Mondy Tatto

Mondy Tatto Di Follow Ya Gaes...

RETAKAN PERTAMAKilauan serpihan kaca kristal memantul di lantai marmer putih. Anyndita berdiri terpaku, tangannya masih ...
01/01/2025

RETAKAN PERTAMA

Kilauan serpihan kaca kristal memantul di lantai marmer putih. Anyndita berdiri terpaku, tangannya masih menggenggam udara kosong. Pecahan gelas tersebar di sekelilingnya, bercampur dengan genangan cairan merah pekat yang menyerupai da rah.

Perempuan itu menatap dengan tatapan kosong, seolah waktu berhenti berdetak di ruangan penuh orang itu. Seorang lelaki mendekat dan bertanya, "Dita, kamu nggak papa?"
Suara Ananta, suaminya, membuyarkan kebekuan yang menenggelamkan. Anyndita menoleh, napasnya tersengal.

"Aku... aku nggak sengaja," bisiknya, suaranya lemah, hampir tenggelam oleh keramaian para tamu yang mulai berbisik-bisik.

"Hati-hati, serpihannya t4jam."
Ananta berjongkok, mulai memunguti pecahan gelas dengan hati-hati. Namun Anyndita mundur selangkah, matanya terpaku pada genangan merah itu. Terlalu merah. Terlalu mirip da rah. Dan warna itu menyeret ingatannya pada kenangan yang lama terpendam.

Kenapa nggak kau akui saja, Anyndita?

Anyndita menoleh cepat. Suara itu dingin, tajam, seperti pis4u yang menu suk langsung ke kepalanya. Namun, tidak ada siapa pun di dekatnya.

“Dita?" Ananta menyentuh lengannya, membuat Anyndita tersentak. Dia melihat ke arah Ananta, lalu kembali ke lantai, mencari sumber suara tadi. Tidak ada. Hanya tamu-tamu yang mulai berbisik-bisik di sudut ruangan. Perempuan itu lalu berjalan ke luar ruangan dengan langkah tergesa.

“Aku mau keluar sebentar. Aku butuh udara segar," ucap Anyndita kepada suaminya sebelum melangkah cepat menuju pintu yang mengarah ke taman belakang.

Ananta menatapnya dengan dahi berkerut. Namun, dia tak berkata apa-apa.

Udara malam menu suk kulit, membawa aroma dedaunan basah. Anyndita menyandarkan tubuhnya pada dinding batu taman. Tangannya mencengkeram pashmina yang melilit lehernya, mencoba meredakan gemetar yang tak terkendali. Perempuan itu membiarkan angin malam mengg1git kulitnya yang meremang. Napasnya berat, seperti ada beban tak kasat mata yang terus menekan.

Kau pikir bisa terus lari?

Anyndita terlonjak. Ia menoleh ke sekeliling, mencari suara yang baru saja berbisik di telinganya. Kosong. Taman itu gelap, hanya diterangi lampu-lampu kecil yang berkerlip lemah di sudut-sudutnya. Namun, sesuatu di meja taman menarik perhatiannya. Sebuah gelas kristal utuh, penuh dengan cairan merah pekat, berdiri di atas meja.

Anyndita mendekati meja kayu itu dengan langkah ragu. Ia menatap ke dasar gelas, lalu kedua matanya terbelalak.Di permukaan cairan itu, sebuah wajah muncul. Bukan wajahnya, tapi sebuah wajah yang asing. Wajah itu tersenyum sinis, lalu lenyap seketika.

Gelas itu jatuh sebelum Anyndita sempat menyentuhnya. Pecahannya berserakan di lantai, bunyinya menggema di kegelapan. Di antara pecahan kaca itu, Anyndita melihat sesuatu yang aneh: sebuah kunci kecil dengan ukiran halus di permukaannya.

"Dita?" Suara Ananta memanggil dari dalam rumah, membuyarkan keterpakuannya.

Anyndita tergesa-gesa memungut kunci itu. Jemarinya gemetar saat ia menggenggamnya erat. Perempuan itu bangkit berdiri lalu berbalik untuk menghampiri suaminya. Namun, sesuatu di balik bayang-bayang pohon membuat langkahnya terhenti. Sebuah sosok hitam. Sosok itu berdiri diam, tak bergerak, hanya memandang ke arahnya.

Anyndita berlari mendekat, namun sosok itu menghilang. Diarahkannya pandangan ke sekeliling. Tak seorang pun terlihat dalam batas pandangnya. Perempuan itu menggigil. Angin malam yang dingin menembus gaun panjangnya.

Perempuan itu menoleh kaget saat sebuah tepukan halus mendarat di pundaknya. Suaminya telah berdiri di sampingnya.

“Dita, ada apa?” suara Ananta mampir ke indra dengarnya. Lelaki itu menatap istrinya dengan tatapan khawatir.

“Nggak papa. Aku kan tadi udah bilang, aku cuma butuh udara segar," jawab Anyndita pelan, berusaha terdengar normal. Tangannya menyembunyikan kunci itu di balik gaunnya.

"Tamu-tamu sudah mau pulang," Ananta berkata sambil menatap wajah pucat istrinya lalu menyambung, ”mereka mencari nyonya rumah.”

Anyndita diam tanpa reaksi, membuat suaminya kembali bertanya, "Kamu yakin nggak papa?"

"Aku baik-baik saja," balasnya dengan senyum tipis. Tapi hatinya berdebar keras, pikirannya penuh dengan gambar kunci itu dan wajah di permukaan cairan merah.

Pasangan suami istri itu lalu melangkah ke dalam rumah, menghampiri tamu-tamu yang telah menunggu di dekat pintu keluar. Anyndita terus melempar senyum dan menyalami para tamu yang berpamitan, namun pikirannya gamang dan jiwanya berkelana di tempat lain.

Usai dengan urusan pesta yang melelahkan, sepasang suami istri itu beranjak ke tempat tidur. Tak butuh waktu lama bagi Ananta untuk mengembara ke alam mimpi, sementara Anyndita masih terjaga di atas pembaringan.

Cahaya bulan menyelinap melalui celah tirai, menerangi kunci yang ditaruhnya di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ditimang-timangnya benda kecil itu dengan batin penuh tanya. Ada ukiran di permukaan kunci itu. Dilihatnya lebih teliti. Ukiran itu terlihat seperti angka dan huruf: P1034.

Apa ini? gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Di luar, suara angin berdesir di antara pepohonan. Anyndita mencoba memejamkan mata, tetapi suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih dekat, seperti seseorang berbisik di telinganya. "Ingatlah, Anyndita. Kau tak bisa terus berlari."

Ia membuka matanya dengan cepat.
"Siapa di sana?" tanyanya dengan nada panik.
Tapi hanya keheningan yang menjawab. Perempuan itu menoleh ke sosok di sampingnya. Ananta masih terlelap, nampaknya tak terganggu sedikit pun.

Anyndita menoleh ke meja kecil di samping tempat tidurnya. Kunci itu sudah tidak ada di tempatnya semula.

Yuk baca di kbm app biar lebih seru.
Judul THE BROKEN GLASS
Penulis Santy St

KARMA (BERLIAN KAU BUANG, BATU KERIKIL KAU DAPATKAN)"Dari hasil pemeriksaan tes darah di laboratorium, Ibu Della positif...
01/01/2025

KARMA (BERLIAN KAU BUANG, BATU KERIKIL KAU DAPATKAN)

"Dari hasil pemeriksaan tes darah di laboratorium, Ibu Della positif terkena HIV," ucapku kepada Della.

Brakk!

Meja kerjaku digebrak oleh kedua tangan Della.

"Kamu kalau benci sama saya, silahkan. Tapi, gak seharusnya kamu ngarang cerita kaya gini. Tujuan saya kesini mau berobat, bukan cari ribut kaya gini," ucap Della memakiku.

"Tapi, Del ... aku gak cari ribut. Aku hanya menyampaikan hasil tes darah kamu," ucapku kepada Della, memberi pengertian.

"Alasan saja, ya ... mana mungkin aku terkena penyakit itu. Kamu pikir, aku pelacur gitu? nyesel banget aku datang kesini." Ucap Della, marah. Diapun nyelonong main pergi begitu saja.

Aku biarkan dia pergi, toh percuma menjelaskan sesuatu pada orang yang lagi marah. Padahal seharusnya Della masih harus melakukan serangkaian tes selanjutnya, selain itu Della juga harus segera merencanakan pengobatan sesegera mungkin untuk memastikan tubuh Della agar tetap sehat dan mengurangi peluang menyebarkan HIV ke orang lain.

Namun apa boleh buat, Della tidak mempercayaiku dan hanya menganggapku omong kosong belaka. Aku sebagai seorang Dokter tentu merasa kasihan atas kondisi yang menimpanya, terlepas dari semua perbuatan yang pernah ia lakukan padaku. Semoga saja Della melakukan pemeriksaan lagi dilain tempat, supaya dia sadar aku tak pernah mempermainkannya.

*****

Jam menunjukkan pukul tiga sore, waktunya aku untuk pulang ke rumah. Akupun melangkah pergi meninggalkan ruang kerjaku, sekilas kulihat ruang kerja Dokter Satria sudah sepi. Mungkin Dokter Satria juga sudah pulang, atau mungkin dia lagi asik kencan dengan perempuan tadi pagi. Ah ... kenapa aku jadi sebete ini sama Dokter Satria?

Akupun menjalanan mobilku dengan kecepatan sedang, suasana sore ini begitu cerah. Terlihat matahari masih memancarkan sinarnya yang kekuningan, menghiasi seluruh alam. Sore-sore melewati hamparan sawah yang menghijau ditambah angin yang berhembus sepoi-sepoi membuat hati menjadi tentram, sungguh indah ciptaanMu ya Rabb.

Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri untuk mampir ke Mall untuk membeli kebutuhan rumah. Selain itu, sekalian aku mau membeli makanan untuk makan malam nanti. Karena suasana hati yang lagi bete, akupun sekalian memesan makanan untuk mengganjal perutku yang sudah mulai meronta-ronta.

Sambil menunggu pesanan datang, aku memainkan ponselku dan sesekali mengedarkan pandangan melihat sekelilingku. Siapa tau ada seseorang yang aku kenali, sekaligus cuci mata. Benar saja, aku menangkap sesosok orang yang aku kenali. Dua sejoli sedang menikmati makanan dengan sesekali bercanda gurau, seperti sepasang kekasih yang begitu bahagia. Dialah Dokter Satria dan seorang perempuan yang tadi pagi berada di rumah sakit bersamanya.

Niatnya pergi ke Mall untuk menghilangkan bete, eh ... ini malah ketemu dia. Bikin tambah bete aja, seketika selera makanku jadi hilang. Perut yang tadi meronta-ronta pun kini menjadi anteng, tapi sayang juga kalau makanan udah dipesen gak dimakan.

Pesananpun datang, aku segera menikmati makanan yang sudah kupesan. Rasanya semua makanan jadi hambar, benar-benar menyebalkan.

"Ehemm ...."

Saat tengah asik menikmati makanan yang terasa hambar, aku sedikit tersedak mendengar suara orang berdehem. Aku segera menganbil jus melon yang berada dimeja depanku, beruntung hanya keselek sedikit.

"Kamu nggak apa-apa?"

Aku hanya diam, rasanya bete banget melihat muka Dokter Satria. Apa dia tidak merasa bersalah gitu? pakai bawa-bawa perempuan itu kehadapanku segala lagi.

"Boleh kami duduk?"

Akupun hanya mengangguk.

"Keysha, kenalin ini Dokter Anita, teman kakak," ucap Dokter Satria mengenalkanku kepada perempuan tadi. Aku sedikit melongo mendengar ucapan Dokter Satria.

"Keysha," ucap perempuan itu sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

Akupun membalas uluran tangannya, "Anita."

"Kakak beneran temannya Kak Satria?" tanya Keysha kepadaku.

"Iya bener. Saya teman kerja Dokter Satria,"

"Tumben Kak Satria punya teman cewek, cantik lagi,"

Dokter Satria hanya diam, kulihat dia sedikit kesel dengan ucapan Keysha. Terlihat tadi dia sedikit menyikut lengan Keysha, dasar cowok jaim.

"Hmm ... ngomong-ngomong Keysha siapanya Dokter Satria?" tanyaku kepo.

"Dia adekku," ucap Dokter Satria, menyambar saja.

"Dokter Satria, punya adek? kok gak pernah cerita,"

"Iya. Dia itu sejak kecil tinggal diluar negri dan kebetulan sekarang dia baru lulus SMA. Rencananya dia pengen ngelanjutin kuliah disini, biar dekat sama keluarga," ucap Dokter Satria menjelaskan.

Aku hanya mengangguk saja, aku baru sadar ternyata aku telah salah menilai Dokter Satria. Ah ... kupikir tadi dia sama saja seperti mas Damar, ternyata aku yang berburuk sangka padanya. Untung saja tadi aku tidak terus terang, hanya memendamnya dalam hati. Akhirnya kesalah pahaman ini cepat terselesaikan, mulai sekarang aku tidak boleh gegabah menyimpulkan sesuatu agar tidak mudah terjadi kesalah pahaman lagi.

Setelah bercakap-cakap cukup lama, Dokter Satria dan Keyshapun pamit untuk pulang duluan. Akupun mengiyakan, lalu aku melanjutkan berbelanja lagi. Tidak terasa, saking asiknya berbelanja ternyata sudah masuk waktunya sholat maghrib. Akupun segera ke kasir lalu kembali pulang ke rumah.

Sampai di rumah ternyata baby Prilli sudah tidur, kuputuskan untuk mandi lalu menunaikan sholat maghrib. Tidak menunggu lama, adzan isya'pun berkumandang. Aku melanjutkan untuk sholat isya' dan membaca al-qur'an. Setelah itu baru aku ke kamar untuk menemani baby Prilli, dialah pengobat lelah ini. Rasanya lelahku seketika langsung hilang ketika melihat wajahnya yang cantik dan teduh, ya ... aku begitu menyayanginya seperti anakku sendiri.

Ting!

Sebuah notifikasi Wa berbunyi, aku segera membukanya.

[Aku baru tau, ternyata Dokter Anita tadi bete sama aku karena cemburu sama keysha kan?]

Aku tersenyum sendiri membaca pesan Wa dari Dokter Satria, mau bilang iya tapi malu. Akupun tidak segera membalas pesan Wanya, bingung mau dibales gimana.

[Udah ngaku aja, gak usah malu-malu.]

Belum juga aku bales pesannya, dia udah Wa lagi. Isinya ngeselin lagi, dasar cowok jaim, ngeselin.

[Kalau gak dibales berarti beneran d**g, Dokter Anita cemburu. Hehe peace ....]

Tuh udah ngirimin pesan lagi, tambah ngeselin. Meski begitu aku bacanya sambil senyum-senyum sendiri, apa tandanya aku udah jatuh cinta ya sama Dokter Satria?

[Pede banget, Dokter Satria. Siapa juga yang cemburu.]

Aku balas aja begitu, gengsilah kalau harus mengakui kalau aku sedikit cemburu.

[Iya-iya gak cemburu, tapi sayang kan?]

Lagi-lagi dia bikin kesel, bisa aja ngegodain aku terus.

[Apaan sih Dokter Satria, genit banget]

[Hehe jangan ngambek d**g, nanti cantiknya hilang lo]

[Terus aja ngegombal]

[Ya udah selamat malam, selamat bobok, moga mimpiin aku ya ... Wkwk kabur ....]

[Ogah.]

Dokter Satria tak membalas chatku, mungkin dia sudah tidur. Aku gelisah memikirkan hasil tes darah Della, bagaimana mungkin Della terkena penyakit itu? itu artinya akupun bisa juga tertular, karena sebelumnya dia pernah berhubungan dengan mas Damar saat aku koma. Meski aku tak tahu sejak kapan mereka menjalin hubungan, akupun jugactak tahu mereka pernah berhubungan badan atau tidak.

Selain itu, bayi Della juga bisa saja terkena penyakit itu. Ah ... aku jadi cemas sendiri, dia yang berbuat semua bisa keba imbasnya. Semoga saja aku dan bayi Della terselamatkan, biarlah dia sendiri yang menanggung semuanya.

Bersambung

Bisa dibaca diaplikasi KBM APP
Judul: KARMA (BERLIAN KAU BUANG, BATU KERIKIL KAU DAPATKAN)
Penulis: Indria Azka

Tattoo kartun 😄
01/01/2025

Tattoo kartun 😄

Aku Diselingkvhi Hingga Selingkvhannya H4mil, Aku Ditinggal Menikah dan Dicampakan. Harusnya Aku Yang Paling Hancur, Tap...
01/01/2025

Aku Diselingkvhi Hingga Selingkvhannya H4mil, Aku Ditinggal Menikah dan Dicampakan. Harusnya Aku Yang Paling Hancur, Tapi Kenapa Malah Dia Yang B*n*H Diri? Ternyata ....

Part 6

"Apa?!" Mata Utari membelalak tidak percaya.

"Mereka siapa? Bhama 'kah?" tanya Utari cepat.

"Iya, Kak!"

"Jawab yang benar, mereka itu siapa aja? Nggak mungkin cuma Bhama!" Kesabaran Utari mulai habis.

"Bhama yang tidur sama Vina di kamar!" jawab Raka cepat.

Napas Utari sesak seketika, kalimat Raka bagaikan pukulan berat yang menghantam dadanya. Utari sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan.

Sedih, marah, dan kecewa kini bereaksi cukup buruk di kepalanya. Utari terpejam, tangannya bergetar menahan akal sehatnya agar tetap bekerja.

"Nggak mungkin," gumam Utari.

Utari kembali mengangkat wajahnya menatap Raka, "Dari sekian banyak cowok dan hanya tiga cewek, kenapa hanya Bhama yang menidvri Vina!" cecar Utari mulai kehilangan kendali, tanpa sadar tangannya sudah berada di kerah kaos Raka dan menariknya.

Raka menatap Utari ketakutan. "Aku nggak tahu, Kak. Aku m4buk berat, nggak mungkin ingat."

"Kamu sendiri bagaimana?" Tatapan Utari tajam, menerabas jendela hati Raka yang berusaha keras menutupi sesuatu.

"Ap-anya?" Suara Raka tercekat.

Utari melepas cengkraman tangannya di kerah kaos yang mulai mencekik leher Raka dengan sedikit kasar, "Kamu juga m4buk, nonton film terlarang, kamu juga cowok, dan ada cewek di sana, kamu pasti melakukan hal terlarang itu juga, kan?" desak Utari.

Raka terbatuk kecil, mengejutkan ketika gadis seperti Utari memiliki tenaga yang kuat. "Udah aku bilang, Kak. Aku m4buk parah, bangun aja nggak bisa, gimana mau ngelakuin hal itu? Aku cuma liat sebentar waktu mereka nonton film itu, lalu aku nggak ingat apa-apa, kepalaku berat!" jawab Raka, kini suaranya terdengar jujur di telinga Utari.

Utari terdiam, otaknya berpikir keras.

"Udah, Kak. Jangan bahas orang yang udah nggak ada!" Raka menggunakan kesempatan itu untuk masuk lalu menutup pintu rumahnya rapat-rapat, meninggalkan Utari begitu saja.

"Hey ... tunggu!" Utari mengejar tapi kali ini terlambat, Urari mengetuk pintu rumah itu.

"Udah, Kak. Aku nggak mau bahas orang yang udah nggak ada, apalagi orang yang matinya bu*uh diri kaya gitu!" seru Raka dari dalam dengan ketakutan, tubuhnya bergidik ngeri.

"Jawab dulu, dimana alamat Vina?" Utari pun harus sedikit berteriak.

"Aku nggak tahu! Tolong ... cukup, Kak."

Utari mundur, setelah mendengar cerita Raka, otaknya mulai membayangkan apa saja yang kiranya terjadi pada malam itu, tepat di balik pintu yang ada di depannya. Di rumah ini.

Membayangkan, kekasihnya benar melakukan hubungan itu, mengkhi4nati cintanya, mendustai janji setia dan menghancurkan masa depan yang mereka rencanakan dengan indah.

"Nggak mungkin!" Utari menggeleng, hatinya menolak dengan penuh keyakinan, "Bhama nggak kaya gitu!"

Tapi akal sehatnya membantah, "Tapi jika di bawah pengaruh minvman k3ras, bagaimana? Apa dia tetap Bhama yang aku kenal?"

Utari hampir gila.

Di dalam kamar, Raka menghubungi seseorang melalui telephone. "Ceweknya Bhama mulai ngusik kejadian itu, gimana ini? Kamu harus beresin Utari, jangan sampe dia ngobrak ngabrik rahasia kita!" bisik Raka khawatir.

"Sial ... kenapa perempuan itu ngorek-ngorek, sih? Awas kalau kamu buka mulut!"

Dan, Utari kembali berjalan, langkahnya terasa mengambang. Kepalanya sibuk dengan banyaknya fakta besar yang terlambat dia ketahui.

Hingga saat tiba di persimpangan Utari ragu, jalan mana yang harus dia ambil, pulang atau bertemu Bhama.

Langkah Utari dikontrol oleh hatinya, setapak demi setapak menyusuri jalanan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Dunia Utari membisu, beberapa orang menyapa tapi diabaikan begitu saja, hanya riuh di kepalanya yang memikirkan banyak fakta janggal dan terpotong layaknya misteri.

Tanpa sadar Utari sudah ada di depan makam Bhama, tanahnya masih basah dan bunga di atasnya masih segar. Utari masih belum percaya, Bhama sudah tiada. Utari limbung, dia jatuh terduduk begitu saja.

Utari memeluk erat-erat nisan yang masih berupa kayu sederhana. Air matanya membanjiri tanah itu, meski tanpa suara keras, Utari cukup lepas melepas beban di hatinya.

"Harusnya kamu bilang ... kenapa kamu nggak cerita? Aku yakin bukan kamu yang mengh4mili Vina, kan? Kamu nggak kaya gitu, kan, Bhama!?"

"Kamu pasti sedih karena dituduh, kan?"

"Apa itu yang buat kamu putus asa?"

"Aku yakin, cinta itu masih kurasakan, Bhama ...."

"Maaf, aku yang bodoh. Aku tidak bisa membaca arti sebenarnya dari perpisahan yang kamu minta, andai aku memakai logika ... bukan hati, pasti aku tidak terlambat mengetahui masalah sebesar ini. Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi dengan cara begini, Bhama ... bangun ...."

Utari terpejam, entah kalimat apa yang sepadan dengan kesedihannya kali ini, mungkin tidak ada. Dia hanya tahu, ada rasa tenang yang menyusup perlahan ke hatinya saat dia memeluk gundukan tanah dan sepotong kayu yang menjadi gerbang keabadian Bhama. Seolah, dia tengah memeluk Bhama.

"Pasti berat, ya. Kamu mikirin masalah ini sendiri, kamu lupa ... kamu punya aku yang akan selalu percaya sama kamu." Utari mulai terisak, tersiksa penyesalan tentang waktu yang tidak bisa diputar kembali walau hanya sedetik.

"Bhama ... aku kangen ... gimana ini? Aku kangen kamu!" Utari tergugu.

"Sakit, Bham. Aku harus gimana? Kamu jahat, kamu terlalu jahat!" Utari meracau sendiri dalam tangisnya.

Dari jauh, seorang lelaki memperhatikan apa yang Utari lakukan. Langkahnya tertahan, dia bersembunyi di antara semak dan pepohonan, membiarkan Utari melepaskan kesedihannya. Dia hanya mencvri dengar setiap ungkapan rindu dan cinta Utari pada Bhama yang sudah terpisah dunia yang berbeda.

Tangannya mengusap air mata yang ikut jatuh terbawa kesedihan Utari di depan sana. Sebuah tas ransel tergend**g di bahu kirinya. Lelaki itu membuang napas, seolah kesedihan Utari juga menjadi kesedihannya.

Cukup lama. Hingga lelaki yang mengenakan sepatu itu berjalan mendekat. Utari menyadari dia tidak sendiri saat sebuah bayangan menimpanya. Utari mend**gak dengan wajah basah penuh air mata, beberapa kelopak bunga dan butiran tanah ikut menempel di wajah Utari.

"Tari ...," ucap lelaki itu mengasihani.

Melihat sosok yang berdiri di atasnya, tangis Utari makin menjadi. Utari tetap di posisinya dengan tangis yang tergugu, seolah tubuhnya lemas kehilangan kekuatan.

Lelaki itu ikut berjongkok di samping Utari, tangannya terulur menuju punggung gadis yang tidak berdaya di depannya, perlahan, menepuk-nepuk punggung itu agar tenang.

Tangis Utari makin lepas, entah kapan rasa kehilangannya itu bisa berubah menjadi ikhlas, dan semua pertanyaan di kepalanya berubah menjadi doa. Utari terlalu lupa, kalau Bhama pergi ke alam yang jauh berbeda.

Detik demi detik berlalu, posisi keduanya tetap sama. Hanya tangis Utari yang perlahan mereda, seiring kekuatannya yang mulai kembali.

Lelaki itu menatap t4jam pada kayu nisan yang di lepas Utari.

"Bhama ...!"

Naskah ini diadaptasi dari kisah nyata. Sebagai orang yang kenal dengan sosok Bhama, saya meminta keikhlasan temen-temen yang baca untuk mendoakannya, walaupun dosa besar yang dia lakukan, semoga Alloh mengampuninya. Aamiin.

Judul : PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU
Oleh : Betti Cahaya

Baca selengkapnya hanya di KBM.

Wah tattoo model begini keren juga ya
31/12/2024

Wah tattoo model begini keren juga ya

**Bab 3: Awal dari Akhir**  Suara jam antik terus berdentang, semakin keras, seolah memanggil sesuatu yang lebih kelam d...
31/12/2024

**Bab 3: Awal dari Akhir**

Suara jam antik terus berdentang, semakin keras, seolah memanggil sesuatu yang lebih kelam dari sekadar bayangan. Bayangan besar itu perlahan bergerak, mendekati keluarga Arman yang membeku di ruang tamu.

"Tinggalkan kami!" teriak Arman sambil menggenggam buku hitam itu erat-erat. Tapi bayangan itu hanya tertawa, suaranya menggema seperti ribuan bisikan sekaligus.

Tiba-tiba, pintu depan terbuka dengan keras, dan angin dingin menerjang masuk. Rina, yang sejak awal merasa bersalah, berlutut di lantai, wajahnya penuh air mata. "Semua ini salahku... jika kalian ingin mengambil nyawa, ambil nyawaku saja."

Bayangan itu berhenti. Udara di ruangan menjadi hening, mencekam. Perlahan, ia berbicara dengan suara serak, "Kami tidak membutuhkan nyawamu. Kami membutuhkan dia yang telah kami tandai."

Mereka semua terkejut. "Sinta...?" bisik Dani.

Bayangan itu mengangguk perlahan. "Dia adalah pintu, penghubung antara dunia ini dan dunia kami. Tapi kalian mencoba menghalangi kami. Itu adalah kesalahan besar."

Arman menyadari bahwa mereka harus menemukan cara untuk menutup "pintu" yang disebutkan. Dia teringat tentang Pak Gunawan, penjaga rumah lama yang hilang di malam tahun baru. Mungkin kisah itu menyimpan jawaban.

Tanpa membuang waktu, Arman menghubungi seorang temannya yang bekerja sebagai arsiparis di perpustakaan kota. Mereka menemukan sebuah artikel tua tentang Pak Gunawan. Dikatakan bahwa pria itu pernah terlibat dalam sebuah sekte misterius yang menggunakan ritual kegelapan untuk memperpanjang hidup mereka. Namun, ketika Pak Gunawan mencoba keluar dari sekte tersebut, dia dihukum dengan menjadi "penjaga" pintu ke dunia arwah.

Artikel itu menyebutkan bahwa satu-satunya cara untuk menutup pintu adalah dengan membuang buku hitam itu ke tempat di mana ritual pertama kali dilakukan—pusat lingkaran di kamar terkunci di rumah tua itu.

Dengan berat hati, keluarga Arman kembali ke rumah di atas bukit. Suasana rumah lebih menyeramkan daripada sebelumnya. Cahaya bulan redup memantulkan bayangan aneh di dinding.

Di dalam kamar terkunci itu, lingkaran ritual yang digambar dengan darah kini bersinar merah, seolah menyambut kedatangan mereka. Jam antik berdentang dengan tempo lebih cepat, dan suara-suara dari dunia lain terdengar semakin jelas.

Rina membawa buku hitam itu dan berdiri di tengah lingkaran. Saat dia meletakkan buku itu di lantai, gemuruh keras memenuhi rumah. Lantai bergetar, dinding-dinding seolah menjerit.

Bayangan besar itu muncul di depan mereka, lebih nyata dan mengerikan daripada sebelumnya. "Kalian pikir ini akan menghentikan kami? Pintu telah terbuka. Sinta adalah milik kami selamanya."

Arman tidak menyerah. Dia ingat bahwa Pak Gunawan juga disebutkan sebagai "penjaga." Jika mereka bisa memanggil arwahnya, mungkin dia bisa membantu. Dengan keberanian yang tersisa, Arman membaca mantra di halaman terakhir buku itu, kali ini dengan maksud memanggil Pak Gunawan.

Bayangan mulai melawan, mencoba menghentikan Arman. Tubuhnya terasa berat, napasnya tersengal. Namun, tepat ketika bayangan itu hampir menyentuhnya, sosok lelaki tua dengan mata penuh luka muncul di belakangnya. Itu adalah Pak Gunawan.

"Pergilah kembali ke tempatmu," kata Pak Gunawan dengan suara yang menggema. Dia merentangkan tangannya, dan cahaya terang keluar dari tubuhnya, menyinari bayangan besar itu.

Bayangan itu berteriak, lalu menghilang perlahan. Lingkaran ritual berhenti bersinar, dan buku hitam itu terbakar dengan sendirinya. Rumah itu kembali sunyi, hanya suara angin malam yang terdengar.

Pak Gunawan menoleh ke keluarga Arman. "Pintu itu telah tertutup, tapi rumah ini tidak akan pernah damai. Tinggalkan tempat ini, jangan pernah kembali."

Arman dan keluarganya segera meninggalkan rumah itu, berjanji untuk tidak pernah kembali. Rumah itu tetap berdiri di atas bukit, kosong dan terlupakan. Namun, setiap malam tahun baru, beberapa penduduk sekitar mengaku melihat lampu di dalam rumah menyala, dan suara jam antik berdentang sekali lagi.

Bersambung......
Jangan lupa mampir ke FB saya kak

**Bab 2: Misteri Jam Antik**  Setelah tragedi itu, keluarga Arman sepakat untuk tidak pernah kembali ke rumah di atas bu...
31/12/2024

**Bab 2: Misteri Jam Antik**

Setelah tragedi itu, keluarga Arman sepakat untuk tidak pernah kembali ke rumah di atas bukit. Namun, bayang-bayang kejadian malam tahun baru itu terus menghantui mereka. Terutama Arman, yang merasa ada sesuatu yang belum selesai.

Seminggu kemudian, dia menerima telepon dari Pak Harjo, tetangga terdekat rumah itu.

"Pak Arman, maaf mengganggu. Saya dengar rumah itu kosong, tapi semalam saya melihat lampu di ruang tamu menyala. Ada yang tinggal di sana lagi?"

Arman kaget. Tidak mungkin. Kunci rumah itu masih di tangannya. Dengan perasaan tak tenang, dia memutuskan untuk kembali ke rumah itu, meskipun keluarganya melarang.

Ketika sampai, suasana rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Pintu depan sedikit terbuka, meskipun dia yakin telah menguncinya. Di dalam, bau anyir menyengat menusuk hidungnya.

Arman menyusuri ruang tamu, di mana jam antik itu masih berdiri kokoh. Anehnya, jarum jam itu bergerak mundur, menunjukkan waktu pukul 11 malam—jam di mana kejadian aneh mulai terjadi malam tahun baru lalu.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Arman menahan napas. Dengan hati-hati, dia menaiki tangga, langkahnya nyaris tak bersuara. Di ujung lorong, sebuah pintu kamar yang sebelumnya selalu terkunci kini terbuka sedikit.

Ketika dia mendorong pintu itu, dia menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di tengah kamar, ada sebuah lingkaran ritual yang digambar dengan darah kering. Di dalamnya terdapat boneka jerami kecil dengan wajah mirip Sinta, korban malam itu.

Di dinding kamar, ada ukiran tulisan:
*"Dia milik kami. Jangan ganggu."*

Arman bergegas keluar, tetapi pintu kamar menutup sendiri dengan keras. Lampu mati. Dalam gelap, suara tawa kecil terdengar, semakin dekat. Arman mencoba membuka pintu dengan panik, tapi itu tak bergeming.

Dari balik kegelapan, sebuah bayangan muncul, sosok lelaki tua dengan mata kosong dan wajah penuh luka.

"Siapa kau?!" teriak Arman.

"Saat kau membaca buku itu, kau membuka pintu ke dunia kami," jawab sosok itu dengan suara bergetar. "Kami hanya mengambil apa yang milik kami."

Arman sadar bahwa buku yang ditemukan Rina malam itu adalah kunci dari semua kejadian ini. Dia harus menghancurkannya. Dengan keberanian yang tersisa, dia melompat keluar jendela kamar, jatuh ke semak-semak di bawah. Tanpa menoleh ke belakang, dia berlari menuju mobilnya dan kembali ke kota.

Sesampainya di rumah, dia mengumpulkan saudara-saudaranya dan menceritakan apa yang dia temukan. Rina merasa bersalah karena telah membaca buku itu, dan mereka sepakat untuk membakarnya.

Namun, saat mereka mencoba menyalakan api, buku itu tidak terbakar. Setiap kali api menyentuhnya, nyala api justru padam seketika.

Malam itu, suara jam antik berdentang di rumah Arman, meskipun jam itu seharusnya ada di rumah di atas bukit. Ketika mereka semua melihat ke ruang tamu, bayangan besar itu berdiri di sana, tersenyum dengan senyuman mengerikan.

"Tahun baru adalah awal. Akhirnya akan segera datang."

Bersambung......
Jangan lupa mampir ke FB saya kak

**Tahun Baru Penuh Duka**  Malam tahun baru selalu menjadi momen spesial bagi keluarga Arman. Di rumah kayu tua di atas ...
31/12/2024

**Tahun Baru Penuh Duka**

Malam tahun baru selalu menjadi momen spesial bagi keluarga Arman. Di rumah kayu tua di atas bukit, mereka berkumpul setiap tahun untuk menikmati suasana sejuk dan pemandangan kembang api dari kota di bawah sana. Tahun ini, semua terasa sedikit berbeda karena rumah itu baru saja direnovasi setelah bertahun-tahun kosong.

Arman mengundang saudara-saudaranya: Rina, Dani, dan Sinta, bersama pasangan mereka masing-masing. Anak-anak kecil berlarian di sekitar rumah, menikmati udara segar. Di ruang tamu, sebuah jam antik berdenting dengan suara berat, menunjukkan pukul 10 malam.

Ketika mereka mulai mempersiapkan makan malam, Rina menemukan sebuah buku tua di rak, penuh dengan debu. Sampulnya berwarna hitam legam tanpa tulisan apa pun.

"Sepertinya buku doa," gumam Rina, membukanya perlahan. Halaman-halaman di dalamnya dipenuhi simbol-simbol aneh dan kalimat dalam bahasa yang tak bisa dimengerti. Ketika Dani mencoba membaca salah satu kalimat keras-keras, angin dingin tiba-tiba berhembus dari jendela yang tertutup rapat. Lampu berkelap-kelip sebelum akhirnya padam.

"Ah, listriknya mati. Biasa saja," kata Arman mencoba menenangkan suasana. Tapi saat mereka menyalakan lilin, Sinta berteriak kaget.

Di dinding ruang tamu, bayangan hitam besar tampak berdiri diam. Meski tak ada seorang pun di sana, bayangan itu bergerak perlahan, mendekati mereka.

"Ini pasti salah satu anak-anak," kata Dani sambil berusaha bercanda. Tapi anak-anak ternyata semua berkumpul di kamar atas, ketakutan mendengar teriakan itu.

Rina mulai merasakan kegelisahan. Dia mengingat cerita lama tentang rumah ini, bahwa dulu seorang penjaga rumah bernama Pak Gunawan pernah menghilang secara misterius di malam tahun baru. Sebagian orang percaya dia dikorbankan dalam ritual gelap, tapi tubuhnya tak pernah ditemukan.

Jam antik berdentang lagi, kali ini tanpa henti. Suara dentangan semakin keras, memekakkan telinga, seolah mengisi seluruh rumah.

Mereka berlarian keluar rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Bayangan hitam itu kini muncul di setiap sudut, bergerak cepat dengan suara tawa mengerikan. Sinta tiba-tiba terjatuh, tubuhnya terangkat perlahan, dan wajahnya berubah menjadi pucat seperti boneka porselen.

"Kita harus menghentikan ini!" Arman berteriak, mencoba mengingat apa pun yang mungkin bisa membantu.

Rina ingat buku tadi. Dia berlari kembali ke ruang tamu, membalik halaman-halamannya dengan panik. Di halaman terakhir, ada tulisan dalam bahasa yang hampir mirip dengan doa. Dia membaca keras-keras, berharap itu adalah mantra untuk menghentikan semuanya.

Rumah berguncang. Jeritan terdengar di mana-mana. Bayangan itu menghilang, tetapi Sinta sudah tergeletak tak bernyawa di lantai, matanya terbuka lebar menatap kosong ke arah jam antik.

Saat fajar tiba, keluarga itu meninggalkan rumah tanpa berkata-kata. Malam tahun baru yang seharusnya penuh kebahagiaan kini berubah menjadi malam duka yang akan mereka ingat selamanya.

Di kejauhan, jam antik berdentang sekali lagi.

Bersambung......
Jangan lupa mampir ke FB saya kak

Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mondy Tatto posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share