Karunia Hakim

Karunia Hakim MaasyaaAlloh Tabarokalloh

Rahma bersepeda menyusuri jalan sempit menuju tempat tinggalnya. Tanah yang masih berkerikil dan banyak debu membuatnya ...
02/05/2024

Rahma bersepeda menyusuri jalan sempit menuju tempat tinggalnya. Tanah yang masih berkerikil dan banyak debu membuatnya beberapa kali terbatuk. Pemukiman padat dan tidak terawat yang harus ia lalui untuk sampai di Perumahan Kayu Putih. Banyak rumah mangkrak dan kosong disitu, membuatnya sedikit ngeri membayangkan hal-hal yang mistis.

"Seharusnya tadi aku bareng Mas Edi, huh jadikan nggak kayak gini pulangnya, capek banget rasanya," batin Rahma.

Di sebuah gang kumuh yang akan Rahma lewati, dia melihat seseorang yang tidak asing, dengan pakaian lusuh dan seperti tidak terawat sedang duduk di tanah tanpa alas sambil merokok, disampingnya banyak botol minuman keras berhamburan.

"Itu kan Mas Herman," batin Rahma. Herman memang terlihat lebih tua dari Rahma, itu yang membuatnya memanggil dengan sebutan Mas.

Rahma mengayuh sepedanya pelan, ia takut Herman melihatnya. Itu adalah jalan satu-satunya untuk pulang, tidak ada jalan lain, walaupun diselimuti rasa takut, terpaksa dia harus melewati jalan itu. Ia tidak ingin kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Dengan jaket hitam dan celana sobek-sobek Herman berjalan sempoyongan. Tidak sesuai rencana, Herman tetap melihat Rahma yang sudah sangat berhati-hati agar tidak ketahuan.

"Heh!" Herman berteriak melihat kedatangan Rahma.
Rahma memejamkan matanya, dia sangat ketakutan melihat Herman menghampirinya perlahan dengan sempoyongan dan membawa sebotol minuman keras.

"Mau kemana heh?" Herman memutari tubuh Rahma perlahan, kemudian mengguncang-ngguncang sepedanya.

"Maaf Mas, saya cuma mau pulang, maaf sekali kalau tadi saya nabrak Mas Herman, jujur saya tidak sengaja Mas."

"Hahaha wanita itu semua sama, baik di mulut saja, Cuihh." Herman meludahi baju Rahma.

"Mas saya mohon jangan sakiti saya, saya benar-benar menyesal," Rahma menangis, dia melirik ke sekitar tapi sama sekali tidak ada orang. Dia bingung mau meminta tolong kepada siapa. Herman menahan sepeda Rahma, tubuh Rahma terasa tidak bisa digerakkan saking gemetarnya.

"AYO IKUT A AKU!" Herman menarik baju Rahma sekuat mungkin, membuat sepedanya terjatuh begitu saja. Bicaranya tidak jelas, efek dari minuman keras yang diminum.

"Saya mohon Mas jangan sakiti saya." Pinta Rahma tiada henti.

"Tolong..tolongg!" Teriak Rahma lagi sekuat yang ia bisa.

Herman langsung membungkam mulut Rahma dengan kain kotor di sekitar gang dan menyeretnya masuk ke ujung gang. Rahma bisa merasakan bau alkohol dari mulut Herman. Ia sama sekali tidak bisa melawan, tarikan Herman sangat kasar, mau sekuat apapun dia menolak, tenaganya tetap kalah jauh dengan Herman.

"Mmm..mmm..mmm" Rahma tetap berusaha berteriak walaupun mulutnya dibungkam. Ia terus menangis, takut Herman menyakitinya, bahkan membunuhnya.

Herman berusaha terus menyeret Rahma ke dalam gubuk kecil di ujung gang, tempat ia selama ini tinggal.
sesampai di dalam gubuk, Rahma melihat berbagai obat-obatan berserakan, bahkan banyak pecahan kaca dimana-mana. Jantungnya berdebar hebat.

"Nggak ada yang bakal denger kamu disini! Nurut apa perintahku, atau mau ini?!" Herman mengancam dengan pecahan kaca ke leher Rahma. Rahma hanya bisa mengangguk dan terus menangis.

Rahma kemudian menggelengkan kepalanya saat tubuh Herman perlahan semakin mendekatinya, ia baru kali ini seketakutan ini di hidupnya.

Herman mengendus bau setiap bagian tubuh Rahma, mengendus-endus sedekat mungkin, membuat Rahma sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Tangannya diikat ke belakang, mulutnya disubal dengan kain kotor yang membuatnya ingin muntah tapi tidak bisa. Keringat Rahma semakin bercucuran.

Herman melepas ikat rambut yang Rahma kenakan, menciumi aroma wangi rambut Rahma. Seketika bagaikan tak sadarkan diri, Herman langsung merobek baju yang Rahma kenakan. Kejadian tidak diinginkan pun terjadi. Rahma hanya bisa menahan jeritan sebisa mungkin.

Sebelum keperawanan Rahma diambil, Herman langsung tergeletak tak sadarkan diri begitu saja. Nafas Rahma masih terengah, ia bersusah payah membuka tali di tangannya sekuat tenaga. Dia menggosokkan tali itu pada kayu yang runcing, dengan sisa tenaga yang ia punya, Rahma terus berusaha. Akhirnya talipun terlepas. Ia langsung membuka sumpalan kain di mulutnya, membenarkan bajunya yang sobek dengan ditutupi tas ransel kuningnya. Rahma langsung berlari secepat mungkin sebelum Herman sadar. Dia masih terus menangis membayangkan apa yang sudah terjadi di hidupnya ini.

Di sepanjang jalan yang sudah mulai gelap Rahma masih meneteskan air mata, nafasnya masih terasa berat, dan detak jantungnya masih terasa cepat. Karena sudah gelap tidak ada orang yang memperhatikannya. Sampai rumah dia langsung masuk kamar. Rahma sudah terbiasa di rumah sendiri, Ayah dan Ibunya terlalu sibuk bekerja, membuatnya kurang kasih sayang orangtua.

Rahma meraih bantal, menangis sekeras ia bisa dalam tutupan bantal itu. Dia langsung bergegas ke kamar mandi, meraih shower dan bersimpuh di lantai kamar mandi saking lemasnya, dia merasa sangat kotor dengan dirinya sendiri. Rahma membiarkan air mengalir begitu saja ke selurub tubuhnya. Tak hentinya dia menangis mengingat apa yang dilakukan Herman tadi.

***

Pagi yang cerah di sekolah, kali ini Rahma diantar Ayahnya berangkat ke sekolah. Ia beralasan sedang tidak enak badan, jadi tidak kuat berangkat sekolah sendiri.

Sesampai di depan kelas, terlihat Rudi sudah menunggu di depan pintu. Rahma sebisa mungkin menampilkan senyumnya, tapi tetap saja terlihat ada yang berbeda di mata Rudi.

"Assalamu'alaikum, Putri cantikku!" Sapa Rudi dengan senyum manisnya.

"Wa'alaikumsalam." Jawab Rahma singkat dan senyum tipis.

"Kamu sakit kah Cintaku?" Rudi menyetop langkah Rahma yang akan memasuki kelas. Memegang dahi Rahma yang memang terasa hangat.

"Enggak kok," jawab Rahma berusaha menutupi pikirannya yang masih tidak karuan.

"Kamu pucat lho Nis, kelihatan banget sedang tidak baik-baik saja." Tangan Rudi berusaha merangkul pundak Rahma untuk membantunya berjalan.

"EH JANGAN!" Reflek Rahma ketakutan dan mendorong Rudi, dia masih membayangkan kejadian kemarin disentuh Herman. Rudi seketika langsung menjauh, kaget dengan sikap Rahma yang berbeda.

"Eh maaf Rud, aku lagi pengen sendiri dulu." Rahma berjalan perlahan menuju bangkunya. Sesampai di bangku ia langsung duduk dan menidurkan kepalanya di meja.

Rudi khawatir dengan sikap Rahma yang tidak seperti biasanya, hanya bisa mengamati dari kejauhan, takut apa yang ia lakukan salah lagi.

Dari mulai pembelajaran sampai selesai, Rahma terlihat tidak fokus, terbukti dengan pertanyaan yang ia dapat selalu salah. Padahal biasanya dengan mudah dia bisa menjawab.

Rudi berusaha mendekati Rahma kembali, memberi minuman untuk kekasihnya itu. Terlihat Rahma langsung menerima, dengan beberapa tegukan kasar bagaikan minum setelah lari marathon ia meminumnya, tentu saja hal itu membuat Rudi semakin curiga dan keheranan.

"Nanti pulang bareng aku ya!" Rudi kembali menawarkan jasa memboncengkan Rahma.

"Nggak Rud, nanti aku dijemput Bapak kok."

"Iya, nanti aku temenin sambil nungguin Bapak kamu dateng jemput." Rudi terus membujuk.

"Iya. Makasih ya Rudi."

"Kalau ada apa-apa cerita ya, jangan dipendam sendiri. Aku siap kok dengerin cerita kamu, kalau perlu bantuan bilang aja, sebisa mungkin aku bantu Nis," Rudi mengelus rambut Rahma.

Rahma langsung tersentak mendorong Rudi lagi. Nafasnya terengah. Rudi juga tersentak kaget melihat tingkah aneh pacarnya itu.

"Jangan sentuh aku!" Rahma langsung berlari keluar kelas.

Rudi dan teman-teman yang berada di kelas pun dibuat bingung dengan perubahan sikap Rahma.

Bersambung...

Ayo bergabung dan subscribe buku RISSA agar selalu mendapatkan informasi update chapter terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Karunia Hakim di aplikasi KBM.

"Om Rudi mau dimasakin apa?" Tanya Rissa mendekati Rudi yang tengah sibuk di depan laptopnya."Terserah Rissa aja deh."Ru...
01/05/2024

"Om Rudi mau dimasakin apa?" Tanya Rissa mendekati Rudi yang tengah sibuk di depan laptopnya.

"Terserah Rissa aja deh."

Rudi memutar kursi kerjanya menuju arah Rissa yang tepat berdiri di belakangnya.
Rissa, wajah mungil dan senyum manisnya terpampang jelas di depan Rudi. Gadis yang mulai beranjak dewasa itu memang sangatlah menawan, wajar banyak kaum adam di desa mendambakannya.

Mata Rudi terpaku pada senyuman Rissa, dia juga tidak menyangka keponakan yang selama ini ia rawat bakal tumbuh secantik ini. Kulitnya pun kuning langsat dengan tinggi semampai. Rambutnya tergerai panjang berwarna hitam sedikit kecoklatan.

"Kalau Om Rudi jawabnya terserah terus kan Rissa bingung Om! Lagian juga Rissa udah masakin simbah kakung yang berkuah, sekarang giliran Om Rudi yang belum Rissa masakin." Rissa memanyunkan bibirnya, menambah semakin imut wajahnya di mata Rudi.

"Om bingung Riss kalau ditanyain tuh," Rudi kembali memutar kursinya menuju ke depan meja kerjanya.

"Ya udah Rissa kasih pilihan deh, mau ayam bakar, goreng, atau tongseng atau apa Om?" Rissa mendekatkan wajahnya ke wajah Rudi sambil menggoda pamannya itu.

"Tongseng deh!" Rudi menjauhkan wajah Rissa yang terlalu dekat itu dengan tangannya.

"Eh apaan sih Om!" Rissa menangkal tangan Rudi.

"Kamu sih ngapain deket deket!"

Rissa memang sedekat itu dengan pamannya. Dia tidak malu terlalu dekat dengan Rudi.
Rissa langsung berlari kecil menuju dapur, meninggalkan ruang kerja Rudi.

Orangtua Rissa, Rahma dan Herman sudah bercerai sejak usianya lima tahun. Ibunya sekarang bekerja di Hongkong menjadi ART dan ayahnya sudah menikah lagi di Kalimantan. Hidupnya tercukupi dengan uang transferan dari Ibu dan Ayahnya yang bekerja dipertambangan.

Sejak kecil Rissa hidup dengan Nenek, Kakek, dan Pamannya, Rudi. Saat itu Rudi baru berumur dua puluh dua tahun dan Rissa lima tahun.
Sampai sekarang Rissa tidak tahu alasan orangtuanya bercerai, yang dia tahu dulu Ibunya menikah dengan Ayahnya ketika berumur tujuh belas tahun, sedangkan Herman berusia tiga puluh tahun, selisih usia yang lumayan banyak.

Sekarang usia Rissa enam belas tahun, tapi selama orangtauanya berpisah, Herman tidak pernah sama sekali berkunjung menemuinya. Hanya Ibunya yang ia temui walaupun lima tahun sekali.

Semenjak Neneknya meninggal, Rissa mulai belajar memasak, begitupun dengan Rudi. Walau dia laki-laki dia berusaha mengajari Rissa memasak saat umur Rissa tiga belas tahun. Mengajarinya lebih mandiri.

"Enak kan Om?" Tanya Rissa di ruang makan menemani pamannya sarapan.

"Iyaa, enak banget! Siapa dulu yang ngajarin!" Rudi memuji dirinya sendiri.

"Lah, kan Om Rudi cuma ngajarin dasarnya aja, selanjutnya Rissa juga belajar sendiri."

Di ruang makan itu hanya mereka berdua. Kakek Rissa sudah hampir lima tahun ini lumpuh, untuk sarapannya Rissa bergantian dengan Rudi yang menyuapi.

"Sana kamu berangkat sekolah, ntar telat lho."

"Rissa kan pengen lihat Om makan sampai habis, baru Rissa pergi."

"Kebiasaan kamu ya!" Rudi melanjutkan melahap makanannya.

"Om tahu nggak sih? Kalau lihat makanan yang kita masak itu habis rasanya seneng banget!"

Rissa senyum-senyum sendiri. Dia memang tipe gadis yang ceria dan aktif, kalau kata orang positive vibes.

"Alhamdulillah habis!" Teriak Rissa bahagia.

"Rissa berangkat sekolah dulu ya Om Rudi terganteng!" Goda Rissa sambil memeluk dan mencium p**i Rudi dilanjutkan dengan mencium tangannya. Rudi sudah seperti ayahnya, Rissa tidak malu melakukan hal itu, yang Rissa rasakan dia merasa aman dan nyaman berada di sisi pamannya. Bisa dibilang Rudi adalah cinta pertama Rissa menggantikan kasih sayang ayahnya.

Rudi sudah tidak heran dengan perlakuan keponakannya itu, tapi kali ini dia merasa ada perasaan yang berbeda. Jantungnya berdebar dan ada rasa bergetar di alat kelaminnya.

Di usia Rudi yang sudah menuju tiga puluh tiga tahun tak heran perasaan itu terkadang muncul. Sudah seharusnya hasratnya dilampiaskan pada lawan jenis. Tapi sampai sekarang dia masih bertahan dengan status lajangnya.

Kisah cinta masa lalu Rudi menjadi alasan dia trauma membuka hati untuk wanita lagi. Rudi tipe lelaki yang setia dan sekali mencintai, dia bakal cinta mati. Tapi sayang, rencana Tuhan tidak sesuai rencananya. Pacarnya menikah dengan lelaki lain, yang menyebabkan sampai sekarang Rudi belum bisa membuka hatinya kembali.

Rudi menutup matanya, menghela nafas pelan setelah kepergian Rissa. Di pikirannya dia membayangkan Rissa memeluknya, dia pun memeluk Rissa erat, seakan dia tidak ingin melepas pelukan itu. Dia menggenggam tangannya dan merasakan bayangannya itu seakan adalah kenyataan.

Nafasnya terasa terengah menikmati pelukan Rissa yang sangat hangat, dia mengelus rambut Rissa yang terurai panjang dan halus. Menatap mata Rissa yang penuh kepasrahan di depan Rudi.

"Om.." Rissa memanggil Rudi pelan.
"Iya Rissa sayang." Rudi menggendong Rissa menuju kamarnya. Rissa hanya pasrah dengan tubuhnya yang lemas di gendongan Rudi.

"Assalamu'alaikum.."

Rudi membuka matanya, terperangah bangkit dari bayangan yang Ia buat sendiri.

"Wa'alaikumsalam, i - iya sebentar."

Rudi berlari menuju ruang tamu dan membuka pintu. Dia tertegun melihat Rahma di depan pintu.

"Anisa," Rudi tidak bisa berkata apa-apa.

"Rudi," Rahma tersenyum sumringah, dia mendekati Rudi seakan ingin memeluknya. Rudi memundurkan diri, menghindari pelukan Rahma.

"Kok kamu nggak ngabarin dulu kalau mau kesini?" Tanya Rudi.

"Aku mau bikin surprise kamu sama Rissa jadinya dadakan," Rahma langsung masuk ke dalam rumah.

"Loh sepi banget, Rissa udah berangkat sekolah?" Lanjut Rahma.

"Iya kan, dia rajin banget. Bangun pagi, sudah masak, sudah bersih-bersih."

"Padahal masih jam setengah tujuh lho. Aku juga cepet-cepet kesini biar ketemu Rissa. Ee malah dah berangkat tuh anak."

"Kayak kamu dulu kan, rajin banget pagi-pagi sudah berangkat," Rudi mendekati Rahma.

"Masih ingat ya kamu, Rud?" Rahma menatap Rudi dalam.

"Aku masih ingat semua tentangmu Nis," Rudi menundukkan pandangannya.

Kedua tangan Rahma memegang pundak Rudi.

"Kamu masih belum move on Rud?"

"Bagaimana bisa aku melupakanmu Nis, aku belum bisa buka hati untuk wanita lain sampai saat ini."

"Sudah puluhan tahun yang lalu lho Rud!"

"Apa kamu benar-benar sudah melupakanku Nis?"

Rahma hanya terdiam. Dia duduk di kursi usang ruang tamu yang terbuat dari kursi jati.

"Bagaimana aku melupakanmu Rud? Aku menceraikan Mas Herman juga karena aku tidak kuat setiap hari melihatmu sebagai adik iparku."

"Kenapa juga dulu kamu mau menikahi Mas Herman, Nis?"

"Sudah aku jelasin kan dulu kenapa aku mau, harus aku jelasin berapa kali Rud!"

"Dah lah Nis, aku nggak mau berdebat, nggak usah mulai duluan tanya tentang kisah cintaku, aku memang masih belum bisa membuka hati lagi."

"Aku sudah ngasih kesempatan kan buat kamu memulai lembaran baru lagi denganku dulu?"

"Mana mungkin aku setega itu Nis! Menikahi mantan istri kakakku sendiri. Aku memang masih sayang sama kamu, tapi bukan berarti aku tega menyakiti perasaan kakakku."

"Lagian Herman juga sudah punya keluarga baru to disana, kamu nggak kasihan sama aku Rud?"

"Kasihan kenapa?"

"Aku juga masih sayang sama kamu Rud!"

"Tapi hubungan kita sudah salah Nis!"

Rudi langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya.

"Rudi!"

Bersambung..

Cerita selengkapnya disini

Ayo bergabung dan subscribe buku RISSA agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Karunia Hakim di aplikasi KBM.

Address

Mertoyudan
Magelang
56172

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Karunia Hakim posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Karunia Hakim:

Videos

Share