Aisyah and Bestie

Aisyah and Bestie Bukan janda 🥰, pengen kenalan bisa klik ikuti ya kk!! Gak s**a balas messenger tp lebih s**a dikomen 🌟🌟🌟

🫢🫢🫢
10/12/2024

🫢🫢🫢

❤️❤️
09/12/2024

❤️❤️

Temenan SM cwo berasa diratukan.Bener gk kk..
29/11/2024

Temenan SM cwo berasa diratukan.
Bener gk kk..

Bener gak sih kk
28/11/2024

Bener gak sih kk

SUARA ANEH DARI KAMAR IBU (9)Beberapa lelaki bersergam hitam memaksa mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam toko m...
28/11/2024

SUARA ANEH DARI KAMAR IBU (9)

Beberapa lelaki bersergam hitam memaksa mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam toko meubel milik Mas Bima. Suamiku tampak menghalau, tapi percuma. Lelaki bertubuh kekar itu sama sekali tidak peduli dengan permohonan Mas Bima. Mas Bima di dorong kasar hingga terjatuh. Lelaki yang aku yakin tengah frustasi itu mencoba bangkit lagi dan menghalangi lelaki berpakaian serba hitam itu. Tapi lagi-lagi, kejadian sama terjadi. Usaha Mas Bima tidak membuahkan hasil sama sekali. Mereka tetap mengeluarkan barang-barang dari dalam toko Mas Bima. Meskipun tidak semuanya.

Dadaku bergemuruh. Sebagai seorang istri aku tidak terima suamiku diperlakukan seperti itu. Aku menarik gagang pintu mobil. Dan, seketika gerakan tanganku terhenti.

‘Dia sudah mengkhianati kamu, Arini. Untuk apa kamu menolongnya.’

Bisikkan itu memenuhi isi kepalaku. Membuatku urung turun dari dalam mobil. Hingga sepersekian detik kemudian, aku hanya diam menatap kekacauan yang terjadi di toko Mas Bima. Membiarkan para lelaki berseragam hitam itu mengangkut barang-barang yang ada di toko meubel milik Mas Bima.

Dering ponsel yang nyaring menyadarkan aku dari lamunan. Gegas tanganku merogoh benda pintar yang ada di dalam tasku. Mengalihkan pandanganku dari Mas Bima.

Nomor tidak di kenal.

Aku menekan tombol hijau pada sudut layar ponsel dan menempelkan benda pintar tersebut ke dekat telinga.

“Halo,” ucapku datar. Saat ini aku tengah melihat suamiku yang tampak kacau menatap kepergian mobil yang membawa barang-barangnya.

“Ibu Arini,” jawab lelaki yang ada di seberang telepon.

“Iya.”

“Saya sudah mau berangkat ke alamat rumah ibu.”

“Baik Mas, saya tunggu di rumah.” Aku menutup panggilan telepon. Menyalakan mesin mobil dan menjalankanya. Meninggalkan Mas Bima yang terduduk frustasi di depan tokonya.

----

Sepanjang perjalanan hatiku kian gamang. Disatu sisi aku kasihan melihat Mas Bima di tangih-tagih rentenir seperti itu. Namun di sisi lain,aku takut jika benar yang menjadi selingkuhan ibu Mirna justru suamiku sendiri. Percuma aku menolongnya sekarang, jika pada akhirnya dia yang akan menusukku paling dalam.

Aku menepis pikiran-pikiran itu. Yang terpenting saat ini adalah menjalakan rencanku untuk memasang cctv di rumahku. Mumpung tidak ada siapapun di rumah. Bapak yang sedang ada di perkebunan, sementara wanita sundal itu, aku yakin dia sedang pergi bersama taman-teman sejenisnya. Dia hanya ada di rumah saat bapak ada di rumah saja. Dasar, perempuan sundal! Aku semakin tidak sabar ingin mengusirnya dari rumahku.

Aku memberhentikan mobil di depan rumah. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Menekan nomor teknisi yang akan memasang cctv di rumahku.

“Halo,” ucapnya saat sambungan telepon terhubung.

“Mas sudah sampai mana?”

“Saya baru masuk gapura komplek tempat tinggal anda, Bu.”

Bagus.

“Mas jangan masuk rumah saya dulu y, Mas. Nanti saya telepon lagi kalau saya sudah siap.”

“Baik Bu.”

Aku mengakhiri panggilan.

Aku bergegas turun dari dalam mobil. Masuk ke dalam rumah, untuk memastikan jika tidak ada siapapun di dalam rumah.

Aku mengecek ke bagian dapur. Lantai atas dan semua tampat yang ada di rumah minimalis berlantai dua milik bapak. Kosong, tidak ada siapapun di rumah ini. Bahkan bibik yang aku perintahkan pergi belanja ke pasar yang ada di pusat kotapun juga belum kembali. Sengaja aku memerintahkan Bibik belanja ke pasar yang jauh agar aku bisa leluasa untuk menjalankannya rencanaku.

Aku menghela nafas lega. Setelah tidak menemukan siapapun di rumah ini. Segera, aku menghubungi teknisi yang akan memasang cctv di rumah. Sepuluh menit kemudian, seorang lelaki muda datang ke rumah. Ia mulai memasang cctv di beberapa titik rumah yang terhubung langsung dengan ponselku. Di kamar ibu Mirna, balkon kamarnya, dan depan rumah. Tentunya di tempat-tempat yang tersembunyi agar tidak ada satupun orang yang tau kalau di rumah ini ada cctv.

“Masih ada tambahan?” ucap tehknisi muda itu setelah selesai memasang cctv.

Aku berpikir sejenak. Kenapa aku tidak memasangnya juga di kamarku. Agar aku juga bisa memantau apa saja yang Mas Bima lakukan.

“Iya, pasang di dua titik lagi Mas,” jawabku. Dikamarku dan di dapur. Karena aku juga ingin memantau apa saja yang sedang bibik lakukan. Apa benar selama ini dia memas**an obat tidur ke dalam minumanku atau tidak.

“Ini tips untuk Mas,” ucapku setelah tehknisi itu menyelesaikan pekerjaanya. Ia juga mengajariku cara memantau cctv yang sudah dia pasang di dalam rumah lewat benda pintar milikku.

----

Setiap pagi menjelang, aku selalu memantau cctv yang sudah kupasang seminggu lalu di rumah ini. Semua aman. Tidak ada hal yang mencurigakan. Wanita sundal itu masih jinak sekalipun bapak sudah pergi sejak beberapa hari yang lalu. Ia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bermain ponsel. Senyumannya mengembang tak kala memainkan benda pintar tersebut. Aku yakin, bukan bapak yang menjadi alasan senyuman wanita itu merekah. Karena saat aku melihat cctv lewat ponselku dan mendapati wanita itu tengah senyam senyum seperti orang gila. Aku mencoba menghubungi bapak dan hasilnya ... bapak sedang sibuk bernegosiasi dengan customer asing untuk menawarkan hasil perkebunan kami. Itu berarti bukan bapak yang sedang bertukar pesan dengan Ibu Mirna.

Baru juga terlelap, entah mengapa kerongkonganku terasa begitu kering. Aku melirik nakas yang ada di samping ranjang dan aku baru ingat, jika sebelum tidur aku lupa menyiapkan air putih.

Aku mengusap kedua mataku yang terasa lengket. Melirik sekilas pada Mas Bima yang tidur di sampingku. Lelaki yang banyak terdiam itu terlihat begitu nyenyak sekali tertidur. Aku menurunkan kakiku pelan dari pembaringan, tanpa menimbulkan suara. Berjalan menuju ke arah pintu kamar.

Setelah mengambil segelas air putih di dapur. Aku berjalan kembali menuju kamar. Namun suara dari lantai atas membuat langkah kakiku berhenti seketika.

“Ah, Uh, Ah ...”

‘Suara itu?’

'Mas Bima.'

Degupan jantungku berdebar kencang. Pandangaku reflek menatap ke arah pintu kamarku. Di mana Mas Bima terlelap di dalam sana. Untuk membunuh rasa ragu atas pikiran-pikiran buruk yang memenuhi isi kepalaku. Aku membuka pintu kamarku dan benar Mas Bima masih terlelap di ranjang kami.

‘Lalu, dengan siapa ibu melakukanya?’

' Apa selama ini dugaanku salah?'

'Haruskah aku naik ke lantai atas, untuk melihatnya secara langsung?' aku menatap ke arah anak tangga dengan perasaan gamang.

Aku memutuskan masuk ke dalam kamar. Memergoki mereka juga percuma saja. Karena yang aku butuhkan adalah bukti bukan saksi. ibu Mirna pasti pandai berkilah di depan bapak jika aku hanya memberikan kesaksian tanpa bukti nyata. Dan ujung-ujungnya bapak akan lebih percaya dengan wanita sundal itu.

Akhirnya aku menemukan ponselku. Buru-buru aku membuka rekaman cctv yang ada di ponselku dan hasilnya .... Di luar dugaanku.

---

Bersambung ....

Baca cerita selengkapnya di Fizzo gratis sampai TAMAT

Judul: Suara Aneh Dari Kamar Ibuku
Penulis Ayu Kristin

MELAYANI SUAMI DARI ADIKKU SENDIRI 4Mas Andra menatapku lekat, dari tatapannya menyiratkan bahwa ia sangat tak percaya d...
28/11/2024

MELAYANI SUAMI DARI ADIKKU SENDIRI 4

Mas Andra menatapku lekat, dari tatapannya menyiratkan bahwa ia sangat tak percaya dengan keberadaanku yang tepat duduk disampingnya. Semua mata masih tertuju padaku, apalagi ibu.

“Istrinya secantik itu, kok diduain ya?”

“Andra kayaknya sinting, istrinya secantik itu malah milih nikah lagi.”

“Siapa tau aja Andra nikah lagi, karna istrinya mandul toh?”

Riuh bisik-bisik terdengar di telingaku. Aku hanya tersenyum menanggapi, biarlah mereka yang menilai secara langsung.

“Baik... Berhubung istri pertama sudah datang, gimana kalo kita mulai saja meminta restunya?” suara lelaki berkemeja navy membuka percakapan. Ku yakin ia adalah orang tua dari wanita murahan itu.

Semua mengangguk begitupun denganku.

Aku menatap ke sekeliling mencari sosok wanita yang menjadi idaman mas Andra. Namun nihil tak kunjung kutemui. Hingga satu sosok muncul diambang pintu kamar tamu, bola mataku melotot namun hanya sejenak dan kembali memasang raut wajah biasa saja.

Wanita bernama Nita itu jalan menghampiriku, digandeng oleh ibunya. Entah mengapa jantungku seakan berdebar-debar setiap langkah kakinya, walau aku bukanlah Aidah tapi mengapa hati ini terasa sakit?

Tak terbayang jika Aidah yang berada disini. Aku yakin adik kembaranku itu pasti akan menangis.

“Mbak.. izinkan aku menikah dengan suamimu, juga izinkan aku sebagai adik madu untukmu.”

Jleb!

Aku terperanjat kaget, dan terbuyar dari lamunan. Wanita itu duduk dilantai, tangannya melangambang di udara meminta restu dariku. Aku terdiam dan sedikit mematung, bingung untuk membalas. Namun seketika otakku langsung keluar ide.

“Aku boleh-boleh saja merestuimu menjadi adikku. Tapi dengan satu syarat,” ucapku menekan.

Semua mata terlonjat. Mas Andra berubah menahan geram bersamaan dengan ibu, namun aku hanya mengulas senyuman simpul.

“Apa syaratnya mbak?” tanyanya.

“Syaratnya lebih condong ke suamiku... Mas Andra. Berikan 50% saham perusahaanmu padaku, hanya itu. Dan aku tidak akan membuat syarat apapun lagi,” terangku berujar.

Kini semua mata, tertuju pada mas Andra. Lelaki itu seketika mengubah raut wajahnya menjadi tentram lantaran hanya untuk dilihat baik oleh calon mertuanya.

Sungguh munafik!

“Hanya itu?” tanya mas Andra.

Aku mengangguk teguh. Biarlah 50% terlebih dahulu, sisanya akan aku urus dilain waktu.

“Baiklah. Nanti mas akan urus persyaratanmu itu,” lanjutnya.

“Terima kasih mas. Baiklah semuanya sudah jelas kan? Aku sudah merestuimu sebagai adik maduku. Silahkan nikmati makanannya, saya lelah ingin istirahat terlebih dahulu,” ucapku berpamitan. Lekas aku bangkit dari duduk, dan berjalan masih dengan langkah anggun dan diamati oleh mata-mata keranjang.

Jika kalian pikir aku terlalu bodoh?

Nyatanya salah telak!

Aku telah menyusun rencana yang sangat besar, jauh dari pikiran yang mereka pikirkan. Tak perlu mengotori tangan untuk diawal, karna kurasa itu adalah hal yang membuang-buang waktu. Intinya biarkan wanita murahan itu masuk, setelah itu aku akan membuatnya trauma!

Aku duduk ditepian ranjang. Menatap lamat-lamat kearah jendela, membayangkan jika diriku adalah Aidah. Ternyata cukup perih, menyaksikan juga merela'kan orang yang dulu sangat dicintai, nyatanya kini memilih cinta lainnya.

Ting!

[Bagaimana mbak, apa semua baik-baik saja?] Pesan dari Aidah. Aku gegas mengambil benda pipih itu.

[Semua baik-baik saja Aidah. Tenang, mbakmu ini sangat pintar menyusun rencana,] balasku.

[Terimakasih mbak, oh ya. Aku mau tanya apa Reza pacar mbak?] pesannya lagi.

Kali ini aku menepuk jidat. Bagaimana aku bisa lupa tidak memberitahu kekasihku itu.

[Iya Reza pacar mbak. Oh ya, jangan beritahu dia kalau kita sedang bertukar posisi!]

[Baik mbak.]

Kuhela napas kasar. Pikiran ini tiba-tiba terasa berat, benar dugaanku bertukar peran tak semudah yang dibayangkan.

[Ren. Awasi Aidah dengan Reza,] perintahku.

Tentu saja aku was-was dengan dua orang tersebut. Belum lagi teringat dengan janji Reza bahwa 2 minggu lagi ia akan memperkenalkanku dengan orang tuanya.

“Mas,” panggilku sedikit terkejut. Kala tiba-tiba lelaki itu muncul diambang pintu. Tanpa menyahut mas Andra berjalan menghampiri lemari baju, tangannya mengambil beberapa berkas yang entah berkas untuk apa itu.

Hingga ia kembali membalikkan badan. Tapi kini dengan tatapan yang sungguh membuat jantungku berdebar-debar. “Dari mana kau dapatkan semua itu?” tanyanya dingin.

Aku terdiam. Mungkin maksudnya baju juga beberapa barang branded yang kukenakan ini. “Apa kau tidak tahu mas? Istrimu ini mantan pembisnis. Tentu akupun masih punya tabungan, lihat cantik'kan?” tanyaku.

Mas Andra terdiam. Tatapannya semakin lekat, aku merasa takut dan menyesal karna pertanyaan yang dilontarkan ku barusan.

“Cantik,” satu kata lirih yang terdengar ditelingaku. Aku tersenyum simpul menambah kesan cantikku semakin menawan.

“Bagaimana mas? Apa aku lebih cantik dari calon istrimu itu?” tanyaku. Mas Andra mengangguk, ia terlihat meneguk ludah berulang kali.

Mas Andra melangkah perlahan mendekat kearahku, jantungku semakin dibuat berdebar-debar olehnya.

Ku akui ia memang tampan. Bahkan Reza pun jauh diatasnya, tapi-

“Mas, stop!” tekanku. Menghentikan langkahnya, lelaki itu terkekeh.

“Sampai jumpa nanti malam,” ujarnya lalu berlalu. Tubuhku mematung seketika.

Apa maksudnya?!!

BACA SELENGKAPNYA DI KBM APP
JUDUL: PEMBALASAN KEMBARAN ISTRIKU
PENULIS: DEE_PRASS

Sisa tadi siang bareng BESTie
28/11/2024

Sisa tadi siang bareng BESTie

Ayok kk, ada yang mau ikutan
22/11/2024

Ayok kk, ada yang mau ikutan

TAK TAHAN MELIHAT ADIK IPARKU YANG PERKASA (2) Aku menelan ludah, kemudian mengatur napasku. Aku menautkan alis saat sua...
21/11/2024

TAK TAHAN MELIHAT ADIK IPARKU YANG PERKASA (2)

Aku menelan ludah, kemudian mengatur napasku. Aku menautkan alis saat suara itu tidak terdengar lagi. Ku dekatkan telingaku kembali menempel pada pintu. Dan ...

KREK!

Pintu terbuka, aku terkejut bukan main.

"M—Mbak Winda, ngapain disini?" ujar Firman dengan wajah yang panik.

"Em, a—aku ... aku ...." Aku tak kalah panik dari Firman.

"Mbak ngapain? Ko gugup gitu, jangan bilang mbak mau ngintip aku?" tanyanya sambil menaik-turunkan alis seakan menyudutkanku.

Aneh, harusnya dia malu karena terpergok olehku.

"Tidak, tadi... Aku hanya mengambil air minum untuk Mas Hendra, dan tak sengaja malah mendengar... mendengar..."

"Oh itu ... Mbak jangan salah paham. Tadi temanku iseng mengirimkan sepenggal video film blue, aku juga kaget, makanya langsung aku matikan dan tak sengaja malah bertemu Mbak Winda."

"Oh begitu." wajahku berubah sendu, ternyata pikiranku salah.

"Kenapa? Kok wajah Mbak Winda murung begitu, kecewa ya, karena ternyata bukan aku? Apa Mbak Winda ingin aku melakukannya? Hem." tanyanya menelisik wajahku.

Mendadak pipiku terasa memanas, apa wajahku menampakkan kekecewaan? Kurasa tidak, aku hanya tak enak hati, karena telah menuduhnya secara tidak langsung.

"Mbak! Malah bengong,"

Aku gelagapan, kemudian menggeleng. "Tidak, ma—maaf, aku harus masuk ke kamar, Mas Hendra pasti telah menungguku."

Aku segera masuk ke dalam kamar dengan cepat. Kemudian menghembuskan napas kasar setelah tiba di dalamnya.

Air di dalam gelas yang ku pegang sisa setengah air itu tumpah sedikit demi sedikit saat aku berjalan dengan tergesa tadi.

"Win, kamu kenapa? Ko wajahmu tegang begitu?"

"Em, tidak Mas. Tadi aku ... aku melihat kecoa. Kamu kan tau, aku takut."

"Oh begitu, ya sudah kemarikan airnya."

Aku berjalan menghampiri Mas Hendra kemudian menyerahkan gelas yang kupegang. Setelah menghabiskan air di dalam gelas yang memang sedikit, Mas Hendra langsung menyerahkannya padaku, dan berbaring kembali.

Setelah menaruh gelas di atas nakas, aku naik ke atas r4n--jang kemudian merebahkan diri. Aku sungguh merasa lelah dengan kejadian akhir-akhir ini. Mungki karena terlalu lelah akhirnya aku tertidur juga.

***

Pagi hari kami sarapan bersama, ada Firman yang ikut sarapan bersama kami di meja makan. Pagi ini mas Hendra dan juga Firman akan berangkat kerja bersama.

Aku mengoleskan selai pada roti untuk sarapan di atas meja.

"Mas kau mau selai apa? coklat, strawberry, atau kacang?"

"Apa saja, asal jangan kacang. Aku alergi."

"Baiklah." Aku segera mengoleskan selai strawberry pada roti milik Mas Hendra.

"Win, kau tidak menawari Firman?" Aku melirik ke arah Firman, dia berdiam diri sambil memperhatikanku sejak tadi. Aku mengulum bibir kemudian menunduk, sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Aku masih canggung pada Firman semenjak kejadian kemarin dan semalam.

"Kau mau selai apa, Firman? Aku tidak tahu apa yang kau s**a dan tidak s**a?"

Aku memang tidak tau banyak tentang adiknya Mas Hendra, selama menikah kami hanya bertemu di acara-acara tertentu saja, tidak seperti sekarang yang setiap hari bertemu.

Firman tersenyum, "tidak perlu repot-repot Mbak, aku akan mengoleskannya sendiri nanti. Buatkan saja dulu untuk Mas Hendra."

Pandanganku kembali pada Mas Hendra, dia terlihat sibuk dengan ponselnya. Kemudian tak berselang lama ponsel Mas Hendra berdering. Menandakan ada seseorang yang menelponnya. Dia mengangkat telpon itu, kemudian bangun dari duduknya dan menjauh dari meja makan.

Aku masih duduk satu meja dengan Firman, kami makan roti selai dengan dengan canggung. Aku bangun dari kursi dan menuang susu ke dalam gelas. Gerakan tanganku yang terburu-buru membuatku tak sengaja menumpahkan airnya dan mengenai celana Firman.

"Astaga." pekik Firman.

Aku terkejut kemudian mengambil tisu beberapa helai dan mulai membersihkan celana Firman yang terkena tumpahan

"Ah maaf, aku tidak sengaja."

Aku jongkok sambil membersihkan p4-hanya. Mengelapnya, tumpahan susu itu sedikit mengotori celana Firman.

"Sudah Mbak tidak apa-apa, hanya tumpah sedikit."

"Tidak-tidak, ini salahku biarkan aku membersihkannya."

Aku terus membersihkannya menggunakan tisu, dan tanganku tak sengaja menyentuh benda keras. "Emm, besar sekali," gumamku tanpa sadar.

Glek! Aku lekas tersadar saat ada yang tidak beres. Diriku lekas berdiri dan meminta maaf.

"Ma—maaf Firman, aku... Aku tak bermaksud untuk berbuat m3*sum."

Aku segera bangun kemudian mengelap tumpahan susu di meja, wajahku mungkin saat ini telah merah karena menahan malu.

Mas Hendra datang menghampiri kami. "Ada apa ini? Sejak tadi ku dengar kalian sedang memperdebatkan sesuatu."

"Tidak ada, Kak, tadi Mbak Winda tak sengaja menumpahkan susu dan mengenai celanaku. Aku tidak apa-apa, tapi Mbak Winda terus meminta maaf."

"Benar begitu?" tanya Mas Hendra menatapku. Aku mengangguk cepat.

"Ya sudah aku pergi dulu."

"Baiklah, aku juga akan mengganti celanaku, setelah itu baru pergi juga."

Aku menautkan alis saat mendengar Firman akan mengganti celananya. Lalu untuk apa aku membersihkannya tadi?

Aku menatap punggung Firman yang berjalan menjauh, dan kemudian langkah nya terhenti, dia berbalik. Lalu mengedipkan sebelah matanya padaku. Setelah itu dia masuk ke dalam kamarnya.

Jantungku langsung berde-gup kencang. Aku mengatur napasku. Ada apa dengan Firman? Mengapa sikapnya aneh akhir-akhir ini?

***

Aku mengantar Mas Hendra sampai ke teras, melambaikan tangan saat mobil itu perlahan menjauh. Setelah tak terlihat, aku kembali masuk ke dalam.

Namun, saat hendak masuk ke dalam kamarku aku tak sengaja berpapasan dengan Firman. Aku merasa canggung, atas kejadian kemarin dan hari ini. Namun, lagi-lagi kesialan datang padaku aku hampir terpeleset, untung saja Firman dengan siaga langsung menangkapku.

Aku tak jadi terjatuh, aku menatap wajah Firman dari bawah, pandangan kami beradu. Dari bawah dapat kulihat betapa tampannya pesona adik iparku. Jakun Firman bergerak naik turun, membuat pikiranku melayang.

Firman membelai wajahku dengan lembut.

Glek!

Aku menelan ludah, tersadar dari apa yang sedang terjadi, aku menekan lengan Firman mencoba untuk berdiri. Firman membantuku.

“Terima kasih.” ujarku.

Firman tersenyum, kemudian mengangguk,“Sama-sama, Mbak. Lain kali hati-hati,”

“Hemm, ya.” aku mengangguk cepat. Kemudian langsung berjalan cepat masuk ke dalam kamarku.

Aku segera mengunci pintu, dan berdiri di belakangnya.

Deg Deg Deg!

Dapat ku rasakan jantungku terus berdegup kencang. Perasaan macam apa ini? Aku segera menggelengkan kepala, jangan sampai Firman berani macam-macam padaku.

***

Hari ini aku pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan kami tempo lalu. Aku dan Mas Hendra memeriksakan diri kami pada SpOG. Mengapa kami belum juga mendapatkan keturunan.

Aku menunggu di luar ruangan, menunggu dokter memanggilku. Setelah bertemu Dokter dan mendapatkan hasilnya aku pulang ke rumah.

Jantungku berdebar-debar, kiranya siapa diantara kami yang bermasalah. Tidak mungkin jika semuanya baik-baik saja aku tak kunjung hamil.

Aku menutup kamarku, kemudian berjalan ke arah r4n-jang, aku duduk dan segera mengambil surat dari rumah sakit dalam tasku. Kemudian mulai membukanya perlahan. Jantungku semakin berdegup tak karuan. Perlahan aku membaca dengan seksama setiap kata. Hasilnya sangat mengejutkanku.

Aku membekap mulut tak percaya. Di keterangan tertulis bahwa Mas Hendra tidak bisa mempunyai keturunan, itu artinya dia ... mandul.

______________

Penulis : Rafasya Rafasya
KBM App : Rafasya
Judul : Tergoda Ipar
Baca selengkapnya di Aplikasi KBM App✅

Ada yg rindu sama foto nya😄 apa orgnya? 🤭☺
21/11/2024

Ada yg rindu sama foto nya😄 apa orgnya? 🤭☺

Idola aku, moga aj dapet jodoh kek papa Raffi..
20/11/2024

Idola aku, moga aj dapet jodoh kek papa Raffi..

Sisa sisa kenangan
19/11/2024

Sisa sisa kenangan

bukan lautan hnya kolam susu..lupakan mntan otw cari yg baru..😀😀
19/11/2024

bukan lautan hnya kolam susu..lupakan mntan otw cari yg baru..😀😀

😭😭😭
19/11/2024

😭😭😭

Lagi pengen berdiri sendiri tanpa ada yang namanya laki2
19/11/2024

Lagi pengen berdiri sendiri tanpa ada yang namanya laki2

Pergi kepasar beli kelapa Sekalian membeli manggisSelamat siang Aisyah sapaSemoga yang jawab ABG manis🥰🥰
19/11/2024

Pergi kepasar beli kelapa
Sekalian membeli manggis
Selamat siang Aisyah sapa
Semoga yang jawab ABG manis🥰🥰

AKU SENGAJA MENINGGALKAN ISTRI DI KAMPUNG DAN MENIKAH LAGI, TUJUH TAHUN TAK AKU PIKIRKAN SOAL ISTRIKU DI KAMPUNG. NAMUN,...
18/11/2024

AKU SENGAJA MENINGGALKAN ISTRI DI KAMPUNG DAN MENIKAH LAGI, TUJUH TAHUN TAK AKU PIKIRKAN SOAL ISTRIKU DI KAMPUNG. NAMUN, SAAT PULANG KAMPUNG, AKU MENGETAHUI FAKTA KALAU ISTRIKU TERNYATA ....

Bab 2

Dimas masih tergugu di hadapan nisan yang diyakininya milik Maya. Bayangan masa lalu berputar cepat di kepalanya, menghantam kesadarannya dengan rasa sesal yang tak tertahankan. Tubuhnya terasa lemas, dan air mata yang mengalir tak bisa ia hentikan. Di depan nisan yang tampak sunyi itu, Dimas merasa hampa, kehilangan segalanya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Dimas tersentak, tetapi tak segera menoleh. Suara itu semakin mendekat, hingga berhenti tepat di sampingnya.

“Loh, Mas Wira ’kan?” Suara seorang pria paruh baya memecah keheningan. Ada kehangatan dalam suaranya, seolah bertemu dengan sahabat lama yang sudah lama hilang. Dimas terdiam, menahan napasnya sejenak. Nama itu, Wira, terasa begitu asing, tetapi sekaligus begitu akrab di telinganya. Hanya orang-orang di desa ini yang memanggilnya dengan nama itu—nama yang diberikan oleh ayah Maya, Pak Ridwan, ketika ia pertama kali datang tanpa ingatan tentang siapa dirinya sebenarnya.

Dimas perlahan menoleh. Di depannya berdiri seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih dan wajah penuh kerutan. Namun, senyumnya tetap lebar dan ramah, seolah-olah tidak ada yang berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Pria itu mengenalinya, meskipun tujuh tahun telah berlalu.

“Ke mana saja Mas Wira selama ini? Mbak Maya dulu nyaris gila nyariin Mas Wira,” lanjut pria itu dengan nada bercanda, meskipun matanya memancarkan sorot serius.

Kata-katanya menghantam Dimas seperti palu. Nyaris gila? Maya telah mencarinya? Dimas menunduk, merasa beban di dadanya semakin berat. Rasa bersalah yang ia rasakan sejak tiba di desa ini semakin menyesakkan. Pikirannya dipenuhi bayangan Maya, menunggunya, mencarinya dengan sia-sia, sementara ia sibuk menyelesaikan urusannya di kota tanpa pernah sekali pun menoleh ke belakang.

“Kenapa Mas Wira menangisi nisan itu?” Pria tua itu tiba-tiba menunjuk ke arah nisan yang sedang Dimas tatap dengan penuh duka. Dimas menoleh lagi ke arah nisan, tangannya gemetar. “Nisan Maya...” pikirnya dalam hati.

Pria tua itu tertawa kecil, membuat Dimas semakin bingung. “Mas Wira, itu ’kan, bukan nisan Maya. Itu nisan kucing kesayangan Maya,” katanya sambil tersenyum, suaranya lembut, tetapi terdengar jelas di antara keheningan.

“Apa...?” Dimas terkejut, mengernyit bingung. Nisan kucing? Ia memeriksa kembali tulisan di nisan itu, dan perlahan-lahan kebenaran mulai tampak. Nisan itu memang tertulis “Maya, Si Kembang Desa,” tetapi di bawahnya, dalam huruf kecil yang sudah mulai kabur, ada tambahan yang sebelumnya tidak ia perhatikan: “Kucing Kesayangan Maya.”

Tiba-tiba saja, Dimas merasa tubuhnya melemas, lututnya gemetar, dan ia hampir kehilangan keseimbangan. Selama ini, ia menangisi nisan kucing. Kucing Maya. Rasa lega dan kebingungan bercampur menjadi satu, dan untuk sejenak, dunia terasa berputar di sekelilingnya. Namun, di balik itu semua, masih ada satu pertanyaan besar yang tersisa—di mana Maya?

Dimas menatap pria tua itu lagi, berusaha keras mengendalikan emosi yang bercampur aduk dalam dirinya. “Maya... dia di mana sekarang?” tanyanya dengan suara serak, nyaris berbisik.

Pria tua itu berhenti tersenyum sejenak, tampak mempertimbangkan sesuatu. Sorot matanya berubah menjadi lebih serius. “Mbak Maya sudah lama pergi dari sini, Mas Wira. Setelah Mas pergi, dia tidak pernah sama lagi. Dia mencoba bertahan, mencoba tetap tinggal di sini, tapi akhirnya...” Suaranya melembut, seperti enggan melanjutkan kalimatnya. “Dia pergi.”

“Ke mana dia pergi?” Dimas memotong dengan cepat. Ia merasa napasnya memburu, seakan jawaban pria itu adalah satu-satunya harapan yang tersisa baginya.

Pria itu menatap Dimas dengan penuh iba. “Saya tidak tahu pasti, Mas. Setelah beberapa bulan menunggu Mas kembali, Maya semakin sulit ditemui. Beberapa orang bilang dia pergi ke kota untuk memulai hidup baru. Yang lain bilang dia... mungkin pindah ke tempat yang lebih jauh.”

Dimas merasakan hatinya jatuh lagi. Harapan yang sempat muncul setelah tahu bahwa Maya masih hidup perlahan memudar. Ke mana Maya pergi? Apakah ia baik-baik saja? Ataukah Maya benar-benar hilang dari kehidupannya selamanya?

“Tapi...” pria tua itu melanjutkan, “ada satu tempat yang mungkin bisa membantu Mas Wira menemukan jawabannya.”

Dimas menatapnya dengan tajam. “Di mana?”

Pria itu tersenyum samar, seperti menyimpan rahasia yang sudah lama ia pendam. “Rumah tua di pinggir desa. Rumah peninggalan ayahnya Maya. Setelah Maya pergi, tidak ada yang tinggal di sana. Tapi siapa tahu, mungkin ada sesuatu yang bisa Mas Wira temukan di sana.”

Rumah tua di pinggir desa. Dimas mengingatnya dengan baik. Itu adalah tempat di mana Maya dilahirkan dan dibesarkan, rumah di mana dia dan Maya sering menghabiskan waktu setelah mereka menikah. Rumah itu selalu memiliki suasana yang tenang, hampir seperti waktu berhenti di sana. Sekarang, dengan semua yang telah terjadi, rumah itu menjadi satu-satunya petunjuk yang Dimas miliki.

“Terima kasih,” ucap Dimas, meskipun ia merasa tak sepenuhnya siap menghadapi apa yang mungkin ia temukan di rumah itu.

“Tidak usah berterima kasih, Mas. Saya hanya berharap Mas Wira menemukan apa yang dicari,” jawab pria itu sambil tersenyum lembut, lalu berjalan pergi dengan langkah pelan, meninggalkan Dimas sendirian lagi di depan nisan.

Dengan hati yang masih penuh kebingungan, Dimas berdiri dan mulai berjalan menuju rumah tua yang dimaksud pria itu. Langit sudah mulai berwarna jingga, tanda hari mulai beranjak senja. Suasana desa yang dulu terasa akrab kini tampak asing, seolah desa ini menyimpan rahasia yang tak lagi bisa Dimas pahami.

Saat ia tiba di depan rumah tua itu, Dimas merasakan sesuatu yang aneh. Rumah itu masih berdiri kokoh, tetapi terasa sepi, hampir seperti ditinggalkan selama bertahun-tahun tanpa perawatan. Pintu kayunya sedikit terbuka, dan angin lembut membawa suara berderit yang menusuk keheningan senja.

Dimas menelan ludah, merasa jantungnya berdebar kencang. Ia mendorong pintu itu perlahan, dan suara deritanya bergema di udara. Di dalam, ruangan itu gelap dan sunyi, seolah waktu benar-benar berhenti di sini.

Dengan langkah hati-hati, Dimas masuk ke dalam rumah. Semua perabotan masih ada di tempatnya, tetapi tertutup debu tebal, seolah tak ada yang menyentuhnya selama bertahun-tahun. Foto-foto lama Maya dan keluarganya tergantung di dinding, dan satu foto menarik perhatian Dimas—foto pernikahan mereka. Di foto itu, Maya tersenyum bahagia, sementara Dimas berdiri di sampingnya dengan tatapan kosong karena saat itu ia masih kehilangan ingatannya.

Di sudut ruangan, ada sebuah meja kecil dengan tumpukan surat yang tampak sudah lama dibiarkan di sana. Dimas mendekat dan memeriksa surat-surat itu. Sebagian besar adalah surat tagihan yang tak pernah dibuka, tetapi satu amplop menarik perhatiannya—amplop itu berbeda. Tidak ada alamat atau pengirim. Hanya ada tulisan tangan di bagian depan: Untuk Wira.

Jantung Dimas berdegup kencang. Ia meraih amplop itu dan perlahan-lahan membukanya. Di dalamnya ada selembar kertas kuning yang terlipat rapi. Saat ia membuka kertas itu, tulisannya tampak jelas—itu tulisan tangan Maya.

“Mas Wira, jika kamu membaca surat ini, berarti kamu sudah kembali. Aku tidak tahu apakah kamu akan menemukan apa yang kamu cari, tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku selalu menunggumu. Di tempat yang kita sepakati dulu.”

Tempat yang mereka sepakati? Dimas mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatannya terasa kabur. Tempat apa yang Maya maksud?

Dimas menggenggam surat itu erat-erat, rasa penyesalan bercampur harapan berkecamuk dalam dirinya. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia harus menemukan tempat itu—tempat di mana Maya menunggunya.

Tapi di mana?

SENTUHAN TERAKHIR - yuliana - KBM
Dimas kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan tragis, dan hidup sebagai pria tanpa masa l...

Selamat pagi jgn lupa sarapan dulu seblm melakukan aktifitas BESTie
17/11/2024

Selamat pagi jgn lupa sarapan dulu seblm melakukan aktifitas BESTie

Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Aisyah and Bestie posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share