satu fungsi utama ritual untuk menciptakan dan memelihara diferensiasi antara domain sakral dan domain profan serta memastikan yang sakral dipisahkan dari yang profan, memberikan makna khusus pada yang sakral.
Keempat, ritual tak hanya menciptakan sakralitas, tetapi juga mengesahkan dan memperkuatnya. Melalui pengulangan ritual, nilai-nilai sakral masyarakat ditegaskan kembali secara terus-menerus, memperkuat komitmen individu terhadap nilai-nilai itu dan menanamkannya lebih dalam ke dalam struktur sosial. Pada akhirnya, ritual berfungsi menjaga stabilitas sosial dengan terus mengingatkan anggota masyarakat tentang pentingnya mematuhi norma-norma sakral.
Kelima, ritual sebagai alat pengendalian sosial yang kuat, karena ritual membedakan antara sakral dan profan serta menetapkan aturan yang mengatur perilaku di dalam konteks sakral. Ritual membantu menjaga ketertiban di masyarakat.
Pelanggaran terhadap aturan sakral yang ditegakkan oleh ritual dapat mengakibatkan sanksi sosial atau religius yang serius, yang menegaskan kembali pentingnya mematuhi norma yang telah ditetapkan.
Keenam, ritual mengatur transisi antara sakral dan profan. Sakralitas bukanlah keada- an yang tetap, melainkan sesuatu yang bisa diraih atau hilang tergantung konteks sosial dan ritual.
Ketujuh, meskipun sakral dan profan sering dianggap sebagai dua domain yang terpisah bahkan bertentangan, keduanya saling bergantung satu sama lain. Sakral tak bisa dipahami tanpa adanya yang profan, karena yang sakral mendefinisikan dirinya dengan perbedaannya dari yang profan.
Ritual berfungsi untuk terus mengelola hubungan dinamis antara kedua domain ini, memastikan bahwa keduanya tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan sosial.
Hal yang belum tuntas dibahas Émile Durkheim ialah makna ritual itu sendiri dan pernyataannya bahwa sakralitas ditentukan oleh persepakatan masyarakat. Tentu jika masyarakat bersepakat untuk menyakralkan yang profan, dengan sendirinya bisa terjadi.
Dalam pandangan agama-agama besar, terutama Abrahamic religion (Yahudi, Nasrani, Islam) kesakralan yang dilegitimasi dalam bentuk ritual bersumber dari kitab suci agama masing-masing. Walau pada akhirnya Durkheim mengakui bahwa pemisahan antara yang sakral dan yang profan adalah inti dari semua agama dan merupakan cara bagi masyarakat memelihara solidaritas sosial.
Dampak desakralisasi alam
Selain Durkheim, konsep sakral dan profan juga dibahas lebih mendalam di buku klasik, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion oleh fenomenolog agama, Mircea Eliade (1957). Buku ini banyak dirujuk Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Sacred Nature: Restoring Our Ancient Bond with the Natural World.
Menurut Eliade, pengalaman manusia terhadap dunia terbagi menjadi dua kategori utama: Yang sakral dan yang profan. Yang sakral merujuk pada sesuatu yang transendental, ilahi, dan memiliki makna spiritual. Sebaliknya, yang profan adalah dunia sehari-hari yang biasa, tak memiliki makna spiritual.
Dijelaskan, kehidupan keagamaan manusia berpusat pada upaya untuk terhubung dengan yang sakral lewat berbagai ritus, mitos, dan simbol. Ia membedakan antara waktu dan ruang sakral dengan waktu dan ruang profan. Waktu sakral adalah waktu mitos seperti waktu penciptaan yang bisa dihadirkan kembali lewat ritus keagamaan.
Ruang sakral adalah ruang yang dianggap suci dan berbeda dari ruang profan. Tempat-tempat suci seperti kuil atau altar dianggap sebagai ”pusat dunia” (axis mundi) yang menghubungkan Bumi dengan surga.
Karl Armsrong, penulis buku bestseller, History of God lebih menekankan perlunya mengubah pandangan dunia (worldviews) yang melihat alam semata-mata hanya sebagai obyek, tapi ia menganjurkan pendekatan yang lebih integratif, yang tak hanya memandang alam sebagai sesuatu yang fungsional, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik dan spiritual.
Ia juga menekankan pentingnya mengambil langkah-langkah praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk melestarikan dan merawat alam. Armstrong mendorong pembaca untuk tak hanya mengadopsi pandangan dunia yang lebih sakral terhadap alam, tapi juga menghubungkan kesadaran spiritual dengan tanggung jawab ekologis, mengajak pembaca berperan aktif menjaga keseimbangan alam.
Ia mengajak kita melihat masa masyarakat masa lampau mereka mempertahankan hidup melalui persahabatan dengan alam semesta, bukannya mengeksploitasi alam hingga melampaui daya dukungnya.
Pandangan sakral mereka yang lebih banyak menggunakan otak kanan membuat alam ini lestari. Sebaliknya, masyarakat modern lebih banyak menggunakan otak kiri sehingga terjadi desakralisasi alam, yang pada akhirnya merugikan umat manusia.
Hindari klaim tak produktif
Isu sensitif dan sesungguhnya tak produktif yang sering muncul terkait sosialisasi kearifan lokal ialah spiritualisasi hal-hal yang nonspiritual atau despiritualisasi hal-hal nonspiritual. Sebaiknya, kita tidak terlalu mudah membidahkan atau memusyrikkan praktik kearifan lokal jika hal itu bersifat hubungan horizontal-bilateral.
Sepanjang sebuah praktik masih di wilayah profan, maka itu tak bisa disebut bidah, syirik, atau akronim kesesatan lain. Persahabatan masyarakat Bugis-Makassar-Mandar dengan laut masih sebatas ”silaturahim” sebagai sesama makhluk Tuhan. Mereka secara ajaib bisa memperoleh jawaban positif apakah mereka bisa melaut atau menunda karena ada bahaya gelombang laut atau perubahan cuaca secara tiba-tiba.
Yang musyrik jika mereka meyakini laut memiliki kekuatan supernatural di samping keberadaan Allah SWT.
Demikian juga memelihara dan menghargai barang antik, praktik tolak bala (daf’ul bala’), sepanjang itu belum dimasukkan ke wilayah sakral, apalagi jika ada dasarnya dalam tradisi Nabi atau sahabat, tak bisa di- klaim sebagai perbuatan syirik.
Yang menjadi masalah jika sakralisasi sesuatu yang profan tanpa dasar lalu diperatasnamakan kearifan lokal, seperti tradisi melarung binatang hidup ke dalam laut, itu pun dalam pandangan Islam. Dalam pandangan tradisi lain mereka juga memiliki hak budayanya.
Sebaliknya, klaim sekuler, dereligioisasi, deislamisasi, pendangkalan akidah, dan akronim desakralisasi lainnya juga tidak tepat karena definisi sakral itu ternyata juga ditentukan oleh ruang, waktu, dan masyarakat, seperti kata Durkheim. Kita tak perlu mempertentangkan kearifan lokal dengan nilai-nilai agama. Sebaliknya kearifan lokal dan nilai-nilai agama saling mendukung dan memperkuat.