Novel Online

Novel Online Penulis Novel di Fizzo dan KBM

15/12/2024

PART 1 HITAM DI ATAS PUTIH~TEBARU

“Udah nggak bersisa lagi tabunganku, Za, mana lagi koas,” ucap Ifa—mahasiswi kedokteran yang mandiri sejak kedua orang tuanya tiada.
“Tinggal di kosanku saja dulu, Fa,” balas Cut Liza—sahabatnya di fakultas yang sama.
“Nggak ah, makasih Za, aku sudah banyak ngerepotin kamu. Hmm, sebenarnya ada sahabat mendiang papaku, nawarin mau bay4rin semua kuliaku sampai selesai, tapi ….”
“Tapi …?” Cut Liza ikut mengulangi.
“Tapi, aku harus mau menikah dengan putranya.” Ada keragu-raguan di sorot mata sang calon dokter cantik itu.
“Kok kayak ragu, dia nggak ganteng?”

Latifa mendongak. “Ganteng sih, tentara batalyon dekat RST, tapi dia … SOM BONG!”
Tawa Cut Liza membahana. “Dia belum tahu aja siapa Ifa—mahasiswi paling favorit di kampus, cantik, calon dokter lagi!”

Latifa menyilangkan tangannya di dinding lorong rumah sakit. “Dia juga udah punya pacar, Za.”

Mata sahabatnya berkilat. “Nah, kamu lebih diuntungkan lagi tuh. Nikah aja sampai koas selesai, dia nggak bakal nyentuh kamu karena si tentara som b**g itu udah punya pacar.”

Jemari Latifa menjentik. “Benar juga, ini sangat menguntungkanku. Eh, tahu nggak apa komennya setelah melihat fotoku?”
“Apa?”
“Katanya aku cewek k4mpungan,” ujar Latifa seraya menutup tangannya menahan tawa.
“Emang foto apa yang kamu kirim ke dia?”
Wajah Latifa memerah karena tertawa. “Fotoku abis cuci piring di acara hajatan saudara, pas itu pakai baju kurung, lengan tergulung asal-asalan, wajahku juga kucel banget. Sengaja sih, biar dia nggak menyukaiku.”

Gelak tawa Cut Liza ikut menambah riuh lorong rumah sakit. “Dia bakal kaget saat tahu seperti apa calon istrinya, dasar cowok! Don't judge a book by its cover.”

Gelak tawa keduanya terhenti saat dokter senior menghardik. “Heh, Dokter Koas! Jangan berisik, ini rumah sakit!”

Latifa dan Cut Liza mengubah sikap. “Mohon maaf, Dok.”
“Kabur, Fa!”
“Iya, Liza, kembali ke pasien!”

**

Februari 2004

Akhirnya Latifa menyetujui perjodohan dengan seorang tentara bernama Yogi, tanpa pernah bertemu, mereka hanya berkomunikasi di telepon beberapa kali dan juga melalui calon mertuanya.

Di sela-sela kesibukkannya sebagai dokter koas, pikiran Latifa terbagi p**a dengan pengurusan pernikahan dinas. Untung saja dalam hal lainnya, calon mertuanya banyak membantu, sedangkan sang calon mempelai pria terkesan cuek dengan pernikahan ini, alih-alih memang dia sedang tugas di luar p**au.

“Liza, kalau aku dicari Dokter Amber, bilang aku lagi ada urusan di kampus, ya!” ujar Latifa dengan terburu-buru, jas dokternya pun dilipat asal, berkali-kali ia menengok arloji.

Semoga nggak telat!

Dengan ojek, Latifa berangkat ke batalion calon suaminya untuk mengikuti rangkaian pernikahan dinas tahap selanjutnya. Menikah dengan seorang prajurit bukan dibilang mudah, calon istri harus melalui tahapan-tahapan pengurusan dokumen, SKCK, periksa kesehatan, juga mengisi banyak sekali soal-soal persis sedang mengikuti seleksi kerja saja. Si4lnya, karena Yogi sedang tugas, ia harus mengurus seorang diri.

“Permisi, Om, mau kumpulin sampul D dari Kodim sudah jadi, di mana?” Peluh keringat membanjiri pelipis sang calon dokter yang datang terburu-buru.

“Masuk aja di dalam, Mbak. O ya, calonnya mana?” tanya tentara berkumis le le yang sedang berjaga di pos.

“Calon saya sedang tugas, Om.”
“Oh, gitu. Mau saya temanin, juga nggak pa-pa, Mbak,” ucapnya percaya diri.

Gadis berambut panjang yang sedang dicepol itu sontak melongo. Latifah membaca nama dada di seragamnya. Kasino? Gan jen banget ini si om!

Senyum datar ditampakkan Latifa di wajah cantiknya. “Permisi dulu, ya, Om.”
Kabur!

Tiba di ruangan, Latifa mengumpulkan sampul D ke prajurit yang bertugas.

“Setelah ini saya ngurus apa lagi, Om?” tanyanya dengan raut lelah. Sejak kemarin rute RST-kampus-kodim-batalion sudah jadi santapan sehari-hari sejak awal bulan ini.

“Saya bikinkan surat pengantar, ya, Mbak, untuk rikes di RST.”

Lagi-lagi Latifah melongo. “Di mana, Om?”

“RST.”

Lemes. Wajah Latifa pucat karena RST tempatnya koas. Dia berniat menyembunyikan pernikahannya dari teman-temannya.

Kenapa harus ke sana? Gawat, teman-temanku jadi tahu nih kalau aku mau nikah!

“Om boleh nggak rikes di rumah sakit lain?”
“Emang kenapa, Mbak? Punya catatan buruk, ya, di RST? Mungkin pernah ngerusak fasilitas rumah sakit?”

Tangan Latifa melambai mengisyaratkan penolakan. “Eh, nggak, Om. Masa saya ada tampang krimin4l begitu!” protesnya.

Prajurit yang diajaknya ngobrol hanya tertawa. “Bercanda. Pokoknya harus di situ, ya, Mbak.”

Latifa mendengus dengan wajah frustrasi. “Baiklah,” jawabnya tak bersemangat.

Tahu repot begini nikah sama tentara, nggak jadi aja deh nikahnya!

**

Malamnya, Latifa menelepon calon suaminya—Yogi. Seperti biasa, hanya nada dingin yang diterimanya, tak banyak lagi obrolan, calon suaminya itu hanya menginformasikan poin-poinnya. Tentara muda itu berkata kalau setelah rikes biasanya ke batalion lagi letsus, kemudian ke korem letsus juga, serta wawancara dan menjawab 30-an soal esai. Tak hanya sampai di situ, masih p**a menghadap ke bintal untuk mengisi 50-an soal esai tentang keagamaan dan kepribadian.

Mata Latifa melotot. Gila, repot amat nikah ama tentara somb**g ini!

“Capek, ya?” sindir Yogi di telepon. “Nyerah aja.”

Gadis berbulu mata lentik itu tersulut emosinya. “Eh, Mas, aku menerima perjodohan ini juga terpaksa, ya!” Tangan lembutnya membanting keras gagang telepon. Tanpa sadar, petugas penjaga wartel sudah berdiri di belakang dengan tampang kecut dan alis naik seperti gagang tali ember.

“B4nting aja terus, Mbak!” sindirnya keras. “Kalau perlu b4 kar aja wartel ini.”

Latifa mengulum bibir. “Maaf, Bude.”

“Bude, bude! Saya masih muda!”

“Oh, berapa umurnya?”

“Masih 26 tahun!”

Latifa manggut-manggut. “Oh masih 26, tapi boros ya mukanya,” ucapnya polos membuat petugas wartel semakin murk4.

“Udah, b4 yar cepat! Besok-besok nggak usah nelepon lagi di sini!” teriaknya melengking.

Buru-buru Latifah memb4 yar seraya menutup kuping.

Apes banget aku hari ini!
Kalau ingat besok mau rikes di RST, aduh!

**

Keesokan harinya, Latifa pagi-pagi sudah sampai di RST, dia merangkap baju hijaunya dengan jas dokter alih-alih koas.

Mengendap-endap gadis berbulu mata lentik itu mendaftar dan mengambil nomor antrean sampai akhirnya tepukan di bahu mengagetkannya.

“Ifa, mau ngapain kamu?”

Latifa menoleh lalu meneguk ludah seraya menyembunyikan nomor antreannya.

“Mau lihat-lihat, Dok,” ngeles si calon dokter padahal ia sedang mengambil antrean untuk rikes sebagai syarat nikah dinas.

“Ngapain lihat-lihat orang mau rikes? Kurang kerjaan.” Dokter berkacamata tebal itu melirik ke pasangan abdi negara yang bermaksud untuk rikes. “Masih muda-muda udah pada nikah!” omelnya. “Harusnya berkarier dulu, mapan dulu suami istri, baru nikah.”

Taj4m mata dokter senior itu menatap Latifa. “Jangan contoh mereka, Fa, kamu harus jadi dokter spesialis dulu baru nikah!”

“Siap, Dok,” jawab Latifa dengan tangan gemetar.

“Aku kasih nilai buruk praktikmu kalau kamu nikah cepat-cepat!”

Latifa menatap takut-takut ke Dokter Amber—dokter RST yang terkenal galak segalak b4 bon ay4m yang lagi bertelur. Dia semakin kalut, apalagi dokter berkacamata itu membahas karier. Sadar diri, Latifah kan juga masih kuliah, meski sudah di tahap koas.

Saat Dokter Amber berlalu, Latifa baru bisa bernapas lega. Kepalanya muncul kembali di meja resepsionis. “Mbak, Dokter yang bertugas menangani rikes siapa?” tanyanya basa-basi.

Semoga Dokter Isabel, friendly orangnya.

Petugas menujuk cepat. “Ya, dokter yang tadi itu, Dok,” jawabnya santai.

Mata Latifa mendelik kaget. “Dokter Amber?”

“Iya, Dok.”

Serasa ditim puk panci, seketika Latifa berjongkok dengan mimik mau nangis.

Habis aku!

Bersambung

Yogi kalau tahu siapa Latifa, gimana sikapnya ya? 😊

Sudah ending di KBM App
Judul: Hitam di Atas Putih
Penulis: bunga_btp
WA Penulis:Wa.me/6281327499949

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

https://read.kbm.id/book/detail/018f625f-1bb2-d230-44ec-b8c3b5d05627?af=fc272346-ee8b-9f21-f524-6a79d0924bd3

Bab 1**Suara deru mesin mobil Lamborghini Centenario hitam matte dengan aksen emas melaju kencang membelah malam yang se...
28/11/2024

Bab 1
**
Suara deru mesin mobil Lamborghini Centenario hitam matte dengan aksen emas melaju kencang membelah malam yang sepi. Di dalamnya, seorang pria dengan ekspresi kesal menggenggam setir erat, satu tangannya memegang ponsel yang menempel di telinga.

"Berisik! Iya, aku p**ang sekarang," suaranya terdengar dingin. Dia menggertakkan gigi, mempercepat laju mobil.
"Tapi, jangan salahkan aku jika menolaknya. Aku cukup bertemu dengannya, kan?"

Tanpa menunggu jawaban dari ujung telepon, dia memutus panggilan dan melempar ponselnya ke kursi penumpang dengan kasar. Cahaya lampu jalan memantulkan wajahnya yang tegas, rahangnya mengeras dengan tatapan tajam menembus kaca depan.

Saat mobil hitamnya berhenti di depan mansion besar, pintu gerbang otomatis terbuka. Para bodyguard yang berjaga di sana langsung menunduk saat mobil melaju masuk, seolah takut menangkap sorot matanya. Lampu eksterior mansion yang megah menyala, menyoroti detail arsitektur klasik yang megah namun penuh kekuasaan.

Pintu mobil itu terbuka ke atas dengan mulus. Menampakkan seorang pria melangkah keluar dengan pesona. Tubuhnya tinggi dan tegap, balutan jas hitam yang rapi namun tetap kasual. Rambut hitamnya tersisir ke belakang dengan sempurna. Dia mengangkat tangan untuk melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan rahang tegas yang dihiasa sedikit bayangan janggut tipis. Sementara itu, sebuah jam tangan Rolex bersinar di pergelangan tangan kirinya dan cincin dengan batu safir menghiasi jarinya manisnya, simbol status dan kekuasaan yang tak terbantahkan. Dia melangkah ke arah pintu utama tanpa memperhatikan para penjaga yang berdiri kaku di sepanjang jalan masuk. Sepatu kulitnya beradu dengan lantai marmer, menciptakan bunyi yang teratur namun mengintimidasi.

Pintu besar mansion dibuka oleh salah satu pelayan yang langsung menunduk dalam-dalam. "Selamat malam, Tuan."

“Di mana wanita itu?” Ia melangkah tanpa melihat siapapun.
“Dia sedang bersama tuan besar di aula utama.”

Dia hanya melirik sekilas, lalu melangkah masuk ke aula utama yang luas. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal menjulang di atasnya, tapi suasana di dalam terasa tegang. Seorang pria tua, Tuan Besar, duduk di kursi besar di ujung aula, menunggu dengan wajah serius. Di sampingnya, laki-laki paruh baya dan seorang wanita muda duduk anggun, terlihat gugup sambil meremas ujung jilbabnya.

Tatapan pria itu langsung tertuju pada wanita tersebut. Langkahnya melambat tanpa sadar, dan untuk pertama kalinya sepanjang hari, ekspresinya yang dingin tampak melunak. Wanita itu mendongak sekilas, dan mata mereka bertemu. Sejenak, dunia di sekeliling mereka seolah lenyap.

Tuan Besar berdeham pelan, memecah keheningan. "Kau akhirnya p**ang. Ku pikir kau lupa alamat rumah.”

Sang mafia menoleh sekilas pada Tuan Besar, tapi perhatiannya segera kembali pada wanita di depannya. Hatinya, yang selama ini dingin dan tak tergerak, tiba-tiba terasa tak karuan. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita ini—sesuatu yang membuatnya terdiam.

Wanita itu menunduk lagi, seolah menyembunyikan wajahnya yang memerah, tetapi kecantikannya tetap tak bisa disembunyikan. Jilbab satin berwarna marun yang membingkai wajahnya menambah pesona alami yang memikat. Mata gelapnya tampak meneduhkan, namun ada kegugupan yang jelas di sana.

Sang mafia memperhatikan setiap detail, mulai dari tangan mungil wanita itu yang meremas ujung jilbabnya, hingga bibirnya yang sedikit bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun ragu. Dia mengangkat satu alis, mencoba menyembunyikan keterkejutannya sendiri.

"Aku tidak lupa alamat rumah," jawab pria itu akhirnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Matanya tetap tertuju pada wanita tersebut. "Tapi, aku tidak diberi tahu kalau yang menungguku... seorang bidadari."

Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan, bingung dengan maksudnya. Tatapan mereka bertemu lagi, dan sang mafia merasakan detak jantungnya berdentum lebih keras. Ada kehangatan dalam sorot mata wanita itu, sesuatu yang membuatnya merasa disihir tanpa sadar.

Tuan Besar mengangkat alisnya, menatap sang mafia dengan ekspresi penuh arti. "Jadi? Apa kau setuju dengan pilihan papa? Namanya Aisyah, dia anak teman papa yang sudah meninggal. Dia perempuan baik.”

Sang mafia masih terpaku, tatapannya tak lepas dari wanita di depannya. Hatinya yang selama ini beku seakan mencair dalam hitungan detik. Jantungnya berdetak tak karuan, sebuah sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Wanita itu terlihat sederhana dengan jilbab satin marun yang membingkai wajahnya, tetapi justru kesederhanaan itulah yang memancarkan kecantikan alami yang memukau.

"Apa kau setuju dengan pilihan papa?" ulang Tuan Besar dengan nada tegas, mencoba menarik perhatian putranya.

Sang mafia akhirnya mengalihkan pandangannya, meskipun hanya sejenak, lalu menatap ayahnya dengan wajah yang masih menyimpan keterkejutan.

"Dia… berbeda," gumamnya nyaris tak terdengar, tapi cukup bagi Tuan Besar untuk menangkap perubahan nada suaranya.

"Aisyah," ucapnya perlahan, suaranya berubah lebih dalam dan lembut. Dia menyebut nama itu seperti mantra, seolah sedang mengujinya di lidah. "Kau tahu siapa aku, bukan?"

Aisyah mengangguk pelan, masih menunduk, tapi berani menjawab. "Ya. Saya tahu."

"Kalau begitu, kenapa kau di sini? Apakah karena paksaan?" tanya pria itu lagi, kali ini dengan nada yang hampir mendamba. Dia ingin tahu alasannya, ingin memahami keberanian yang membuat wanita seperti Aisyah berani menemuinya.

Aisyah mengangkat wajahnya perlahan, menatap pria itu dengan sorot mata yang lembut namun tegas.

"Karena tidak ada pilihan.”

Jawaban Aisyah membuat sang mafia terdiam sejenak. Sorot matanya yang semula lembut kini berubah tajam. "Tidak ada pilihan?" ulangnya pelan, namun penuh tekanan. "Maksudmu?"

“Jangan banyak tanya. Kamu setuju atau tidak?” tanya tuan besar mengambil alih. Ia tak mungkin bercerita jika orang tua kandung gadis tersebut, dia lah yang membunuhnya.

Penulis : AlfedaF3 Judul : Pulang ke Masa Lalu Platform: KBM ****Aku menyesal telah membenci ibuku hingga akhir hayatnya...
03/11/2024

Penulis : AlfedaF3
Judul : Pulang ke Masa Lalu
Platform: KBM

****
Aku menyesal telah membenci ibuku hingga akhir hayatnya.

***

[Qia, ibumu masuk rumah sakit. Kondisinya kritis. Dokter butuh persetujuanmu untuk melanjutkan pengobatan.]

Kenapa sekarang? Qia memelototi pesan itu, marah bercampur kebingungan. Di saat hidupnya sudah jungkir balik, kenapa ibunya memilih saat ini untuk membuat segalanya lebih buruk?

Sudah bertahun-tahun hubungan mereka seperti bom waktu. Sejak ibunya dengan tegas melarang hubungannya dengan Angkara, pria yang begitu ia cintai, Qia merasa kebebasannya dihancurkan berkeping-keping. Larangan demi larangan hanya membangun tembok antara mereka, dan setiap kali ibunya mendekat, semua yang Qia lihat hanyalah seorang wanita yang haus kontrol.

Teleponnya berdering lagi, kali ini suara yang di ujung sana terdengar semakin mendesak.

“Qia, ini Bibi. Kamu harus datang. Ibumu… kondisinya semakin buruk.”

Qia menghela napas, kemarahan dan frustasi berbaur di dadanya.

“Aku tidak mau ke sana, Bibi,” jawabnya tanpa basa-basi.

“Dia sudah cukup menyiksa hidupku. Sekarang dia ingin aku datang dan membantu? Untuk apa?”

"Tapi, Qia... ini serius! Ibumu sekarat. Kamu satu-satunya yang bisa memutuskan."

Sekarat? Ironis. Qia hampir tertawa, tetapi yang keluar hanya suara tawa getir yang terdengar hampa.

"Jadi sekarang dia butuh aku? Setelah semua yang dia lakukan? Setelah menghancurkan cinta dan kebebasanku?" Suaranya naik, dipenuhi emosi yang lama terpendam.

"Qia, ini bukan soal masa lalu. Ini hidup dan mati."

Hening. Qia menelan semua kata yang ingin ia lemparkan—semua dendam, semua kemarahan yang selama ini ia sembunyikan.

"Aku... tidak peduli, Bibi." Qia akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan suara yang jauh lebih dingin.

"Dia menghancurkan hidupku, dan sekarang dia ingin aku menyelamatkannya? Maaf, tapi aku sudah selesai."

Sebelum Bibinya bisa membalas, Qia menutup telepon. Ia melempar ponsel itu ke samping dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal, berharap rasa marah yang membara di dadanya bisa hilang. Tapi semakin ia mencoba, semakin rasa itu menancap dalam.

Namun, di sudut kecil hatinya, suara kecil berbisik: Bagaimana jika ini benar-benar akhir?

***

Akhirnya, setelah berjam-jam bergulat dengan pikirannya sendiri, Qia menyerah pada dorongan untuk melihat ibunya. Tapi ini bukan karena rasa kasihan atau cinta, melainkan karena penasaran. Ia ingin tahu—ingin melihat sendiri apakah wanita yang pernah begitu kuat mengendalikan hidupnya, kini benar-benar tak berdaya.

Langkahnya berat ketika ia memasuki lorong rumah sakit, bau antiseptik menusuk hidungnya. Setiap langkah membuat emosinya bergejolak, tapi ia tetap memasang wajah dingin, seolah itu bisa melindunginya dari rasa bersalah yang mulai merayap.

Ketika sampai di depan kamar ibunya, Qia berhenti. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu membuka pintu perlahan. Dan di sana, di atas ranjang rumah sakit, Ibunya terbaring, tubuhnya dipenuhi dengan kabel dan selang yang menghubungkannya ke berbagai alat medis. Wajahnya pucat, kulitnya tampak lebih tipis dan rapuh daripada yang pernah Qia ingat. Matanya tertutup, napasnya teratur namun lemah, dan detak jantungnya terpampang jelas di monitor yang berbunyi monoton.

Qia berdiri di ambang pintu, memandangi tubuh lemah yang dulu begitu berkuasa atas hidupnya. Sejenak, tak ada perasaan apa-apa yang muncul di dadanya—hanya kehampaan yang dingin. Dia mendekat, menatap ibunya lebih dekat, bibirnya perlahan tersenyum kecil.

“Lihat dirimu sekarang, Bu,” bisiknya, suaranya penuh cemoohan.

"Kau yang selalu memegang kendali, selalu memaksakan kehendakmu padaku, sekarang terbaring di sini tak berdaya. Akhirnya, kau tahu rasanya menjadi lemah." Dia tertawa kecil, namun tawanya terdengar hampa dan getir.

"Selama bertahun-tahun, kau memaksaku untuk menjadi anak yang patuh, melarangku memilih jalanku sendiri. Sekarang, siapa yang mengatur hidupmu, Bu? Mesin-mesin ini? Dokter-dokter itu?"

Qia mendekatkan diri, menatap wajah pucat ibunya yang tetap tak bereaksi. Ada kilatan kemarahan di matanya.

"Apa ini yang kau inginkan? Kau selalu menahan kendali atas segalanya, termasuk hidupku. Sekarang lihatlah... kau bahkan tidak bisa mengendalikan napasmu sendiri." Ia tersenyum sinis, seolah menemukan kepuasan dalam ketidakberdayaan ibunya.

“Semua ini mungkin karma untukmu, Bu,” lanjutnya, suara itu terdengar lebih pelan namun tetap penuh cemoohan.

“Aku tak akan menangis untukmu. Kau hanya memikirkan bagaimana mengatur hidupku, tanpa pernah peduli perasaanku.”

Qia mundur beberapa langkah, memandangi ibunya yang tetap tak bergerak. Ada kepuasan di permukaan, tapi di dalam, ada sesuatu yang tidak beres—sebuah kehampaan yang tumbuh semakin besar. Apa benar ini yang dia inginkan? Melihat ibunya terbaring tak berdaya, tanpa sedikit pun kesempatan untuk berdebat lagi?

Namun sebelum dia bisa benar-benar memikirkan perasaannya, pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk. Perawat itu terkejut melihat Qia yang berdiri di sana, dan menatapnya dengan ragu.

“Anda keluarga Ibu Nikita, ya?” tanya perawat itu dengan lembut.

Qia mengangguk, tanpa kata-kata.

“Ibu Anda sangat kritis. Kami menunggu keputusan Anda untuk melanjutkan atau menghentikan pengobatan. Waktu kita tidak banyak.”

Qia tetap diam, pikirannya berputar. Dia kembali menatap ibunya lagi, sosok yang pernah begitu kuat dalam hidupnya, kini tergantung pada keputusan yang berada di tangannya.

****

Qia berdiri membeku setelah mendengar kata-kata perawat. Kepalanya terasa penuh, namun di saat yang sama, terasa kosong. Perawat itu menyerahkan selembar kertas—surat persetujuan untuk melanjutkan operasi. Tangan Qia gemetar saat menyentuh kertas itu, matanya menelusuri tiap baris kata yang tertulis. Semua keputusan berada di tangannya. Operasi ini bisa memberi ibunya kesempatan hidup, atau setidaknya perpanjangan waktu. Namun di hatinya, dendam dan kebencian masih terlalu kuat untuk diredam.

Qia memejamkan matanya sejenak, bayangan masa lalu kembali terlintas. Betapa selama bertahun-tahun ibunya memaksakan segala hal kepadanya, mengekang setiap langkahnya, melarangnya mencintai orang yang dia inginkan. Semua itu seolah terukir di dalam dirinya—bekas luka yang tak pernah sembuh. Ia menekan bibirnya, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.

“Saya… tidak bisa,” akhirnya, Qia membuka matanya, suaranya serak namun tegas.

“Saya tidak akan menandatangani ini.” Perawat itu tampak terkejut.

“Tapi, ini satu-satunya harapan—”

“Sudah cukup,” potong Qia, suaranya kini lebih tajam.

“Dia sudah membuat hidupku seperti ini. Aku… aku tidak bisa.”

Dengan tangan gemetar, Qia menyerahkan kembali surat itu tanpa tanda tangannya. Perawat itu memandangnya dengan penuh iba, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

"Baiklah, kami akan memberitahu dokter," kata perawat itu, suaranya rendah dan penuh kekecewaan. Lalu dia pergi, meninggalkan Qia sendirian di kamar itu, bersama ibunya yang masih terbaring tak sadar.

Qia mundur, menatap ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang. Ada ketenangan aneh yang menyelimuti ruangan, tapi di dalam dirinya, hatinya hancur dan kosong. Dia memandang kembali wajah ibunya yang pucat, tubuh yang dulu begitu kuat dan penuh otoritas kini tampak rapuh dan tak berdaya. Tidak ada lagi suara tegas, tidak ada lagi kontrol. Hanya keheningan.

Waktu berlalu dengan lambat. Qia bisa mendengar bunyi monoton dari monitor jantung yang berdetak pelan. Setiap detik seperti hukuman. Lalu, perlahan, detak itu mulai memelan, semakin pelan, hingga akhirnya berhenti.

Qia melihat layar monitor yang kini menunjukkan garis lurus, menandakan bahwa ibunya telah tiada. Suara mesin yang mati dan lenyapnya bunyi detak jantung itu membuat ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Dia berdiri di sana, tak bergerak, menatap tubuh tak bernyawa ibunya. Tidak ada air mata. Tidak ada rasa kehilangan yang langsung menyergap. Hanya kekosongan dan keheningan yang mencekam.

Tiba-tiba, suara lirih mengoyak keheningan. Suara itu datang begitu dekat, seakan berbisik langsung ke telinganya. Suara yang pernah begitu ia kenal, namun kini terdengar jauh, penuh dengan kepedihan dan ketegasan yang tak bisa ia abaikan.

“Qia… kamu akan menyesal,” suara itu berbisik, dingin dan hampa. “Suatu hari nanti, kau akan tahu kenapa Ibu melakukan semua ini. Dan saat kau menyadarinya, akan terlalu terlambat untuk kembali.”

Jantung Qia berdetak kencang, napasnya memburu. Dia menoleh panik ke sekeliling ruangan, tapi hanya kesunyian yang menyambutnya. Tak ada siapa pun di sana, hanya tubuh ibunya yang terbaring kaku dan tak lagi berdaya.

"Ibu...?"

[Qia, ibumu masuk rumah sakit. Kondisinya kritis. Dokter butuh persetujuanmu untuk melanjutkan pengobatan.]Kenapa sekara...
26/10/2024

[Qia, ibumu masuk rumah sakit. Kondisinya kritis. Dokter butuh persetujuanmu untuk melanjutkan pengobatan.]

Kenapa sekarang? Qia memelototi pesan itu, marah bercampur kebingungan. Di saat hidupnya sudah jungkir balik, kenapa ibunya memilih saat ini untuk membuat segalanya lebih buruk?

Sudah bertahun-tahun hubungan mereka seperti bom waktu. Sejak ibunya dengan tegas melarang hubungannya dengan Angkara, pria yang begitu ia cintai, Qia merasa kebebasannya dihancurkan berkeping-keping. Larangan demi larangan hanya membangun tembok antara mereka, dan setiap kali ibunya mendekat, semua yang Qia lihat hanyalah seorang wanita yang haus kontrol.

Teleponnya berdering lagi, kali ini suara yang di ujung sana terdengar semakin mendesak.

“Qia, ini Bibi. Kamu harus datang. Ibumu… kondisinya semakin buruk.”

Qia menghela napas, kemarahan dan frustasi berbaur di dadanya.

“Aku tidak mau ke sana, Bibi,” jawabnya tanpa basa-basi.

“Dia sudah cukup menyiksa hidupku. Sekarang dia ingin aku datang dan membantu? Untuk apa?”

"Tapi, Qia... ini serius! Ibumu sekarat. Kamu satu-satunya yang bisa memutuskan."

Sekarat? Ironis. Qia hampir tertawa, tetapi yang keluar hanya suara tawa getir yang terdengar hampa.

"Jadi sekarang dia butuh aku? Setelah semua yang dia lakukan? Setelah menghancurkan cinta dan kebebasanku?" Suaranya naik, dipenuhi emosi yang lama terpendam.

"Qia, ini bukan soal masa lalu. Ini hidup dan mati."

Hening. Qia menelan semua kata yang ingin ia lemparkan—semua dendam, semua kemarahan yang selama ini ia sembunyikan.

"Aku... tidak peduli, Bibi." Qia akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan suara yang jauh lebih dingin.

"Dia menghancurkan hidupku, dan sekarang dia ingin aku menyelamatkannya? Maaf, tapi aku sudah selesai."

Sebelum Bibinya bisa membalas, Qia menutup telepon. Ia melempar ponsel itu ke samping dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal, berharap rasa marah yang membara di dadanya bisa hilang. Tapi semakin ia mencoba, semakin rasa itu menancap dalam.

Namun, di sudut kecil hatinya, suara kecil berbisik: Bagaimana jika ini benar-benar akhir?

***

Akhirnya, setelah berjam-jam bergulat dengan pikirannya sendiri, Qia menyerah pada dorongan untuk melihat ibunya. Tapi ini bukan karena rasa kasihan atau cinta, melainkan karena penasaran. Ia ingin tahu—ingin melihat sendiri apakah wanita yang pernah begitu kuat mengendalikan hidupnya, kini benar-benar tak berdaya.

Langkahnya berat ketika ia memasuki lorong rumah sakit, bau antiseptik menusuk hidungnya. Setiap langkah membuat emosinya bergejolak, tapi ia tetap memasang wajah dingin, seolah itu bisa melindunginya dari rasa bersalah yang mulai merayap.

Ketika sampai di depan kamar ibunya, Qia berhenti. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu membuka pintu perlahan. Dan di sana, di atas ranjang rumah sakit, Ibunya terbaring, tubuhnya dipenuhi dengan kabel dan selang yang menghubungkannya ke berbagai alat medis. Wajahnya pucat, kulitnya tampak lebih tipis dan rapuh daripada yang pernah Qia ingat. Matanya tertutup, napasnya teratur namun lemah, dan detak jantungnya terpampang jelas di monitor yang berbunyi monoton.

Qia berdiri di ambang pintu, memandangi tubuh lemah yang dulu begitu berkuasa atas hidupnya. Sejenak, tak ada perasaan apa-apa yang muncul di dadanya—hanya kehampaan yang dingin. Dia mendekat, menatap ibunya lebih dekat, bibirnya perlahan tersenyum kecil.

“Lihat dirimu sekarang, Bu,” bisiknya, suaranya penuh cemoohan.

"Kau yang selalu memegang kendali, selalu memaksakan kehendakmu padaku, sekarang terbaring di sini tak berdaya. Akhirnya, kau tahu rasanya menjadi lemah." Dia tertawa kecil, namun tawanya terdengar hampa dan getir.

"Selama bertahun-tahun, kau memaksaku untuk menjadi anak yang patuh, melarangku memilih jalanku sendiri. Sekarang, siapa yang mengatur hidupmu, Bu? Mesin-mesin ini? Dokter-dokter itu?"

Qia mendekatkan diri, menatap wajah pucat ibunya yang tetap tak bereaksi. Ada kilatan kemarahan di matanya.

"Apa ini yang kau inginkan? Kau selalu menahan kendali atas segalanya, termasuk hidupku. Sekarang lihatlah... kau bahkan tidak bisa mengendalikan napasmu sendiri." Ia tersenyum sinis, seolah menemukan kepuasan dalam ketidakberdayaan ibunya.

“Semua ini mungkin karma untukmu, Bu,” lanjutnya, suara itu terdengar lebih pelan namun tetap penuh cemoohan.

“Aku tak akan menangis untukmu. Kau hanya memikirkan bagaimana mengatur hidupku, tanpa pernah peduli perasaanku.”

Qia mundur beberapa langkah, memandangi ibunya yang tetap tak bergerak. Ada kepuasan di permukaan, tapi di dalam, ada sesuatu yang tidak beres—sebuah kehampaan yang tumbuh semakin besar. Apa benar ini yang dia inginkan? Melihat ibunya terbaring tak berdaya, tanpa sedikit pun kesempatan untuk berdebat lagi?

Namun sebelum dia bisa benar-benar memikirkan perasaannya, pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk. Perawat itu terkejut melihat Qia yang berdiri di sana, dan menatapnya dengan ragu.

“Anda keluarga Ibu Nikita, ya?” tanya perawat itu dengan lembut.

Qia mengangguk, tanpa kata-kata.

“Ibu Anda sangat kritis. Kami menunggu keputusan Anda untuk melanjutkan atau menghentikan pengobatan. Waktu kita tidak banyak.”

Qia tetap diam, pikirannya berputar. Dia kembali menatap ibunya lagi, sosok yang pernah begitu kuat dalam hidupnya, kini tergantung pada keputusan yang berada di tangannya.

****

Qia berdiri membeku setelah mendengar kata-kata perawat. Kepalanya terasa penuh, namun di saat yang sama, terasa kosong. Perawat itu menyerahkan selembar kertas—surat persetujuan untuk melanjutkan operasi. Tangan Qia gemetar saat menyentuh kertas itu, matanya menelusuri tiap baris kata yang tertulis. Semua keputusan berada di tangannya. Operasi ini bisa memberi ibunya kesempatan hidup, atau setidaknya perpanjangan waktu. Namun di hatinya, dendam dan kebencian masih terlalu kuat untuk diredam.

Qia memejamkan matanya sejenak, bayangan masa lalu kembali terlintas. Betapa selama bertahun-tahun ibunya memaksakan segala hal kepadanya, mengekang setiap langkahnya, melarangnya mencintai orang yang dia inginkan. Semua itu seolah terukir di dalam dirinya—bekas luka yang tak pernah sembuh. Ia menekan bibirnya, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.

“Saya… tidak bisa,” akhirnya, Qia membuka matanya, suaranya serak namun tegas.

“Saya tidak akan menandatangani ini.” Perawat itu tampak terkejut.

“Tapi, ini satu-satunya harapan—”

“Sudah cukup,” potong Qia, suaranya kini lebih tajam.

“Dia sudah membuat hidupku seperti ini. Aku… aku tidak bisa.”

Dengan tangan gemetar, Qia menyerahkan kembali surat itu tanpa tanda tangannya. Perawat itu memandangnya dengan penuh iba, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

"Baiklah, kami akan memberitahu dokter," kata perawat itu, suaranya rendah dan penuh kekecewaan. Lalu dia pergi, meninggalkan Qia sendirian di kamar itu, bersama ibunya yang masih terbaring tak sadar.

Qia mundur, menatap ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang. Ada ketenangan aneh yang menyelimuti ruangan, tapi di dalam dirinya, hatinya hancur dan kosong. Dia memandang kembali wajah ibunya yang pucat, tubuh yang dulu begitu kuat dan penuh otoritas kini tampak rapuh dan tak berdaya. Tidak ada lagi suara tegas, tidak ada lagi kontrol. Hanya keheningan.

Waktu berlalu dengan lambat. Qia bisa mendengar bunyi monoton dari monitor jantung yang berdetak pelan. Setiap detik seperti hukuman. Lalu, perlahan, detak itu mulai memelan, semakin pelan, hingga akhirnya berhenti.

Qia melihat layar monitor yang kini menunjukkan garis lurus, menandakan bahwa ibunya telah tiada. Suara mesin yang mati dan lenyapnya bunyi detak jantung itu membuat ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Dia berdiri di sana, tak bergerak, menatap tubuh tak bernyawa ibunya. Tidak ada air mata. Tidak ada rasa kehilangan yang langsung menyergap. Hanya kekosongan dan keheningan yang mencekam.

Tiba-tiba, suara lirih mengoyak keheningan. Suara itu datang begitu dekat, seakan berbisik langsung ke telinganya. Suara yang pernah begitu ia kenal, namun kini terdengar jauh, penuh dengan kepedihan dan ketegasan yang tak bisa ia abaikan.

“Qia… kamu akan menyesal,” suara itu berbisik, dingin dan hampa. “Suatu hari nanti, kau akan tahu kenapa Ibu melakukan semua ini. Dan saat kau menyadarinya, akan terlalu terlambat untuk kembali.”

Jantung Qia berdetak kencang, napasnya memburu. Dia menoleh panik ke sekeliling ruangan, tapi hanya kesunyian yang menyambutnya. Tak ada siapa pun di sana, hanya tubuh ibunya yang terbaring kaku dan tak lagi berdaya.

"Ibu...?"

**
Judul Buku : Pulang ke Masa Lalu
Penulis : AlfedaF3
platform: KBM

Address

Jalan Anggrek II
Jakarta
12330

Telephone

+628979619368

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Novel Online posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Novel Online:

Share