05/06/2024
I got 23 reactions and 2 replies on my recent top post! Thank you all for your continued support. I could not have done it without you. 🙏🤗🎉
Ditinggal suami yang p4mit merantau tapi tiba-tiba tak ada kabar. Ia pergi karena difitn*h oleh kakak ipar. Anakku bahkan dibedakan oleh ibuku sendiri karena kami miskin. Air mata kedua putraku menjadi p3cvt semangatku untuk bangkit! Jangan sedih lagi, Nak!
“Bu, Adek dikasih segini sama Om, Pakde, sama Oma,” adu an4kku yang bungsu malam itu. Ia mengeluarkan rec3.han lembaran dua ribuan yang ia kumpulkan dari ibu dan kedua saudara kandungku.
“Alhamdulillah … Adek kumpulin u4ngnya, ya, Adek tabung.”
“Iya, Bu. Tapi Mbak Rara sama Mas Bagas dikasih [email protected] merah sama Om dan Oma, Bu.”
Deg! Ja berdebar seketika. Rara dan Bagas adalah keponakanku, a Mas Pras. Usia mereka sebaya dengan Dede, putraku ini. Sedangkan adik bungsuku belum menikah namun sudah bekerja. Kehidupan mereka jauh di atasku.
“Gak apa-apa, Nak. Harus bersyukur sama rezeki yang dikasih Allah.”
“Oma bilang Adek gak boleh dikasih banyak-banyak, nanti habis untuk b3li yang gak penting. Emangnya barang gak penting itu apa, sih, Bu?”
“Ooh … nanti, kalau Adek sudah ngerti akan Ibu jelaskan, ya!”
“Iya, Bu!” [email protected] lima t itu mengangguk saja. Ia tak tahu bagaimana lvka hatiku sebagai ibunya melihat anakku dibedakan dengan cucu yang lain hanya karena kehidupan kami yang mis kin. Aku belum mampu bagi-bagi THR jika hari raya tiba.
Aku hanya pasrah dan sangat rela menjadi penyumbang tenaga untuk melayani semua anggota keluarga yang berkumpul di rumah ibu. Kakak iparku tak mungkin rela tangannya dikotori dengan sabun cuci piring ataupun berpanas-panasan di dapur demi bisa menyajikan hidangan lezat khas kampung yang selalu kusuguhkan pada mereka.
Bang Fatir —suamiku, sudah dua tahun ini merantau dan tak pernah pulang. Bahkan mengirimkan uang pun tak pernah. Hal itu membuat aku semakin tersudut jika kami berkumpul di rumah ibu. Mereka akan menyalahkan aku yang rela menikah dengan lelaki miskin dibandingkan menuruti kemauan Ibu untuk dinikahkan dengan lelaki k4.ya beristri tiga.
Aku bukan wanita gi1a h4.rta yang merelakan dirinya jadi istri keempat demi bisa hidup berkecukupan.
“Dis, Gendis! An4kmu ini!” Suara itu mengagetkanku. Boc4h kecilku sudah tak ada lagi di sisiku. Aku keasyikan melamun sampai-sampai aku lupa. Aku berjalan cepat keluar kamar paling sempit di rumah ibu.
“Gendis, Gendis! An4kmu ini seperti orang kel4paran saja! Lihat, dia rebut paha ayam si Rara!” bentak Ibu.
“Astaghfirullah … Dede ….” Aku [email protected] [email protected] ayam dari tangan anakku. Wajah Dede seketika terlihat kecewa.
“Kenapa Adek ambil ayam Mbak Rara?”
“Tapi dikasih sama Mbak Rara, Bu!”
“Mana ada,” sahut Rara dengan wajah sinis.
“Adek ikut Ibu ke belakang!” Kutar--ik saja tangan Dede. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Sekilas kulihat Rara dan Bagas tertawa dan toast, menepukkan kedua telapak tangan mereka dan cekikikan. Aku tahu, anakku tak bersalah. Rara berperilaku persis seperti ibunya, Mbak Ani. S**a pla¥ing v1ctim.
Bahkan karena tuduhan Mbak Ani itulah akhirnya Bang Fatir harus pergi dari kampung dan merantau jauh. Mbak Ani menuduh suamiku telah melecehkan dirinya. H4ncur sudah reputasi suamiku. Aku jadi terpaksa berjualan sarapan pagi kecil-kecilan untuk menyambung hidup. Ibu malu melihat kehidupanku dan juga m4lu mengakui kedua cucunya.
Namun jika kedua saudaraku datang, ibu pasti butuh tenagaku untuk merajakan mereka. Aku dipaksa menginap dan menjadi pembantu di rumah besar ini.
“Adek, lain kali jangan pernah terima pemberian Mbak Rara ataupun Mas Bagas lagi, ya!”
“Tapi Adek mau paha Ayam seperti Mbak Rara, Bu. Adek selalu aja dikasih ceker sama leher. Adekjuga mau,” rengeknya.
“Besok kita beli sendiri, ya, Dek. Jangan usik apapun milik mereka, ibu gak suka!”
“Maaf, Bu ….” Dede menunduk, wajahnya begitu memelas. Hati ibu mana yang tidak nelangsa? Tak lama putra sulungku datang, ia memakai sarung lusuh milik Bang Fatir. Ia baru kembali dari mengaji di mushola.
“Nih, Bu! Tadi Abang lupa kasih uangnya. Ini dikasih sama Oma, Om Dion sama Pakde Pras.”
Gilang menyerahkan gulungan u4ng lusuh. Kuhitung jumlahnya enam ri8.u rup1. ah.
Lagi-lagi aku dipaksa menghela napas dan bersabar. Bukan tak bersyukur, namun anakku Gilang sudah paham, beda dengan Dede.
“Abang kenapa lesu begitu?”
“Gak apa-apa, Bu. Gilang cuma heran. Gilang ini cucu Oma apa bukan, sih? Rara dan Bagas dikasih seratus ribu, Gilang sama Dede cuma dua ribu.”
“Sudah, jangan misuh-misuh di depan rezeki.”
“Bapak kapan balik, Bu?” tanya Gilang. Pertanyaan yang lebih seribu kali ia tanyakan.
“Sabar, ya! Nanti bapak pulang bawa [email protected] banyak, bawa mobil!” ucapku asal, berharap [email protected] tak lagi sibuk bertanya.
“Aamiin ….” Gilang menjawab lesu. Kudekap kedua putraku sambil menahan tangis.
Sabar, Nak! Allah tahu kita teraniaya, Allah pasti akan menolong kita.