Faisal Ridha, S. Ag., MM pemuda energik yang sering disapa dengan nama Faisal ini lahir di Dayah Mesjid Kec. Kuta Blang Kabupaten Bireuen pada 26 Desember 1974, buah hati pasangan Nurhayati binti Umar dan Murdani bin Ahmad. Keduanya berasal dari keluarga menengah kebawah. Ibunya berprofesi sebagai guru SDN dan ayahnya seorang Nelayan. Anak tertua dari 6 bersaudara ini memulai pendidikannya di MIN Pulosiron tamat 1987. Tahun 1990 melanjutkan pendidikannya ke MTsN Matang Glumpang Dua. Pendidikan MAN diselesaikan tahun 1993 di kota yang sama. Tahun 1993 ia hijrah ke Kuta Raja dan kuliah di Fakultas Adab & Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh selanjutnya pada tahun 2015 dia menyelesaikan Program Pascasarjana Magister Managemen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Aktivis muda yang selalu berpenampilan sederhana ini memiliki segudang pengalaman berorganisasi sejak di bangku SLTP dan SLTA. Saat menempuh studi di UIN Ar-Raniry Banda Aceh bakat organisasi kembali ditempa di dalam dan di luar kampus. Di kampus antara lain pernah menjabat Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (1994-1995, Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Adab & Humaniora (1996-1997), dan Wakil Ketua Senat Mahasiswa Universitas Islam NegeriAr-Raniry Banda Aceh (1997-1998).
Di luar kampus ia sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Adab (1994-1995), pernah memegang jabatan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Al-Washliyah (HIMMAH) Komisariat Fakultas Adab & Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh (1996 β 1997).
Aktivis muda yang saat ini menetap di Komplek Perum Tiongkok Blok BGampong Neuheun Kecamatan Mesjid Raya Aceh Besar ini terlibat aktif dalam hiruk pikuk perjuangan baik pra maupun pasca reformasi. Sebagai mahasiswa yang lahir dari rahim masyarakat Aceh yang tertindas selama puluhan tahun ia tergugah untuk membangun barisan bersama teman-teman mahasiswa guna membela kaumnya, rakyat Aceh.
Gerakan perjuangan mahasiswa ini dirintis dari kampus UIN Ar-Raniry tempat ia menimba ilmu selama ini. Dari sinilah, gerakan mahasiswa bangkit dengan kekuatan dahsyat yang diperhitungkan oleh pemerintah RI saat itu. Mulai dari membantu para pengungsi akibat konflik, evakuasi korban penembakan/perang, demonstrasi menuntut mencabutan DOM dan pelanggaran HAM di Aceh dan Jakarta, hingga tuntutan referendum sebagai hasil kesepakatan kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau untuk menyelesaikan kasus Aceh pada paroh awal tahun 1999.
Sejak Kongres inilah SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) dibentuk, dan Faisal bertindak sebagai Presidium. Menindaklanjuti perjuangan referendum untuk Aceh, aktivis mahasiswa menunjuk dirinya sebagai Ketua Umum Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh (SU-MPR Aceh) yang sangat fenomenal. Dengan izin Allah, ia bersama teman-temannya mampu mengorganisir 2 jutaan rakyat Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Sidang Umum yang dikomandoi oleh tokoh muda yang memiliki 5 putra hasil perkawinannya dengan Maitanur, S. Pd, MM ini, tidak hanya menggetarkan pusat pemerintahan Indonesia di Jakarta, melainkan juga menarik perhatian dunia internasional.
Setelah itu Aceh menjadi pusat pemberitaan berbagai media cetak dan elektronik nasional dan internasional. Sejak saat itu, ia dipercaya menjadi juru bicara SIRA sekaligus menggantikan posisi Muhammad Nazar ketika ia dijebloskan ke penjara. Tidak hanya itu, kesuksesannya ini juga membuka peluang bagi keberhasilan perjuangan di masa selanjutnya.
Atas komitmen dan keberhasilan dalam berbagai even besar perjuangan saat itu, ia dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan penting gerakan mahasiswa Aceh. Antara lain sebagai Presidium Front Aksi Mahasiswa Islam Aceh (FARMIDIA) 1999β2001, dan Badan Pengurus Bidang Jaringan Forum Anti Kekerasan Aceh 2000 β 2003.
Sepanjang keterlibatannya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh inilah, ia pernah 2 kali ditangkap, dintrogasi dan disandera dikantor POLRES Banda Aceh. Belum lagi jera, keluar dari kantor POLRES kembali ia menggelorakan semangat kebangkitan mewujudkan keadilan di bumi Serambi Makkah. Sampai akhirnya, ia menjadi salah satu tokoh gerakan mahasiswa yang paling diburu oleh aparat keamanan alias masuk DPO (Daftar Pencarian Orang) era itu.
Berbagai teror, intimidasi, dan tekanan kerap dialami. Tetapi semua itu tak pernah menyurutkan langkahnya, tidak p**a mampu meredam gejolak perjuangan yang sudah bersemanyam dalam jiwa tokoh yang sejarah hidupnya akrab dengan kesulitan dan kesusahan. Bagaimana tidak, sejak di bangku kuliah hingga mempersunting Maitanur gadis yang dipilih menjadi pendamping hidupnya, ia sudah memeras keringat untuk membiayai hidup dan kuliahnya. Setelah berkeluarga, pekerjaannya beralih menjual telur ayam untuk menyambung hidup di Kuta Raja.
Saat darurat militer diberlakukan di Aceh, perjuangan dan gerakannya belum berhenti. Ia terus melakukan lobby dan advokasi dengan berbagai NGO nasional dan internasional. Menjelang dicabutnya status darurat militer bagi Aceh, ia dipercaya menjadi Ketua Panitia Pertemuan Civil Society (tokoh pemuda, tokoh Adat, civitas akademika, tokoh mahasiswa, aktivis NGO, tokoh Santri, Ulama dan seluruh Stackholder) Aceh dalam rangka mendorong penandatanganan MoU Helsinki di Bangi, Malaysia 7-10 Agustus 2005.
Konsultasi civil society inilah yang juga ikut membidani lahirnya apa yang kita kenal sekarang dengan MoU Helsinki. Setelah itu, berbagai peran perdamaian terus dimainkan melalui berbagai posisi yang diamanahkan kepadanya. Di antaranya, Bendahara Humanitarian Relief Center (HRC) sejak 2005, dan terlibat aktif dalam rapat konsultasi sipil dalam 5 putaran dialog dan perundingan antara pemerintah RI dan GAM di Finlandia.
Setelah MoU ditandatangani 15 Agustus 2005 dan UUPA disahkan pada 1 Agustus 2006, masih tersisa agenda penting lainnya, yaitu kegelisahannya terhadap beberapa pasal UUPA yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan MoU Helsinki. Lalu, ia mengorganisir mahasiswa dan rakyat Aceh dalam Aksi Akbar yang digelar di halaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada 16 Agustus 2006. Aksi yang dihadiri lebih dari 500 ribu rakyat Aceh ini dilaksanakan untuk menekan para pengambil kebijakan di Jakarta untuk merevisi UUPA ini. Ia juga terlibat aktif dalam Tim Pengawalan Rancangan UUPA Januari-July 2006.
Jabatan lain yang pernah disandangnya adalah Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Lathifa Foundation (Lembaga Perdamaian dan Keadilan Aceh), Pendiri & Ketua Presidium Jempa Mirah Front Mahasiswa & Pemuda Aceh tahun 2001-2014, Pendiri dan Dewan Pembina Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Demokrasi Aceh (Lepedar) 2006 hingga sekarang, Pendiri dan Pembinan Yayasan Peunawa Hate tuhun 2008 hingga sekarang;
Sekretaris Majelis Tinggi Partai (MTP) Partai SIRA pada Desember 2007 sampai 2011, Koordinator Tim Asistensi Gubernur Aceh Bidang Sumber Daya Manusia Desember 2007 sampai 2012, Ketua Tim Konsolidasi Panitia Persiapan Pembentukan Partai SIRA, dan Anggota Forum Bersama (Forbes) Badan Reintegrasi Damai Aceh April-Desember 2007.
Dengan segenap pengalaman dan semangat menyelesaikan konflik yang mengendap dalam jiwanya, ia menyadari betapa pentingnya untuk terus menempa dirinya dengan menambah ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Karena itu, semangat belajarnya tetap membara sejak masih di bangku kuliah hingga selesai meraih gelar sarjana. Belajar adalah kewajiban dari agama sekaligus kebutuhan setiap insan, katanya.
Untuk itulah ia aktif terlibat dalam berbagai kegiatan keilmuan dan mengikuti berbagai pelatihan baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Antara lain Konfrensi International Rakyat Aceh oleh International Forum for Aceh (IFA) di Washington DC Amerika Serikat pada tahun 2001, menjadi anggota tim 21 untuk sosialisasi ide Cease Fire bagi Gubernur, Bupati/Walikota seluruh lapisan masyarakat.
Di samping mengikuti seabrek training seperti pelatihan advokasi dan investigasi terhadap perempuan Aceh korban konflik, advokasi terhadap aktivis dan masyarakat di era konflik, pelatihan Pendidikan Damai untuk Pemimpin Muda, Penyusunan konsepsi pelatihan Non Violence untuk aktivis muda serta pelatihan Paralegal di Jakarta tahun 2004.
Menyadari bahwa persoalan Aceh sangat kompleks dan rumit, ia berjuang untuk memperkuat barisan perjuangan dengan negara-negara lain di luar negeri baik NGO maupun pemerintahan saat itu. Wujud nyatanya adalah melobi anggota Senator dan Konggres Amerika Serikat di Washington DC pada 2001, Kedutaan besar negara asing di Jakarta, Perwakilan Uni Eropa di Jakarta dan melakukan Komunikasi dengan The Olof Palme International Center dalam rangka Konsolidasi Civil Society untuk menyukseskan Kesepakatan Perundingan Damai (MoU) Helsinki antara RI-GAM April-Agustus 2005.
Dalam proses perdamaian, ia berperan di semua level baik lokal, nasional dan bahkan internasional. Hampir tak pernah absen mengikuti setiap kegiatan upaya mewujudkan perdamaian di Bumi Serambi Makkah. Antara lain mengikuti Rapat Komando Pusat di Tiro GAM yang dilaksanakan di Gampong Alue Dua Nisam Antara pada tahun 2003, mengikuti Rapat Kerja Pemerintah Negara Aceh (PNA)/GAM Bansigom Donya II di Denmark April 2005, mengikuti Konferensi Civil Society di Stockholm, Swedia pada Mai, Juni dan Juli 2005. Kegiatan yang difasilitasi oleh The Olof Palme International Center (salah satu NGO Internasional yang berkantor pusat di Stockholm Swedia ini) berperan penting dalam melahirkan MoU Helsinki.
Setelah MoU Helsinki terwujud dan pemilu pemilihan kepala daerah yang dimenangkan pasangan Irwandi Yusuf - MuhammadNazar dilaksanakan, serta pemerintahan Aceh yang baru terbentuk, oleh kepala pemerintah Aceh ia dipercaya menjadi Koordinator Tim Asistensi Gubernur Bidang Sumber Daya Manusia. Sebuah tim yang dibentuk dengan tujuan merumuskan konsep reformasi sistem administrasi dan birokrasi pemerintahan Aceh. Untuk melaksanakan tugas ini ia membekali dirinya dengan mengikuti berbagai training, antara lain Training Mengukur Prilaku Kerja di Jakarta yang dilaksanakan Oleh Quantum Quality International, mengikuti Pelatihan Public Speaking & Presentation Skill yang dilaksanakan oleh Progress Institute Pada 23 S/D 24 Maret 2013 Di Gedung Icaios Universitas Syiah Kuala Banda Aceh;
Selama menjadi Koordinator Tim Asitensi Bidang Sumber Daya Manusia pada masa Pemerintahan Irwandi-Nazar 2007-2012 dia membantu Gubernur melakukan Fit and Propertest terhadap pejabat eselon 2 pada SKPA di lingkungan Pemerintah Aceh; melakukan evaluasi kinerja terhadap pejabat eselon 2 dan 3 dilingkungan SKPA pemerintah Aceh, menjadi konsultan pada reformasi birokrasi keuangan Aceh; Sekretaris Panitia Seleksi Sekretaris Daerah (SEKDA) Pemerintah Aceh tahun 2010; Sekretaris Tim Asessor Uji Kompetensi, Uji Kelayakan dan Kepatutan bagi kandidat Kepala, Wakil Kepala, dan Deputi Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) April βJuni 2008 dan melobi Mae Fah Luang Foundation Thailand dalam rangka memperkuat Kerja sama Pembangunan Aceh.
Karena sukses dan mampu melaksanakan tugas dengan baik sebagai Koordinator Tim Asistensi Gubernur Aceh Bidang Sumber Daya Manusia, ia dianugrahkan Piagam penghargaan Fit And Proper Test Pejabat Eselon II dari Gubernur Aceh Irwandi-Nazar periode 2007 β 2012.
Sebagai mantan aktivis yang lahir dari pergerakan sipil Aceh di masa konflik, Faisal juga masih menaruh perhatian besar pada perkembangan partai politik lokal sebagai manifestasi amanah dari MoU Helsinki. Saat ini Faisal menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi (MTP) Partai SIRA dengan masa jabatan 2017-2022 setelah sebelumya dipercaya sebagai Ketua Umum DPP Partai SIRA pada 2012-2017.
Berdirinya Partai SIRA dilandasi oleh pengalaman tentang pahit getirnya perjuangan di era konflik hingga terwujudnya perdamaian bagi rakyat Aceh melalui MoU Helsinki. Faisal bersama kaum intelektual muda lainnya menyadari bahwa perdamaian bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari ikhtiar membangun kembali Aceh yang sudah hancur akibat konflik dan bencana tsunami. Jika selama ini perjuangan dilakukan lewat jalur informal pemerintahan, kini penting mengubah strategi dan berjuang melalui jalur formal Partai Politik.
Partai Politik menjadi kekuatan dan strategi perjuangan untuk mengalirkan gagasan, menyerap aspirasi, serta bertindak dalam membuat kebijakan yang mensejahterakan seluruh masyarakat Aceh.
Kepedulian Faisal terhadap Aceh tidak hanya dicurahkan melalui gerakan politik, tapi juga melalui aktivitas pecerdasan anak bangsa yang dilakoninya tanpa pamrih guna melahirkan kader-kader muda yang diharapkan menjadi penyokong pembangunan Aceh pasca konflik. Sejak 2005, Faisal aktif menjadi narasumber dalam berbagai diskusi dan seminar, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Melalui aktivitas ini Faisal menyampaikan ide dan gagasannya untuk melahirkan Aceh baru yang damai dan sejahtera. Aktivitas sebagai pemateri ini masih terus dijalankan Faisal sampai sekarang.
Untuk menyalurkan aspirasi politiknya di tingkat nasional, sejak 2014, Faisal memutuskan bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai yang lahir dari kesadaran politik ulama guna menyikapi perpolitikan nasional.
Pada 2015, Faisal mendapat kepercayaan dari DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menjabat sebagai Tenaga Ahli Angota DPR-RI Komisi IV yang membidangi masalah pertanian, perikanan, kelautan, pangan, maritime dan kehutanan. Selama menjabat sebagai Tenaga Ahli, Faisal terus berupaya mendalami pengetahuannya tentang berbagai persoalan yang dihadapi oleh petani dan nelayan di Indonesia.
Dilatari oleh kegelisahannya terhadap nasib petani dan nelayan yang belum sejahtera, Faisal juga terdorong untuk bergabung dengan Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia (Gerbang Tani), sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejak 2015, Faisal menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Gerbang Tani. Tidak berhenti di sini, pemuda yang dikenal gesit ini juga menjadi penggerak kelahiran Gerbang Tani Provinsi Aceh, di mana ia sendiri kemudian terpilih sebagai ketua umum masa jabatan 2015-2020. Sejak saat itu, di sela-sela kesibukannya, Faisal juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh.