19/03/2020
https://www.facebook.com/233199629533/posts/10158114194599534/?sfnsn=wiwspmo&extid=2GAIbm99OXsngEfL
ANTARA TAWAKAL DAN IKHTIAR
Menyikapi merebaknya virus Corona/Covid-19, masyarakat Indonesia terbagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama, sangat panik, takut yang berlebihan sampai para taraf melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Sikap ini berbahaya, disatu sisi merugikan orang lain. Disisi lain berpotensi untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Sedangkan kelompok kedua, mereka berkeyakinan bahwa semua sudah Allah tetapkan, apapun yang kita lakukan semua atas takdir Allah. Pemikiran ini benar, memang begitu seharusnya, salahnya mereka adalah ketika menafikan ikhtiyar/usaha.
Akibatnya, survei-survei para pakar diabaikan, peringatan-peringatan dari pemerintah maupun dari ormas yang berkompeten di bidangnya dianggap angin lalu.
Ya sudah lah, kita tawakkal saja, kata sebagian mereka.
Pertanyaannya? seperti itukah tawakkal yang diajarkan dalam Islam?
• Apa itu Tawakal? •
Menurut Ibnu Rajab al Hambali, hakikat tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata [Jamiul Ulum wal Hikam, 4/1266]
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:
“Tawakal adalah sebab yang paling utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta memusuhinya.
Tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” [Badai’ul Fawaid, II/268].
• Tawakal Yang Benar Dibarengi Ikhtiyar Maksimal •
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: ada seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab: ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah (kepada Allah).” (HR. At-Tirmidzi)
“ Ketahuilah …” kata Ibnu Rajab al-Hambali, “ … bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal.
Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.
Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60).
Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10).
Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.” [Jamiul Ulum wal Hikam, 4/1268]
Berkata Sahl at-Tusturi rahimahullah:
“Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.” [Jamiul Ulum wal Hikam, 4/1268]. Wallahu a’lam.
Semoga semua kita selalu berada dibawah lindungan dan petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala.