21/06/2024
MENGHIDUPKAN HATI YANG MATI & MERANGSANG PIKIRAN YANG TAK BERFUNGSI.
Sahabatku, Jika kita sudah meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang Maha melihat terhadap apa yang Kita lakukan, Maha Mendengar Terhadap apa yang Anda bisikkan, dan Maha meliputi terhadap apa yang ada dalam pikiran dan lintasan hati kita, Maka kita harus merasa, meyakini, dan membayangkan seolah – olah Hidup kita, sekecil apapun, tidak ada yang lepas dari pantauan dan penglihatan Allah. Dan ini yang disebut oleh Baginda Nabi dengan istilah IHSAN, Yaitu seolah – olah Kita melihat Allah, jika tidak bisa membayangkan seolah -olah tersebut, maka Kita harus meyakini bahwa Allah pasti melihat Kita. ( Dalil ada di kitab arbain nawawi, hadist ke 2 mengenai Ihsan ).
Sahabatku, jika kita merenungkan istilah IHSAN dari baginda Nabi, Kita akan mendapatkan dua pesan yang sama tapi metodenya berbeda. Pesan pertama adalah : Seolah -olah kita melihat Allah dan pesan kedua adalah : Maka Allah pasti melihat kita. Pesan pertama kita diperinahkan seolah -olah melihat Allah melalui penglihatan pikiran dan keyakinan hati. Dan pesan pertama ini lebih diutamakan atau ditekankan (labudda / ora keno orak iku maujud) oleh Baginda nabi, agar senantiasa hati dan pikiran kita selalu hidup dengan melihat Allah, namun jika pesan pertama ini tida bisa dilakukan dan bahkan akan bisa membuahkan pikiran yang negatif atau imajinasi yang keliru, mak cukuplah bagi kita untuk menjalankan pesan yang kedua, yaitu jika kita tidak dapat melihat Allah dengan seolah- olah, yakinlah bahwa Allah melihat kita,maknanya kita cukup melihat Allah dengan keyakinan dan keimanan saja. Namun sekali lagi, bahwa pesan pertama yakni melihat Allah itu lebih diutamakan daripada dilihat Allah, karena kalau kita seolah - olah melihat Allah, berarti hati kita menjadi aktif dan selalu merasa serta senantiasa terkontrol setiap saat bersama Allah, sedangkan kalau kita hanya percaya dilihat oleh Allah, maka hati kita hanya yakin tapi kurang merasa, tidak konsisten, dan pikiran kita menjadi pasif dan kurang berfungsi.
Sahabatku, Istilah Ihsan dari baginda Nabi bukanlah bersifat opsi atau memilih salah satu diantara dua isi pesan, karena yang dianjurkan adalah agar kedua pesan tersebut bisa berjalan secara bersama dan kontinu, namun ketika kita tidak bisa menjalankan kedua pesan tersebut secara bersamaan, maka cukup bagi kita memilih salah satunya, dan pesan pertama lebih diutamakan dari pesan yang kedua. Dan Baginda Nabi menjelaskan dengan diksi kalimat “ Fa in lam taroohu ...” ( Jika kita tidak bisa berilustrasi dengan seolah – olah). Ini menjadi bukti bahwa untuk berilustrasi melihat dengan seolah – olah adalah perbuatan yang mudah tapi bisa berbahaya atau merusak akidah. Artinya jika nalar pikiran kita atau lintasan hati kita saat digunakan untuk seolah – olah melihat Allah tidak benar, seperti membayangkan Dzat Allah, membayangkan wajah Allah seperti makhluk-Nya, mengilustrasikan eoah Allah adalah makhluk yang memiliki jasad besar, atau dengan membayangkan Allah seperti Syekhnya, gurunya atau idolanya yang disegani dan dikagumi, dan khayalan atau seolah – olah yang lain, yang justru menyesatkan, maka hal ini akan mengakibatkan kita berbuat syirik.
Sahabatku, hal yang mendasar yang sangat diperhatikan untuk seolah – olah melihat Allah adalah jangan membayangkan wajah Allah itu makhluk atau benda dalam bentuk apapun, dan jangan berpikir atau bertanya di pikiran kita dengan menggunakan “ bagaimana “, seperti bagaimana Dzat Allah itu?, bagaimana bentuk Allah itu?, dan bagaimana Allah melihat kita?.
Sahabatku, Bayangkan seandainya kita disuruh oleh seseorang yang kita kagumi, kita senangi, kita cintai dan sekaligus kita takuti untuk menjalankan suatu perintah, sedangkan kita telah dijadikan olehnya, apabila dapat mengerjakan tugas tersebut maka kita akan dapat berjumpa dengannya kelak nanti, dan boleh meminta permohonan apapun yang kita s**ai, namun dengan syarat kita harus diawasi dan dipantau setiap saat oleh seseorang dari arah yang kita sendiri tidak boleh atau tidak bisa melihatnya karena dirahasiakan, jika kita adalah orang yang taat terhadap perintah tersebut maka pikiran dan hati kita pasti tidak akan disibukkan oleh lintasan pikiran yang menanyakan, siapa sosok orang yang mengawasi kita, bagaimana karakternya dan bentuknya serta bagaimana dia,namun pasti kita akan lebih menyibukkan diri terhadap tugas yang diperintahkan kepada kita agar bisa mengerjakan tugas sesuai perintah, semangat bekerja dan sesuai target, karena kita tidak ingin gagal dan kita tidak sabar ingin bertemu kepada orang yang telah memerintahkan kita dan berjanji untuk memberikan balasan atas jerih payah kita.
Sahabatku, Disaat kita mempraktekan ilustrasi IHSAN, jika kita tidak dapat membayangkan seolah – olah melihat Allah bahkan bisa jadi salah, menyesatkan dan terjerumus ke dalam kemusyrikan, maka cukuplah bagi kita untuk menanamkan rasa cinta kepadaNya dengan penuh semangat mengerjakan perintah-Nya dan meyakini bahwa semua yang kita lakukan tidak lepas dari penglihatan dan pantauan Allah Ta’ala. Inilah yang disebut penglihatan Qolbu, seperti ketika Babul ilmi Sayyidina Ali bin Abi thalib ditanya, “ wahai Amirul Mukminin, apakah kau menyembah yang engkau lihat atau tidak ? “. Jawabanya “Aku menyembah yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan Qolbu”.
Sahabatku, Dua rukun IHSAN, yaitu seolah – olah kita melihat Allah dan meyakini bahwa Allah pasti melihat kita, merupakan alat kontrol dalam semua laju serta langkah dalam aktivitas kehidupan kita. Maka kita harus bisa mengatur langkah kita dengan salah satu dua pilar IHSAN tersebut, Syukur kalau bisa kedua- duanya, karena jika kita lepas dari kedua rukun itu, maka kita akan mudah berbohong, menipu, dan melakukan perbuatan yang dilarang Allah, khususnya dalam kondisi sepi dan jauh dari penglihatan manusia. Dan perlu kita ketahui bahwa setiap amalan ibadah yang tidak didukung oleh hati yang merasa dekat, melihat dan dilihat lah,niscaya akan mudah rusak dan rapuh.
Sahabatku, Jika hati dan pikiran kita tidak selalu aktif dihiasi sifat Ihsan maka kita akan mudah berbohong kepada orang lain, Kita akan mengirim chat kepada orang lain yang berisi bahwa kita sedang di tempat kerja, padahal kita sedang di tempat wisata, kita akan berbicara lewat hp yang mengatakan bahwa kita sedang sibuk dan sedang banyak pekerjaan padahal kita sedang rebahan dan malas, kita akan membalas chat bahwa kia baru datang dari luar kota padahal baru saja main dari rumah teman, kita akan berfikir mencari alasan yang mengada- ada agar terhindar dari kemarahan dan menjaga citra serta wibawa kita yang dibalut dosa, sehingga semuanya ini akan membuat pembuluh sel pikiran kita menjadi buntu hati kita menjadi beku, dan nafas kita tidak laju, bahkan yang lebih bahaya adalah kita tidak merasa bahwa kita telah meninggalkan dosa warisan kepada anak keturunan kita, yang akan meniru dan mengikuti watak dan karakter kita. Ini eua akibat dari perbuatan kita yang lepas dari sifat Ihsan, karena kita tidak merasa melihat Allah dan dilihat Allah.
Sahabatku,Orang yang berbohong biasanya disebabkan hilangnya sifat Ihsan pada dirinya. Semakin dia jarang merenungi dan menghayati arti Ihsan, maka volume melakukan kecurangan dan kebohongan akan semakin tinggi yang berakibat pada penyiksaan diri. Oleh karena itu, sifat Ihsan sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengisi hidupnya, baik dalam lingkup sosial, budaya maupun agama. Imam Abdullah ibnul Mubarok mengatakan : “ Hukuman paling pertama bagi orang yang berbohong dari kebohongannya adalah ia tetap dianggap bohong ketika ia bersikap jujur”. Dan Imam Ibnul Qoyyim al- Jauzy juga mengatakan : “ kebohongan berawal dari jiwa, lalu merembet pada lisan dan merusak perkatan. Kemudian merembet pada anggota badan dan merusak segala perbuatan. Dan akhirnya kebohongan itu menyelimuti perkatan, perbuatan, dan segala keadaan”. Jadi Hidup tanpa Ihsan akan melahirkan jiwa yang penuh kebohongan, baik kepada dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya serta kepada Rabbnya.
Sahabatku, Disaat anda membaca tulisan ini, sedangkan anda sudah mengenal pribadi penulis, maka hendaknya anda seolah - olah belum pernah melihat penulis, melainkan anda melihat penulis seolah - olah sebagai penyampai pesan orang lain saja. Supaya kita bisa mengamalkan, menghayati dan merenungi pesan dan isi tulisannya, tanpa terbayangi oleh kelemahan dn kekurangan yang ada pada diri peuis. Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan.Karena penulis juga sedang dalam proses perbaikan diri, agar tidak menjadi seorang yang s**a menyuruh orang lain berbuat kebaikan,tapi lupa kepada kewajibannya sendiri. Intaha.
Jepara Jumat 21/06/2024 M.