14/12/2024
"Mbak Zy ... kangen." Aku berlutut sambil merentangkan tangan saat anak-anak berlari menghampiriku, senyum sumringah yang terbit di bibir mereka seperti cahaya mentari dalam hidupku yang dipenuhi awan kelabu.
"Mbak juga kangen sekali sama kalian." Mereka semua mem3lu kku secara bersamaan bahkan sampai aku terduduk di lantai.
"Waktu Kakak datang kalian nggak menyambut Kakak seperti ini," seru Kak Rafiq tapi anak-anak tak mengindahkannya. Kulihat Kak Rafiq hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis.
"Mbak Zizy kenapa jarang sekali main ke sini?"
"Iya, Mbak. Apa Mbak Zizy sudah nggak sayang sama kita?"
"Mbak Zizy nggak kangen sama kita?"
"Mbak Zizy lupa ya sama kita karena sudah menikah?"
Aku mengangkat tangan ke udara mendengar pertanyaan anak-anak yang beruntun, tak memberiku kesempatan untuk menjawab. Mereka langsung terdiam tapi menatapku dalam-dalam, seolah tak sabar menunggu jawabanku. Ekspresi wajah mereka sangat menggemaskan membuatku tertawa kecil.
"Mbak nggak mungkin lupa sama kalian," elakku. "Mbak juga kangen sama kalian dan Mbak masih sangat sayang sama kalian. Tapi apa kalian lupa apa yang Ustadzah ajarkan? Setiap wanita yang sudah menikah memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada keluarga barunya, nanti kalian akan mengerti saat sudah dewasa."
Anak-anak merengut tapi sesaat kemudian mereka mengangguk mengerti. "Sekarang ayo lihat apa yang Mbak bawakan untuk kalian."
Dengan semangat, mereka segera membuka plastik berisi berbagai cemilan yang kubawa. "Jangan rebutan ya!" Aku memperingatkan dengan tegas. "Jangan lupa bilang terima kasih juga sama ...." Aku melirik Mas Athar yang sejak tadi diam seperti robot. "Suami Mbak," imbuhku karena semua itu dibayarkan oleh Mas Athar.
Anak-anak langsung mengucapkan terima kasih secara serempak tapi itu tak mampu membuat Mas Athar tersenyum meski hanya berpura-pura.
"Mau aku buatkan teh, Mas?" tanyaku.
"Di mana kamarmu?"
"Mas Athar ingin ke kamar?" Mas Athar hanya menggumam. "Begini, Mas. Aku berbagi kamar dengan Mbak Yuli, kalau Mas Athar mau ke kamar aku minta izin Mbak Yuli dulu ya. Di sana ada dua r4nj4ng, r4nj ang susun dan punyaku yang atas."
Mas Athar berdecak mendengar penjelasanku, membuatku k3 sal. "Ini panti asuhan, Mas. Kamar di sini sangat terbatas, bahkan makanan pun terkadang terbatas." Tanpa sadar aku mengomel.
"Aku tunggu di ruang tamu," ketusnya.
Aku hanya bisa tersenyum getir melihatnya pergi begitu saja. Sungguh tak berperasaan
****
Aku membantu Mbak Yuli menyiapkan makan siang, lalu makan bersama tapi Mas Athar enggan bergabung, katanya tak lapar.
Setelah selesai makan, aku membereskan dapur sementara Mbak Yuli mencuci baju. "Jadi benar kamu jarang ke sini setelah menikah?"
Aku yang sedang mencuci piring langsung menoleh mendengar suara Kak Rafiq. "Kenapa, Zy? Apa pria itu nggak kasih izin?"
Dengan berat hati aku mengangguk. Kak Rafiq tersenyum miring, kilat matanya berbubah. "Kakak kecewa sama kamu, Zizy. Kenapa kamu harus menikah sama dia, huh?"
"Ibu pasti sudah cerita semuanya, kan?"
Aku melanjutkan aktivitasku tapi Kak Rafiq tiba-tiba menarik pundakku, memaksaku menghadapnya. "Kamu bisa menghubungi Kakak, Zy. Kakak akan lakuin apa pun untuk mendapatkan u4 ng itu." Tatapan Kak Rafiq begitu taj4m dan suaranya bergetar. Aku bisa melihat kesedihan dan kem4r4han di matanya, juga kekecewaan.
"Keadaan ibu sangat mengkhawatirkan, Kak. Dokter sudah menemukan do nor jantung yang cocok tapi kami nggak punya bi4y a untuk operasi, kalau nggak operasi secepatanya maka Ibu bisa ...." Aku tak sanggup berbicara lebih banyak, apalagi ketika teringat saat kondisi Bu Fatma yang begitu mengkawatirkan. "Aku nggak punya pilihan lain, aku mau Ibu hidup dan u4ng 200 jut4 itu nggak sedikit, Kak."
"Tapi nggak harus dengan m3n- j u4l d!- ri pada pr!a itu, Zyana!"
Aku terbelalak mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Kak Rafiq, kepalaku langsung berd3ntum seperti d! h4nt4m b4tu dan dadaku terasa sesak seakan gunung menghimpitku.
M3nj u4l d!ri?
Apakah kata itu pantas untukku yang mengorbankan h! dup demi Bu Fatma?
Aku ingin membela diri tapi lidahku kelu, napasku tercekat di tenggorokan dan air mata sudah tumpah membasahi p**i.
"Zy, bu-bukan itu maksud Kakak." Kak Rafiq mengulurkan tangan untuk menghapus air mataku tapi aku menghindar. Ucapannya bagai b3l4_ti yang meny4y4_t hati, per! h sekali.
"Bukankah yang kami lakukan wajar?"
Suara bariton itu menarik perhatian kami berdua, kulihat Mas Athar melangkah masuk dengan cepat dan lebar menghampiri kami. Apa dia mendengar percakapanku dan Kak Rafiq?
"Salah satu tujuan pernikahan adalah mendapatkan keturunan, kan?" Pria bertubuh kekar ini tiba-tiba merangkul pinggangku lalu menarikku hingga men3mp3l di tu* uhnya. "Aku menikahinya untuk mendapatkan an4 k, apa itu salah? Dia tidak m3nj u4l d! ri dan aku tidak memb3l!nya."
Tatapan Mas Athar begitu mengintimidasi tapi Kak Rafiq tak mau kalah, dia juga menatap Mas Athar seakan ingin mengh4b! si suamiku.
"Aku menanggung semua pengobatan Bu Fatma bukan sebagai b4y4 ran untuk Zyana, melainkan sebagai tanda terima kasih karena sudah merestui pernikahan kami," imbuhnya.
"Restu?" Kak Rafiq bers3ring4i dan perasaanku mulai tak nyaman, kedua pria ini seperti sedang mengibarkan bendera perang.
"Kak, sudahlah." Aku meminta dengan lembut.
"Apa pria ini memperlakukanmu dengan baik, Zy?" Tatapan ny4 l4ng Kak Rafiq membuatku tak mampu menjawab. "Atau dia hanya memperlakukanmu sebagai objek yang bisa m3mb3r! nya a n4 k?"
Aku mengerjap beberapa kali guna menahan tumpukan air mata yang hendak kembali tumpah. "Kakak tahu kamu nggak bahagia, kamu merasa tertekan menjadi istrinya. Kakak bisa melihat semua itu di matamu, Zizy."
Dugaan Kak Rafiq memang tidak mel3s3 t sedikit pun, dia sangat mengenalku jadi tak heran jika Kak Rafiq bisa menebak apa yang ada dalam hati dan pikiranku dengan begitu mudah.
"Aku akan mengganti u4 ngm u jadi tolong c3r4! kan Zizy. Kembalikan dia pada kami, Tuan Athar yang terhormat!"
Aku terbelalak mendengar permintaan Kak Rafiq, aku langsung menatap Mas Athar yang sama sekali tidak bereaksi. Raut wajahnya masih datar tapi tatapan matanya ... sedikit berbeda.
"Aku berjanji akan melunasinya secepat mungkin." Kak Rafiq menambahkan.
"Kak?" desisku tapi Kak Rafiq tak menghiraukan, tatapannya lurus pada Mas Athar yang juga menatapnya.
Melihat suamiku yang masih bergeming, entah mengapa aku tiba-tiba khawatir. Apa dia akan setuju dan menc3r4! k4nku jika Kak Rafiq mengganti u4 ng p3 ngob4tan Bu Fatma?
Judul : SENTUHAN TANPA CINTA
Kbm pp