02/10/2024
Jangan Sakiti Ibuku lagi 6
Remaja jangkung berdiri di hadapan Senja. Matanya menatap rindu pada perempuan yang duduk sendiri di sofa panjang. Perlahan, ia pun menjatuhkan diri dan bersila di lantai. Tangannya, meraih kedua telapak Senja yang saling menggenggam.
"Assalamualaikum Bunda," sapanya seraya meraih dan menggenggam tangan kanan Senja. "Ini Demian. Bunda apa kabar?"
Entah karena mengenal suara atau nama yang disebut, kepala yang sedari tadi menekur, perlahan terangkat. Sesaat, ibu dan anak itu saling menatap.
Senja menarik dan melepaskan tangan dari genggaman Demian. Dengan gemetar, jari-jari panjangnya menyusuri setiap lekuk wajah yang terpatri abadi di dalam benak. Pelan tapi pasti, mata yang telah lama kehilangan sinarnya, kembali berbinar. Pun dengan sudut bibir itu terlihat semringah.
"De ... Demian? A ... nakku?" tanya Senja ragu.
"Ya, ini Demian. Anak Bunda." Demian menghentikan usapan Senja. Tangan yang dulu selalu memanjakannya dengan sentuhan lembut, ia bawa ke puncak hidung. D**e- cup, dise- sap lama, dan dicarinya aroma yang sepuluh tahun ini hilang. "Demi, kangen Bunda." Air mata Demian luruh. Pun embun yang menebal dan mengambang di bola mata Senja.
Senja tidak tahan. Kerinduan yang menggunung, membuatnya menjatuhkan tubuh ke lantai. Seketika, ibu dan anak itu saling berpelukan melepas rindu. Mereka pun mengadu tangis.
"Jangan pernah tinggalkan Demi lagi! Demi sayang Bunda," ucap Demian di sela isaknya.
Senja tak bersuara. Tangisnya kian pilu.
Cukup lama Senja dan Demian saling melepas rindu. Sementara, tiga pasang mata yang menjadi penonton, ikut basah dan terharu menyaksikan pertemuan ibu dan anak.
Selesai dengan sang bunda, Demian bangkit dari lantai. Matanya terpaku pada remaja yang berdiri di samping ranjang.
"Kak Ale." Membentangkan lengan, Demian menghampiri Alesya. Tubuhnya yang jangkung dengan mudah membawa si mungil Alesya ke dalam pelukan. "Demi rindu kakak. Kakak kenapa nggak pernah pulang?" Demian tercekat. Susah payah ia menelan ludah. Sesak yang sedari tadi menghimpit dada tak jua terurai.
Pertahanan Alesya runtuh. Tuntutan Demian, menghancurkan hatinya. Ingin Alesya menjerit. Meneriakkan kerinduan akan kedekatan mereka sepuluh tahun silam. Namun, apakah ia masih berhak memiliki rasa tersebut? Terlebih, perjuangan hidup yang berat membuat Alesya mengabaikan rasa yang ada demi hanya sekedar bermanja-manja. Siapakah yang pantas ia salahkan atas keadaan ini?
Masih lekat di ingatan Alesya. Sepuluh tahun yang lalu, ia dan Demian dua kakak beradik yang saling menyayangi. Bisa dipastikan, di mana ada Alesya di situ selalu ada Demian. Pun sebaliknya. Selisih usia yang tidak terlalu jauh, membuat mereka terlihat seperti anak kembar beda kelamin. Terlebih, tubuh Demian yang bongsor mampu mengimbangi si sulung Alesya.
"Apa Kak Ale nggak sayang, Demi lagi? Kenapa Demi ditinggal sendiri? Kenapa bunda cuma ngajak Kak Ale?"
Malam itu, Demian yang sedang demam tertidur usai meminum o- bat. Tanpa diberi kesempatan untuk berpamitan, Senja dan Alesya yang diusir dari rumah, pergi tanpa sepengetahuan Demian.
"Pagi itu, saat bangun tidur, Demi nangis nyariin Kak Ale dan bunda."
Tepat dugaan Alesya. Demian pasti kebingungan karena tidak mendapati keberadaan mereka di rumah.
"Demi tanya ayah. Tapi, ayah malah marah dan pergi. Setelahnya, Demi masuk rumah sakit. Dan sejak saat itu, ayah pun jarang pulang. Demi dibiarkan sendirian di rumah dan kesepian," adu Demian sembari melerai pelukan. Mengambil jarak, ia menarik mundur tubuhnya dan sedikit menjauh.
"Makanya, Demi tidak menyangka ayah menemukan kalian. Rasanya, tak sabar untuk segera datang dan memastikan ucapan ayah saat menghubungi Demi semalam."
Alesya membiarkan Demian cerewet seperti biasa saat mereka bersama. Dengan Alesya, Demian yang pendiam bisa lancar berbicara dan mempunyai banyak cerita yang ingin ia sampaikan. Dan sebagai pendengar yang baik, Alesya betah berlama-lama menunggu hingga cerita Demian usai.
Selanjutnya, sosok yang ada di ran- jang, menjadi tujuan Demian kini. Melihat kulit pembungkus tulang dan wajah yang cekung, membuat hatinya hancur.
Ingin Demian mengutuk sang ayah. Kesalahan sepuluh tahun silam, membuatnya harus terpisah dari kedua saudarinya. Bukan hanya Alesya. Pun dengan Qiara yang baru Demian ketahui keberadaannya.
Jika saja mereka bertemu dalam keadaan baik, tentu Demian tidak sesakit ini. Namun, penyakit yang sedang menggerogoti si bungsu memberi sekat buat mereka. Akankah ia bersama Alesya dan Qiara bisa bersama?
Demian bukan lagi lelaki kecil yang manja. Dua bulan lagi, genap tujuh belas tahun usianya. Sekilas cerita sang ayah tentang penyakit si bungsu, cukup untuknya membuat kesimpulan. 'NYAWA QIARA DALAM BA- HAYA'.
Demi kesembuhan Qiara, Demian rela memberikan apa yang dibutuhkan. Baginya, keselamatan sang adik yang utama. Jangankan sumsum tulang, nyawa pun rela ia beri.
"Apa kabar, Sayang?" Sebisa mungkin, Demian menyembunyikan getaran dalam suaranya. Di hadapan Qiara, ia harus terlihat bahagia. Demian berharap, kebahagiaan tersebut mampu menulari Qiara hingga dapat mempercepat proses penyembuhan.
"A ... bang?" Suara Qiara terbata-bata.
"Ya, ini Abang. Mulai hari ini, Dek Qiara harus tahu. Adek itu punya dua kakak, Kak Ale dan Abang Demi." Demian menelan ludah. Sakit. "Selama ini, Kak Ale itu udah curang. Menguasai sendiri Adek Abang yang cantik ini."
Demian kian mendekat. Tangannya, mengusap kulit kepala Qiara yang sebagian besar tidak tertutup helaian rambut. Mendapati sesuatu di tangannya, hati Demian semakin sesak. Segera ia mengecup ubun-ubun Qiara dan menyembunyikan tangisnya di sana.
"Adek pasti sembuh!" Demian menyeka sudut matanya. Setelah dipastikan benar-benar kering dan tidak meninggalkan jejak, barulah ia berani mengangkat kepala.
"Setelah sembuh nanti, Abang akan ajak Dek Qiara ke tempat rahasia kita." Demian merengkuh bahu Alesya. Mencengkram pundak yang nyaris tidak berdaging itu, ia meminjam sedikit kekuatan.
"Dek Qia pasti ingin tahu. Setelah ini, tempat tersebut akan menjadi tempat rahasia dan favorit kita bertiga." Demian menoleh dan mengalihkan tatap pada Alesya. Dan Alesya, tahu tujuan Demian memandang dirinya. Tak lain dan tak bukan untuk sekedar menyembunyikan telaga yang mulai menggenang di manik hitam Demian. "Boleh, 'kan Kak Ale? Dek Qia diajak gabung dan menjadi pasukan kita?"
Belum sempat Alesya menjawab, Demian tiba-tiba sudah merendahkan badan. Membungkuk di samping ran- jang Qiara. Meletakkan kepalanya sedikit berjarak dengan kepala Qiara. P**i yang banjir, segera ia sapu kering.
"Mungkin, Kak Ale akan marah karena Abang sudah membocorkan tempat rahasianya. Padahal, Abang sudah berjanji untuk tidak memberi tahu orang lain. Demi Dek Qia, Abang rela dimarahi Kak Ale," bisik Demian di puncak kepala Qiara.
Bagi Alesya, bisikan yang bisa didengar oleh semua penghuni ruangan tersebut, bukanlah bisikan biasa. Namun, drama yang sengaja Demian mainkan untuk menghibur dirinya sendiri.
On going di kbm, sudah part 34
Judul Jangan Sakiti Ibuku Lagi
Penulis kani_kani30
Kani Kani