02/05/2024
Rahma bersepeda menyusuri jalan sempit menuju tempat tinggalnya. Tanah yang masih berkerikil dan banyak debu membuatnya beberapa kali terbatuk. Pemukiman padat dan tidak terawat yang harus ia lalui untuk sampai di Perumahan Kayu Putih. Banyak rumah mangkrak dan kosong disitu, membuatnya sedikit ngeri membayangkan hal-hal yang mistis.
"Seharusnya tadi aku bareng Mas Edi, huh jadikan nggak kayak gini pulangnya, capek banget rasanya," batin Rahma.
Di sebuah gang kumuh yang akan Rahma lewati, dia melihat seseorang yang tidak asing, dengan pakaian lusuh dan seperti tidak terawat sedang duduk di tanah tanpa alas sambil merokok, disampingnya banyak botol minuman keras berhamburan.
"Itu kan Mas Herman," batin Rahma. Herman memang terlihat lebih tua dari Rahma, itu yang membuatnya memanggil dengan sebutan Mas.
Rahma mengayuh sepedanya pelan, ia takut Herman melihatnya. Itu adalah jalan satu-satunya untuk pulang, tidak ada jalan lain, walaupun diselimuti rasa takut, terpaksa dia harus melewati jalan itu. Ia tidak ingin kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Dengan jaket hitam dan celana sobek-sobek Herman berjalan sempoyongan. Tidak sesuai rencana, Herman tetap melihat Rahma yang sudah sangat berhati-hati agar tidak ketahuan.
"Heh!" Herman berteriak melihat kedatangan Rahma.
Rahma memejamkan matanya, dia sangat ketakutan melihat Herman menghampirinya perlahan dengan sempoyongan dan membawa sebotol minuman keras.
"Mau kemana heh?" Herman memutari tubuh Rahma perlahan, kemudian mengguncang-ngguncang sepedanya.
"Maaf Mas, saya cuma mau pulang, maaf sekali kalau tadi saya nabrak Mas Herman, jujur saya tidak sengaja Mas."
"Hahaha wanita itu semua sama, baik di mulut saja, Cuihh." Herman meludahi baju Rahma.
"Mas saya mohon jangan sakiti saya, saya benar-benar menyesal," Rahma menangis, dia melirik ke sekitar tapi sama sekali tidak ada orang. Dia bingung mau meminta tolong kepada siapa. Herman menahan sepeda Rahma, tubuh Rahma terasa tidak bisa digerakkan saking gemetarnya.
"AYO IKUT A AKU!" Herman menarik baju Rahma sekuat mungkin, membuat sepedanya terjatuh begitu saja. Bicaranya tidak jelas, efek dari minuman keras yang diminum.
"Saya mohon Mas jangan sakiti saya." Pinta Rahma tiada henti.
"Tolong..tolongg!" Teriak Rahma lagi sekuat yang ia bisa.
Herman langsung membungkam mulut Rahma dengan kain kotor di sekitar gang dan menyeretnya masuk ke ujung gang. Rahma bisa merasakan bau alkohol dari mulut Herman. Ia sama sekali tidak bisa melawan, tarikan Herman sangat kasar, mau sekuat apapun dia menolak, tenaganya tetap kalah jauh dengan Herman.
"Mmm..mmm..mmm" Rahma tetap berusaha berteriak walaupun mulutnya dibungkam. Ia terus menangis, takut Herman menyakitinya, bahkan membunuhnya.
Herman berusaha terus menyeret Rahma ke dalam gubuk kecil di ujung gang, tempat ia selama ini tinggal.
sesampai di dalam gubuk, Rahma melihat berbagai obat-obatan berserakan, bahkan banyak pecahan kaca dimana-mana. Jantungnya berdebar hebat.
"Nggak ada yang bakal denger kamu disini! Nurut apa perintahku, atau mau ini?!" Herman mengancam dengan pecahan kaca ke leher Rahma. Rahma hanya bisa mengangguk dan terus menangis.
Rahma kemudian menggelengkan kepalanya saat tubuh Herman perlahan semakin mendekatinya, ia baru kali ini seketakutan ini di hidupnya.
Herman mengendus bau setiap bagian tubuh Rahma, mengendus-endus sedekat mungkin, membuat Rahma sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Tangannya diikat ke belakang, mulutnya disubal dengan kain kotor yang membuatnya ingin muntah tapi tidak bisa. Keringat Rahma semakin bercucuran.
Herman melepas ikat rambut yang Rahma kenakan, menciumi aroma wangi rambut Rahma. Seketika bagaikan tak sadarkan diri, Herman langsung merobek baju yang Rahma kenakan. Kejadian tidak diinginkan pun terjadi. Rahma hanya bisa menahan jeritan sebisa mungkin.
Sebelum keperawanan Rahma diambil, Herman langsung tergeletak tak sadarkan diri begitu saja. Nafas Rahma masih terengah, ia bersusah payah membuka tali di tangannya sekuat tenaga. Dia menggosokkan tali itu pada kayu yang runcing, dengan sisa tenaga yang ia punya, Rahma terus berusaha. Akhirnya talipun terlepas. Ia langsung membuka sumpalan kain di mulutnya, membenarkan bajunya yang sobek dengan ditutupi tas ransel kuningnya. Rahma langsung berlari secepat mungkin sebelum Herman sadar. Dia masih terus menangis membayangkan apa yang sudah terjadi di hidupnya ini.
Di sepanjang jalan yang sudah mulai gelap Rahma masih meneteskan air mata, nafasnya masih terasa berat, dan detak jantungnya masih terasa cepat. Karena sudah gelap tidak ada orang yang memperhatikannya. Sampai rumah dia langsung masuk kamar. Rahma sudah terbiasa di rumah sendiri, Ayah dan Ibunya terlalu sibuk bekerja, membuatnya kurang kasih sayang orangtua.
Rahma meraih bantal, menangis sekeras ia bisa dalam tutupan bantal itu. Dia langsung bergegas ke kamar mandi, meraih shower dan bersimpuh di lantai kamar mandi saking lemasnya, dia merasa sangat kotor dengan dirinya sendiri. Rahma membiarkan air mengalir begitu saja ke selurub tubuhnya. Tak hentinya dia menangis mengingat apa yang dilakukan Herman tadi.
***
Pagi yang cerah di sekolah, kali ini Rahma diantar Ayahnya berangkat ke sekolah. Ia beralasan sedang tidak enak badan, jadi tidak kuat berangkat sekolah sendiri.
Sesampai di depan kelas, terlihat Rudi sudah menunggu di depan pintu. Rahma sebisa mungkin menampilkan senyumnya, tapi tetap saja terlihat ada yang berbeda di mata Rudi.
"Assalamu'alaikum, Putri cantikku!" Sapa Rudi dengan senyum manisnya.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Rahma singkat dan senyum tipis.
"Kamu sakit kah Cintaku?" Rudi menyetop langkah Rahma yang akan memasuki kelas. Memegang dahi Rahma yang memang terasa hangat.
"Enggak kok," jawab Rahma berusaha menutupi pikirannya yang masih tidak karuan.
"Kamu pucat lho Nis, kelihatan banget sedang tidak baik-baik saja." Tangan Rudi berusaha merangkul pundak Rahma untuk membantunya berjalan.
"EH JANGAN!" Reflek Rahma ketakutan dan mendorong Rudi, dia masih membayangkan kejadian kemarin disentuh Herman. Rudi seketika langsung menjauh, kaget dengan sikap Rahma yang berbeda.
"Eh maaf Rud, aku lagi pengen sendiri dulu." Rahma berjalan perlahan menuju bangkunya. Sesampai di bangku ia langsung duduk dan menidurkan kepalanya di meja.
Rudi khawatir dengan sikap Rahma yang tidak seperti biasanya, hanya bisa mengamati dari kejauhan, takut apa yang ia lakukan salah lagi.
Dari mulai pembelajaran sampai selesai, Rahma terlihat tidak fokus, terbukti dengan pertanyaan yang ia dapat selalu salah. Padahal biasanya dengan mudah dia bisa menjawab.
Rudi berusaha mendekati Rahma kembali, memberi minuman untuk kekasihnya itu. Terlihat Rahma langsung menerima, dengan beberapa tegukan kasar bagaikan minum setelah lari marathon ia meminumnya, tentu saja hal itu membuat Rudi semakin curiga dan keheranan.
"Nanti pulang bareng aku ya!" Rudi kembali menawarkan jasa memboncengkan Rahma.
"Nggak Rud, nanti aku dijemput Bapak kok."
"Iya, nanti aku temenin sambil nungguin Bapak kamu dateng jemput." Rudi terus membujuk.
"Iya. Makasih ya Rudi."
"Kalau ada apa-apa cerita ya, jangan dipendam sendiri. Aku siap kok dengerin cerita kamu, kalau perlu bantuan bilang aja, sebisa mungkin aku bantu Nis," Rudi mengelus rambut Rahma.
Rahma langsung tersentak mendorong Rudi lagi. Nafasnya terengah. Rudi juga tersentak kaget melihat tingkah aneh pacarnya itu.
"Jangan sentuh aku!" Rahma langsung berlari keluar kelas.
Rudi dan teman-teman yang berada di kelas pun dibuat bingung dengan perubahan sikap Rahma.
Bersambung...
Ayo bergabung dan subscribe buku RISSA agar selalu mendapatkan informasi update chapter terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Karunia Hakim di aplikasi KBM.