Panrita Institute

Panrita Institute Ensiklopedia Digital Islam yang Kredibel-Moderat-Nasionalis dari Sumber-sumber Otoritatif

16/10/2024

DAKWAH RASULULLAH SAW.: TAFSIR QS. AT-TAUBAH/9: 128

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

14/10/2024

PERBEDAAN ANTARA RA'FAT DENGAN RAHMAT

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

Nama Apa yang Diajarkan Kepada Nabi Adam as. ?-Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, Ph.D.(Rais Syuriah PCI NU Australia dan New Ze...
12/10/2024

Nama Apa yang Diajarkan Kepada Nabi Adam as. ?

-Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, Ph.D.
(Rais Syuriah PCI NU Australia dan New Zealand)

Dapatkan Buku-buku karya Nadirsyah Hosen di https://linktr.ee/panritaid

Punya pertanyaan soal keIslaman?
Temukan jawabannya di https://fatwa.id/

10/10/2024

*Kearifan Lokal, Titik Temu antara Sakral dan Profan*

Oleh NASARUDDIN UMAR, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Kompas, 11 Oktober 2024

Kearifan lokal sering diartikan sebagai pengetahuan, nilai, kebiasaan, tradisi, dan praktik yang berkembang di suatu masyarakat lokal yang diwarisi dari generasi ke generasi.

Kearifan lokal ini berkaitan dengan kesadaran kolektif masyarakat setempat tentang relasi dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya, serta bagaimana mereka beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sendiri dan lingkungan dari luar.

Kearifan lokal sesungguhnya lebih banyak berada dalam wilayah profan ketimbang wilayah sakral. Profan sebagaimana dijelaskan Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) merujuk pada hal-hal yang biasa, sehari-hari, dan tak memiliki makna religius atau spiritual yang khusus.

Obyek atau aktivitas yang profan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan tak dianggap memiliki kekudusan atau signifikansi khusus dalam konteks agama atau spiritualitas, seperti bekerja, makan, atau bersosialisasi di luar konteks keagamaan. Sebaliknya, sakral merujuk ke hal-hal yang dianggap suci, keramat, atau memiliki nilai spiritual tinggi dalam suatu kebudayaan atau agama.

Obyek atau peristiwa yang sakral dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dari keseharian, penuh dengan makna dan kekudusan, dan sering kali dihubungkan dengan ritual keagamaan. Hal yang sakral sering diperlakukan dengan rasa hormat dan kehati-hatian karena dianggap memiliki kekuatan tertentu yang lebih tinggi, seperti tempat ibadah, kitab suci, relik suci, atau upacara keagamaan.

Beberapa kearifan lokal masih sering diperhadap-hadapkan dengan doktrin keagamaan karena terjadinya unsur sakralisasi terhadap yang profan dan sebaliknya profanisasi unsur sakral atas nama kearifan lokal.

Kontroversi sering muncul terutama yang bersentuhan dengan tradisi magis yang sering dipraktikkan di dalam suatu masyarakat atas dasar kearifan lokal, yakni mengikuti tradisi luhur nenek moyang setempat.

Misalnya, festival panen raya, pindah rumah baru, upacara pembukaan lahan pertanian/perkebunan, upacara ”persahabatan” dengan laut, danau, dan obyek lain yang dianggap memberi keuntungan atau kerugian bagi manusia, dengan berbagai ragam upacara lokal setempat.

Termasuk yang dipersoalkan ialah menghadirkan kembali obyek wisata yang dinilai bersifat sakral seperti festival budaya yang berbau mistik. Tak heran jika akronim bidah, khurafat, sinkretisme, dan syirik sering kali diperhadapkan dengan sejumlah praktik kearifan lokal.

Kearifal lokal yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya dapat diterima secara universal seperti etika moral yang menjaga kohesi sosial. Misalnya, gotong royong, penghormatan kepada orangtua, cara-cara menyelesaikan konflik secara damai, cara bercocok tanam, sistem irigasi, penggunaan tanaman obat, dan teknik berburu atau memancing yang efektif, arsitektur rumah yang sesuai dengan iklim, pola tanam yang mengikuti musim, atau metode pengelolaan air yang berkelanjutan.

Termasuk bahasa, seni, musik, tari, dan cerita rakyat yang menjadi ciri khas komunitas tersebut yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain. Kearifan lokal seperti ini amat konstruktif untuk terbinanya keindahan sebuah masyarakat yang menganut filosofi Bhinneka Tunggal Ika.

Antara sakral dan profan
Di masyarakat Indonesia, perbedaan antara yang sakral dan profan terkadang sangat halus. Ada sekelompok masyarakat menganggap sebuah tradisi itu sakral, sementara yang lainnya menganggapnya profan. Ada juga sebaliknya, sesuatu yang sesungguhnya masuk wilayah profan, dianggap sakral.

Yang pertama tentu mereka berasumsi terjadi desakralisasi hal-hal yang bersikap sakral. Atas dasar itu, muncullah klaim sekuler, pendangkalan agama, dereligioisasi, atau deislamisasi, dan lain-lain. Yang kedua berasumsi sebaliknya, terjadi sakralisasi hal-hal yang tidak sakral. Atas dasar itu muncul p**a klaim bidah, khurafat, sinkretik, syirik, dan lain-lain.

Roy A Rappaport dalam bukunya, Ritual and Religion in the Making of Humanity (1999), mencoba mengembangkan analisis yang cukup mendalam, dengan mengemukakan tujuh peran ritual untuk membedakan antara yang sakral dan profan.

Pertama, ritual berperan sebagai mekanisme utama untuk memediasi antara yang sakral dan yang profan. Melalui ritual, manusia dapat mengakses dan mengalami yang sakral, yang tidak dapat dijangkau dalam kehidupan profan.

Kedua, sakral bukanlah sesuatu yang inheren pada obyek atau tindakan tertentu, tetapi lebih merupakan konstruksi sosial yang dibangun melalui ritual. Artinya, suatu obyek, tempat, atau tindakan jadi sakral karena diperlakukan sebagai sakral oleh komunitas melalui praktik-praktik ritual. Konsekuensinya, sakralitas adalah hasil kesepakatan sosial yang dihasilkan dan dipelihara melalui ritual.

Ketiga, salah satu fungsi utama ritual untuk menciptakan dan memelihara diferensiasi antara domain sakral dan domain profan serta memastikan yang sakral dipisahkan dari yang profan, memberikan makna khusus pada yang sakral.

Keempat, ritual tak hanya menciptakan sakralitas, tetapi juga mengesahkan dan memperkuatnya. Melalui pengulangan ritual, nilai-nilai sakral masyarakat ditegaskan kembali secara terus-menerus, memperkuat komitmen individu terhadap nilai-nilai itu dan menanamkannya lebih dalam ke dalam struktur sosial. Pada akhirnya, ritual berfungsi menjaga stabilitas sosial dengan terus mengingatkan anggota masyarakat tentang pentingnya mematuhi norma-norma sakral.

Kelima, ritual sebagai alat pengendalian sosial yang kuat, karena ritual membedakan antara sakral dan profan serta menetapkan aturan yang mengatur perilaku di dalam konteks sakral. Ritual membantu menjaga ketertiban di masyarakat.

Pelanggaran terhadap aturan sakral yang ditegakkan oleh ritual dapat mengakibatkan sanksi sosial atau religius yang serius, yang menegaskan kembali pentingnya mematuhi norma yang telah ditetapkan.

Keenam, ritual mengatur transisi antara sakral dan profan. Sakralitas bukanlah keada- an yang tetap, melainkan sesuatu yang bisa diraih atau hilang tergantung konteks sosial dan ritual.

Ketujuh, meskipun sakral dan profan sering dianggap sebagai dua domain yang terpisah bahkan bertentangan, keduanya saling bergantung satu sama lain. Sakral tak bisa dipahami tanpa adanya yang profan, karena yang sakral mendefinisikan dirinya dengan perbedaannya dari yang profan.

Ritual berfungsi untuk terus mengelola hubungan dinamis antara kedua domain ini, memastikan bahwa keduanya tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan sosial.

Hal yang belum tuntas dibahas Émile Durkheim ialah makna ritual itu sendiri dan pernyataannya bahwa sakralitas ditentukan oleh persepakatan masyarakat. Tentu jika masyarakat bersepakat untuk menyakralkan yang profan, dengan sendirinya bisa terjadi.

Dalam pandangan agama-agama besar, terutama Abrahamic religion (Yahudi, Nasrani, Islam) kesakralan yang dilegitimasi dalam bentuk ritual bersumber dari kitab suci agama masing-masing. Walau pada akhirnya Durkheim mengakui bahwa pemisahan antara yang sakral dan yang profan adalah inti dari semua agama dan merupakan cara bagi masyarakat memelihara solidaritas sosial.

Dampak desakralisasi alam
Selain Durkheim, konsep sakral dan profan juga dibahas lebih mendalam di buku klasik, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion oleh fenomenolog agama, Mircea Eliade (1957). Buku ini banyak dirujuk Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Sacred Nature: Restoring Our Ancient Bond with the Natural World.

Menurut Eliade, pengalaman manusia terhadap dunia terbagi menjadi dua kategori utama: Yang sakral dan yang profan. Yang sakral merujuk pada sesuatu yang transendental, ilahi, dan memiliki makna spiritual. Sebaliknya, yang profan adalah dunia sehari-hari yang biasa, tak memiliki makna spiritual.

Dijelaskan, kehidupan keagamaan manusia berpusat pada upaya untuk terhubung dengan yang sakral lewat berbagai ritus, mitos, dan simbol. Ia membedakan antara waktu dan ruang sakral dengan waktu dan ruang profan. Waktu sakral adalah waktu mitos seperti waktu penciptaan yang bisa dihadirkan kembali lewat ritus keagamaan.

Ruang sakral adalah ruang yang dianggap suci dan berbeda dari ruang profan. Tempat-tempat suci seperti kuil atau altar dianggap sebagai ”pusat dunia” (axis mundi) yang menghubungkan Bumi dengan surga.

Karl Armsrong, penulis buku bestseller, History of God lebih menekankan perlunya mengubah pandangan dunia (worldviews) yang melihat alam semata-mata hanya sebagai obyek, tapi ia menganjurkan pendekatan yang lebih integratif, yang tak hanya memandang alam sebagai sesuatu yang fungsional, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik dan spiritual.

Ia juga menekankan pentingnya mengambil langkah-langkah praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk melestarikan dan merawat alam. Armstrong mendorong pembaca untuk tak hanya mengadopsi pandangan dunia yang lebih sakral terhadap alam, tapi juga menghubungkan kesadaran spiritual dengan tanggung jawab ekologis, mengajak pembaca berperan aktif menjaga keseimbangan alam.

Ia mengajak kita melihat masa masyarakat masa lampau mereka mempertahankan hidup melalui persahabatan dengan alam semesta, bukannya mengeksploitasi alam hingga melampaui daya dukungnya.

Pandangan sakral mereka yang lebih banyak menggunakan otak kanan membuat alam ini lestari. Sebaliknya, masyarakat modern lebih banyak menggunakan otak kiri sehingga terjadi desakralisasi alam, yang pada akhirnya merugikan umat manusia.

Hindari klaim tak produktif

Isu sensitif dan sesungguhnya tak produktif yang sering muncul terkait sosialisasi kearifan lokal ialah spiritualisasi hal-hal yang nonspiritual atau despiritualisasi hal-hal nonspiritual. Sebaiknya, kita tidak terlalu mudah membidahkan atau memusyrikkan praktik kearifan lokal jika hal itu bersifat hubungan horizontal-bilateral.

Sepanjang sebuah praktik masih di wilayah profan, maka itu tak bisa disebut bidah, syirik, atau akronim kesesatan lain. Persahabatan masyarakat Bugis-Makassar-Mandar dengan laut masih sebatas ”silaturahim” sebagai sesama makhluk Tuhan. Mereka secara ajaib bisa memperoleh jawaban positif apakah mereka bisa melaut atau menunda karena ada bahaya gelombang laut atau perubahan cuaca secara tiba-tiba.

Yang musyrik jika mereka meyakini laut memiliki kekuatan supernatural di samping keberadaan Allah SWT.

Demikian juga memelihara dan menghargai barang antik, praktik tolak bala (daf’ul bala’), sepanjang itu belum dimasukkan ke wilayah sakral, apalagi jika ada dasarnya dalam tradisi Nabi atau sahabat, tak bisa di- klaim sebagai perbuatan syirik.

Yang menjadi masalah jika sakralisasi sesuatu yang profan tanpa dasar lalu diperatasnamakan kearifan lokal, seperti tradisi melarung binatang hidup ke dalam laut, itu pun dalam pandangan Islam. Dalam pandangan tradisi lain mereka juga memiliki hak budayanya.

Sebaliknya, klaim sekuler, dereligioisasi, deislamisasi, pendangkalan akidah, dan akronim desakralisasi lainnya juga tidak tepat karena definisi sakral itu ternyata juga ditentukan oleh ruang, waktu, dan masyarakat, seperti kata Durkheim. Kita tak perlu mempertentangkan kearifan lokal dengan nilai-nilai agama. Sebaliknya kearifan lokal dan nilai-nilai agama saling mendukung dan memperkuat.

07/10/2024

MAKNA DIUTUSNYA RASULULLAH SAW.

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

07/10/2024

*Belajar Filsafat lewat Musik*

Oleh SATRIO WAHONO, Magister Filsafat Universitas Indonesia

Kompas, 5 Oktober 2024

Selama ini, filsafat yang secara akademis memiliki definisi ”pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh lapangan kenyataan” (Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, 2008) menyandang stigma sebagai disiplin ilmu yang rumit, mengawang-awang, dan tak punya kegunaan praktis nyata.

Alhasil, banyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah Filsafat kesulitan mencerna berbagai konsep dalam ilmu filsafat. Terjadilah kemudian berbagai ilustrasi anekdotal di ruang kelas: mahasiswa tertidur kala kuliah, peserta ujian yang hanya menatap kertas kosong selama durasi penuh waktu pengerjaan soal, hingga mereka yang tiba-tiba merasa sakit kepala ketika berada di kelas filsafat.

Ini sungguh disayangkan mengingat filsafat adalah disiplin penting yang punya kegunaan praktis dalam kehidupan. Salah satunya, filsafat mengajak manusia untuk berpikir kritis terhadap segala sesuatu. Oleh karena itu, seseorang yang giat berfilsafat tidak akan gampang terpengaruh dan terombang-ambingkan oleh doktrin, propaganda, atau ide-ide dari pihak mana pun.

Dengan demikian, seorang yang berfilsafat akan biasa berpikir mandiri, kreatif, dan memiliki rasa percaya diri tinggi. Hal ini tentu positif bagi perkembangan mentalitas bangsa kita secara keseluruhan. Bahkan, kebiasaan berpikir kritis semacam ini sekarang sudah dimasukkan sebagai salah satu Profil Pelajar Pancasila, yang berarti para murid dan mahasiswa di Indonesia sebenarnya wajib memiliki kebiasaan tersebut.

Selain itu, mengingat filsafat selalu ingin menelaah satu permasalahan dari berbagai sudut pandang secara komprehensif, aktivitas berfilsafat akan membuat orang lebih mudah berempati dan mengembangkan semangat toleransi, yang tentu berguna dalam hubungan antarmanusia dan dalam ikhtiar membangun satu kehidupan berbangsa yang lebih baik.

Bedah lirik lagu
Karena itu, tidaklah produktif bagi peradaban kita jika kita membiarkan kegiatan belajar filsafat dijauhi orang karena stigma rumitnya. Padahal, ada sejumlah cara untuk menjadikan filsafat kegiatan belajar yang menyenangkan.

Salah satunya, pengajar bisa menyampaikan konsep-konsep filosofis lewat sesi bedah lirik lagu-lagu populer, baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara. Apalagi ini sudah dikuatkan oleh Don G Campbell ketika mengatakan bahwa ada kaitan antara musik dengan kecerdasan anak (Mozart Effect, 2001).

Sebagai contoh, lagu-lagu the Beatles penuh dengan taburan teori filsafat. Lagu ”Across the Universe” dari band legendaris the Beatles adalah pintu masuk bagi siapa pun yang ingin mengenal filsafat Hindu yang lebih mengutamakan sensasi batin (Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, 1988). Atau, lagu nasional (anthem) aktivis perdamaian, ”Imagine”, gubahan John Lennon adalah alat jitu untuk mendiskusikan konsep humanisme universal (Rolling Stone Special Edition 500 Greatest Songs in the World, 2009).

Kemudian, lagu-lagu Bob Dylan yang sarat akan kritik sosial mampu memberi kita gambaran tentang filsafat dan semangat revolusi yang mewarnai suasana mental masyarakat Amerika tahun 1960-an sampai 1970-an, termasuk kemunculan generasi hippies dan ”generasi bunga” (flower generation) yang cinta damai itu. Tengok saja lirik lagu sarat kritik sosial Dylan terhadap masyarakat borjuis kosmopolitan, ”Like a Rolling Stone” atau refleksinya tentang perubahan semangat zaman dalam ”Times They Are A-Changin”

Dari dalam negeri, lirik-lirik puitis WS Rendra untuk Kantata Takwa adalah khazanah klasik dalam mempelajari bagaimana respons manusia dalam menyikapi tegangan antara tradisi dan modernitas. Belum lagi karya-karya sang legenda hidup lokal kita Iwan Fals—dijuluki sebagai ”Bob Dylan Indonesia”—seperti ”Bento” dan ”Bongkar” bersama grup Swami yang sarat nuansa satir melawan kepengapan iklim politik pasti menjadi pemicu ampuh bagi diskursus menarik soal demokrasi dan otokrasi.

Selain itu, kolaborasi Taufiq Ismail dan Bimbo dalam lagu-lagu religius mereka adalah pemicu asyik untuk merenungkan makna agama dan Tuhan bagi manusia. Bahkan, yang termasuk paling fenomenal, lagu-lagu dangdut dari sang ”Raja Dangdut” Rhoma Irama telah anyak mengundang kajian sosial-filosofis dari berbagai bidang.

Salah satunya, kajian M Shofan di jurnal pemikiran agama Ulumul Quran (”Rhoma Irama: Sang Revolusioner Musik Dangdut”, Jurnal Ulumul Quran 01/XXI/2012). Kajian ini menunjukkan bahwa musik dan karya Rhoma Irama mampu secara pas menunjukkan tegangan antara agama dan modernitas serta antara modernitas Barat dan tradisi Melayu Islam.

Dengan demikian, belajar filsafat lewat musik akan terasa menarik, asyik, menggelitik, dan punya dimensi praktik sehingga belajar filsafat yang sangat berguna itu bisa menjadi sangat menggairahkan. Semoga memang demikian!

06/10/2024

Rasulullah saw. Dan Umatnya: Tafsir QS. At-Taubah/9: 128

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

04/10/2024

*Harapan dan Aspirasi Orang Muda Penghayat Kepercayaan*

Oleh M NAUFAL WALIYUDDIN, Peneliti Generasi Muda dan Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kompas, 4 Oktober 2024

Hari Perdamaian Internasional yang diperingati setiap 21 September perlu menjadi momentum refleksi bersama. Setiap bangsa butuh merenung, mengevaluasi, sekaligus melakukan kritik-diri demi hari esok yang lebih baik.

Sri Paus Fransiskus pun menyumbang refleksinya kepada Indonesia: bahwa ketegangan dan konflik sering kali muncul karena mereka yang berkuasa terlalu bernafsu untuk menyeragamkan yang beragam. Inilah mengapa penting menjaga keragaman dan menghargai satu sama lain, termasuk kepada kaum penghayat kepercayaan.

Sayangnya, kaum penghayat di Tanah Air masih harus menempuh perjuangan panjang. Inklusi sosial secara penuh masih jauh. Orang muda penghayat pun masih mengalami beraneka bentuk intoleransi dan diskriminasi.

Jesika, misalnya, selaku penghayat Kebatinan Perjalanan mendapat diskriminasi dari guru agamanya di sekolah. Ia kerap dilabeli ”sesat” dan disuruh lekas ”tobat” (Menjadi Manusia, 2021).

Hal sama juga dialami Sinta, pelajar SMKI di Yogyakarta. Sinta menceritakan, seorang guru pernah bertanya kepadanya, ”Agamamu apa? Siapa nabimu? Apa kitabmu?” Ada isak tangis terdengar dari kalimatnya. Karena ia tidak bisa menjawab gurunya saat itu, ia hanya bisa menangis (dokumenter Yayasan LKiS, 2020).

Apa yang dialami Jesika ataupun Sinta hanyalah dua dari sekian daftar panjang pengalaman diskriminatif yang dialami para penghayat. Beberapa siswa penghayat juga pernah dipaksa memakai hijab, mengalami kekerasan verbal, tuduhan sesat, disuruh login, hingga kasus spesifik seorang penghayat yang ingin mengabdi jadi tentara harus pilih agama lain dulu ketika mendaftar (Setara Institute, 2022). Utas kisah mereka menjadi tamsil gamblang betapa menjadi seorang penghayat di negeri ini tidaklah mudah.

Diakui tetapi tidak dianggap
Izinkan saya berbagi pengalaman. Di sepanjang meneliti orang muda lintas-iman, saya bertemu dua orang muda penghayat. Mereka adalah Nini, perempuan 24 tahun dan Nunu, laki-laki 28 tahun—keduanya dalam nama samaran.

Nini merupakan penghayat Hangudi Bawana Tata Lahir Batin di Yogyakarta. Dia aktif mengampanyekan toleransi, baik lewat paguyubannya maupun di komunitasnya Srikandi Lintas Iman.

Nunu merupakan penghayat Tri Soka sekaligus aktif di organisasi Generasi Muda Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa di Yogyakarta (Gema Pakti DIY). Organisasi tersebut merupakan sayap pemuda dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI).

Ketika menjelaskan posisinya di tengah masyarakat, Nunu berkata: ”Ya, diakui, tapi tidak dianggap,” ujarnya sembari tersenyum getir. Nunu mengilustrasikan perilaku masyarakat yang ia persepsikan, ”Aku ngerti kalo kamu penghayat, tapi ya sudah, aku juga enggak bakal ngapa-ngapain kamu, tapi kamu juga sana, terserah, kasarannya gitulah.”

Nunu berharap toleransi di Indonesia tidak berjalan secara permukaan. Ia ingin setiap orang diberi ruang ekspresi diri dan berhak menjadi dirinya sendiri, termasuk menjalani ritual sebagai penghayat.

Sementara Nini belum pernah mengenyam diskriminasi secara langsung. Akan tetapi, kedua teman sebaya Nini, sesama penghayat, tetapi dari kepercayaan berbeda, pernah mengalaminya.

Ia mengaku tidak mendapat diskriminasi karena termasuk kelompok ”penghayat yang beragama”. Sebagai informasi, kaum penghayat terbagi menjadi dua kelompok: penghayat murni dan penghayat beragama (Affaf Mujahidah, 2021).

Nini termasuk penghayat beragama dan masih memeluk Islam. Baginya, Hangudi Bawana Tata Lahir Batin adalah ”jalan spiritual” yang mendekatkan dirinya dengan Sang Pencipta dan menjadikannya bertambah baik sebagai manusia.

Tahun lalu, ia lulus program ”Sekolah Agama Leluhur”. Program itu membekali para calon pendidik untuk mengenalkan secara lebih akurat bagaimana agama dan kepercayaan leluhur serta hak-hak apa saja yang bisa mereka perjuangkan. Nini mengaku merasa ”terpanggil” secara batin untuk mendalami isu ini. Ia ingin memperjuangkan hak-hak dan keadilan yang penuh bagi para penghayat.

Dorongan itu muncul karena posisi para penghayat belum sepenuhnya bebas dan terinklusi secara sosial. Keberadaan mereka telah ada sejak lama, jauh sebelum Indonesia lahir, tetapi pusparagam kesulitan bermunculan mulai dari tuduhan animis, masalah akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perkawinan, hingga kebebasan mengekspresikan praktik dan tradisi mereka di ruang publik (Buku Ajar “Sekolah Agama Leluhur”, 2023).

Peran negara
Sebagaimana amanat UUD 1945 (Pasal 28E dan Pasal 29), negara dan pemerintah wajib turun tangan menjamin rasa aman kepada para penghayat. Terutama sejak 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang juga menjamin hak setiap orang untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Pengabaian dan pembiaran terhadap segala bentuk diskriminasi, persekusi, dan sikap intoleran terhadap kaum penghayat adalah sebentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri.

Lebih konkretnya, pemerintah juga perlu memperbanyak program fasilitasi dan pendidikan penyuluhan khusus tentang pendidikan penghayat. Para kader alumninya dapat menjadi fasilitator yang disebar ke banyak lokasi. Ini penting agar kesalahpahaman dan diskriminasi terhadap orang muda penghayat tidak terulang kembali dan berdampak menggores luka-luka baru.

Kemudian sebagai warga, kita perlu berlatih disiplin, mendidik diri demi perdamaian sehari-hari, dengan tidak mendiskriminasi kelompok yang berbeda.

Roger Mac Ginty (2021) menawarkan tiga-serangkai everyday peace, yaitu kesosialan, resiprositas (kesalingan), dan solidaritas. Kita perlu saling kenal dahulu, untuk kemudian saling membantu dan menghargai.

Jika sudah genap dua anasir itu, akan tumbuh rasa senasib-sepenanggungan sebagai manusia. P**i mereka yang ditampar, mata kita yang menangis, Di situlah keadilan menjadi nyata. Dan di lahan keadilanlah perdamaian bisa tumbuh dan mekar.

04/10/2024

Perbedaan Makna Kata "Jaa'a" & "Ataa"

Oleh: AG. Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, M.A.
(Penulis Tafsir Al-Mishbah)

Dapatkan Buku-buku M. Quraish Shihab di https://linktr.ee/quraish.shihab_ensiklopedia

Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih
https://s.shopee.co.id/9UieUTbtgX

Terjemahan Al-Qur'an M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/7fGvoriDnO

[TERBARU] Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an
https://s.shopee.co.id/5fVrRU8xjy

Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab
https://s.shopee.co.id/1fzifyb1rq

Tafsir Al-Mishbah 30 Juz
https://s.shopee.co.id/701F26LE8y

Sumber video: YouTube Pusat Studi Al-Quran (PSQ) "Meraih Kenikmatan Hidup Bersama Al-Quran"
https://www.youtube.com/live/S5M3gbM5pQ8?si=LdkKFiqIHAGsD4nz

04/10/2024

*Filsafat Islam dan Kebutuhan Zaman*

Oleh Kholid Al-Walid, Ketua Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam

Kompas, 4 Oktober 2024

Filsafat Islam adalah ekspresi rasional dari keyakinan filsuf. Tradisi filsafat ini relevan dengan perkembangan zaman dan situasi keindonesiaan.

Filsafat kerap dituduh sebagai unsur asing yang merusak dalam agama Islam. Sejumlah tokoh besar, seperti Ghazali dan Ibn Taimiyah, pernah menulis karya besar yang menyerang filsafat.

Namun, dalam perjalanan sejarah, tidak sedikit p**a tokoh besar lain, seperti Ibn Rushd, yang membantah dan menunjukkan keselarasan antara tradisi filsafat dan ajaran agama Islam. Esensi kisah lama ini terus menemukan bentuk barunya dari masa ke masa.

Kita selalu bisa menemukan tokoh-tokoh Islam dan pengikutnya yang begitu antipati terhadap filsafat. Di sisi lain, kita juga tak jarang menemukan tokoh-tokoh Islam yang membela filsafat dan melihatnya sebagai ekspresi keislaman dalam konteks budaya tertentu.

Hal terakhir ini penting. Sebagai ekspresi keislaman, Ibn Rushd menilai, tradisi berfilsafat sebagai hikmah yang menjadi salah satu tujuan utama risalah para nabi, termasuk Al Quran.

Hikmah dalam bahasa Arab memiliki akar makna sesuatu yang terang dan batasan yang jelas. Dengan hikmah sesuatu bisa dibedakan dari sesuatu yang lain: keadilan tak bercampur dengan kezaliman, dan takaran ditetapkan secara tepat, tak lebih, tak kurang.

Di sisi lain, situasi budaya tertentu menjadikan ekspresi filsafat Islam terbentuk secara beragam. Dua hal ini menjawab keraguan sebagian kalangan tentang nilai Ilahi dalam filsafat Islam sekaligus mengafirmasi adanya aspek profan, historis, dan kreativitas manusia dalam di dalamnya.

Hikmah hanyalah satu bentuk nilai Ilahi yang diekspresikan dalam filsafat. Nilai lainnya sangat banyak, mulai dari ketuhanan, kenabian, hari akhir, ketundukan pada syariat, bersikap rasional, ihsan pada semesta alam, tata diri, keluarga, hingga masyarakat.

Hal ini sangat jelas terlihat dalam karya-karya para filsuf Islam. Sejatinya, seperti disampaikan Hasan Zadeh Amuli, seorang filsuf Islam kontemporer dari Iran, ”Al Quran, rasionalitas, dan tasawuf tak dapat dipisahkan”.

Dahulu para filsuf Islam tak ragu untuk belajar dari Sokrates, Platon (Plato), Aristoteles, Galen, Plotinus, dan lainnya. Para filsuf Muslim terbuka belajar dari pihak mana pun dan secara kreatif menyeleksi dan mengembangkannya dalam konteks masing-masing.

Ini hal yang sangat biasa, seperti sekarang kita belajar sains dan teknologi dari mana pun secara kreatif. Hal itu tidak membuat mereka kehilangan komitmen terhadap Islam.

Saat ini pun para filsuf Islam sangat akrab dengan pemikiran Descartes, Kant, Heidegger, Foucault, Derrida, Habermas, Searle, dan lainnya.

Jika kita melihat filsafat Islam sebagai tradisi untuk mengekspresikan nilai-nilai keislaman dan dibentuk mengikuti situasi budaya filsafat tertentu, kita tak perlu terjebak oleh oposisi semu yang dielu-elukan sebagian kalangan, antara agama Islam ilahiah dan filsafat profan buatan manusia.

Filsafat Islam adalah ekspresi rasional dari keyakinan filsuf, yang tak lepas dari pesan Al Quran, hadis, dan ilham-ilham yang tersingkap oleh hati yang jernih.

Relevansi kekinian
Apakah tradisi filsafat Islam relevan dengan perkembangan zaman dan situasi keindonesiaan? Sejumlah argumen yang bisa diajukan untuk mendukung jawaban ”ya” atas pertanyaan ini.

Pertama, salah satu agenda utama pemerintah terkait kehidupan umat beragama di Indonesia adalah moderasi beragama. Inti moderasi beragama adalah sikap toleran terhadap keragaman, menghormati budaya lokal, antikekerasan, dan komitmen kebangsaan.

Untuk mewujudkan sikap moderat seperti ini, secara optimal butuh kedewasaan yang luar biasa dalam beragama. Orang perlu terbiasa berpikir rasional, kritis, juga menyimak pandangan dan dasar pikiran pihak lain dengan saksama untuk bisa memahami mengapa kita perlu bersikap moderat.

Orang yang wawasannya terkekang oleh pembacaan tekstual terhadap Al Quran dan hadis, tanpa menempa pikiran, akan sulit bersikap seperti itu.

Filsafat adalah alat ilmu dan tradisi yang pas untuk mendewasakan pikiran orang hingga menjadi Muslim moderat.

Kedua, Indonesia memiliki filosofi berbangsa dan bernegara yang luar biasa, Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, kerakyatan, hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan, perwakilan, dan keadilan sosial adalah nilai-nilai dasar yang lebih dari cukup untuk menjadi ideologi yang memandu bangsa ini.

Masalahnya, sejauh mana bangsa kita menghayati nilai-nilai ini? Sepertinya belum begitu jauh.

Gerakan militan yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ”ideologi Islam”, misalnya, berakar pada dangkalnya penghayatan terhadap Pancasila dan absennya budaya berpikir rasional dalam beragama Islam di sisi yang lain.

Orang-orang seperti ini jauh dari wawasan bagaimana akal sehat memaknai nilai-nilai seperti ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan keadaban. Mereka juga tidak sampai melihat bagaimana Tuhan melalui para nabi-Nya mengajarkan manusia nilai-nilai serupa.

Filsafat Islam bisa menjadi alat untuk menjawab kebutuhan dua aspek ini sekaligus. Ia mengakrabkan orang dengan produk-produk akal sehat tentang nilai-nilai kebangsaan di satu sisi. Bersamaan dengan itu juga menyuguhkan kedalaman rasional dalam membaca pesan-pesan agama Islam.

Ketiga, zaman semakin cepat berubah karena perkembangan teknologi. Sepuluh tahun terakhir kita sering mendengar kata disrupsi, yang intinya segala sesuatu yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan sosial yang cepat akan musnah.

Apakah kita mau bangsa kita menjadi salah satu yang musnah itu? Tentu tidak!

Namun, tidak ada jaminan anak-cucu kita ke depan tidak akan memutuskan berhenti menjadi bangsa Indonesia jika bangsa ini tidak bisa bertahan dalam gelombang perubahan yang dahsyat. Untuk itu, kita perlu visi yang jelas dan kokoh tentang bangsa ini dan masa depannya.

Pemerintah sudah memiliki visi Indonesia Emas 2045. Ini visi yang bagus. Semua elemen bangsa kita yang waras pasti mau Indonesia maju secepatnya. Masalahnya, seperti nilai-nilai Pancasila, sejauh mana kita menghayati visi kemajuan seperti ini?

Lagi-lagi, filsafat, termasuk filsafat Islam, memiliki khazanah kaya untuk menopang visi kemajuan Indonesia hingga bisa dihayati dengan kadar tepat.

Keempat, salah satu produk perubahan zaman saat ini adalah munculnya karakter tertentu yang biasanya tampak melekat pada generasi Z. Generasi ini dimanjakan kemudahan teknologi informasi sejak kecil. Oleh karena itu, terbentuk karakter pencari informasi instan dalam diri mereka.

Kemudahan dalam mendapatkan informasi pada dasarnya bagus. Masalahnya, informasi sejatinya bukan sekadar rangkaian kata-kata yang muncul sebagai jawaban dari promt yang kita masukkan ke chat-bot, misalkan. Kata-kata ibarat cangkang dari pengetahuan yang menjadi isinya.

Kata-kata tanpa pengetahuan hanya cangkang kosong. Kata yang sama bisa memunculkan pengetahuan beragam pada individu yang membaca atau mendengarnya.

Menjawab generasi muda
Generasi muda kita perlu belajar untuk menempa pengetahuan dalam diri mereka. Pengetahuan bukan sekadar mengulang-ulang kata. Taksonomi Bloom yang kondang di kalangan ahli pendidikan saja membagi pengetahuan ke dalam enam tingkatan.

Para filsuf Islam juga memiliki pandangan krusial tentang pengetahuan manusia. Indra, khayal, estimasi, akal, dan tingkat-tingkat di atas akal merupakan bentangan pengetahuan dan eksistensi manusia.

Para filsuf Islam melihat manusia sebagai makhluk luar biasa. Kehidupan teknis dan indrawi hanya secuil dari dimensi diri dan pengetahuan manusia. Generasi muda kita perlu menyadari hal seperti ini.

Salah satu jalannya, filsafat Islam perlu diajarkan kepada mereka sedini mungkin, baik dalam kurikulum sekolah maupun ekstrakurikulum.

Intinya, urgensi filsafat bisa kita lihat sebagai kelanjutan dari tradisi Islam itu sendiri. Tradisi untuk mengekspresikan nilai-nilai keislaman secara rasional dan dalam ragam konteks budaya berfilsafat, termasuk budaya Indonesia.

Tradisi seperti ini penting untuk dikembangkan demi kedewasaan umat, khususnya Muslim, dalam beragama.

Dengan itu, generasi muda kita juga tak kehilangan jati diri sebagai manusia, juga mampu menakar segala sesuatu sesuai dengan kadar dan batasannya secara tepat. Itulah bangsa yang maju, dewasa, dan bijaksana.

Address

Makassar

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Panrita Institute posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Panrita Institute:

Videos

Share

Category