30/07/2023
KETIKA IBU DATANG
SELAMAT DATANG BISMA
Siang itu.
"Aduh... kemana ini?"
Nampak Gadis muda yang tengah panik, ia berlarian, sambil memegangi perutnya. Terhuyung dan nyaris terjatuh. Wajah lelah dengan penuh keringat. Tak sengaja, ia menemukan sebuah gubuk.
"Bu... pak... tolong saya...!" Gadis muda itu, meminta pertolongan.
"Sepertinya ada yang memanggil?" Gumam Sukma, sambil merapikan pakaiannya. Ia berjalan menuju pintu gubuk, miliknya.
"Bu... Tolong..." ucap Gadis itu.
"Waduh, ini kenapa darah semua? Loh? mau lahiran?" Tanya Sukma, yang panik, saat melihat keadaan gadis tersebut, penuh darah yang keluar dari lubang vaginanya dan memenuhi kedua kakinya.
"Tolong bu..." lirihnya lagi.
Sukma membopongnya, masuk ke dalam gubuk.
"Duduk disini, ibu siapkan peralatannya, jangan banyak bergerak." Ucap Sukma, pada gadis muda itu.
"Aduh... Sakit bu..." lirihnya, sambil menahan kontraksi hebat.
"Pandji? Ajeng?!" Sukma memanggil kedua anaknya, yang masih berumur 14 tahun dan 10 tahun.
"Ibu memanggil kita mas, ayo kita kesana." Ucap Ajeng, sambil meletakkan hasil panen sayur mereka di atas kursi bambu.
"Pasti ada orang yang mau melahirkan lagi dek." Ucap Pandji sambil berlarian masuk, kedalam gubuk.
"Tolong ibu, buat air teh, jangan diberi gula. Nah Pandji, kamu siapkan arang dan kain jarik, sama itu... bunga!" Perintah Sukma.
Mereka berdua dengan sigap melakukan apa yang Sukma perintahkan. Kemudian, mereka kembali dengan membawa semua yang diminta oleh Sukma.
"Sekarang tarik nafas, kakinya dibuka seperti ini, ayo, ikuti ibu!" Perintah ibu kepada gadis muda yang mulai lelah.
"Sakit bu..." lirih gadis muda itu, sambil menangis.
"Ayo, kasihan bayi kamu, ini sedikit lagi dia akan lahir." Ucap Sukma, sambil memegang pisau berukuran kecil yang terbuat dari tulang sapi, kemudian ia asah untuk membelah va***a wanita melahirkan atau dalam istilah kedokteran Episiotomi.
Banyak yang datang ke tempat Sukma, saat hendak melahirkan. Namun tak jarang, ada juga yang gagal dan meninggal dunia, baik ibu atau bayi itu sendiri.
Tak lama kemudian, Sukma membelah bagian selaput vag**nya, dengan pisau tulang, buatannya itu.
"Argh... sakit bu...!" Teriak gadis itu.
"Tahan, ini membantu kamu mengeluarkan bayi, ibu harus membelah bagian ini, walau sedikit sakit, ini membantu kamu untuk mengeluarkan bayi kamu." Ucap Sukma.
Pandji dan Ajeng memijat dan mengompres tubuh gadis itu. Sesekali mereka menyeka keringatnya.
Tak lama kemudian, bayi pun lahir. Tangisnya memecah suara hujan, yang turun deras siang itu.
Di desa, masih jarang sekali yang mendapat aliran listrik, sehingga Sukma mengandalkan obor dan lampu sumbu sebagai penerangan, di dalam gubuknya.
"Ajeng, air buat mandi bayi, bawa kesini ya..." Ucap Sukma.
"Iya bu." Sahut Ajeng.
"Pandji, bantu ibu, kamu kubur ari-arinya di tempat biasa. Mas**an kedalam kain kafan, yang sudah ada dan simpan dalam gendok kecil, kubur segera." Ucap Sukma, pada Pandji.
"Kamu tahan ya, ini ibu kasih sedikit rempah pada luka kamu ini, tahan, ini perih sekali." Ucap Sukma, sambil membawa arang yang telah di halus kan dan juga rempah daun dari sisa membuat jamunya.
"Argh... sakit...!" teriak gadis itu, dengan air mata.
"Tahan ya, kamu gigit handuk ini dengan kuat." Ucap Sukma.
Sukma kembali memberikan obat ramuannya kepada gadis itu dan membalut tubuhnya dengan kain panjang, dari perut hingga paha, agar rapat kembali.
"Kamu minum teh ini." Ucap Sukma.
"Terima kasih bu..." lirih gadis itu,sambil menahan sakit.
Lain hal Pandji dan Ajeng.
"Hujan seperti ini, tanahnya pasti akan basah." Gumam Pandji, sambil mencari tanah yang cocok dan tidak berair, untuk mengubur ari ari dari bayi yang baru saja lahir.
"Mas, bagaimana?" Tanya Ajeng.
"Hujan deras Ajeng, terpaksa kita tunggu reda." Sahut Pandji. Mereka berdua duduk menunggu hujan reda, di atas kursi bambu.
"Coba kamu beri susu dulu anak kamu nduk, belajar." Ucap Sukma, sambil memberikan bayi kepada gadis tersebut.
"Tidak bu, saya mau pulang saja. Saya tidak bisa merawat bayi ini, malu sama keluarga." Lirihnya sambil menangis.
"Jangan begitu, kelak kamu menyesal nanti jika anak ini ternyata membawa keberuntungan untuk kamu." Ucap Sukma.
"Tapi bu... saya takut pulang kerumah bu..." ucap gadis muda tersebut.
"Loh? Jangan... kasian ini anakmu, dia butuh kamu." Ucap Sukma, sambil melihat wajah bayi laki laki yang tampan dengan rambut yang lebat.
"Jangan bu, tolong, titip anak saya. Saya malu, saya tidak kuat lagi bu..." lirihnya sambil menahan sakit.
Nafasnya tersengal dan matanya mendadak berwarna putih keseluruhan.
"Loh?! Loh?! Pandji... Ajeng!" Sukma berteriak, memanggil kedua anaknya.
"Kenapa bu?!" Tanya mereka berdua.
"Meninggal..." ucap Sukma, pelan, sambil menutup mata gadis tersebut dan merapatkan mulutnya yang menganga.
"Innalillahi..." ucap mereka berdua.
Bayi itu menangis, bersamaan dengan gadis tersebut saat menghembuskan nafas terakhir, Ajeng menggendongnya dan memberikannya susu kambing, hasil dari perahan mereka pagi tadi, di kandang.
"Kita beri saja mas, kasihan." Ucap Ajeng.
"Iya dek kasih saja." Sahut Pandji.
Sukma membersihkan jasad gadis malang itu.Kemudian ia meminta Pandji untuk membalutnya lembali dengan kain kafan dan lurik, dan berencana menguburnya di kuburan umum tak jauh dari gubuk mereka.
"Pandji, panggil pak Wisnu, suruh kesini segera untuk membantu ibu." Ucap Sukma.
Kemudian Pandji bersama Wisnu dan sebagian warga pun datang untuk membantu menguburkan jasad gadis tersebut.
"Sudah berapa orang yang meninggal karena melahirkan di tempatmu Sukma? Ini berkat kesalahan kamu." Ucap Wisnu.
"Loh? Ini sudah ajalnya, masa saya yang disalahkan pak?!" Ucap Sukma.
"La jelas kok, matinya disini. Dalam 1 bulan sudah banyak kita menguburkan jenazah disana. Karena apa? Karena melahirkan ditempatmu!" Tegas Wisnu.
"Nyawa di tangan Tuhan, aku sudah melakukan dengan benar, ajal bukan aku yang menentukan." Ucap Sukma.
Sementara warga membawa mayat dari gadis malang itu ke liang kubur, Panji dan Ajeng menjaga bayi yang malang itu.
"Mas, ibu dimarahi lagi sama pak Wisnu." bisik Ajeng.
"Tidk apa-apa Ajeng, ibu kuat kok, dia tidak salah. Kita kasih nama adik kita ini siapa ya? Nama yang bagus dan sesuai dengannya?" Ucap Pandji.
"Oh aku ingat mas, nama Bisma, memiliki watak pribadi, sangat berbakti kepada ayahnya, sayang kepada keluarganya, memegang teguh segala apa telah dijanjikan. Dalam sejarahnya, Bisma juga merelakan tahta negara Astina kepada Dewi Durgandini/Dewi Setyawati sebagai persyaratan/maskawin kesediaan Dewi Durgandini menjadi istri ayahnya, Prabu Santanu. Gimana mas?" Ucap Ajeng.
"Hebat kamu dek, ingat sekali apa yang diceritakan ibu, ya sudah... kita panggil dia Bisma." Ucap Pandji, sambil tersenyum.
Tak lama, Sukma pun kembali masuk ke dalam gubuk dengan wajah muram.
"Bu... sabar..." ucap Pandji.
"Iya, ibu selalu dituduh sebagai pembunuh, padahal ibu membantu secara cuma-cuma, syukur-syukur diberikan ucapan terimakasih." Ucap Sukma, yang nampak lelah dan duduk di atas kursi bambunya.
"Bu, bayi ini kami jadikan sebagai adik kami, Bisma namanya." Ucap Ajeng sambil tersenyum.
"Nama yang bagus, kita harus kerja keras lagi, sekarang ada Bisma, kalian harus saling jaga dan juga saling membantu." Ucap Sukma, sambil tersenyum dan merangkul Pandji dan Ajeng.
"Baik Bu." Sahut mereka berdua dan tersenyum melihat Bisma.
Hujan reda, Pandji kemudian mengubur ari ari milik Bisma di belakang rumah.
"Bagaimana mas?" Tanya Ajeng sambil duduk dan menunggu.
"Aman dek, ini sudah rapih, semoga tidak dicuri kuntilanak lagi. seperti waktu itu, ari-ari yang mas kubur malah hilang, aneh juga." Ucap Pandji keheranan.
Selamat Datang Bisma.
8 : 24 PM