01/01/2025
RETAKAN PERTAMA
Kilauan serpihan kaca kristal memantul di lantai marmer putih. Anyndita berdiri terpaku, tangannya masih menggenggam udara kosong. Pecahan gelas tersebar di sekelilingnya, bercampur dengan genangan cairan merah pekat yang menyerupai da rah.
Perempuan itu menatap dengan tatapan kosong, seolah waktu berhenti berdetak di ruangan penuh orang itu. Seorang lelaki mendekat dan bertanya, "Dita, kamu nggak papa?"
Suara Ananta, suaminya, membuyarkan kebekuan yang menenggelamkan. Anyndita menoleh, napasnya tersengal.
"Aku... aku nggak sengaja," bisiknya, suaranya lemah, hampir tenggelam oleh keramaian para tamu yang mulai berbisik-bisik.
"Hati-hati, serpihannya t4jam."
Ananta berjongkok, mulai memunguti pecahan gelas dengan hati-hati. Namun Anyndita mundur selangkah, matanya terpaku pada genangan merah itu. Terlalu merah. Terlalu mirip da rah. Dan warna itu menyeret ingatannya pada kenangan yang lama terpendam.
Kenapa nggak kau akui saja, Anyndita?
Anyndita menoleh cepat. Suara itu dingin, tajam, seperti pis4u yang menu suk langsung ke kepalanya. Namun, tidak ada siapa pun di dekatnya.
“Dita?" Ananta menyentuh lengannya, membuat Anyndita tersentak. Dia melihat ke arah Ananta, lalu kembali ke lantai, mencari sumber suara tadi. Tidak ada. Hanya tamu-tamu yang mulai berbisik-bisik di sudut ruangan. Perempuan itu lalu berjalan ke luar ruangan dengan langkah tergesa.
“Aku mau keluar sebentar. Aku butuh udara segar," ucap Anyndita kepada suaminya sebelum melangkah cepat menuju pintu yang mengarah ke taman belakang.
Ananta menatapnya dengan dahi berkerut. Namun, dia tak berkata apa-apa.
Udara malam menu suk kulit, membawa aroma dedaunan basah. Anyndita menyandarkan tubuhnya pada dinding batu taman. Tangannya mencengkeram pashmina yang melilit lehernya, mencoba meredakan gemetar yang tak terkendali. Perempuan itu membiarkan angin malam mengg1git kulitnya yang meremang. Napasnya berat, seperti ada beban tak kasat mata yang terus menekan.
Kau pikir bisa terus lari?
Anyndita terlonjak. Ia menoleh ke sekeliling, mencari suara yang baru saja berbisik di telinganya. Kosong. Taman itu gelap, hanya diterangi lampu-lampu kecil yang berkerlip lemah di sudut-sudutnya. Namun, sesuatu di meja taman menarik perhatiannya. Sebuah gelas kristal utuh, penuh dengan cairan merah pekat, berdiri di atas meja.
Anyndita mendekati meja kayu itu dengan langkah ragu. Ia menatap ke dasar gelas, lalu kedua matanya terbelalak.Di permukaan cairan itu, sebuah wajah muncul. Bukan wajahnya, tapi sebuah wajah yang asing. Wajah itu tersenyum sinis, lalu lenyap seketika.
Gelas itu jatuh sebelum Anyndita sempat menyentuhnya. Pecahannya berserakan di lantai, bunyinya menggema di kegelapan. Di antara pecahan kaca itu, Anyndita melihat sesuatu yang aneh: sebuah kunci kecil dengan ukiran halus di permukaannya.
"Dita?" Suara Ananta memanggil dari dalam rumah, membuyarkan keterpakuannya.
Anyndita tergesa-gesa memungut kunci itu. Jemarinya gemetar saat ia menggenggamnya erat. Perempuan itu bangkit berdiri lalu berbalik untuk menghampiri suaminya. Namun, sesuatu di balik bayang-bayang pohon membuat langkahnya terhenti. Sebuah sosok hitam. Sosok itu berdiri diam, tak bergerak, hanya memandang ke arahnya.
Anyndita berlari mendekat, namun sosok itu menghilang. Diarahkannya pandangan ke sekeliling. Tak seorang pun terlihat dalam batas pandangnya. Perempuan itu menggigil. Angin malam yang dingin menembus gaun panjangnya.
Perempuan itu menoleh kaget saat sebuah tepukan halus mendarat di pundaknya. Suaminya telah berdiri di sampingnya.
“Dita, ada apa?” suara Ananta mampir ke indra dengarnya. Lelaki itu menatap istrinya dengan tatapan khawatir.
“Nggak papa. Aku kan tadi udah bilang, aku cuma butuh udara segar," jawab Anyndita pelan, berusaha terdengar normal. Tangannya menyembunyikan kunci itu di balik gaunnya.
"Tamu-tamu sudah mau pulang," Ananta berkata sambil menatap wajah pucat istrinya lalu menyambung, ”mereka mencari nyonya rumah.”
Anyndita diam tanpa reaksi, membuat suaminya kembali bertanya, "Kamu yakin nggak papa?"
"Aku baik-baik saja," balasnya dengan senyum tipis. Tapi hatinya berdebar keras, pikirannya penuh dengan gambar kunci itu dan wajah di permukaan cairan merah.
Pasangan suami istri itu lalu melangkah ke dalam rumah, menghampiri tamu-tamu yang telah menunggu di dekat pintu keluar. Anyndita terus melempar senyum dan menyalami para tamu yang berpamitan, namun pikirannya gamang dan jiwanya berkelana di tempat lain.
Usai dengan urusan pesta yang melelahkan, sepasang suami istri itu beranjak ke tempat tidur. Tak butuh waktu lama bagi Ananta untuk mengembara ke alam mimpi, sementara Anyndita masih terjaga di atas pembaringan.
Cahaya bulan menyelinap melalui celah tirai, menerangi kunci yang ditaruhnya di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ditimang-timangnya benda kecil itu dengan batin penuh tanya. Ada ukiran di permukaan kunci itu. Dilihatnya lebih teliti. Ukiran itu terlihat seperti angka dan huruf: P1034.
Apa ini? gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Di luar, suara angin berdesir di antara pepohonan. Anyndita mencoba memejamkan mata, tetapi suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih dekat, seperti seseorang berbisik di telinganya. "Ingatlah, Anyndita. Kau tak bisa terus berlari."
Ia membuka matanya dengan cepat.
"Siapa di sana?" tanyanya dengan nada panik.
Tapi hanya keheningan yang menjawab. Perempuan itu menoleh ke sosok di sampingnya. Ananta masih terlelap, nampaknya tak terganggu sedikit pun.
Anyndita menoleh ke meja kecil di samping tempat tidurnya. Kunci itu sudah tidak ada di tempatnya semula.
Yuk baca di kbm app biar lebih seru.
Judul THE BROKEN GLASS
Penulis Santy St