22/12/2024
Santri yang Berbakti: Kisah Cinta Seorang Anak kepada Ibunya
Di sebuah desa kecil di Sesela, hiduplah seorang santri bernama Ahmad. Ia adalah anak tunggal dari seorang ibu bernama Bu Salmiah, seorang perempuan tangguh yang setiap hari bekerja sebagai buruh tani untuk menghidupi keluarganya. Ayah Ahmad telah meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, sehingga beban keluarga sepenuhnya berada di pundak Bu Salmiah.
Ahmad adalah anak yang cerdas dan saleh. Ia selalu ingat pesan ibunya, “Nak, ibu tidak punya harta untuk diwariskan. Satu-satunya yang bisa ibu berikan adalah doa dan kesempatan untuk belajar agama. Jadilah anak yang berguna, ya.”
Ahmad tumbuh dengan kesadaran mendalam tentang perjuangan ibunya. Setiap pagi sebelum pergi ke pesantren, ia membantu ibunya menyiangi rumput di ladang. Meski sederhana, mereka selalu makan bersama di pagi hari, diselingi canda dan doa. “Doakan ibu kuat ya, Nak,” kata Bu Salmiah sambil tersenyum lembut, meski lelah jelas terlihat di wajahnya.
Di pesantren, Ahmad adalah santri yang rajin. Ia selalu menjadi yang pertama tiba di masjid dan terakhir meninggalkan kelas. Namun, setiap kali waktu libur tiba, ia tak sabar untuk pulang. Ahmad tahu ibunya bekerja keras sendirian, dan ia ingin berada di sisinya, membantu apa saja yang ia bisa.
Suatu hari, saat Ahmad sedang belajar di pesantren, seorang tetangga datang mengabarkan bahwa ibunya sakit. Ahmad terkejut dan segera meminta izin untuk pulang. Setibanya di rumah, ia mendapati Bu Salmiah terbaring lemah di atas tikar lusuh. Tangannya yang biasanya kuat menggenggam cangkul kini tak berdaya.
“Ibu kenapa nggak cerita?” tanya Ahmad dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu nggak mau mengganggu belajarmu, Nak. Ibu baik-baik saja,” jawab Bu Salmiah sambil tersenyum, meskipun jelas ia sedang menahan sakit.
Ahmad memutuskan untuk merawat ibunya. Ia bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan membersihkan rumah. Setelah itu, ia pergi ke ladang menggantikan ibunya. Sepulang dari ladang, ia menemani ibunya sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Suara Ahmad yang lembut menjadi hiburan sekaligus penguat bagi Bu Salmiah.
Hari-hari berlalu. Ahmad terus berjuang membagi waktunya antara merawat ibunya, bekerja di ladang, dan mengulang pelajaran pesantren. Meski tubuhnya lelah, hatinya penuh kebahagiaan karena bisa berbakti kepada ibunya.
Perlahan, kesehatan Bu Salmiah mulai membaik. Pada suatu malam, saat Ahmad tengah memijat kakinya, Bu Salmiah berkata dengan suara bergetar, “Nak, ibu bangga sama kamu. Ibu nggak punya apa-apa, tapi kamu selalu membuat ibu merasa kaya karena cinta dan perhatianmu.”
Ahmad tersenyum dan menjawab, “Ibu, Ahmad cuma mau lihat Ibu sehat. Selama Ahmad hidup, Ahmad akan selalu berusaha membahagiakan Ibu. Doa Ibu adalah segalanya buat Ahmad.”
Kisah Ahmad menyebar di kalangan masyarakat Sesela. Banyak yang terinspirasi oleh perjuangan dan baktinya kepada ibunya. Ahmad tumbuh menjadi seseorang yang tidak hanya dihormati karena ilmu agamanya, tetapi juga karena hatinya yang penuh kasih sayang.
Ahmad dan Bu Salmiah mengajarkan kepada kita bahwa cinta seorang anak kepada ibunya adalah kekuatan luar biasa. Cinta itu bukan sekadar kata-kata, tetapi tindakan tulus yang lahir dari hati.