Suara Pribumi

Suara Pribumi Sejarah Indonesia Ambil Inspirasi dan Hikmah Sejarah

11/12/2025

Pidato Mohammad Hatta di Konferensi Meja Bundar, Den Haag 1949

Di hadapan para delegasi dunia, Mohammad Hatta berdiri tegak, suaranya tenang, namun setiap katanya menembus dinding diplomasi dan gengsi penjajahan. Dengan keyakinan penuh, ia menegaskan: “Permusyawaratan ini harus berujung pada penyerahan kedaulatan yang penuh dan nyata kepada Bangsa Indonesia, tanpa syarat.”

Empat tahun bangsa ini berunding, berperang, dan berkorban jiwa serta harta. Empat tahun lamanya rakyat hidup dalam derita dan dendam. Namun Hatta datang bukan membawa amarah, melainkan pesan kemanusiaan dan kebesaran jiwa: bahwa Indonesia harus menatap masa depan, bukan di atas reruntuhan kebencian, tetapi di atas dasar damai dan kerja sama.

Pidato itu menggema sebagai penanda bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah HADIAH, melainkan hasil perjuangan, darah, dan kebijaksanaan seorang bangsa yang tahu kapan harus mengangkat senjata dan kapan harus menundukkan ego demi kedaulatan sejati. Dari meja bundar di Den Haag, dunia akhirnya menyaksikan: Indonesia berdiri tegak, merdeka, dan berdaulat sepenuhnya.

11/12/2025

Tahukah kamu? Lagu “Panjang Umurnya” yang sering kita nyanyikan saat ulang tahun ternyata bukan ciptaan asli Indonesia! 😲

Lagu ini diyakini berasal dari masa kolonial Belanda dan merupakan adaptasi dari lagu anak-anak Belanda berjudul **“Lang zal hij leven”** yang berarti *Semoga ia hidup lama.* Saat masa penjajahan, banyak lagu Eropa yang disesuaikan dengan bahasa lokal — termasuk lagu ini, yang kemudian dikenal luas di Indonesia sebagai “Panjang Umurnya”.

Liriknya sederhana, tapi maknanya hangat: doa agar seseorang diberi umur panjang dan kebahagiaan. Dari sinilah lagu tersebut menyebar, hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi ulang tahun kita. 🎉

Lucunya, banyak yang mengira lagu ini asli Indonesia — padahal jejaknya membentang sampai ke Eropa abad ke-18!

Kalau kamu sadar sekarang, rasanya gimana? Masih mau nyanyi “Panjang Umurnya” tiap ulang tahun? 😄

11/12/2025

Tak banyak yang tahu, pada tahun 1961 Bing Slamet — seniman legendaris Indonesia — pernah menampilkan lagu “Rasa Sayangé” dengan sentuhan bahasa Sunda dalam sebuah orkestra megah!

Aksi berani sekaligus indah ini menjadi bukti bagaimana musik nasional bisa menjadi wadah bagi budaya lokal untuk bersuara. Dengan gaya khasnya yang hangat dan penuh karakter, Bing Slamet mengubah lagu tradisional Maluku itu menjadi harmoni lintas budaya yang memikat.

Inilah momen ketika seni benar-benar melampaui batas bahasa dan daerah.
🎶 Seni tidak punya satu warna — ia hidup dalam keberagaman!

Menurut kamu, lagu tradisional apa lagi yang cocok dibawakan dengan gaya bahasa Sunda seperti ini? Tulis di kolom komentar! 💬

Follow untuk tahu lebih banyak!”
-
-

11/12/2025

Tahun 1948, Yogyakarta diselimuti mendung, seolah ikut merasakan beban zaman yang berat. Di serambi rumah sederhana, B**g Karno menunggu dengan cemas. Dari kejauhan, tampak sekelompok prajurit memanggul tandu bambu. Di atasnya, seorang lelaki kurus dengan wajah pucat dan napas tersengal—Jenderal Sudirman.

B**g Karno segera berdiri dan menyambutnya.
“Jenderal, kau ini sakit keras. Istirahatlah. Republik ini masih butuhmu, tapi bukan begini caranya,” ujarnya penuh khawatir.

Sudirman menatap lurus, suaranya pelan namun tegas.
“B**g Karno… sakit ini hanya di badan. Bukan di hati. Bukan di jiwa. Selama jiwa saya sehat, saya akan memimpin.”

B**g Karno terdiam. Hujan mulai turun, menambah sendu sore itu.
“Tapi perjalanan gerilya itu berat, Jenderal. Hutan, hujan, dingin... Bagaimana dengan kesehatanmu?”

Dengan senyum tipis, Sudirman menjawab,
“Kalau saya berhenti sekarang, apa kata prajurit saya? Apa kata rakyat yang berjuang mati-matian? Lebih baik saya mati di tengah hutan bersama mereka, daripada hidup nyaman melihat negeri ini dijajah lagi.”

Hening. B**g Karno menunduk, menahan haru. Ia sadar, di hadapannya berdiri bukan sekadar panglima perang, melainkan lambang tekad bangsa yang tak bisa dikalahkan oleh rasa sakit atau rasa takut.

Beberapa hari kemudian, dengan paru-paru yang nyaris tak berfungsi, Jenderal Sudirman tetap berangkat memimpin perang gerilya. Digotong dari desa ke desa, ia menolak menyerah.

Dan sejarah pun mencatat: tubuhnya mungkin lemah, tapi semangatnya abadi — membakar jiwa generasi demi generasi.

Follow untuk tahu lebih banyak!”
-
-

Saat Panglima Besar Jendral SudirmanBerp**ang. Nafas Terakhir Sang PenjagaRepublik "Titip anak-anak... Tolong aku dibimb...
11/12/2025

Saat Panglima Besar Jendral Sudirman
Berp**ang.

Nafas Terakhir Sang Penjaga
Republik "Titip anak-anak... Tolong aku dibimbing tahlil..."
Ucapan terakhir Jenderal Besar Soedirman
Di penghujung Januari 1950, udara Magelang
terasa sejuk, namun menyimpan duka yang
pekat. Di sebuah wisma tentara di Badakan,
tubuh renta yang dahulu menembus hutan
dan lereng gunung dalam perang gerilya kini
terbaring lemah. Dialah Panglima Besar Jenderal
Soedirman sang penegak kehormatan
republik yang tengah menapaki pertempuran
terakhirnya, melawan penyakit yang perlahan
meluruhkan paru-parunya.

Beberapa tahun sebelumnya, dari medan
tempur Madiun, Soedirman p**ang dengan hati
remuk. la menyaksikan sesama anak bangsa
saling menumpahkan darah dalam tragedi
pemberontakan 1948. Dengan langkah tertatih,
ia memasuki rumahnya di Bintaran Wetan,
Yogyakarta. Kepada istrinya, Siti Alfiah, ia
berbisik lirih: matanya tak sanggup terpejam
melihat rakyat sendiri saling menebas.

Malam itu, ia memilih mandi dengan air dingin
―menolak saran sang istri untuk memakai
air hangat. Keputusan kecil yang membawa
akibat besar. Esok harinya, tubuh sang jenderal
tumbang. Dokter mendiagnosis tuberkulosis
paru. Satu paru-parunya harus diistirahatkan
lewat operasi, namun semangat juangnya tak
pernah surut. Dari ranjang rumah sakit, ia masih sempat menulis sajak berjudul "25 Tahun Rumah Nan Bahagia", ungkapan terima kasihnya kepada para perawat di Panti Rapih.
Namun panggilan tanah air tak pernah padam didadanya.

Ketika agresi militer Belanda meletus pada
19 Desember 1948, Soedirman menolak
beristirahat. Dengan tubuh separuh sehat,
ia memimpin perang gerilya dari atas tandu
selama delapan bulan. Hujan, lapar, dan dentum peluru tak mampu menundukkan tekadnya. Di hutan-hutan dan lereng-lereng gunung Jawa, ia menjelma simbol keteguhan bangsa: rapuh ditubuh, tapi tak pernah kalah di jiwa.

Usai Belanda menyatakan gencatan senjata
pada Oktober 1949, kondisi Soedirman kian
menurun. la memilih beristirahat di lereng
Magelang, memandang Gunung Sumbing yang
seolah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya.
Namun firasatnya berkata lain. Pada 18 Januari
1950, ia memanggil para perwira tinggi, di
antaranya Ahmad Yani dan Gatot Soebroto.
Dengan suara tenang, ia menitipkan pesan—
seakan tahu ajalnya kian dekat.

Pagi 29 Januari 1950, wajahnya tampak teduh.
Menjelang malam, usai menunaikan salat
magrib, ia memanggil istrinya ke sisi ranjang.
Dengan suara parau yang hampir hilang, ia
berbisik pelan:
"Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak.
Tolong aku dibimbing tahlil."

Siti Alfiah menuntunnya melafazkan Laa ilaha
illallah. Dalam pelukan perempuan yang setia
mendampingi perjuangannya, Jenderal Besar
Soedirman menghembuskan napas terakhir
dengan nama Allah di bibir, dan Indonesia di
dadanya.

Di halaman rumah, bendera merah putih
perlahan turun setengah tiang dengan
sendirinya. Seolah alam turut berduka, memberi penghormatan terakhir bagi sang panglima suci yang tak pernah menyerah pada perang, sakit,
atau nasib.
"Jasamu abadi, Jenderal."



Negeri Penuh Inspirasi di Tengah Badai“Make sure that we never trust imperialism, in no way at all, no an iota.”  (Ernes...
11/07/2025

Negeri Penuh Inspirasi di Tengah Badai

“Make sure that we never trust imperialism, in no way at all, no an iota.” (Ernesto “Che” Guevara)

Desember 1958, musim gugur telah berlalu di Kuba bagian utara. Angin yang bertiup senantiasa memberi nafas baru bagi kehidupan. Dan penyerangan yang menentukan bagi pasukan Flugencio Batista telah berlalu dengan membawa kegagalan. Tank-tank, pesawat terbang, meriam dan senjata otomatis modern telah gagal membendung pasukan rakyat revolusioner pimpinan si Janggut Lebat Fidel Castro di lingkaran pengepungan Sierra Maestra. Semenjak itu gelombang pasang revolusi kian meningkat merebut daerah demi daerah, dari Santa Clara menuju Havana.

Tanggal 1 Januari 1959, lonceng gereja pertanda Tahun Baru berdentang lesu di daerah-daerah pertempuran seperti membawa telegram kematian kepada rezim Batista. Sementara di lain pihak, Ernesto “Che” Guevara dan Camillo Cienfuegos beserta pasukannya dengan langkah pasti mengepung dan melancarkan serangan yang menentukan hingga jatuhnya Havana ke tangan kaum gerilyawan revolusioner. Setelah melancarkan perang gerilya selama 2 tahun, kekuasaan diktator Batista atau Carlos Piedros tumbang. Revolusi Rakyat Kuba menang. Republik Kuba lahir. Dan sejak itu berlangsunglah sebuah Pemerintahan Rakyat Sosialis yang bertumpu bukan kepada siapa-siapa kecuali tangan rakyatnya sendiri. Kenyataan ini tentu sangat menentukan warna-warni nasib rakyat Kuba menempa diri dalam pergulatan sejarahnya di kemudian hari.

Kuba bukanlah Amerika Serikat, bukan p**a Republik Indonesia. Negara kep**auan di kawasan Karibia dengan penduduk sekitar 11 juta jiwa lebih itu, karena faktor-faktor sejarah dan jalan sosialis yang ditempuhnya, betapa telah membuktikan kelenturan dan efektifitas dari pemerintahan rakyat revolusioner yang sungguh impresif. Sekali lagi, Kuba bukanlah utopia. Komitmen pemerintah revolusioner terhadap solidaritas kerakyatan dan keilmuan secara tidak langsung telah memancang posisi kuda-kuda untuk selalu siap menghadapi krisis paling buruk sekalipun. Salah satu fakta dari hasil penelitian yang telah diterbitkan berjudul Kuba Melawan Revolusi Hijau yang ditulis oleh pakar-pakar pertanian Amerika Serikat telah memberi arti yang istimewa. Keistimewaan bukan karena dipenuhi oleh propaganda pemerintah Kuba sendiri, melainkan karena berisi pemaparan tentang Kuba dari sudut pandang warga negara Amerika Serikat yang tentu berseberangan dari segi ideologi-politik dengan Kuba. Dalam konteks ini, secara tidak langsung mereka meneguhkan sebuah pengakuan tentang daya tahan serta kecerdasan sosialisme dalam menyelesaikan masalah-masalah mendasar masyarakat di dalam negeri.

Ketika rezim Revisionisme pada akhirnya terbukti gagal dengan bubarnya federasi Uni Soviet pada 1989, Kuba sebagai salah satu negara satelit Uni Soviet terseret masuk ke lembah kesuraman. Suatu kenyataan pahit yang menimpa sebuah negara paling maju dan modern di seluruh daratan Amerika Latin. Hal ini diperparah dengan masih berlangsungnya embargo politik dan perdagangan Amerika Serikat. Orang Kuba menyebut masa sulit itu sebagai “Periode Khusus dalam Masa Damai”; suatu kondisi yang pada dasarnya meletakkan kewaspadaan negara pada sikap penghematan “ekonomi masa perang”.

Perekonomian Kuba memang nyaris ambruk. Mereka harus menghadapi berbagai kenyataan pahit, seperti bagaimana satu ton gula Kuba hanya dihargai satu ton minyak Soviet. Suplai minyak dari Soviet ke Kuba turun hingga 50%. Listrik hanya menyala 2 jam setiap hari dengan cara bergilir. Mata uang tak berharga lagi. Ketersediaan pangan mulai menipis. Asupan kalori dan protein dari penduduknya mulai mengkhawatirkan, dan indikator pertama yang terlihat setelah beberapa dasawarsa terhadap kemungkinan malnutrisi telah tampak. Kerawanan pangan tentu telah memperlihatkan dirinya sebagai momok yang mengancam jalan sosialis Kuba. Sejak itu pemerintah Castro melakukan sejumlah lompatan untuk menanggulangi krisis. Pemerintah Castro bersama dengan rakyat Kuba bekerja keras mengerahkan segenap kemandirian dan daya cipta untuk mencukupi kebutuhan sendiri.

Cerita sekilas ini memberikan jabaran tentang sejarah budidaya tanaman di Kuba dan berbagai potret perubahan paradigma budidaya tanaman yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Kuba, sebelum runtuhnya Blok Sosialis maupun usai krisis. Kuba melangsungkan Pembaruan Agraria pertama pada tahun 1959 dan telah mengubah sebagian besar wilayah peternakan dan perkebunan yang luas menjadi pertanian negara. Pemerintah Rakyat Revolusioner juga melakukan Pembaruan Agraria tahap dua pada tahun 1962 yang berhasil mengambilalih 63 persen tanah yang ditanami. Sebagaimana guratan fakta, Kuba sebelum runtuhnya blok sosialis telah menempatkan diri sebagai negara dengan kualitas indeks kehidupan yang sangat tinggi. Angka statistik menunjukkan bahwa untuk wilayah Amerika Latin, Kuba menempati urutan satu untuk kategori: tingkat kematian bayi yang rendah, rasio penduduk per dokter, tunjangan hidup, perumahan, rasio penduduk per ilmuwan, kehadiran penduduk dalam acara seni dan budaya, budidaya tanaman, serta menjadi negara terbaik di dunia untuk masalah kualitas fisik indeks hidup. Angka-angka jauh melebihi pencapaian Amerika Serikat dalam berbagai hal, dan berada di atas standar indeks kehidupan yang dikeluarkan oleh PBB. Namun keunggulan komparatif Kuba ini terguncang hebat ketika Blok Sosialis — blok tempat Kuba menggantungkan pasokan energi, runtuh. Demikian juga dengan pasokan peralatan industri modern dan nilai tukar perdagangan impor maupun ekspor. Lompatan-lompatan perubahan pun terjadi dalam skala yang drastis.

Tercerai-berainya blok sosialis telah memukul sektor energi Kuba. Namun dalam waktu singkat mereka mengubah kebijakan energi dari yang semula berbasis minyak menjadi energi berbasis matahari atau energi biomassa, biogas, tenaga mikro-hidro, energi angin, serta tenaga surya lain yang bisa diperbaharui. Upaya itu, dengan diikuti pengembangannya, ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Bahkan belakangan menjadi inspirasi bagi negara lain. Belum ada negara yang secepat dan seefektif Kuba dalam menangani kesulitan energi. Hal yang menarik adalah temuan ampas tebu sebagai pengganti tenaga listrik. Gula sebagai ekspor utama Kuba telah memasok sepertiga kebutuhan energi nasional. Begitu tebu dipanen, ampas tebu yang mirip jerami dibakar untuk menghasilkan listrik bagi pabrik itu sendiri, dan selebihnya dijual ke jaringan listrik konvensional. Daun dan tangkai tebu dipres untuk digunakan sebagai bahan bakar padat. Ada 156 pabrik gula di seluruh Kuba, pabrik itu hanya dapat membangkitkan 20 KWh listrik. Untuk setiap ton tebu dengan menggunakan turbin uap tua yang kurang efisien bertekanan 18 atmosfer. Sedangkan konversi energi pada pabrik yang lebih baru bisa menghasilkan 40 KWh listrik dari setiap ton tebu. Di berbagai negara industri maju angkanya mencapai 60-80 KWh/ton tebu. Di Hawaii, dengan pemanfaatan teknologi kogenerasi listrik yang efisien, listrik yang dihasilkan satu ton tebu dapat mencapai 100 KWh.

Kementerian gula Kuba bertekad untuk mencukupi kebutuhan listrik seluruh negeri dengan memasang peralatan kogenerasi di pabrik gula sebesar 100 MW, senilai AS $ 1 miliar. Berdasarkan perhitungan, dalam waktu 15 tahun daya listrik yang potensial dapat ditambahkan ke jaringan nasional adalah 400 MW. Ini berarti, seluruh kebutuhan BBM untuk menghidupkan pembangkit listrik dapat digantikan oleh ampas tebu yang dulunya terbuang percuma. Berikutnya, masyarakat Kuba tidak terlalu tergantung pada sumber energi minyak. Mereka memanfaatkan bus untuk transportasi jarak jauh, dan sepeda untuk keperluan pribadi jarak dekat. Di awal 1990-an negeri itu mengimpor 1 juta unit sepeda dari Cina, namun sekarang mereka memiliki enam pabrik sepeda yang membuat model sesuai selera rakyat Kuba. Sekalipun di bawah tekanan embargo Amerika, berbekal komputer antik, sistem telepon yang masih primitif, peralatan laboratorium yang tidak lengkap, dan hanya bermodalkan pensil, Kuba berhasil memobilisasi upaya penelitian dan pendidikan untuk menghadirkan sumber energi baru. Krisis justru menjadi insentif bagi Kuba untuk mengubah perilaku rakyatnya dalam penggunaan energi.

Tahun 2002, Kuba dipilih PBB menjadi penyelenggara 2002 Renewable Energy Conference, Konferensi Energi Terbarukan. Ada pengakuan keberhasilan dalam penunjukan itu. Dalam sebuah pertemuan di Berkeley’s Ecology Center tahun lalu, pakar energi AS menanyakan kiat Kuba menuju keberhasilan. Henriquez, co-founder Cubasolar, menjawab, “Ada dua hal yang berperan penting dalam keberhasilan Kuba; yakni keberhasilan iptek dan solidaritas rakyat Kuba.”

Lebih jauh Henriquez menjelaskan, California juga menghadapi persoalan krisis energi namun tak mampu menanganinya dengan baik. Padahal kapabilitas teknologi maupun pakar teknologi jelas jauh lebih unggul ketimbang Kuba. Masalahnya, tren individualisme yang melanda Amerika menjadi sebab tidak adanya solidaritas di antara warga masyarakat untuk bersama-sama mengatasi krisis.
Pemecahan masalah energi Kuba yang luar biasa, tidak serta merta menjawab krisis di bidang lainnya. Budidaya tanaman yang pada tahun 1989 dicirikan dengan tingkat modernisasi yang tinggi, dan ketergantungan yang sangat besar atas pemakaian pestisida dengan bahan baku impor mengalami hantaman yang mendasar. Seketika, impor pestisida turun hingga 60 persen lebih, pupuk 77 persen lebih, dan suplai minyak untuk budidaya tanaman turun sampai setengahnya. Impor makanan pun jatuh hingga lebih dari setengahnya. Seketika, suatu sistem budidaya tanaman yang nyaris semodern dan terindustri seperti California dihadapkan pada dua mata pisau: kebutuhan untuk produksi makanan yang pada hakikatnya berlipat ganda mengurangi lebih dari separuh pemasukan; dan pada saat yang sama mempertahankan produksi hasil panen untuk ekspor agar tidak mengikis lebih jauh posisi nilai tukar asing Kuba yang sungguh menyedihkan. Kondisi ini sungguh membalikkan keadaan semula, ketika keuntungan ekspor gula melimpah yang mampu menghasilkan 7,4 persen volume perdagangan dunia, ketersediaan agrokimiawi dan bahan bakar untuk budidaya tanaman, serta persediaan ragam pangan yang cukup untuk penduduk Kuba dengan harga terjangkau. Namun lagi-lagi dengan jatuhnya blok sosialis telah merombak hampir semua aspek kehidupan rakyat Kuba. Krisis sepanjang Periode Khusus telah memberi pelajaran berharga untuk mendidik pola makan rakyat dengan lebih mengedepankan konteks tradisi dan budaya dengan perhatian, kecermatan, dan ketelitian secara khusus untuk realistik.

Kenyataan yang aneh adalah pada mulanya Kuba percaya dengan paradigma developmentalisme. Pengeterapan developmentalisme (sebagai suatu pilihan metodis dan ideologis) adalah dengan merambahnya keyakinan bahwa segala yang modern dan besar identik dengan kemajuan dan pasti unggul — bahwa pestisida impor, benih hibrida, pupuk kimia, intensifikasi dan mekanisasi monokultur lebih baik ketimbang tradisi lokal petani, tumpangsari, tenaga hewan, dan pengendalian hama secara biologis — suatu pengetahuan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Penetrasi developmentalisme di Kuba tak lepas dari dominasi Uni Soviet yang menganut paradigma serupa. Padahal seperti banyak contoh di negara dunia ketiga, mengadopsi Revolusi Hijau berarti eksploitasi dan pemborosan penggunaan devisa untuk keperluan impor bahan hasil manufaktur, dan tingkat produksi pangan yang rendah merupakan hasil ketergantungan terhadap pasar internasional dan kerentanan terhadap naik turunnya kondisi pasar internasional. Model ini juga meletakkan sektor budidaya tanaman di negara-negara berkembang di tingkat yang sama seperti halnya Amerika Serikat, meningkatnya biaya produksi tetapi menurunkan tingkat produksi. Fakta ini terang benderang sangat merugikan kaum petani karena tingginya ongkos produksi. Belum lagi tanah menjadi keras, serangga dan hama penyakit kebal terhadap pestisida, air tanah terkontaminasi kimia, dan petani tidak lagi menguasai alat produksi, bahkan posisi petani kian hari kian rugi dan terpuruk bahkan memungkinkan suatu tragedi kaum tani menjadi proletar di atas tanahnya sendiri.

Namun ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari tradisi rakyat sosialis Kuba. Pelajaran tentang kerja keras, kemandirian, solidaritas dan mobilisasi massa rakyat untuk menjawab krisis secara bersama. Suatu cara yang bertolak belakang dengan hampir seluruh negara Dunia Ketiga — khususnya pemerintah dari kaki tangan imperialisme — yang senantiasa menetek pada induk semang mereka dan menjadi sasaran dari cara kerja LSM yang hakekatnya merusak nilai-nilai kedaulatan sejati rakyat.

Kuba senantiasa bertumpu pada kekuatan rakyat sendiri. Seiring krisis pangan mengancam dalam negeri mereka, pemerintah revolusioner segera menggalang propaganda untuk melakukan mobilisasi rakyat. Dari pemaparan hasil penelitian tersebut dijabarkan sejumlah fakta yang menarik. Pemerintah Castro segera membentuk aliansi dari lembaga pemerintah terkait untuk melakukan penelitian yang dipimpin oleh Lembaga Penelitian Tanah dan Pupuk, Lembaga Penelitian Ekologi dan Taksonomi, dan Front Budidaya Hayati (Bioagrikultur) yang dibentuk oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional, dengan tujuan untuk menemukan jalan keluar menghadapi masalah produksi pangan selama Periode Khusus. Aliansi gerakan politik dan sosial-ekonomi ini menjadi payung nasional dalam rangka upaya penyelamatan krisis pangan di Kuba pada awal 1990-an.

Berikutnya dilancarkan berbagai langkah: mobilisasi rakyat adalah tradisi sosial maupun politik di suatu Pemerintahan Rakyat Revolusioner. Kuba membangun pemukiman di daerah pedesaan dan menyerukan kepada rakyat kota untuk menyumbangkan tenaga mereka untuk bekerja dalam jangka waktu dari 2 minggu sampai 2 tahun. Mereka menjadi buruh jangka pendek dengan meninggalkan pekerjaan atau sekolah mereka selama 15 hari untuk bekerja sukarela di daerah pedesaan, hidup dalam asrama di pemukiman perkebunan. Pada tahun 1991, tahun pertama dari pengerahan buruh ini, sekitar 146.000 warga Havana turut berpartisipasi. Pemerintah mengajak rakyatnya untuk mengotori tangan mereka dengan lumpur untuk memenuhi lumbung pangan nasional. Dan tidak hanya mobilisasi sosial, mereka juga merombak paradigma politik pertanian developmentalisme yang terbukti bangkrut dan menggantikannya dengan pertanian organik yang lestari dan bertumpu pada kemandirian dan daya cipta rakyat sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana anak-anak petani yang sedang memanen tanaman bioteknologi, khususnya di perkebunan, dan memberi orangtua dan lingkungan mereka pasokan organik yang mengganti pestisida beracun dan pupuk kimia. Perbedaan utama antara Kuba dan negara lainnya, kemudian, tidaklah terletak pada analisis masalah atau uraian umum dari usulan alternatif. Perbedaannya, bahwa model seperti LISA di Kuba telah menjadi kebijakan resmi pemerintah, sementara di negara-negara lain hanya sebatas contoh, proyek LSM, uji coba pribadi yang terisolasi dan penerapan luasnya hanyalah impian belaka karena tidak didukung oleh pemerintah yang tampil dengan watak anti-rakyat.

Cara lain adalah mengerahkan tenaga kerja untuk menghasilkan produk tanaman pangan melalui “Taman Kemenangan” (victory garden); suatu program yang menggalakkan rakyat Kuba untuk berkebun di daerah perkotaan. Upaya ini untuk menjawab ketergantungan kota-kota pada desa-desa untuk memasok bahan makanan. Pemangkasan ketergantungan terhadap pedesaan ini sungguh memperpendek mata rantai perdagangan selain menghemat dari proses pengawetan, transportasi, penyimpanan, dan sistem distribusi yang membutuhkan bahan bakar di setiap tahapnya.

Dalam kasus lain, sumber protein hewani yang relatif terabaikan adalah ayam. Pada tahun 1980-an, ayam bukan hanya arus utama ransum pangan, tetapi selalu tersedia di pasar terbuka terutama di kafetaria yang akrab dengan masyarakat Kuba. Walaupun produksi ayam di Kuba meningkat secara signifikan, sejumlah besar ayam dan anak ayam diimpor, sebagaimana makanannya. Jadi pada awal tahun 1990-an, persediaan ayam berkurang. Telur, pernah melimpah bahkan tidak perlu diransum, mulai tertahan karena produksi telur komersil bergantung pada makanannya yang diimpor. Sebuah cara inovatif yang dilakukan pemerintah Kuba atas kurangnya ayam dan telur adalah membagi-bagikan anak ayam kepada penduduk untuk dipelihara di halaman belakang rumah-rumah mereka, karena pemeliharaan ayam-ayam dapat diberi makan dengan sisa-sisa makanan rumah tangga. Cara ini sebagai antisipasi menjawab krisis protein yang mungkin terjadi. Dan terputusnya impor gandum dari Rusia juga memaksa pemerintah untuk mengurangi ransum roti hingga satu gulung per orang untuk setiap harinya, dan bereksperimen dengan mengganti ubi jalar, beras dan tepung lainnya untuk seporsi gandum. Pada saat yang sama, roti dan pasta semakin digantikan oleh viandas tradisional, yang tumbuh subur di bawah kondisi tanah dan iklim Kuba yang sangat akrab dengan penduduk Kuba.

Antusiasme rakyat, khususnya kader-kader muda dari ilmuwan budidaya tanaman dan pemikiran-pemikiran sains mereka, sungguh merupakan fenomena militansi dari kader-kader ilmuan yang menjadi motor atas keberpihakan yang tinggi kepada rakyat (red and exspert). Sehingga tidak sia-sia kalau kecanggihan penelitian dan penerapan perlindungan tanaman di Kuba berkembang pesat sampai mendekati tingkat yang mereka capai pada obat manusia dan hewan. Pencapaian ini benar-benar telah diakui dunia. Perjuangan ini tentu menjadi bagian dari gerakan rakyat yang tak lepas dari seorang pemimpin revolusioner seperti Fidel Castro. Si Janggut Lebat yang kharismatik itu menyerukan kepada rakyatnya untuk “meraih keajaiban-keajaiban dengan kecerdasan, keringat, hati dan kesadaran umat manusia” demi memenuhi kebutuhan konkret rakyat dalam negeri Republik Sosialis Kuba.

Kuba merupakan pesona sosialis dari sebuah negara bekas jajahan yang acapkali bergelar Dunia Ketiga. Namun di tengah lautan kemiskinan negara Dunia Ketiga yang menghiba dan mengemis di bawah IMF, Bank Dunia, dan negara-negara imperialisme, Kuba tampil bukan sebagai utopia. Ia adalah inspirasi tentang kohesifitas kekuatan rakyat, solidaritas, kerja keras, keringat, kemandirian, kecerdasan dan jalan sosialisme yang memiliki masa depan. []

Address

Jalan Kusuma Bangsa
Jakarta

Telephone

+62821434888

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Suara Pribumi posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category