18/11/2024
AKU SENGAJA MENINGGALKAN ISTRI DI KAMPUNG DAN MENIKAH LAGI, TUJUH TAHUN TAK AKU PIKIRKAN SOAL ISTRIKU DI KAMPUNG. NAMUN, SAAT PULANG KAMPUNG, AKU MENGETAHUI FAKTA KALAU ISTRIKU TERNYATA ....
Bab 2
Dimas masih tergugu di hadapan nisan yang diyakininya milik Maya. Bayangan masa lalu berputar cepat di kepalanya, menghantam kesadarannya dengan rasa sesal yang tak tertahankan. Tubuhnya terasa lemas, dan air mata yang mengalir tak bisa ia hentikan. Di depan nisan yang tampak sunyi itu, Dimas merasa hampa, kehilangan segalanya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Dimas tersentak, tetapi tak segera menoleh. Suara itu semakin mendekat, hingga berhenti tepat di sampingnya.
“Loh, Mas Wira ’kan?” Suara seorang pria paruh baya memecah keheningan. Ada kehangatan dalam suaranya, seolah bertemu dengan sahabat lama yang sudah lama hilang. Dimas terdiam, menahan napasnya sejenak. Nama itu, Wira, terasa begitu asing, tetapi sekaligus begitu akrab di telinganya. Hanya orang-orang di desa ini yang memanggilnya dengan nama itu—nama yang diberikan oleh ayah Maya, Pak Ridwan, ketika ia pertama kali datang tanpa ingatan tentang siapa dirinya sebenarnya.
Dimas perlahan menoleh. Di depannya berdiri seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih dan wajah penuh kerutan. Namun, senyumnya tetap lebar dan ramah, seolah-olah tidak ada yang berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Pria itu mengenalinya, meskipun tujuh tahun telah berlalu.
“Ke mana saja Mas Wira selama ini? Mbak Maya dulu nyaris gila nyariin Mas Wira,” lanjut pria itu dengan nada bercanda, meskipun matanya memancarkan sorot serius.
Kata-katanya menghantam Dimas seperti palu. Nyaris gila? Maya telah mencarinya? Dimas menunduk, merasa beban di dadanya semakin berat. Rasa bersalah yang ia rasakan sejak tiba di desa ini semakin menyesakkan. Pikirannya dipenuhi bayangan Maya, menunggunya, mencarinya dengan sia-sia, sementara ia sibuk menyelesaikan urusannya di kota tanpa pernah sekali pun menoleh ke belakang.
“Kenapa Mas Wira menangisi nisan itu?” Pria tua itu tiba-tiba menunjuk ke arah nisan yang sedang Dimas tatap dengan penuh duka. Dimas menoleh lagi ke arah nisan, tangannya gemetar. “Nisan Maya...” pikirnya dalam hati.
Pria tua itu tertawa kecil, membuat Dimas semakin bingung. “Mas Wira, itu ’kan, bukan nisan Maya. Itu nisan kucing kesayangan Maya,” katanya sambil tersenyum, suaranya lembut, tetapi terdengar jelas di antara keheningan.
“Apa...?” Dimas terkejut, mengernyit bingung. Nisan kucing? Ia memeriksa kembali tulisan di nisan itu, dan perlahan-lahan kebenaran mulai tampak. Nisan itu memang tertulis “Maya, Si Kembang Desa,” tetapi di bawahnya, dalam huruf kecil yang sudah mulai kabur, ada tambahan yang sebelumnya tidak ia perhatikan: “Kucing Kesayangan Maya.”
Tiba-tiba saja, Dimas merasa tubuhnya melemas, lututnya gemetar, dan ia hampir kehilangan keseimbangan. Selama ini, ia menangisi nisan kucing. Kucing Maya. Rasa lega dan kebingungan bercampur menjadi satu, dan untuk sejenak, dunia terasa berputar di sekelilingnya. Namun, di balik itu semua, masih ada satu pertanyaan besar yang tersisa—di mana Maya?
Dimas menatap pria tua itu lagi, berusaha keras mengendalikan emosi yang bercampur aduk dalam dirinya. “Maya... dia di mana sekarang?” tanyanya dengan suara serak, nyaris berbisik.
Pria tua itu berhenti tersenyum sejenak, tampak mempertimbangkan sesuatu. Sorot matanya berubah menjadi lebih serius. “Mbak Maya sudah lama pergi dari sini, Mas Wira. Setelah Mas pergi, dia tidak pernah sama lagi. Dia mencoba bertahan, mencoba tetap tinggal di sini, tapi akhirnya...” Suaranya melembut, seperti enggan melanjutkan kalimatnya. “Dia pergi.”
“Ke mana dia pergi?” Dimas memotong dengan cepat. Ia merasa napasnya memburu, seakan jawaban pria itu adalah satu-satunya harapan yang tersisa baginya.
Pria itu menatap Dimas dengan penuh iba. “Saya tidak tahu pasti, Mas. Setelah beberapa bulan menunggu Mas kembali, Maya semakin sulit ditemui. Beberapa orang bilang dia pergi ke kota untuk memulai hidup baru. Yang lain bilang dia... mungkin pindah ke tempat yang lebih jauh.”
Dimas merasakan hatinya jatuh lagi. Harapan yang sempat muncul setelah tahu bahwa Maya masih hidup perlahan memudar. Ke mana Maya pergi? Apakah ia baik-baik saja? Ataukah Maya benar-benar hilang dari kehidupannya selamanya?
“Tapi...” pria tua itu melanjutkan, “ada satu tempat yang mungkin bisa membantu Mas Wira menemukan jawabannya.”
Dimas menatapnya dengan tajam. “Di mana?”
Pria itu tersenyum samar, seperti menyimpan rahasia yang sudah lama ia pendam. “Rumah tua di pinggir desa. Rumah peninggalan ayahnya Maya. Setelah Maya pergi, tidak ada yang tinggal di sana. Tapi siapa tahu, mungkin ada sesuatu yang bisa Mas Wira temukan di sana.”
Rumah tua di pinggir desa. Dimas mengingatnya dengan baik. Itu adalah tempat di mana Maya dilahirkan dan dibesarkan, rumah di mana dia dan Maya sering menghabiskan waktu setelah mereka menikah. Rumah itu selalu memiliki suasana yang tenang, hampir seperti waktu berhenti di sana. Sekarang, dengan semua yang telah terjadi, rumah itu menjadi satu-satunya petunjuk yang Dimas miliki.
“Terima kasih,” ucap Dimas, meskipun ia merasa tak sepenuhnya siap menghadapi apa yang mungkin ia temukan di rumah itu.
“Tidak usah berterima kasih, Mas. Saya hanya berharap Mas Wira menemukan apa yang dicari,” jawab pria itu sambil tersenyum lembut, lalu berjalan pergi dengan langkah pelan, meninggalkan Dimas sendirian lagi di depan nisan.
Dengan hati yang masih penuh kebingungan, Dimas berdiri dan mulai berjalan menuju rumah tua yang dimaksud pria itu. Langit sudah mulai berwarna jingga, tanda hari mulai beranjak senja. Suasana desa yang dulu terasa akrab kini tampak asing, seolah desa ini menyimpan rahasia yang tak lagi bisa Dimas pahami.
Saat ia tiba di depan rumah tua itu, Dimas merasakan sesuatu yang aneh. Rumah itu masih berdiri kokoh, tetapi terasa sepi, hampir seperti ditinggalkan selama bertahun-tahun tanpa perawatan. Pintu kayunya sedikit terbuka, dan angin lembut membawa suara berderit yang menusuk keheningan senja.
Dimas menelan ludah, merasa jantungnya berdebar kencang. Ia mendorong pintu itu perlahan, dan suara deritanya bergema di udara. Di dalam, ruangan itu gelap dan sunyi, seolah waktu benar-benar berhenti di sini.
Dengan langkah hati-hati, Dimas masuk ke dalam rumah. Semua perabotan masih ada di tempatnya, tetapi tertutup debu tebal, seolah tak ada yang menyentuhnya selama bertahun-tahun. Foto-foto lama Maya dan keluarganya tergantung di dinding, dan satu foto menarik perhatian Dimas—foto pernikahan mereka. Di foto itu, Maya tersenyum bahagia, sementara Dimas berdiri di sampingnya dengan tatapan kosong karena saat itu ia masih kehilangan ingatannya.
Di sudut ruangan, ada sebuah meja kecil dengan tumpukan surat yang tampak sudah lama dibiarkan di sana. Dimas mendekat dan memeriksa surat-surat itu. Sebagian besar adalah surat tagihan yang tak pernah dibuka, tetapi satu amplop menarik perhatiannya—amplop itu berbeda. Tidak ada alamat atau pengirim. Hanya ada tulisan tangan di bagian depan: Untuk Wira.
Jantung Dimas berdegup kencang. Ia meraih amplop itu dan perlahan-lahan membukanya. Di dalamnya ada selembar kertas kuning yang terlipat rapi. Saat ia membuka kertas itu, tulisannya tampak jelas—itu tulisan tangan Maya.
“Mas Wira, jika kamu membaca surat ini, berarti kamu sudah kembali. Aku tidak tahu apakah kamu akan menemukan apa yang kamu cari, tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku selalu menunggumu. Di tempat yang kita sepakati dulu.”
Tempat yang mereka sepakati? Dimas mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatannya terasa kabur. Tempat apa yang Maya maksud?
Dimas menggenggam surat itu erat-erat, rasa penyesalan bercampur harapan berkecamuk dalam dirinya. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia harus menemukan tempat itu—tempat di mana Maya menunggunya.
Tapi di mana?
SENTUHAN TERAKHIR - yuliana - KBM
Dimas kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan tragis, dan hidup sebagai pria tanpa masa l...