Media Inspiratif

Media Inspiratif Kump**an Artikel Inspirasi dan Motivasi
(6)

Allahu Akbar...gak jenuh bacanya...Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter se...
09/12/2024

Allahu Akbar...gak jenuh bacanya...
Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh –berusia sekitar tujuh puluhan- spesialis penyakit...
“Silakan duduk,” sambut dr.Paulus.
Aku duduk di depan meja kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk menulis identitasku di kartu pasien.

“Apa yang dirasakan, Mas?”

Aku pun bercerita tentang apa yang kualami sejak 2013 hingga saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit maag, peristiwa-peristiwa kram perut, ambruk berkali-kali, gejala dan vonis tipes, pengalaman opnam dan endoskopi, derita GERD, hingga tentang radang duodenum dan praktek tata pola makan Food Combining yang kulakoni.

“Kalau kram perutnya sudah enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku, “Tapi sensasi panas di dada ini masih kerasa, panik juga cemas, mules, mual. Kalau telat makan, maag saya kambuh. Apalagi setelah beberapa bulan tata pola makan saya amburadul lagi.”

“Tapi buat puasa kuat ya?”

“Kuat, Pak.”

“Orang kalau kuat puasa, harusnya nggak bisa kena maag!”

Aku terbengong, menunggu penjelasan.

“Asam lambung itu,” terang Pak Paulus, “Diaktifkan oleh instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa mengendalikan persepsi, maka asam lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang puasa.”

“Maksudnya, Pak?”

“Orang puasa ‘kan malamnya wajib niat to?”

“Njih, Pak.”

“Nah, niat itulah yang kemudian menjadi kontrol otak atas asam lambung. Ketika situ sudah bertekad kuat besok mau puasa, besok nggak makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat otak menginstruksikan kepada fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya kalau sensasi lapar memang ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak akan naik, apalagi sampai parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah niat mantap. Kalau cuma di mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya tetap nggak kuat. Makanya niat itu jadi kewajiban, ‘kan?”

“Iya, ya, Pak,” aku manggut-manggut nyengir.

“Manusia itu, Mas, secara ilmiah memang punya tenaga cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau orang sehat itu bisa tetap bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar selama dua bulan. Misalnya puasa dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu kuat. Asalkan tekadnya juga kuat.”

Aku melongo lagi.

“Makanya, dahulu raja-raja Jawa itu sebelum jadi raja, mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh hari. Bukanya cuma minum air kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih bersih. Hahaha,” ia tertawa ringan, menambah rona wajahnya yang memang kelihatan masih segar meski keriput penanda usia.

Kemudian ia mengambil sejilid buku di rak sebelah kanan meja kerjanya. Ya, ruang praktek dokter dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa judul dan penulisnya. Ia langsung membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa baris kalimat yang sudah distabilo hijau.

“Coba baca, Mas: ‘mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah mengundang’. Jadi kalau situ memikirkan; ‘ah, kalau telat makan nanti asam lambung saya naik’, apalagi berulang-ulang mengatakan dan meyakininya, ya situ berarti mengundang penyakit itu. Maka benar kata orang-orang itu bahwa perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa sakit, langsung mensugesti diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu nggak merasa sakit saat diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan pikirannya. Einstein yang nemuin bom atom itu konon cuma lima persen pendayagunaan otaknya. Jadi potensi otak itu luar biasa,” papar Pak Paulus.

“Jadi kalau jadwal makan sembarangan berarti sebenarnya nggak apa-apa ya, Pak?”

“Nah, itu lain lagi. Makan harus tetap teratur, ajeg, konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung juga. Misalnya situ makan tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan siang buatla sama dengan jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya, sarapan jam enam pagi, makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam petang. Kalau siang, misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang jam dua belas, ya niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang ke jam dua misalnya, ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola yang teratur, maka organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan sahurnya.”

“Ooo, gitu ya Pak,” sahutku baru menyadari.

“Tapi ya itu tadi. Yang lebih penting adalah pikiran situ, yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah sudah menciptakan tubu kita untuk menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya, ada enzim yang bekerja di dalam tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa diaktifkan secara optimal kalau pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut, kuatir, justru imunitas situ turun dan rentan sakit juga.”

Pak Paulus mengambil beberapa jilid buku lagi, tentang ‘enzim kebahagiaan’ endorphin, tentang enzim peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan Mesir.

“Situ juga berkali-kali divonis tipes ya?”

“Iya, Pak.”

“Itu salah kaprah.”

“Maksudnya?”

“Sekali orang kena bakteri thypoid penyebab tipes, maka antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua tahun. Sehingga selama dua tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes lagi. Bagi orang yang fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang dalam tes widal hasilnya positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak yang salah kaprah, setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu biar rumah sakitnya penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa.”

“Haah?”

“Iya Mas. Kalaupun tipes, nggak perlu dirawat di rumah sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum, cukup istirahat di rumah dan minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS Sardjito, saya anjurkan agar belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya asuransi, rawat jalan saja. Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum yang banyak, dan tiap hari harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka nurut. Itu dalam waktu maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien yang dirawat inap, minimal baru bisa p**ang setelah satu minggu, itupun masih lemas.”

“Tapi ‘kan pasien harus bedrest, Pak?”

“Ya ‘kan bisa di rumah.”

“Tapi kalau nggak pakai infus ‘kan lemes terus Pak?”

“Nah situ nggak yakin sih. Saya yakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha seperti yang saya sarankan itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu luar biasa lho, Mas.”

Dahiku berkernyit. Menunggu lanjutan cerita.

“Dulu,” lanjut Pak Paulus, “Ada seorang wanita kena kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi di Sardjito.
Nggak lama, ternyata payudara kirinya kena juga. Karena nggak segera lapor dan dapat penanganan, kankernya merembet ke paru-paru dan jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.

Dia divonis punya harapan hidup maksimal hanya empat bulan.”

“Lalu, Pak?” tanyaku antusias.

“Lalu dia kesini ketemu saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; ‘Pak Paulus, saya sudah divonis maksimal empat bulan.

Kira-kira bisa nggak kalau diundur jadi enam bulan?’

Saya heran saat itu, saya tanya kenapa.

Dia bilang bahwa enam bulan lagi anak bungsunya mau nikah, jadi pengen ‘menangi’ momen itu.”

“Waah.. Lalu, Pak?”

“Ya saya jelaskan apa adanya. Bahwa vonis medis itu nggak seratus persen, walaupun prosentasenya sampai sembilan puluh sembilan persen,
tetap masih ada satu persen berupa kepasrahan kepada Tuhan yang bisa mengalahkan vonis medis sekalipun.
Maka saya bilang; sudah Bu, situ nggak usah mikir bakal mati empat bulan lagi.
Justru situ harus siap mental, bahwa hari ini atau besok situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada Tuhan, siap menghadap Tuhan kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan hidup.”

Aku tambah melongo. Tak menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi si ibu agar semangat untuk sembuh, malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan berbagai sensasi ketidaknyamanansudah tak kurasakan lagi.

“Dia mau nurut. Untuk menyiapkan mental siap mati kapanpun itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap, pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat enjoy.
Nah, saat itu saya cuma kasih satu macam obat. Itupun hanya obat anti mual biar dia tetap bisa makan dan punya energi untuk melawan kankernya.

Setelah hampir empat bulan, dia check-up lagi ke Sardjito dan di sana dokter yang meriksa geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur hilang!”

“Orangnya masih hidup, Pak?”

“Masih. Dan itu kejadian empat belas tahun lalu.”

“Wah, wah, wah..”

“Kejadian itu juga yang menjadikan saya yakin ketika operasi jantung dulu.”

“Lhoh, njenengan pernah Pak?”

“Iya.
Dulu saya operasi bedah jantung di Jakarta. Pembuluhnya sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.

Saya nggak mau. Akhirnya diambillah pembuluh dari kaki untuk dipasang di jantung.

Saat itu saya yakin betul sembuh cepat. Maka dalam waktu empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke Jogja, bahkan dari bandara ke sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal dua minggu baru bisa p**ang.
Orang yang masuk operasi yang sama bareng saya baru bisa p**ang setelah dua bulan.”

Pak Paulus mengisahkan pengalamannya ini dengan mata berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular ke pasiennya ini. Jujur saja, penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan sembuhku dengan begitu drastis.

Persis ketika dua tahun lalu pada saat ngobrol dengan Bu Anung tentang pola makan dan kesehatan. Semangat menjadi kembali segar!

“Tapi ya nggak cuma pasrah terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan dokter,” lanjutnya,
“Dulu tugas di Bethesda, aslinya Jakarta, lalu pindah mukim di Tennessee, Amerika.

Di sana dia kena kanker stadium empat. Setelah divonis mati dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan pasang mental siap mati kapanpun.

Hingga suatu hari dia jalan-jalan ke perpustakaan, dia baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di Afrika.
Dia cari-cari referensi tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya dia hubungi kawannya, seorang dokter di Afrika Tengah.

Kawannya itu nggak bisa jawab.
Lalu dihubungkan langsung ke kementerian kesehatan sana. Dari kementerian, dia dapat jawaban mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus kanker.
Nah dia pun kaget, tambah penasaran.”

Pak Paulus jeda sejenak. Aku masih menatapnya penuh penasaran juga, “Lanjut, Pak,” benakku.

“Beberapa hari kemudian dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti kebiasaan hidup orang-orang pribumi. Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran mentah, dilalap, nggak dimasak kayak kita.

Sepiring porsi makan itu tiga perempatnya sayuran, sisanya yang seperempat untuk menu karbohidrat. Selain itu, sayur yang dimakan ditanam dengan media yang organik. Pupuknya organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa tumbuhan.

Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya pakai yang berbahaya, eh pakai dimasak p**a. Serba salah kita.

Bahkan beras merah dan hitam yang sehat-sehat itu, kita nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan burung, ya jadinya burung itu yang sehat, kitanya sakit-sakitan.”

Keterangan ini mengingatkanku pada obrolan dengan Bu Anung tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga beras sehat. Pas sekali.

“Nah dia yang awalnya hanya ingin tahu, akhirnya ikut-ikutan.

Dia tinggal di sana selama tiga mingguan dan menalani pola makan seperti orang-orang Afrika itu.”

“Hasilnya, Pak?”

“Setelah tiga minggu, dia kembali ke Tennessee.

Dia mulai menanam sayur mayur di lahan sempit dengan cara alami.
Lalu beberapa bulan kemudian dia check-up medis lagi untuk periksa kankernya,”

“Sembuh, Pak?”

“Ya! Pemeriksaan menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada Tuhan, itu energi yang luar biasa.

Apalagi ditambah dengan usaha yang logis dan sesuai dengan fitrah tubuh.

Makanya situ nggak usah cemas, nggak usah takut..”

Takjub, tentu saja.

Pada momen ini Pak Paulus menghujaniku dengan pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang kisah-kisah para pasien yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.

Aku jadi teringat kisah serupa yang menimpa alumni Madrasah Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku belajar saat ini.

Singkatnya, santri ini mengidap tumor ganas yang bisa berpindah-pindah benjolannya.

Ia divonis dokter hanya mampu bertahan hidup dua bulan. Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia mampu menerima kenyataan itu.

Ia pun bertekad menyongsong maut dengan percaya diri dan ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai, menyampaikan maksudnya itu.

Kemudian oleh Romo Kiai, santri ini diijazahi (diberi rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur’an, yakni amalan membaca Al-Quran tanpa henti selama empat puluh hari penuh, kecuali untuk memenuhi hajat dan kewajiban primer.

Riyadhoh pun dimulai. Ia lalui hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.

Persis di pojokan aula Madrasah Huffadh yang sekarang. Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet sebagai selimut.

Hari ke tiga puluh, ia sering muntah-muntah, keringatnya pun sudah begitu bau.

Bacin, mirip bangkai tikus,kenang narasumber yang menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh lima, tubuhnya sudah nampak lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah hilang.

Selepas rampung riyadhoh empat puluh hari itu, dia kembali periksa ke rumah sakit di mana ia divonis mati.

Pihak rumah sakit pun heran.
Penyakit pemuda itu sudah hilang, bersih, dan menunjukkan kondisi vital yang sangat sehat!

Aku pribadi sangat percaya bahwa gelombang yang diciptakan oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi positif bagi fisik.

Khususnya energi penyembuhan bagi mereka yang sakit.

Memang tidak mudah untuk sampai ke frekuensi itu, namun harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak Paulus.

“Untuk melatih pikiran biar bisa tenang itu cukup dengan pernapasan.

Situ tarik napas lewat hidung dalam-dalam selama lima detik, kemudian tahan selama tiga detik. Lalu hembuskan lewat mulut sampai tuntas. Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh dan sebelum Maghrib.

Itu sangat efektif. Kalau orang pencak, ditahannya bisa sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan ya cukup tiga detik saja.”

Nah, anjuran yang ini sudah kupraktekkan sejak lama. Meskipun dengan tata laksana yang sedikit berbeda.

Terutama untuk mengatasi insomnia. Memang ampuh. Yakni metode empat-tujuh-delapan.

Ketika merasa susah tidur alias insomnia, itu pengaruh pikiran yang masih terganggu berbagai hal.

Maka pikiran perlu ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau sejenisnya, murah meriah.

Pertama, tarik napas lewat hidung sampai detik ke empat, lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan lewat mulut pada detik ke delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.

Memang iya mata kita tidak langsung terpejam ngantuk, tapi pikiran menadi rileks dan beberapa menit kemudian tanpa terasa kita sudah terlelap.
Awalnya aku juga agak ragu, tapi begitu kucoba, ternyata memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami insomnia sebab rindu akut sekalipun.

“Gelombang yang dikeluarkan oleh otak itu punya energi sendiri, dan itu bergantung dari seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat konsentrasi kita,” terangnya,

“Jadi kalau situ sholat dua menit saja dengan khusyuk, itu sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat sejam tapi pikiran situ kemana-mana, hehehe.”

Duh, terang saja aku tersindir di kalimat ini.

“Termasuk dalam hal ini adalah keampuhan sholat malam.

Sholat tahajud. Itu ketika kamu baru bangun di akhir malam, gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh lebih kuat daripada gelombang Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau doa di saat tahajud itu begitu cepat ‘naik’ dan terkabul. Apa yang diminta, itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu kuat, ditambah lagi gelombang otak yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar potensi terwujud doa-doa situ.”

Tak kusangka Pak Paulus bakal menyinggung perihal sholat segala. Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang ‘enzim panjang umur’.

“Tubuh kita ini, Mas, diberi kemampuan oleh Allah untuk meregenerasi sel-sel yang rusak dengan bantuan enzim tertentu, populer disebut dengan enzim panjang umur. Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan yang lama dibuang.
Ketika pikiran kita positif untuk sembuh, maka yang dibuang pun sel-sel yang terkena penyakit.

Menurut penelitian, enzim ini bisa bekerja dengan baik bagi mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga sampai empat hari sekali.”

Pak Paulus menatapku, seakan mengharapkan agar aku menyimpulkan sendiri.

“Puasa?”
“Ya!”
“Senin-Kamis?”

“Tepat sekali! Ketika puasa itu regenerasi sel berlangsung dengan optimal.

Makanya orang puasa sebulan itu juga harusnya bisa jadi detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai penyakit.”

Lagi-lagi,aku manggut-manggut.

Tak asing dengan teori ini.

“Pokoknya situ harus merangsang tubuh agar bisa menyembuhkan diri sendiri.

Jangan ketergantungan dengan obat. Suplemen yang nggak perlu-perlu amat,nggak usahlah. Minum yang banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ banyak berkeringat, ya tergantung kebutuhan.

Tertawalah yang lepas, bergembira, nonton film lucu tiap hari juga bisa merangsang produksi endorphin, hormon kebahagiaan. Itu akan sangat mempercepat kesembuhan.

Penyakit apapun itu! Situ punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya susah sembuhnya.

Termasuk asam lambung yang sering kerasa panas di dada itu.”

Terus kusimak baik-baik anjurannya sambil mengelus perut yang tak lagi terasa begah. Aneh.

“Tentu saja seperti yang saya sarankan, situ harus teratur makan, biar asam lambung bisa teratur juga.

Bangun tidur minum air hangat dua gelas sebelum diasupi yang lain.

Ini saya kasih vitamin saja buat situ, sehari minum satu saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah kemantapan hati, yakin, bahwa situ nggak apa-apa. Sembuh!”

Begitulah. Perkiraanku yang tadinya bakal disangoni berbagai macam jenis obat pun keliru.

Hanya dua puluh rangkai kaplet vitamin biasa, Obivit, suplemen makanan yang tak ada ?;kaitannya dengan asam lambung apalagi GERD.

Hampir satu jam kami ngobrol di ruang praktek itu, tentu saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti konsultasi dokter pribadi saja rasanya.

Padahal saat keluar, kulihat masih ada dua pasien lagi yang kelihatannya sudah begitu jengah menunggu.

“Yang penting pikiran situ dikendalikan, tenang dan berbahagia saja ya,” ucap Pak Paulus sambil menyalamiku ketika hendak pamit.

Dan jujur saja, aku p**ang dalam keadaan bugar, sama sekali tak merasa mual, mules, dan saudara-saudaranya.

Terima kasih Pak Paulus.

Kadipiro Yogyakarta, 2016

Dari wordpress GUBUGREOT

Boleh di share biar lebih bermanfaat buat orang banyak, kalo pelit di simpen sendiri juga gak apa apa =D

Rasulullah S.A.W bersabda :"Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya,maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala." (HR. Al-Bukhari)copas,com

Check out this product on Shop | Tokopedia
14/10/2024

Check out this product on Shop | Tokopedia

Buy Gembok Sepeda Motor Cakram Moped Disc Brake Bahan Baja Universal on TikTok Shop. Discover more great prices on TikTok Shop.

Emily Azalea menghadapi kenyataan pahit bahwa dirinya dipaksa menikah dengan putra pertama dari keluarga konglomerat Gru...
12/10/2024

Emily Azalea menghadapi kenyataan pahit bahwa dirinya dipaksa menikah dengan putra pertama dari keluarga konglomerat Grup H yang terkenal bernama Dax luke. Lebih menyakitkan lagi, Emily Azalea ternyata menjadi istri kedua dari sosok Dak Luke pria berhati dingin dan datar, namun sangat mencintai istri pertamanya.

Emily bertekad untuk lepas dari pernikahan ini dan mendapatkan kebebasannya.

Dax baru saja p**ang dari luar negeri, setelah masuk kedalam rumah hal pertama yang dilakukan Dax ialah menemui istri tercintanya.
Meski Dax dikenal pria berhati dingin tapi untuk Davita apapun akan dilakukan oleh Dax.

Dax memeluk istrinya dan mencumbu lehernya, memberi kode bahwa Dax menginginkan dirinya memasuki Davita.

Namun Davita sengaja menghindar, Davita tidak ingin berhubungan intim dengan suaminya tanpa pengaman. Davita beranjak dari meja riasnya dan membuka laci di dekat tempat tidur, kemudian dengan langkah menggoda Davita memberikan pengaman itu dengan mulutnya sendiri.

“Apa kamu tidak ingin punya anak, sayang. Aku tidak s**a menggunakannya,” mengambil pengaman itu lalu membuangnya ke lantai.

“Dax, kamu tahu kan, aku seorang model, jika aku hamil, maka bentuk tubuhku akan rusak, ayolah sayang, ehm, tunggu sampai menyelesaikan kontrakku, aku akan segera memberimu anak.” Davita merayu suaminya itu.

Lima tahun Dax dan Davita membangun bahtera rumah tangga. Dax sudah ingin mempunyai anak dari Davita, tapi istrinya selalu menanggapi dengan acuh tak acuh oleh Davita.

Berulang Kali Dax sudah mencoba membicarakannya pada Davita, tetapi tetap saja Davita memberi jawaban yang sama bahwa ia tidak ingin hamil.

Bahkan orang tua Dax sudah memperingatkan kalau Davita harus segera hamil, keluarga Dax betul-betul mendesak Dax memiliki anak, apalagi Dax anak tunggal, semakin membuat kedua orangtua Dax lebih menginginkan cucu.

Dax kehilangan nafsunya. “Aku akan membersihkan diri.”

“Sayang, apa kamu marah? Jika kamu mau kamu bisa mengambil satu wanita untuk melahirkan anakmu,” ucap Davita dengan enteng.

Dax menatap istrinya itu. “Apa kamu tidak cemburu jika wanita lain naik ke atas ranjangku? Lalu aku tidur dengannya.” Menatap Davita dengan kesal.

Davita tersenyum tipis. “Aku tahu, cintamu sangat besar untukku, aku juga percaya diri bahwa tidak akan ada wanita yang bisa masuk ke dalam hatimu, hanya Davita yang di hatimu.” Mengecup bibir Dax dengan lembut.

Davita menggoda Dax agar berhubungan intim bersama, namun kali ini Dax menolaknya.

“Aku sangat lelah hari ini, kita lakukan lain kali,” tolak Dax dengan lembut.

***
Larut malam seorang gadis baru saja keluar dari gedung butiknya. Baru saja ia mengetahui tunangannya berselingkuh di belakangnya. Seseorang mengirimkan video tidak senonoh tunangannya dengan wanita lain.

Gadis itu menangis di jalanan, dengan bodohnya dia mengira kalau selama ini dia dicintai oleh pacarnya. Hubungan tiga tahun bersama pacarnya tidak berarti apa-apa.

“Taxi!”

Gadis itu menaiki taxi sambil menangis tersedu. Sopir Taxi meminta gadis itu menyebutkan alamat rumahnya. Dengan menangis gadis itu menyebut alamat rumahnya.

“Katakan, kenapa aku terus dikhianati Pak, laki-laki semuanya bejat, tidak ada yang benar-benar baik.”

Sopir hanya melirik dari kaca depan, namun tidak merespon.

Setelah turun dari Taxi, gadis itu masuk ke dalam rumah.

“Emily! Dari mana saja kamu!”

“Sssttt, jangan ribut. Ada hantu mengikutiku dari belakang, jika kamu bersuara. Hap! Kamu akan ditangkap.”

Gadis itu bernama Emily Azalea, berusia dua puluh enam tahun, mabuk karena mendapati tunangannya berselingkuh.

Wanita paruh baya yang baru saja memanggil Emily bernama Anas sekaligus Mamanya Emily Azalea.

“Kamu bicara ngawur, kamu kenapa baru p**ang jam segini?” Melihat penampilan Emily berantakan.

“Mama, aku mencintaimu, hanya Mama yang mencintai Emily,” memeluk Anas.

Anas tahu putrinya itu pasti punya masalah. Karena itu Anas tidak bertanya lagi, Anas membantu Emily masuk ke dalam kamarnya.

Setengah jam kemudian ketika hendak merebahkan diri ke atas kasur, Anas mendengar suara mobil suaminya masuk ke dalam bagasi rumah, Anas segera menyambut kedatangan suaminya itu.

Anas beranjak keluar dari kamar dan membuka pintu rumah untuk suaminya, ketika pintu terbuka, Anas terkejut melihat seluruh wajah suaminya babak belur.

“Mas, kamu kenapa? Apa yang terjadi pada wajahmu,” ucap Anas.

Suaminya Anas terlihat dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Ia memegang wajahnya sambil menghela nafas dan berkata.

“Perusahaanku bangkrut, para investor meminta ganti rugi, bahkan hari ini perusahaan di obrak abrik oleh para preman. Papa tidak tahu harus berbuat apa lagi.”

Dia Rehan, ayah dari Emily, seorang pengusaha biasa, tidak terlalu dikenal dalam dunia bisnis.

Rehan dan Anas diam terpangau, sebentar lagi mereka pasti akan ditendang dari rumah itu.

***
Keesokan paginya.

Emily bangun, dan mengingat vidio semalam dimana kekasihnya tengan asik bercocok tanam bersama wanita lain.

Emily tersenyum hambar, nasibnya sungguh malang, ini kesekian kalinya dia dikhianati oleh kekasihnya. Emily terhadap cinta selalu tulus, namun tidak pernah ada pria yang mencintainya dengan tulus.

Rata-rata pria yang meninggalkannya selalu beralasan bahwa pemikiran Emily terlalu kulot. Dimana-mana orang berpacaran pasti melakukan hubungan intim, namun Emily selalu menolak ajakannya untuk tidur bersama, sebab itulah Emily kerap kali ditinggalkan.

“Kenapa tidak ada laki-laki yang baik di dunia. Apakah ada laki-laki yang tulus mencintai satu wanita.” Gumam Emily.

Emily dipanggil untuk sarapan, segera Emily membersihkan wajahnya lalu turun ke bawah.

Terlihat wajah ayahnya murung. Emily menarik kursinya laku duduk.

“Apa ayah punya masalah?” tanya Emily.

Rehan menceritakan permasalahannya di kantor, mengatakan pihak investor tiba-tiba membatalkan kontrak, sedangkan sebagian uang telah dipakai perusahaan.

“Jadi ayah harus mengganti rugi,” saut Rehan dengan nada lesu.

“Mengapa bisa begitu, seenaknya membatalkan kontrak, lalu meminta uang dikembalikan. Ayah tenang saja, Emily akan membantu ayah, kalau perlu Emily akan mendatangi orang itu.” Emily kesal mendengar cerita ayahnya.

Orang kaya memang selalu berbuat seenaknya pada pengusaha kecil.

Anas menatap putrinya itu, kemarin malam terlihat Emily p**ang dengan wajah sedih.

“Apa kamu ada masalah dengan Reno?”

Reno tunangan Emily sekaligus anak dari teman Anas.

Emily mengangguk, lalu mengambil sup yang berada di dalam mangkuk dan menyerutnya dengan tergesa-gesa.

“Mama benar, Reno berselingkuh dariku,” ucap Emily.

Anas menatap Emily dengan Iba, dia tahu bahwa putrinya itu tidak pernah berhasil dalam percintaan. Bahkan Reno anak dari temannya sendiri mengkhianati putrinya.

“Mama yakin masih ada pria diluar sana yang akan mencintai Emily, jadi lupakan Reno dan cari yang baru.” Anas menyemangati putrinya itu agar segera melupakan Reno.

***
Dax memakai setelannya, kemeja berwarna putih melekat di tubuhnya yang kekar hingga menampilkan otot-otot lengannya. Setelah itu Dax keluar dari kamarnya.

“Pagi, sayang.”

“Pagi, my honey,” sahut Davita pada suaminya itu kemudian menyodorkan bibirnya untuk dicium Dax.

Dax memang pria yang mencintai istrinya, meski kesannya dia cuek dan dingin, tapi terhadap istrinya, Dax bersikap lembut dan hangat.

“Sayang, hari ini mama mengundang kita ke rumah,” ucap Dax.

Mendengar perkataan itu, Davita diam. Ia tahu bahwa berkunjung ke rumah mertuanya itu, pasti membahas tentang kapan Davita bisa hamil dan melahirkan keturunan untuk keluarga suaminya.

Diakui keluarga Dax memang terpandang, memiliki kekayaan yang tidak terhitung, tapi itu bukan berarti Davita harus merelakan mimpinya sebagai model dan mau menjadi ibu rumah tangga.

“Sayang, barusan managerku telepon, katanya pagi ini ada pemotretan, mungkin lain kali saja kita pergi.”

“Baiklah.” Dax selalu menuruti keinginan Davita.

Sedangkan Davita lagi-lagi menolak untuk pergi.

Davita dikejutkan dengan kedatangan ibu mertuanya.

Davita yang telah bersiap untuk pergi menjadi tertunda karena kedatangan ibu mertuanya.

“Bagaimana ibu bisa datang sepagi ini?” tanya Davita mempersilahkan Ibu mertuanya untuk masuk ke dalam rumah.

Ibu mertuanya bernama Kamila, Dia masuk ke dalam rumah sambil mengomel kesal, karena Davita tidak pernah datang berkunjung kediaman nya.

“Duduklah sebentar, Ibu menyiapkan ramuan untuk kalian berdua.”

“Ramuan apa Bu?” tanya Dax, baru saja datang arah tangga.

“Ini sup toge, yang ini sup belut, yang ini kunyit untuk diminum Davita.” Mengeluarkan dari paper bagnya.

Davita membantu ibu mertuanya itu dengan membawakan beberapa mangkuk tempat sup.

“Untuk apa semua ini Bu?” tanya Davita

“Ya untuk kamu lah, ini semua membantu kalian agar cepat punya anak. Setiap pagi ibu berencana akan membawakannya untuk kalian.”

Dax tersenyum tipis.

Davita menatap ke arah suaminya dengan tatapan tidak nyaman.

“Apakah kamu tidak s**a?” tanya Karmila kepada Davita.

Davita menggeleng. “Tidak Bu, Davita s**a.”

“Kalian sehari berapa kali melakukan ritual intim?” tanya Karmila terang-terangan. “Terus kapan kamu hamil, sudah tidak tiga tahun, gak hamil-hamil juga,” oceh Karmila kembali sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk.

Davita tidak berani untuk melawan mertuanya, jika bukan karena menikah dengan Dax, mungkin kehidupan Davita tidak akan senyaman ini.

Sejujurnya, Davita bukanlah dari keluarga terpandang, Davita hanya seorang anak dari pedagang kaki lima dengan cita-cita menjadi seorang model terkenal, jika bisa sampai ke penjuru dunia, Davita ingin menunjukkan kecantikannya, agar mereka yang dulu pernah menghina Davita bungkam.

Beruntungnya Davita bertemu dengan Dax, suami yang sangat mencintainya dan mengerti tentang ambisinya.

Dax menatap ke arah wajah Davita yang sejak tadi cemberut, ditambah dengan pertanyaan ibunya yang tiada henti.

“Apa-apan sih Bu, jangan dibahas lah tentang urusan ranjang kami.” Dax selalu mementingkan perasaan Davita.

“Habisnya Davita tidak kunjung hamil, ayolah Dax, ibu sudah pengen menggendong cucu. Lihat teman arisan ibu, semuanya pada punya cucu.” Keluh Karmila.

Davita meletakkan sendoknya. Kemudian berkata. “Kami sudah berusaha Bu,” ucap Davita. Padahal nyatanya Davita memakai KB. Itupun tidak diketahui oleh Dax.

“Setidaknya usahanya lebih keras lagi, kalau tidak kalian bisa ikut program bayi tabung. Tapi kalau memang ada masalah dengan rahim Davita, pinjam rahim wanita lain juga tidak masalah. Yang penting Ibu punya cucu.”

Itu jelas telah terpikirkan oleh Davita, namun Dax lah yang menolak tawaran itu.

“Kami akan pikirkan Bu, sebaiknya Ibu diantar p**ang oleh sopir, aku dan Davita harus berangkat kerja.” Dax tidak ingin membahasnya lagi

Dax tidak mau ada ibu pengganti untuk anaknya, yang Dax inginkan Davita lah menjadi ibu dari anak-anaknya, jika bukan dengan Davita, ia lebih memilih untuk tidak punya anak.

***
Dengan langkah terburu-buru Emily p**ang ke rumahnya bahkan butiknya tidak sempat ditutupnya. Tumben sekali kedua orangtuanya menelponnya dan memintanya p**ang.

Saat Emily masuk kedalam rumah, semuanya telah kacau balau. Emily melihat wajah ayahnya penuh dengan memar. Seperti habis dipukuli.

“Ada apa ayah?” tanya Emily.

“Bereskan semua barang-barangmu, hari ini kita pindah,” ucap Ayahnya.

“Cepat sayang, sebelum mereka kembali lagi.”

Anas mulai naik ke atas tangga dan membereskan barang-barang yang perlu dibawanya.

Jantung Emily berdetak lebih kencang, sepertinya masalah kebangkrutan kedua orangtuanya tidak bisa dihindari.

“Apa ayah sudah punya rencana, atau ayah sudah tahu kemana kita akan pergi?” tanya Emily duduk di sebelah Ayahnya.

Rehan hanya menggeleng pelan.

Tiba-tiba Rehan mendapat panggilan dari seorang teman.

“Hallo, ada apa Rik?” Jawabnya lewat telepon.

“Aku dengar perusahaanmu lagi ada masalah.”

“Iya, kamu benar.”

“Aku punya solusi dari masalahmu, datanglah ke kantor sekarang, aku menawarkan sesuatu padamu,” sautnya dari seberang telepon.

Rehan segera berpamitan pada Emily untuk bertemu dengan temannya.

Satu jam kemudian. Rehan kembali kerumah. Secara perlahan Rehan mendekati Emily dan Anas yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

Rehan menghirup nafas dengan panjang. “Emily, tadi Ayah bertemu dengan teman, dia memberikan ayah penawaran yang bisa menyelamatkan perusahaan Ayah.”

“Benarkah Ayah, itu kabar baik.” Emily senang mendengarnya.

“Tapi Emily, syaratnya sulit, hanya kamu yang bisa melakukannya.”

Anas menatap tajam ke arah Rehan, sepertinya ada hal yang disembunyikan Rehan.

“Emily akan melakukan apapun.” Emily langsung bersedia melakukannya sebelum tahu apa yang diminta Ayahnya.

“Kalau begitu, bersiaplah jam 19.00 malam kita bertemu seseorang.”

***
Sore ini Karmila menghubungi Davita dan Dax agar makan malam bersama di restoran bintang lima.

Dax mengiyakan ajakan orang tuanya.

Di restoran.

Kini waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam. Emily dan kedua orangtuanya sudah berada di restoran.

Rehan terlihat gugup dan mengatur nafasnya saat memasuki restoran. Melihat tingkah suaminya aneh, Anas langsung menarik tangan suaminya lalu berbisik di telinganya.

Sementara Emily berjalan lebih dulu

“Pa, ada apa ini sebenarnya, aku rasa ada yang kamu sembunyikan dari kami.”

Rehan akhirnya menceritakan tentang pertemuannya dengan teman tadi siang.

Rupanya temannya itu menawarkan Emily untuk mau meminjamkan rahimnya kepada anak dari pengusaha terkenal. Bahkan Emily dijanjikan akan diberikan uang banyak.

Jelas tawaran ini bisa menyelamatkan perusahaannya dan juga keluar dari kemiskinan.

“Astaga Pak, apa kamu menerimanya begitu saja, apa kamu pikir Emily akan mau.”

“Tidak ada cara lain, kita hanya perlu bertemu dengan mereka, jika Emily tidak bersedia, maka tidak masalah, yang jelas mereka menjamin bahwa Emily akan mendapatkan kekayaan melimpah.”

Rehan telah gelap mata, ia rela menjadikan putrinya tumbal untuk kepentingannya.

Emily berbalik badan lalu menghampiri Mamanya dan Ayahnya. Jelas bahwa Ayah dan Mamanya sedang berdebat.

“Emily, ayo kita p**ang,” ucap Anas menarik tangan Emily.

“Kenapa Ma?” tanya Emily tidak mengerti.

“Tolong dengarkan dulu, An, kamu harus memikirkannya lebih dulu,” menahan tangan Emily.

“Memikirkan apa? Kamu mau menjual putrimu sendiri. Ini anak kandungmu Pak!” teriak Anas.

“Maksudnya apa? tolong jelaskan.” Emily menatap ke arah kedua orang tuanya.

***
Di sisi lain.

Karmila, Dax dan Davita juga telah berada di restoran tempat keluarga Emily berada.

Ternyata Karmila lah yang telah mencari seorang wanita. Karmila sudah tidak bisa menunggu Davita lagi untuk melahirkan cucunya, karena itu Karmila membutuhkan rahim wanita lain untuk melahirkan cucunya.

Tidak sengaja mereka melewati keluarga Emily.

Emily mendengar keseluruhan cerita ayahnya merasa kecewa.

Ia tidak ingin melanjutkan pertemuannya, tetapi teman dari Ayahnya telah datang dan berjalan ke arah mereka.

“Emily, tolong Ayah, kali ini saja.” Rehan bahkan bersujud di hadapan Emily.

Emily menangis.

Sedangkan Rehan tidak mau beranjak, ia akan tetap berlutut sebelum Emily menyetujuinya, Rehan tidak mau diolok-olok oleh teman sesama bisnisnya, ia memilih gengsinya dibandingkan kebahagiaan putrinya.

“Baiklah Ayah, tapi Emily tidak ingin bertemu dengan mereka, Ayah atur saja sendiri, Emily menerimanya.” Emily hanya bisa menangis dan pergi meninggalkan tempat itu.

Tanpa Emily ikut, Rehan dan istrinya menemui keluarga yang menawarkan perjanjian itu.

Karmila sudah menunggu bersama dengan Dax dan Davita.

Dax berpikir bahwa ini hanya makan malam biasa.

“Kenapa belum pesan menunya?” Dax bertanya. Kemudian memanggil pelayan agar mengantarkan buku menunya.

“Tunggu sebentar lagi, ada orang yang kita tunggu,” ucap Karmila.

Beberapa menit Riko teman ayah Emily datang menghampiri bersamaan dengan Rehan dan Anas.

“Nyonya, mereka orangtua gadis yang akan meminjamkan rahim untuk nona Davita.”

Dax terkejut, sejak kapan dia menyetujuinya.

“Ma, apa-apan ini, Dax tidak pernah setuju.” Dax dengan wajah marah.

“Dax tenang dulu, biar ibu jelaskan.”

“Benar sayang, kamu tenang dulu,” ucap Davita mengelus pundak suaminya.

Karmila mempersilahkan Rehan dan Anas agar duduk.

“Dimana putri kalian?” tanya Karmila menengok ke arah belakang dan sekitar restoran.

“Putri kami tidak bisa ikut, tapi dia telah menyetujuinya.” Rehan bicara dengan berhati-hati.

“Oh, begitu ya. Tapi saya ingin melihat orangnya seperti apa, saya tidak mau kalau cucu saya jelek.” Karmila merasa tidak puas.

“Kami punya fotonya,” ucap Rehan mengeluarkan ponselnya dan mencarikan foto Emily. Kemudian lanjut berkata. “Ini foto putri saya,” menyerahkan ponselnya.

Karmila menerimanya dan melihat foto Emily. Tidak disangka wajah Emily sangat cantik dan terlihat anggun. Karmila langsung menyukainya. Bahkan Emily tidak kalah cantiknya dari menantunya.

“Coba lihat, gadis ini terlihat cantik,” tunjuknya ke arah Dax.

Namun Dax membuang muka. Dia tidak tertarik sama sekali. Davita tersenyum melihat sikap suaminya itu. Semenjak menikah dengan Davita, mana pernah Dax melirik wanita lain.

“Coba Bu, saya lihat,” ucap Davita, kemudian melihat foto Emily. “Cantik, orangnya cantik kok.” Davita tersenyum ke arah Dax.

Sekali lagi Dax memalingkan wajahnya, Dax tidak bisa memahami pemikiran wanita. Apalagi Davita yang terlihat biasa-biasa saja.

“Apa yang kalian inginkan dari putriku?” tanya Anas.

“Dia hanya perlu melahirkan cucu untukku, sebagai imbalannya kalin bisa meminta apapun dari kami.”

Anas kesal mendengarnya. Tapi apa boleh buat, suaminya sendiri setuju untuk menjual Emily pada mereka. Tetap saja Ia tidak rela menyerahkan putrinya begitu saja.

“Kalau begitu kami tidak sungkan, kami ingin sejumlah uang yang cukup banyak, mungkin jumlahnya sangat banyak.” Rehan langsung meminta imbalannya.

“Pak, kamu kok tega sih! Kamu menjual anakmu sendiri demi keoentinganmu.”

“Diamlah, nanti kita bicara di rumah.”

Dax melirik ke arah Ibunya, dengan tatapan dingin.

“Ma, sudah berapa kali aku katakan, aku dan Davita bisa memberikan cucu untuk mama, untuk apa menyewa wanita lain.”

“Mama tidak tanya pendapatmu, Davita sendiri menyetujuinya, kenapa kamu malah menolak,” saut Karmila menengok ke arah Davita.

“Iya sayang, tidak masalah bagiku, anakmu juga akan menjadi anakku, jadi kita lakukan saja apa kata Mama.”

Dax benar-benar kesal dibuat oleh Davita. “Apa kamu tidak akan menyesal?”

“Emm, aku tidak akan menyesalinya.”

Rehan dan Anas hanya diam mendengar pertikaian itu.

“Aku punya syarat,” ucap Anas.

“Syarat apa lagi, bukankah sudah jelas, kami akan memberikan kalian uang,” ucap Karmila.

“Ini bukan tentang uang, aku ingin putriku dinikahi, aku tidak ingin dia hamil diluar nikah, apalagi sampai kalian lari dari tanggung jawab,” ucap Anas mengajukan persyaratannya.

“Tidak! Aku tidak akan menikah lagi.” Dax berdiri dengan wajah marah.

Anas pun ikut berdiri. “Kalau begitu kita batalkan saja perjanjiannya.”

Rehan menarik Anas agar duduk kembali.

Karmila berpikir sejenak. Lalu berkata. “Baiklah, kalau hanya pernikahan tidak masalah.”

Dax dengan marah pergi dari sana, ia keluar dari restoran menuju ke mobilnya sampai di mobil ia membanting pintu mobil.

Davita mengejar dari belakang, tapi Dax tidak peduli dengan panggilan Davita. Mobilnya melaju dengan cepat.

Dengan ugal-ugalan Dax melajukan mobilnya, hingga hampir menabrak seorang gadis.

Arghhh.

Gadis itu kaget lalu langsung terjatuh di depan mobil.

“Sial!” Dax keluar dari mobil. Lalu memarahi gadis yang lewat. “Kalau mau mati jangan disini! Cari tempat lain.” Maki Dax kasar. Bahkan amarahnya yang dari tadi belum padam malah sekarang ditambah dengan gadis yang menyebrang dengan sembarangan.

Gadis itu rupanya Emily, dia memang salah karena menyebrang tanpa melihat kanan kiri.

“Maaf, maaf, aku tidak melihat mobil,” ucap Emily lembut sembari memegang lututnya yang terluka.

“Makanya kalau mau nyebrang pake mata!” Dax kembali melontarkan kata kasarnya.

Membuat Emily jengkel. “Aku rasa kamu juga bersalah. Jelas-jelas ini jalan umum, kenapa kamu menyetir begitu cepat.”

Dax melayangkan tinjunya ke arah mobilnya sendiri, sebenarnya ia masih dipenuhi dengan kemarahan.

“Agh!” Seru Emily terkejut. “Kamu sakit jiwa ya,” ucap Emily menatap wajah pria itu.

“Tutup mulutmu, atau akan ku robek!” Melampiaskan kemarahannya pada orang lain.

Emily malah menangis. Rasanya hari ini banyak kejadian tak terduga. Ia dipaksa untuk melahirkan anak dari pria yang tidak dikenalnya, sekarang dia dimarahi oleh pria yang tidak dikenal.

“Ngggg, kenapa kamu begitu kejam padaku,” tangis Emily tersedu-sedu.

Awalnya Emily berusaha untuk tidak menangis lagi setelah keluar dari restoran, ia sengaja makan di tepi jalanan agar menenangkan pikirannya. Tapi siapa sangka mendapat perlakuan tidak adil membuat Emily begitu sedih

“Kenapa semua orang menyulitkanku, kenapa tidak satupun orang bertanya, apakah aku baik-baik saja. Aku baru saja diselingkuhi, sekarang orang tuaku ingin a,k,,u,,,”

Emily menangis tanpa melanjutkan perkataannya.

Dax melihat ke arah gadis itu. “Sepertinya dia gadis gila yang baru lepas dari rumah sakit jiwa.” Tidak menyadari kesalahannya sendiri.

Dax membuka pintu mobilnya kemudian masuk lalu meninggalkan gadis itu sendirian.

Sementara Emily melampiaskan tangisannya. Berkali-kali ia mengutuk nasibnya.

Emily memang cantik, dia juga anak yang lembut dan menurut pada orangtuanya, tapi kenapa Emily selalu dihadapkan dengan takdir yang buruk. Tidak apalah diselingkuhi, tapi sekarang Emily harus melahirkan anak dari orang yang tidak dicintainya. Emily tidak ingin hidup seperti itu.

Emily menyeka air matanya.

“Aku tidak boleh seperti ini. Jika aku bersikap idiot, pria itu tidak akan menyentuhku sama sekali.”

Emily memikirkan cara agar dia terlepas dari masalahnya.

Emily p**ang kerumah, dia menangkupkan wajahnya ke bantal. Lalu memikirkan cara.

Rehan dan Anas masuk ke dalam rumah, kemudian memberitahu kesepakatannya pada Emily.

“Emily, kamu akan menikah dengan orang bernama Dax, ia telah beristri, dan kamu akan menjadi istri keduanya,” ucap Rehan.

Emily hanya mengangguk pelan.

“Malangnya putriku, sebagai orang tua kami seharusnya melindungimu, maafkan Mama,” ucap Anas terisak menangis.

“Apa setelah menikah, perusahaan ayah akan baik-baik saja?”

“Iya, mereka telah menjaminnya, setelah kamu berhasil melahirkan anak di keluarga itu, maka mereka akan memberikan imbalannya.”

Emily pun berpikir sesuatu. Jika pria itu yang menolak dirinya, maka bukan salahnya kalau pria itu tidak mau menyentuhnya.

***
Dirumah, Davita menunggu kep**angan suaminya.

Setelah lama menunggu, orang yang ditunggu sudah p**ang. Davita beranjak keluar dari kamarnya, dan menunggu Dax di ruang tengah. Tidak lama kemudian pintu terbuka. Davita langsung menerjang dan memeluk suaminya.

“Apa kamu masih marah?” Peluknya dengan erat.

Dax melepaskan pelukan Davita. “Siapapun akan marah,” ucapnya dengan kesal.

“Sayang, aku tahu kamu sangat mencintaiku, aku tidak meragukan cintamu, karena itu aku tidak takut sama sekali, anggap saja ini permainan, setelah menang maka permainan akan selesai,” bujuk Davita agar Dax tidak merajuk lagi.

“Permainan? Karena ini permintaanmu, maka aku akan menurutinya.” Dax tidak bisa lama-lama marah kepada Davita.

Hari pernikahan kedua Dax akan dilaksanakan.

Dax sudah berada di salah satu ruangan, sejak tadi Dax mondar-mandir di ruangan itu sambil melihat ke arah arlojinya.

Davita datang dengan wajah tenang, seperti tidak ada masalah melihat suaminya menikah lagi.

“Sayang, dari mana saja kamu, aku sudah menunggumu sejak tadi,” ucap Dax mengecup kening Davita.

Sebelum berangkat ke gedung pernikahan, Davita bertemu dengan mertuanya.

“Davita, hari ini Dax akan menikah, sebaiknya kamu jangan mengganggu malam pertamanya. Semakin cepat wanita itu hamil maka semakin cepat wanita itu akan pergi dari kehidupan kalian,”ucap Karmila.

“Baik Bu.”

Kembali pada Davita yang saat ini memeluk suaminya, kemudian mencium bibir suaminya.

“Dax, aku percaya dengan cinta kita, karena itu jangan pernah menaruh hati pada wanita itu.” Sebagai istri pertama, tentu ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan ketika melihat suami tercinta akan menikah lagi.

“Hei, dengarkan aku, cintaku hanya untukmu, jika kamu tidak mau aku pergi, maka aku akan tetap disini bersamamu, siapapun tidak bisa memaksa ku,” ucap Dax mengelus p**i Davita.

“Kamu harus menikah agar kita punya anak Dax.” Tatap Davita dengan penuh cinta, lalu kembali berkata. “ Aku tidak bisa melihat pernikahanmu karena ada pemotretan di Sydney, tapi aku akan segera kembali.”

Dax memeluk istrinya itu. Sejak pertama kali bertemu dengan Davita, ia sudah mencintainya.

Dax menarik Davita ke dekapannya, memeluknya seraya memberikan kecupan-kecupan di bibir Davita. Sebenarnya Dax tidak ingin menikah lagi, tapi karena Davita tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, maka Dax rela berkorban demi keinginan istrinya.

Sementara Emily Azalea duduk di ruangan yang telah ditentukan untuk mempelai wanita. Matanya sama sekali tidak berkedip. Jari jemarinya saling meremas dan bertautan karena gugup.

Sebentar lagi Emily akan menikah, bukannya bahagia, Emily merasa sedih sekali, karena ia akan menjadi istri kedua.

Beberapa dari keluarga Emily datang dan mengajak Emily untuk berfoto.

Anas sendiri tidak sanggup menemui putrinya, ia memilih berdiri diluar ruangan itu. Sementara Rehan antusias menyambut para tamu. Meski menjadi istri kedua, Emily masih bisa dianggap beruntung karena menikahi pewaris tahta dari perusahaan King Group.

Setelah beberapa menit, mempelai wanita di panggil.

Emily menutup wajahnya dengan selayar. Dengan gaun pengantin yang indah melekat di tubuh ramping Emily. Gaun itu berhasil mengekspos kulit putihnya seperti salju.

Terdengar suara langkah kaki dari luar, orang yang akan membawa Emily ke atas altar. Kemudian Emily melangkah dengan dibantu satu orang untuk memegang gaunnya.

Meski terlihat sangat cantik, tapi Emily merasa bahwa hari ini adalah hari terburuknya.

Mata Emily terasa panas.

Tidak berselang lama, pintu terbuka lebar, orang yang membantu Emily menurunkan gaunnya, menampilkan dekorasi yang sangat mewah, bahkan ada pengiring piano, musiknya mengalun indah, bak seorang putri, Emily disambut.

Bukan main, Emily bertanya didalam hatinya, pria sekaya apa yang dinikahinya.

Di gedung itu dihadiri banyak tamu.

Kecantikan Emily terpanjar. Banyak yang memuji kecantikan Emily.

Anas bukannya senang malah menangis tersedu-sedu. Sementara Karmila sungguh takjub melihat indahnya sang mempelai wanita.

Padahal dulu saat pernikahan pertama Dax, Karmila tidak merasa mengagumkan begini.

“Aku tidak salah memilih wanita untuk Dax,” ucap Karmila kepada suaminya.

Maxton, ayah dari Dax, baru saja kembali dari urusan pekerjaannya di luar negeri.

“Apakah ini rencanamu? Menikahkan Dax,” ucap Maxton.

“Aku sudah sangat ingin punya cucu.”

“Kamu terlalu bertindak jauh, apa kamu lupa bagaimana sifat Dax, dia tidak akan menerima gadis itu, sungguh malang nasibnya.”

Emily menarik nafas dalam-dalam, kemudian perlahan menghembuskannya. Langkahnya menuju altar pernikahan dengan gaunnya menyapu lantai di belakang.

Emily melangkah pada seorang pria tinggi di depan, ia tidak bisa melihat wajahnya karena terhalang oleh selayar di kepalanya.

Sementara Dax dengan tatapan dingin menatap gadis itu. Hingga Emily berada di depan pria itu dengan wajah menunduk.

Dax sama sekali tidak meliriknya, bahkan berbalik dengan cepat.

Tidak lama kemudian, Emily dan Dax diberkati oleh pendeta. Mereka mengucapkan janji suci, setia sampai mati dalam s**a dan duka.

Setelah itu, acara pertukaran cincin. Emily mengulurkan tangannya untuk di pasangkan cincin.

Dax mengambil cincin berlian yang ada dikotak, memasang dengan kasar ke jari Emily.

Jari Emily terasa sakit karena dipaksa memakai cincin yang ukurannya agak kecil.

Dax benar-benar muak dengan acara pernikahan ini.

Saatnya giliran Emily, cincin yang ada di kotak diambilnya. Dax tidak berniat untuk mengulurkan tangannya.

Emily melihat di jari manis Dax ada cincin melingkar, pastinya itu cincin pernikahannya dengan istri pertamanya.

Emily ingin acara cepat selesai karena itu menyematkan cincin ke telunjuk Dax.

Baru saja cincin itu terpasang, Dax menarik tangannya dengan cepat.

Selanjutnya pengantin pria diminta untuk mencium mempelai wanita.

Dax mendekatkan wajahnya. “Kamu melakukan kesalahan karena setuju dengan pernikahan ini. Lihat saja. Apakah kamu bisa bertahan.” berbisik ke telinga Emily.

“Kamu pikir aku mau,” gumam Emily.

Lalu Dax mengecup kening Emily begitu saja tanpa membuka penutup wajah. Dax kembali menjauh.

Acara berlangsung dengan meriah, setelah menyelesaikan upacara pernikahan, Dax langsung pergi.

Emily masih di depan altar, ia melihat punggung pria yang baru saja sah menjadi suaminya.

Sesuai dengan perjanjian Emily akan tinggal di mansion Dax.

Karmila menghampiri Emily. “Lakukan tugasmu dengan baik, dengan begitu kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan masing-masing,” ucap Karmila.

Emily memilih diam.

Dax sudah lebih dulu kembali ke Mansion. Ketika Dax ingin masuk ke kamar, pintunya terkunci.

Dax berteriak keras memanggil pelayan rumah.

Wanita dengan seragam pelayan menghampiri Dax.

“Tuan, nyonya Davita meninggalkan surat.” Tangannya gemetar memberikan surat.

Dax membacanya. “Sayang, malam ini kamu tidur di kamar istri keduamu, aku ingin kamu secepatnya menyelesaikan permainan kita. Salam sayang dari istrimu, Davita.”

Dax meremas surat itu. “Kamu pikir aku akan melakukannya, kamu salah Davita, aku akan membuat wanita itu menderita, sehingga ia menyesali pilihannya dengan menikah denganku.” Dax meremas surat itu, lalu membuangnya ke sembarangan tempat.

Emily berpamitan kepada orangtuanya, sopir telah menunggu. Karmila sudah memerintahkan sopir agar membawa Emily ke kediaman Dax.

Emily masuk ke dalam mobil.

Anas berkata. “Emily jaga dirimu sayang.” Anas menangis melihat mobil itu telah melaju menjauh.

Di perjalanan, tiba-tiba mobil berhenti, sopir meminta Emily untuk turun dari mobil.

Emily tidak berpikir lama, ia turun dari mobil. Setelah Emily turun, sopir melajukan mobil dengan cepat.

“Hey, tunggu! Berhenti! Berhenti.” Emily berteriak memanggil sopir. Ia bahkan berlari mengejar mobil itu. Tapi apa daya, kakinya tersandung dan Emily terjatuh.

Sungguh gaun yang digunakannya merepotkan sekali, sampai Emily harus merobek setengah gaun itu agar ia bisa berdiri kembali.

“Tuan, gadis itu sudah aku turunkan di tempat sepi,” ucap sopir lewat seberang telepon kepada Dax.

“Bagus,” saut Dax.

Emily melebarkan mata lalu pandangannya melihat ke sekeliling, dengan tatapan bingung Emily tidak tahu dia ada dimana sekarang.

Emily ingin menghubungi orang tuanya, namun handphonenya ada di dalam mobil.

“Nasibku begitu buruk,” ucap Emily perlahan berjalan.

Berjalan beberapa menit, air jatuh dari langit. Emily menengadah ke atas.

Hujan deras jatuh membasahi wajahnya kemudian seluruh badan basah kuyup. Gaun yang dikenakannya semakin berat karena air hujan. Emily kembali merobek gaunnya, sampai gaun itu berada di atas lututnya.

Meski hujan sangat deras dan ada sesekali suara petir menyala Emily tetap berjalan.

“Terkena sambaran petir jauh lebih baik daripada menjadi istri kedua,” gumam Emily melangkah ke depan.

Dosa apa yang telah Emily lakukan di kehidupan sebelumnya sampai takdirnya begitu sadis.

Tidak pernah ada laki-laki yang mencinta Emily. Hubungan percintaan tidak pernah berhasil. Katanya menjadi istri kedua lebih cenderung disayang, nyatanya Emily tidak seperti itu.

Emily kembali menyusuri jalanan, hujan tidak berhenti, tidak ada satupun mobil lewat di jalanan, Emily benar-benar sendirian. Kakinya mulai kehilangan keseimbangan, Emily berhenti sejenak, ia membuka sepatu heelsnya kemudian membuangnya ke pinggir jalan.

Kemudian Emily melanjutkan perjalanannya, ia sedikit ingat pembicaraan sopir yang menyebutkan alamat Mansion milik suami kejamnya itu.

Dengan tubuh bergetar dan menggigil Emily berlari ke halte bus.

Ia melihat jam operasi bus, untunglah masih ada bus yang akan lewat satu jam lagi.

Emily meringkuk kedinginan, ia melungkukkan kakinya lalu tangannya diusap-usap berkali-kali, kemudian menghembuskan nafas ke tangannya. Bahkan gemeretak gigi Emily sedang beradu cepat.

Emily mengalihkan pandangannya ke sebelah kiri, berharap bus cepat datang.

Sudah setengah jam menunggu, belum ada tanda-tanda bus akan datang. Mungkin karena hujan deras bus berhenti beroperasi.

Untuk sesaat air mata Emily jatuh tanpa pemberitahuan. Emily mengusapnya dengan cepat.

“Tidak apa-apa Emily, yang lebih buruk pun pernah kamu alami.” Emily menangis. Meski berusaha menahan air matanya tetap saja tidak mau berhenti.

Hari semakin gelap, rasa dingin sampai menusuk tulang, Emily memilih untuk berbaring di kursi panjang yang ada di halte.

Sepertinya malam ini Emily akan tidur di halte.

***
Keesokan paginya.

Dax bangun, melihat jam 06.00 wib.

Dax keluar dari kamar, sepertinya istri keduanya belum p**ang. Dax tersenyum lebar, karena ia yakin istri keduanya itu mungkin akan melarikan diri.

Tringgg.

Ponsel Dax berdering. Dax kembali ke kamar untuk mengangkat panggilan wajahnya berseri melihat layar ponselnya tertulis nama istri tersayang.

Dengan semangat Dax mengangkat ponselnya. “Sayang, aku merindukanmu, kapan kamu p**ang?”

“Aku juga merindukanmu sayang, oh ya, bagaimana dengan malam pertamamu?” tanya Davita lewat seberang telepon.

Dax hanya tersenyum tipis. “Tenang saja, wanita itu sudah aku bereskan.”

“Maksudmu apa sayang? Apa yang kamu lakukan dengannya.”

“Aku meminta sopir meninggalkannya di jalanan, mungkin dia tidak berani untuk p**ang kerumah ini.”

“Dax, seharusnya kamu tidak melakukannya,” oceh Davita.

Disisi lain, Emily dengan penampilan acak-acakkan tiba di Mansion milik Dax.

Emily membunyikan bel. Satpam menengok siapa yang datang.

“Kamu siapa?”

“Istri kedua tuan kamu, kalau tidak percaya tanyakan saja pada tuanmu.”

Satpam memperhatikan penampilan Emily, rambutnya berantakan, gaunnya sobek di mana-mana, bibirnya pucat dan tubuhnya masih menggigil.

Satpam memanggil salah satu Art yang baru saja lewat, dia membisikkan pada Art yang bernama mbak Inem.

“Nem, benarkah dia istri kedua tuan?” tanya satpam.

“Semalam nyonya besar juga mengatakan kalau akan ada istri kedua tuan datang, aku rasa benar. Karena semalam istri kedua belum juga p**ang.” Melihat ke arah Emily.

“Kamu yakin, nanti salah membukakan pintu, bisa-bisa kita dipecat. Coba kamu tanya sekali lagi.”

Satpam dan Art Inem berbisik-bisik panjang.

“Hello, apa kalian bisa membukakan pintu untukku,” ucap Emily.

“Hei nona, apa buktinya kamu istri kedua tuan.”

Emily menarik nafas dengan dalam. Tidak ada yang bisa membuktikan kalau dia istri kedua dari tuan mereka.

Sopir yang meninggalkan Emily semalam sedang lewat. Emily langsung berteriak.

“Hei, kamu sopir yang meninggalkanku semalam kan!” Teriak Emily keras. “Cepat katakan pada mereka kalau aku ini istri kedua dari tuanmu,” memelototi sopir.

Satpam dan ART sama-sama menoleh, dengan pelan sang sopir mengangguk.

Satpam membuka gerbangnya. Emily masuk ke dalam, ia semakin yakin bahwa sopir itu sengaja meninggalkannya.

Emily bertanya pada mbak Inem dimana kamarnya.

Mbak Inem menunjukkan ke atas. “Kamarnya ada di atas nona,” ucapnya.

Langkah demi langkah, Emily naik ke atas, langkah Emily terhenti saat mendengar suara berat sedang menelepon.

Emily mendekatkan kuping ke pintu, mencoba mendengarkan.

“Kamu tahu kan bahwa aku hanya mencintaimu, aku tidak mungkin jatuh cinta pada wanita murahan,” ucap Dax lewat seberang telepon.

“Kamu harus sabar sayang, tunggu sampai wanita itu melahirkan anak kita, setelah itu kita bisa mengusirnya,” saut Davita.

Dibalik pintu Emily mengepalkan tangannya. “Mereka hanya ingin memanfaatkanku saja.” Emily memegang dadanya terasa sakit.

Walau tahu tujuannya menjadi istri kedua hanya untuk meminjamkan rahimnya, tapi tetap saja, Emily tidak terima diperlakukan seperti ini.

Emily tersenyum miring. “Jangan pikir kalian akan semudah itu mendapatkan anak dariku, aku tidak akan pernah mau melahirkan anak untuk orang kejam seperti kalian, memang pasangan serasi, sama-sama tidak punya hati.”

Emily melangkah mundur dari pintu itu, ia akan memberikan pertunjukkan yang menarik pada suaminya itu.

Emily mengatur suaranya. Dengan lembut dan menggoda ia berteriak. “Sayang, sayang, sayang, aku datang.” Emily mengambil sedikit ujung rambutnya kemudian memainkan rambut itu dengan jari-jarinya.

Dax mendengar suara aneh keluar dari kamar.

Saat membuka pintu, Dax dikejutkan dengan penampilan wanita di depannya.

Emily langsung menerjang Dax, memeluknya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sampai Dax jijik melihat tingkah Emily.

“Sayang, tengok aku, cantikku pudar karena terkena hujan.” Emily menyodorkan mulutnya. Kemudian tersenyum lebar, hingga seluruh gigi putihnya terlihat berjejeran.

Dax mendorong dengan kasar, sampai tubuh Emily terpental ke lantai.

“Dasar idiot!” Dax membersihkan bagian tubuh yang dipegang Emily.

Emily tersenyum miring, ia yakin bahwa suaminya itu akan menolaknya, akan lebih baik jika ia diusir. Itu akan menyelamatkan hidupnya.

“Nggg, nggg, jahat, suamiku, jahat padaku.” Emily menangis kecil. Tangannya menepuk-nepuk kepalanya.

Dax terkejut. “Wanita ini sepertinya idiot, kenapa bisa Ibu memilih wanita idiot seperti ini,” batin Dax.

Emily berdiri mengusap-usap p**inya. Kemudian ada air mengalir dari belahan kakinya.

Dax melihat air menetes dari kaki wanita itu. “Air apa itu?”

Emily tertawa lebar. “Kencing, aku kencing suamiku,” senyumnya ke arah Dax.

Arghhh.

“Bawa ke luar wanita idiot ini,” teriakan Dax memenuhi seisi rumah.

Lanjut Baca di KBM
Judul : Istri Kedua Ternyata Cinta Pertama
Penulis : Pinkpinkky

Address

Jakarta
10150

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Media Inspiratif posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Nearby media companies


Other News & Media Websites in Jakarta

Show All