17/08/2018
Regulasi Njlimet Jegal Pasien BPJS
Pada 8 Agustus lalu, saya terkejut bukan kepalang, amat nelangsa, dan sedikit jengkel.
Cerita bermula ketika saya datang di RS Hasanah Graha Afiah (HGA), Depok. Saya bermaksud mengurus perpanjangan surat rujukan dari RS tersebut. RS itulah yang memberi surat rujukan ke RS Harapan Kita. Saya menjadi pasien RS Harapan Kita sejak 2015 karena menderita ganguan irama jantung (aritmia).
Setelah antre di lobi RS HGA, tibalah giliran saya melakukan pendaftaran. Namun saya tidak bisa melakukan pendaftaran pasien karena tidak membawa surat rujukan dari Puskesmas.
“Jadi harus balik di puskesmas, nih?” tanya saya kepada petugas RS HGA.
“Ya, Pak,” jawabnya.
Iseng, saya tunjukkan lembaran BPJS dari RS Harapan Kita, Jakarta, yang ditandatangani dokter pada 20 Mei 2018. Masa berlaku surat rekomendasi dokter penanggung jawab pasien (DPJP) tersebut selama enam bulan. Jadi, semestinya masih berlaku hingga November.
“Wah, ini sekarang sudah tidak berlaku. Ada perubahan, Pak,” kata petugas, kurang lebih sama dengan dikatakan petugas BPJS di RS Harapan Kita.
“Kapan berubahnya?”
“Baru. Belum lama.”
“Apanya yang berubah,” tanya saya. Kali itu bukan iseng lagi. Serius.
“Bapak harus minta rujukan ke faskes 1 setiap bulan,” katanya. Faskes tingkat 1 yang dimaksud adalah puskesmas.
“Ha?! Setiap bulan, “ aku kaget bukan main, “saya dengar setiap tiga bulan sekali.”
“Surat rujukan berlaku tiga bulan sekali kalau Bapak berobat hingga di faskes 2 saja. Kalau sampai di faskes 3 seperti Bapak ini ya hanya sebulan sekali,” ujarnya. Fakses 2 adalah RS HGS, sedangkan faskes 3 adalah RS Harapan Kita.
Alamak. Jadi, saya bakal setiap bulan ke Depok lagi, padahal saya sudah hampir dua tahun pindah di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Saya langsung membayangkan, bagaimana dengan pasien-pasien yang senasib tetapi tidak “sesehat” saya. Harus berobat hingga ke faskes 3? Bisa mati berdiri mereka.
Saya beruntung, masih bisa berangkat sendiri berobat ke fasilitas kesehatan (faskes) 1. Bagaimana dengan pasien yang bergantung orang lain jika berobat, pasien yang menderita kelumpuhan misalnya. Betapa jauh lebih repot dan ribet jika harus mengurus surat rujukan ke faskes 1 setiap bulan. Asal tahu saja, minta surat rujukan di faskes 1 tidak bisa diwakilkan alias pasien harus datang sendiri.
Semula, dengan DPJP yang berlaku hingga 6 bulan, pasien di faskes 2 atau 3 tidak harus mengurus lagi surat rujukan di puskesmas. Sekarang, entah apa alasan dan untungnya bagi BPJS, ketentuan itu telah diubah menjadi regulasi yang jauh lebih merepotkan pasien yang membutuhkan perawatan di faskes 3 seperti saya. Mestinya, BPJS memperbaiki layanan, bukan malah memperpanjang regulasi yang boleh dibilang kejam. Apa ruginya bagi BPJS dengan aturan lama, sesuai dengan DPJP? Apa ruginya bagi BPJS jika membuat pasien tersenyum, menghemat ongkos dan tidak perlu sebulan sekali pergi ke puskesmas? Padahal tugas BPJSK, mengacu pasal 24 ayat (3) UU SJSN 40/2004, untuk mengembangkan sistem pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.
Dengan pengalaman itu, saya curiga BPJS jangan-jangan sengaja mempersulit pasien dengan harapan enggan berobat ke faskes 3. Atau jangan-jangan para pejabat BPJS yang membuat ketentuan nyleneh (tidak sesuai dengan amanat UU), tidak pernah sakit dan menggunakan fasilitas BPJS sehingga tumpul empatinya. Mati nuraninya.
Semoga saja, kecurigaan saya itu hanya berupa bentuk kejengkelan pasien yang dikalah-kalahkan. Bukan lantaran faktanya seperti itu. Karena jika faktanya seperti itu, sebaiknya bubarkan saja BPJS atau pecat pejabat yang tak becus mengurus. (*)
*Priyoko, pemegang Kartu Peserta Askes dengan nomor 0000043480754 dan pasien RS Harapan Kita dengan nomor 2015385076.
Tidak ada teks alternatif otomatis yang tersedia.