Rumah Novel

Rumah Novel YouTube: Tekno Ngopi

21/12/2024






























21/12/2024

BAB 2, BENDA TAK LAZIM DI RAHIM PUTRIKU






























21/12/2024

BENDA TAK LAZIM DI RAHIM PUTRIKU

Novel karya Nur Jayanti

Bisa dibaca di PlayStore, cari saja judul di atas, atau linknya bisa Anda temukan di komentar video ini.

04/11/2024

KAU NODAI PERNIKAHAN INI

Novel karya Nita Suryani

MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJAhttps://play.google.com/store/books/details?id=JWslEQAAQBAJBab 1 ***[Mas, hari ini p**ang j...
30/09/2024

MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA

https://play.google.com/store/books/details?id=JWslEQAAQBAJ

Bab 1

***

[Mas, hari ini p**ang jam berapa? Makanan dan kue ulang tahunnya udah siap]

[Mas, aku nunggu kamu. Aku nggak makan kalau kamu belum datang]

Netra elang Gavin memicing saat menangkap pesan dari Kania-istrinya.

Rupanya pesan itu dikirim dari jam tujuh malam. Waktu dimana Gavin memilih-milih hotel mana yang akan ia booking untuk menghabiskan waktu bersama Aline.

Dan sekarang sudah pukul tiga subuh. Tak terhitung juga jumlah panggilan tak terjawab dari istrinya.

Puluhan. Bahkan mungkin ratusan kali Kania melakukan panggilan setelah pesan yang ia kirimkan tak berbalas sama sekali.

Bagaimana mungkin Gavin bisa membalas pesan itu, bila dirinya tengah sibuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke lima tahun bersama wanita masa lalu yang pernah ia janjikan kebahagiaan.

Disaat Kania menunggu di rumah dengan sibuknya memasak bermacam makanan kes**aan lelakinya ini, yang ditunggu dengan penuh kesabaran dan kesetiaan malah sibuk menunggu wanita lain.

Gavin sibuk menunggu Aline selesai dari salon kecantikan.

"Aku nyalon dulu, Mas. Biar kamu makin sayang," katanya di telepon.

Tentu saja bukan salon murah yang didatangi, tapi salon mahal yang biayanya tentu ditagihkan ke Gavin.

"Ya. Yang cantik ya!"

"Aku bikin mulus semua, Mas. Kamu kan s**a kalau bersih."

Si wanita menggoda manja dan membuat kekehan Gavin berakhir dengan geraman hasrat yang tak tertahankan.

Gavin menarik nafas panjang. Membaca sekali lagi pesan itu. Lalu memilih mematikan ponsel tanpa berniat membalas pesan dari istrinya.

Dimatikannya ponsel itu lalu menaruhnya kembali di atas nakas. Setelahnya ia memilih masuk kedalam selimut. Namun pikirannya yang tiba-tiba bercelaru membuatnya memilih membuang selimut itu dan membangunkan Aline yang terlelap lelah setelah pertempuran mereka semalam.

"Nakal kamu, Mas. Aku masih ngantuk," rengeknya manja pada lelaki beristri ini.

Namun Gavin yang kadung bir4ahi kembali mengulang kegiatan panas itu.

Hingga berkali-kali membuat peluh keduanya jatuh satu-satu.

Gavin mengulang kisah asmaranya subuh ini bersama kekasih lama yang tetap setia menunggu janjinya. Sementara Kania harus terbangun dengan perut keroncongan setelah tertidur di meja makan menunggui suaminya yang melanglang buana ke nirwana bersama wanita lain.

***

“Ya Allah, sudah subuh saja.”

Kania mengusap wajah. Menatap jam dinding yang berdentang empat kali. Tak sadar ia tertidur di sofa ruang tengah menunggui suaminya yang tak kunjung p**ang.

Ditatapnya kue ulang tahun yang tertancap lilin berbentuk angka lima. Lilin yang yang belum di bakar namun sudah padam cahayanya.

Seperti rasa kecewa yang menusuk hati.

Bukan sekali-dua kali Kania harus menelan kecewanya atas ketakp**angan Gavin.

Namun alasan lembur dan banyak kerjaan menjadikan Kania bisa menerima dengan lapang dada.

Usaha peninggalan mertuanya yang diteruskan oleh suaminya sebenarnya tak terlalu besar menurut Kania. Namun, ia percaya saja bila suaminya memberi alasan.

Bertahun-tahun Kania dibohongi dan dibodohi dengan pernikahan yang semakin tawar rasa indahnya. Namun, wanita miskin tetap sabar dan tabah menerima.

“Kalau, Mas Gavin udah nggak nyaman sama aku, beri tahu aku, Mas. Biar aku memperbaiki diri.”

Namun senyum kecut yang Gavin berikan, seolah menjadi penghibur bila dirinya masih dibutuhkan dalam singasana suaminya ini.

Ada hati yang terbagi. Ada cinta diam-diam dijalin suaminya di belakang Kania. Entah ia tahu atau hanya pura-pura tak tahu. Namun Kania tetap sabar menggenggam luka dan rindunya yang diam-diam makin hari menggerogoti hati dan perasaannya.

Kania mengambil gawai miliknya yang bercasing mawar hitam dari atas sofa. Mengecek aplikasi pesan. Berharap ada balasan permohonan maaf yang dikirim Gavin untuknya.

Namun, sekali lagi Kania hanya menelan saliva kecewanya. Netranya bahkan berembun saat melihat semua pesan rindu dan khawatirnya berubah jadi centang biru namun tak ada balasan sama sekali.

Meski kecewa merajai, tapi rasa khawatir tetap mengintip.

“Apa mas Gavin sakit. Kok nggak dibalas.”

Tak pernah seperti ini. Walau beberapa bulan ini suaminya nampak semakin menjauh. Minimal Gavin tetap memberi kabar bila tak p**ang.

Lalu Kania coba menghubungi sekali lagi. Namun malangnya, telinga tak bergiwang itu hanya mendengar jawaban operator dari seberang sana.

Suara azan subuh dan gerimis halus yang turun dengan syahdunya di dini hari yang kelam ini membuat Kania terburu ke kamar mandi, membersihkan diri lalu mengambil wudhu untuk menunaikan dua rakaat kewajibannya.

Kania khusu’ tengadah pada sang khalik. Memanjatkan do’a yang indah untuk pernikahannya juga do’a indah dan keselematan untuk suaminya di tempat yang tak ia lihat sekarang ini.

Kania mendo’akan lelakinya yang sibuk meraup udara setelah sekali lagi membuat selingkuhannya menjerit puas dan terkapar di atas pembaringan hotel yang cukup mahal tarifnya.

Kania mendo’akan kekekalan pernikahannya, sementara Gavin dan wanita gelapnya sedang merencanakan hal indah yang menjadi rahasia mereka.

“Aku nggak mau hubungan kita hanya sebatas ini, Mas. Kita udah sejauh ini. Aku juga butuh komitmen kamu seperti di awal dulu.”

Aline-nama si wanita gelap. Ia merajuk manja sambil menyandarkan kepala penuh mesra di dada bidang milik suami wanita lain ini.

“Apa maumu, Sayang?” tanya Gavin sambil mengecup kening ya telah ia buat berkeringat sesubuh ini.

“Aku mau dinikahi, Mas!”

“Mau jadi istri kedua?”

“NGGAK!”

“Lalu?” tanyanya lagi sambil memaikan selimut putih yang menjadi penutup tubuh keduanya.

“CERAIKAN ISTRI KAMPUNGANMU ITU!”

“Oke, Sayang,” balas Gavin mantap lalu kembali memeluk dan mengulang sekali lagi permainan terlarang penuh bir4hi dengan perempuan yang telah menjadi racun dalam rumah tangganya.

***

Bukan uang sedikit yang telah Gavin hamburkan untuk perempuan simpanannya ini.

Banyak. Bahkan jauh lebih banyak yang ia keluarkan untuk kebutuhan Aline daripada yang ia berikan untuk Kania.

Uang yang ia berikan pada Aline, jelas untuk perempuan itu gunakan sendiri. Merawat badan, membeli aset impian dan juga berlian sebagai simpanan di hari kemudian menjadi muara uang-uang yang ia berikan untuk gundiknya itu.

Sementara uang lima juta jatah yang ia berikan untuk Kani, digunakan oleh istrinya itu untuk kebutuhan rumah tangga.

Bayar listrik, air dan uang lauk pauk hari-hari Kania ambil dari jatah yang Gavin berikan. Untuk gaji bibi yang membantu di rumah, Gavin langsung berikan sendiri. Bakan Kania hanya menggunakan skincare yang sangat murah untuk merawat wajah ayu alami miliknya.

Tentu jauh berbeda dengan apa yang Gavin berikan untuk Aline. Perempuan simpanannya itu sekali sebulan harus ke klinik kecantikan untuk melakukan perawatan mahal pada wajah dan tubuhnya. Terutama pada bagian intim yang menjadi sasaran Gavin tiap kali mereka bertemu.

“Apa sibuk banget semalam sampai nggak sempat balas pesanku, Mas?”

Kania bertanya sambil memindahkan nasi dari ricecooker ke atas piring makan untuk Gavin. nasi putih, capcay dan ayam kecap yang Kania siapkan dari semalam, terpaksa harus ia panaskan lagi. Kecuali capcay kes**aan Gavin, buru-buru Kania masak ulang. Satu porsi saja untuk Gavin.

“Ya. Sibuk banget,” jawab Gavin sambil makan begitu lahap. Lapar sekali sepertinya. Bahkan hampir saja tersedak makanan yang ia telan barusan.

“Pelan-pelan aja makannya, Mas!” Kania menyodorkan air minum dalam gelas bertangkai yang hanya ia gunakan khusus untuk Gavin.

Perlatan makan yang Gavin gunakan, Kania pisahkan sendiri. Piring, gelas minu, gelas kopi dan sendok garpu khusus Gavin tak boleh digunakan selain suaminya itu, termasuk dirinya. Sebab Kania juga memisahkan sendiri peralatan makan untuknya.

Bahkan dalam angan-angan Kania, bila kelak nanti mereka dikaruniai keturunan. Ia ingin memesan piring dan gelas yang bertuliskan ‘mama papa.’

“Habis makan baru kamu potong kuenya, Mas.”

Kania mengeluarkan kue ulang tahun dari dalam kulkas. Selepas shalat subuh tadi, Kania memasukkan kembali kedalam kulkas kue berbentuk hati itu kedalam kulkas agar tekstur gulanya tetap terjaga.

“Kamu aja yang potong!” sahut Gavin tanpa menoleh pada wajah yang nampak terkejut dan juga kecewa.

Bahkan ucapan selamat dan kecupan hangat yang didamba. Tak kunjung Gavin berikan. Jujur saja, Gavin muak dengan lima tahun pernikahannya bersama gadis biasa ini. Perempuan dari desa yang menjadi pilihan ibunya sebelum meninggal.

“Kenapa gitu, Mas. Kemarin ulang tahun pernikahan, …”

“Sttt! Jangan lebay kamu. Ini udah lima tahun kita sama-sama. Aku yakin apa yang aku rasakan dalam pernikahan bias ini juga kamu rasakan, Kania!”

Gavin mengangkat telunjuk. Meminta Kania untuk berhenti berbicara. Ia tak ingin lagi mendengar keluh kesah dari istrinya. Sebab keluhan dan permintaan Aline yang lebih utama sekarang bagi lelaki ini.

Termasuk keinginan perempuan itu untuk dinikahi dan meminta Gavin menceraikan istri pertamanya.

“Maksudnya, Mas?”

Netra sendu itu sudah memerah. Menahan embun yang hamoir jatuh. Tak pernah Gavin sekasar ini. Tak pernah Gavin membentak seperti tadi.

Lalu apa yang menyebabkan lelakinya ini berubah sedemikian rupa. Apa dia ada kekurangan.

Oh, mungkin lelaki ini sudah mendamba tangis bayi. Namun Kania bisa apa bila yang kuasa belum memberikan rejekinya.

Pada beberapa kesempatan di awal-awal pernikahan mereka mungkin ada dua tau tiga kali keduanya ke dokter memeriksakan diri. Namun, kata dokter tak ada masalah pada Kania.

Kania saja yang diperiksa tidak dengan Gavin.

Kemampuannya menaklukan Kania dan beberapa wanita di masa lalu, membuat lelaki ini jumawa dengan kesuburan vitalitas lelaki yang ia punya.

“Maksudnya gimana, Mas?” Kania mengulang tanya. Menuntut jawab atas ucapan lelakinya barusan.

“Maksudnya? Aku ingin kita bercerai!”

***

“Ap-apa?”

Bagai petir di siang yang terik. Tak pernah Kania sangka bila Gavin akan mengeluarkan kalimat semelukai ini.

Hatinya yang diam-diam terluka, semakin perih dan berda-arah. Seumpama belati yang sengaja ditancapkan pada ulung hatinya.

“Aku salah apa, Mas?”

Kania yang malang. Bahkan deraian air matanya pun membuat lelakinya bukan lagi prihatin, melainkan semakin sinis nyaris jijik melihatnya.

“Aku nggak nyangka, selama ini bisa tidur dengan perempuan man-dul dan lebai seperti kamu, Kania.”

Kejam.

Sungguh kejam kalimat itu. Gavin sengaja menyabetkan luka itu agar Kania segera beranjak dari hidupnya. Dan memang perasaannya sudah begitu hambar. Hambar pada wanita yang halal ia sentuh, tapi begitu bergelora pada apa yang tak patut ia cicipi.

Bahkan ia merasa geli pernah menggauli perempuan yang terlalu sederhana ini.

Api asmara yang Aline kobarkan di atas peraduan haram itu telah berhasil meredupkan gai-rah lelaki ini pada istrinya.

“Apa ini? Kue ualng tahun? Ulang tahun apa? Pernikahan kita? Pernikahan yang nggak ada hasilnya sama sekali. Betapa naifnya kita berdua, Kania. Aku nggak pernah benar-benar menginginkan pernikahan ini. Dan kamu bohong kalau kamu nggak merasakan keterpaksaanku selama ini!”

Berapi-api Gavin mengeluarkan apa-apa yang membuatnya muak dengan pernikahannya dan Kania.

Segala macam hal tak masuk akal ia jadikan alasan.

Jujur saja, perasaan lelaki ini sedang bercelaru. Bayangan mendamba Aline padanya sungguh membuatnya tak bisa berpaling. Sementara ada rasa yang tak bisa ia ungkapkan ketika melihat wajah sendu di hadapannya ini.

“Kenapa jadi gini, Mas?”

Kania terisak-isak. Kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga membuat suaminya semurka ini. Piring kue dan sendok masih setia ia genggam. Peralatan makan yang akan ia suguhkan pada lelaki yang menyakitinya sedemikian rupa.

“Kamu mandul, Kania. Aku butuh keturunan! Dan aku memang tak pernah ada rasa padamu!”

Lagi. Gavin tikam lagi perasaan istrinya demi membuat nyaman perasaan kekasih gelapnya.

Ini yang Aline mau. Melihatnya berpisah dari Kania. Maka cinta dan gelora yang luar biasa akan ia dapatkan. Dan Gavin akan wujudkan itu.

Kisahnya dan Aline memanglah belum usai. Hanya saja, ibunya tak merestui hubungannya itu bersama anak dari lelaki yang dulu sempat membuat usaha ayahnya nyaris bangkrut.

“Astagfirullah. Nyebut, Mas. Siapa yang bikin kamu kaya gini?”

Kania masih coba bertahan. Melawan badai yang semakin dekat menggulung nuraninya yang sendiri.

Tak cinta bagaimana. Lalu kemanisan di awal-awal pernikahan mereka itu apa.

“Kita bulan madu ke Malang ya.”

“Terserah, Mas Gavin aja. Aku ikut aja,” jawabnya malu-malu setelah ijab qabul terlaksana.

Kania yang hidup sendiri setelah kematian kedua orang tuanya, tentulah bersyukur dijodohkan dengan anak pak Subroto dan bu Helena. Pemilik usaha air kemasan isi ulang tempat Kania dulu bekerja.

Dan ya, hari itu sungguh Kania merasa dicintai.

Se-ks yang Gavin tuntut padanya tiap saat dikiranya itu adalah cinta.

Hingga tahun kedua kemesraan itu tetap Gavin bangun. Bahkan berharap momongan segera hadir menyemarakkan istana kecil mereka.

“Nggak ada yang bikin aku, Kania. Tapi perasaanku memang sudah hilang padamu. Aku harap kita secepatnya berpisah. Aku nggak mau buang-buang waktu melihat wajahmu yang tak terawat itu di rumah ini!”

“Ya Allah, Mas.”

Kania luruh dalam perih pedihnya. Setega ini lelaki yang telah ia layani sedemikian rupa.

“Sudah! Jangan nangis lagi. Cengeng!”

BRAK!

“Makan sendiri kue murahan ini!”

Gavin berlalu penuh murka setelah membanting kue ulang tahun itu ke atas lantai. Bahkan sebagian manisan gula itu terciprat ke wajah basah Kania.

Dan Gavin?

Tak perduli sama sekali!

Ia meninggalkan Kania yang bersimpuh menangisi takdir hidupnya yang berubah secepat ini.

***

MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA - Ebook written by Marlinda Am. Read this book using Google Play Books app on your PC, android, iOS devices. Download for offline reading, highlight, bookmark or take notes while you read MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA.

30/09/2024
28/08/2024

CATOKAN PEMBAWA SIAL

Hening malam kian mencekam. Sudah tiga hari berlalu, namun bayang suamiku tak kunjung muncul di ambang pintu. Panggilan teleponku hanya dijawab sunyi, pesan singkatku menguap tanpa balasan. Kecemasan merayap, pikiran liar berkejaran. Ke mana dia? Apakah dia baik-baik saja?

Hari ketiga, akhirnya telepon genggamku bergetar. Nama suamiku terpampang di layar. "Halo, Mas?" suaraku bergetar.

"Iya, Sayang," jawabnya. Lega sejenak membanjiri dada, setidaknya dia masih hidup.

"Mas di mana? Kok gak p**ang-p**ang?" tanyaku, berusaha menyembunyikan nada curiga.

"Aku lagi di luar kota, dapat tugas dari kantor," jawabnya enteng.

"Tugas apa?" cecarku.

"Rahasia perusahaan, Sayang. Nanti kalau sudah beres, aku ceritain," jawabnya.

"Mas, aku khawatir. Boleh video call?" pintaku.

"Boleh," jawabnya tanpa ragu.

Segera layar ponselku menampilkan wajah suamiku. Dia tersenyum, melambaikan tangan. Hatiku sedikit tenang melihatnya sehat. Namun, mataku menangkap sesuatu di meja rias di belakangnya. Sebuah catokan rambut warna hitam. Jantungku berdegup kencang.

"Mas, itu apa di belakangmu?" tanyaku, menunjuk ke arah catokan.

Dia menoleh, lalu terdiam sejenak. "Oh, itu... Anu... Fasilitas hotel," jawabnya gugup.

"Fasilitas hotel? Sejak kapan hotel menyediakan catokan rambut?" tanyaku, nada suaraku meninggi.

"Mungkin hotel ini beda, Sayang," jawabnya, keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Aku segera membuka Google, mencari informasi tentang fasilitas hotel. Tak ada satu pun artikel yang menyebutkan catokan rambut sebagai fasilitas standar. Kecurigaanku semakin kuat. Air mataku mulai mengalir.

"Mas, jujur saja. Ada perempuan lain di situ, kan?" suaraku tercekat.

Dia terdiam, tak mampu menatap mataku.

"Aku gak nyangka, Mas. Selama ini aku percaya sama kamu. Tapi kamu malah mengkhianatiku," isakku pecah.

"Maaf, Sayang," lirihnya.

"Gak ada maaf untuk pengkhianatan, Mas. Aku mau kita cerai," ucapku tegas.

Sambungan video call terputus. Aku terduduk lemas, hatiku hancur berkeping-keping. Benda kecil berwarna merah muda itu telah merenggut kebahagiaanku.

22/08/2024

Sekarang mah nonton berita-berita politik, gak usah pake hati. Anggap saja hiburan tontonan seru. Mereka itu orang orang yang sedang berusaha cari duit.

Melihat politik dengan cara seperti itu bisa mengurangi stres dan membuat kita lebih menikmati prosesnya. Toh, pada akhirnya, banyak dari mereka memang sedang berusaha mencari nafkah dan mengamankan posisi mereka. Kita sebagai penonton bisa lebih santai dan fokus pada sisi hiburannya, seperti drama, strategi, dan retorika yang mereka gunakan.

21/08/2024

KEMANA NODA INI AKAN KUBAWA
Bab 2
DOKTER BRAMANDARU

Pagi-pagi sekali Kirana sudah bangun. Hanya sebentar ia sempat tertidur. Segera ia shalat subuh. Ia tidak mandi karena tubuhnya terasa panas dingin. Setelah berkemas, ia segera menuju meja resepsionis untuk check-out.

“Ngga sarapan dulu, Mbak? Setengah jam lagi restoran untuk sarapan pagi sudah dibuka,” ujar petugas resepsionis dengan ramah. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada tamunya itu. Tapi melihat kondisinya sungguh memperihatinkan. Semalam dia juga yang melayani ketika Kirana check-in.

Kirana menggeleng sambil menyelesaikan pembayaran.

“Maaf, Mbak terlihat kurang sehat. Kalau Mbak mau berobat, bangunan ketiga sebelah kiri hotel ini ada tempat praktek dokter umum. Petugas hotel bisa membantu mengantar Mbak kesana. Tapi nanti bukanya sekitar jam tujuh pagi. Mbak istirahat dulu saja di kamar, nanti ada petugas hotel yang akan menyamperi ke kamar.”

Sejenak Kirana termangu. Ia memang harus berobat. Tubuhnya betul-betul terasa remuk. Kepalanya pun nyut-nyutan. Tapi ia harus segera pergi. Firasatnya mengatakan bahwa Arka atau keluarganya akan mencarinya.

“Terima kasih, Mas. Biar saya sendiri saja ke tempat dokter. Saya tunggu di sana saja.”

Melangkah terseok dengan tubuh terasa sakit dan meriang, Kirana berjalan menuju tempat praktek dokter sesuai informasi dari petugas hotel tadi. Dan ia harus menunggu di teras karena tempat itu belum buka.

Dokter Bramandaru, seorang dokter muda yang baru menyelesaikan pendidikan spesialis jantung. Sudah lama membuka praktek umum di rumahnya dekat hotel tersebut. Kedatangan Kirana pagi itu ke ruang prakteknya menarik perhatian dokter muda itu. Seorang gadis dengan outfit mahal melekat di tubuhnya menggeret sebuah travelling bag ukuran sedang yang juga dari merek ternama, datang dengan wajah babak belur dan tubuh demam tinggi. Ia sempat mencandai gadis yang mendaftar dengan nama Nana itu.

“Habis tawuran, Mbak?” Kirana melotot mendengar pertanyaan dokter itu.

“Iya, kenapa? “ Ketus Kirana.

“Kalah ya?”

“Iya, kenapa ? Mau bantu saya tawuran biar menang?”

“Saya ngga s**a tawuran. Saya pencinta damai. Saya bantu ngobatin saja, ya.” Dokter Bramandaru memberikan sekantong obat-obatan pada Kirana serta menjelaskan cara pemakaiannya.

“Maaf, Mbak. Kalau ini akibat dari KDRT saya sarankan Mbak lapor pada polisi. Luka-luka pada tubuh Mbak cukup serius.” Kirana menggeleng.

“Tidak perlu. Terima kasih, permisi.”

Itulah awal perkenalan Kirana dengan dokter Bramandaru.

Kirana sudah selesai diperiksa dokter dan sudah selesai membayar di kasir. Ketika mau melangkah keluar Kirana terkejut melihat Arkatama dari balik jendela kaca datang ke klinik tersebut dengan mengendara sepeda motor bersama Mang Husin, sopir keluarga itu. Mungkin tadi ia sudah ke hotel dan dapat iinformasi bahwa Kirana ke klinik ini. Spontan Kirana kembali masuk ruang praktek dokter Daru.

“Dokter, tolong sembunyikan saya. Jangan beritahu orang itu kalau saya ada di sini. Tolong, Dokteeerr...! Kirana panik sekali.

Bramandaru menatap Kirana. Wajah gadis itu memucat, suara dan tubuhnya bergetar saking ketakutan. Naluri sebagai seorang dokter yang harus menolong orang membuat ia segera menarik Kirana masuk ke dalam rumahnya yang berada di bagian belakang klinik itu. Dibantunya membawakan tas pasiennya itu sebab dilihatnya gadis itu sudah tak bertenaga. Ia membawa Kirana ke sebuah kamar tidur.

“Kamu istirahatlah di sini. Tunggu sampai saya datang.” Dokter itu segera keluar. Dan Kirana langsung mengunci pintu. Ia takut kalau Arka menerobos masuk mencarinya.

Kirana baru membukakan pintu ketika satu jam kemudian Dokter Bramandaru mengetuk pintu. Sepertinya ia sudah selesai praktek pagi itu. Ia kembali memeriksa kondisi Kirana.

“Mau saya bantu menghubungi keluargamu ?” Tanya dokter Daru ketika ia akan berangkat ke rumah sakit tempat biasa ia bertugas.

“Tidak, terima kasih. Keluarga saya jauh di luar p**au. Saya tidak mau merepotkan mereka. Saya mau pamit saja. Terima kasih Dokter sudah membantu saya.” Kirana mencoba untuk bangun. Tapi ia merasa pandangannya berkunang-kunang dan kepalanya berat sekali.

“Kondisi kesehatanmu sangat buruk. Istirahatlah di sini dulu. Atau mau saya antar, kemana?” Kirana menggeleng.

“Kalau begitu istirahat di sini. Saya mau kerja ke rumah sakit dulu. Nanti malam baru p**ang. Di rumah ini saya tinggal sendiri. Tapi ada Bi Atih biasa datang pagi dan p**ang bila sudah selesai mengurus rumah. Saya akan minta dia menemanimu sampai saya p**ang. Kalau butuh sesuatu bilang saja sama Bi Atih, ya.”
***

Klinik dokter Bramandaru sederhana sekali. Hanya ada ruang tunggu, ruang suster untuk pendaftaran merangkap kasir. Lalu di sebelah kiri ada sebuah kamar tempat Dokter Bramandaru menerima pasien. Ketika Arka tiba di situ ia melihat seorang gadis hendak masuk ke ruang praktek segera ditahannya, “maaf, saya ada perlu penting. Kamu tunggu dulu di luar.” Arka yakin sekali Kirana berobat pada dokter ini seperti yang disampaikan petugas hotel tadi padanya.

Gadis itu merengut tidak s**a, tapi terpaksa mengalah demi melihat wajah keruh tapi tampan itu.

“Pak, mendaftar dulu!” Teriak suster yang jaga. Tapi Arka tak peduli. IA menerobos masuk ke ruang dokter. Di ruang itu hanya ada dokter seorang diri. Tak ada Kirana. Diam-diam dokter Daru bersyukur bahwa ia kembali ke ruangannya tepat waktu yaitu sebelum Arka masuk ruangannya. Ia terkejut melihat yang menerobos masuk ruangannya ternyata Arkatama, putra Alfian pemilik perusahaan terkenal di Kota Bandung. Meski tak mengenal secara pribadi, tapi Daru tahu tentang anak orang kaya itu.

“Pagi, Dokter.” Rupanya Arka masih ingat untuk memberi salam. Bramandaru menyilahkan Arka duduk.

“Dokter, apakah tadi ada seorang pasien wanita bernama Kirana datang ke sini?”

“Ya ada, tapi sekarang sudah pergi. Ia sudah selesai berobat.”Mendengar jawaban itu Arka segera mengambil ponselnya.

“Mang Husin, coba cari di sekitar sini, Kirana baru saja selesai berobat di sini tadi. Mungkin ia masih berada di sekitar tempat ini.” Arka menutup pembicaraannya.

“Dokter, bagaimana kondisi dia tadi?” Terlihat betapa Arka sangat kuatir.

“ Maaf, Anda apanya pasien?”

“Saya keluarganya. Kirana menghilang dari rumah. Saya dapat informasi dia berobat ke sini tadi.” Melihat wajah cemas Arka hampir saja Daru berterus terang. Tapi terbayang wajah ketakutan pasiennya tadi dan Daru sudah berjanji akan menyembunyikannya dari Arka.

“Kondisi gadis itu sangat memprihatinkan. Ia demam tinggi dan banyak luka lebam di wajah dan tubuhnya. Saya sudah menyarankan untuk dirawat di rumah sakit, tapi ia menolak. Ia seperti terburu-buru pergi tadi.” Arka mengepalkan tangannya. Terlambat ia datang. Kemana Kirana pergi? Ia tak punya siapa-siapa di kota ini.

Papanya sudah meminta orang suruhannya untuk mencari di bandara, terminal bis, dan stasiun kereta api. Semoga Kirana bisa segera ditemukan.

“Terima kasih, Dokter. Kalau nanti ia kembali berobat ke sini tolong hubungi saya. Kami tidak mau kehilangannya. Kami sangat mengkhawatirkannya. Ia tidak biasa keluar sendirian.” Arka mengulurkan kartu namanya. Daru menerimanya seraya mengangguk.
***

Ketika Bramandaru p**ang malam itu Kirana masih demam. Malam itu Kirana dipaksa menginap di rumahnya oleh dokter Bramandaru. Kirana terpaksa setuju. Tubuhnya terasa tak berdaya dan ia juga tak punya tempat untuk p**ang.

Karena sudah ditolong oleh si dokter yang baik hati itu, maka mau tak mau Kirana menceritakan sedikit tentang dirinya pada dokter itu. Kirana hanya mengatakan bahwa dirinya adalah mantan karyawan perusahaan Alfian’s Group cabang Padang. Kedatangannya ke Bandung adalah atas undangan keluarga bos nya untuk suatu pekerjaan.

“Sampai seorang Arkatama, salah satu pewaris bisnis Alfian’s Group mencari sendiri dirimu berarti ada sesuatu hal penting yang sudah kamu lakukan?” Tajam pertanyaan si dokter. Kirana diam menunduk. Ia mengerti kecurigaan si dokter tersebut. ‘Yang aku lakukan hanyalah pergi jauh dari mereka,’ bisik hatinya.

“Masalah keuangan perusahaan?” Daru bertanya lagi. Kirana cepat menggeleng.

“Kamu membocorkan rahasia perusahan?” Menyakitkan sekali tuduhan si dokter ini.

“Dokter, saya tidak pernah melakukan hal-hal buruk, apalagi tindak kriminal. Selain karyawannya saya juga kekasih Arkatama. Sebentar lagi kami akan menikah. Tiga hari yang lalu kami berdua dari Padang datang kesini karena dipanggil oleh orang tuanya. Terjadi suatu hal yang membuat saya memutuskan untuk melepaskan diri dari Arka. Tentang alasannya biarlah hanya saya dan Tuhan yang tahu. Satu kata, saya tidak ingin lagi bertemu dengan Arkatama maupun keluarganya. Untuk itu saya rela kehilangan pekerjaan saya di perusahaan itu walau gaji saya di sana sangat memuaskan.” Pelan tapi tegas suara Kirana.

Bramandaru tak mendesak lagi. Pasti sudah terjadi sesuatu yang dahsyat sehingga gadis ini meninggalkan sultan dari keluarga Alfian itu, pikir Bramandaru. Padahal di luar sana banyak gadis yang berharap menjadi menantu keluarga Alfian. Di Bandung siapa yang tidak tahu keluarga Alfian, pemilik jaringan bisnis besar, Alfian’s Group. Dengan dua pangeran tampan pewaris bisnis tersebut. Arkatama putra sulungnya dikenal luas oleh masyarakat. Sedang adiknya lebih tertutup.

Tiga hari Kirana beristirahat di rumah Dokter Bramandaru. Meski belum pulih benar Kirana memaksa untuk pamit. Tak enak tinggal berdua saja di rumah dokter itu. Takut ada fitnah. Dan selama tiga hari ini ia coba memikirkan kemana dirinya akan pergi. Tapi ia belum menemukan jalannya. Tubuh yang masih sakit serta guncangan batin akibat perbuatan Rhaf membuat otaknya belum bisa diajak berpikir serius. Tapi hari ini ia harus pergi dari rumah Dokter Bramandaru dan harus segera meninggalkan kota Bandung.

“Kamu bilang kamu baru resign dari Alfian’s Group. Dan ngga punya keluarga di sini. Kemana kamu akan pergi?” Kirana terdiam ditanya seperti itu. Sorot matanya terlihat gelisah. Dokter Bramandaru menatapnya dengan iba. Mereka memang baru kenal tiga hari ini. Tapi melihat sosok Kirana serasa ada yang menjawil hati dokter muda dan tampan itu. Gadis itu cantik dan terlihat cerdas, ia selalu bersikap rendah hati dan sederhana. Tutur katanya sopan dan juga taat beribadah. Calon istri ideal. Eh...Dokter!

“Kamu mau ngga kerja di restoran? Istri teman saya punya restoran di Jakarta. Belum lama ini ia bilang butuh pegawai untuk jadi kasir. Tapi gajinya tentu tak sebesar di Alfian’s”

“Benar,Pak dokter? Soal gaji saya nggak masalah. Yang penting saya punya pekerjaan.” Ujar Kirana penuh harap. Sudah tiga hari Kirana membiarkan dirinya dalam kesedihan, kemarahan dan kecemasan. Cukup sudah! IA harus mulai menata diri dan hari esoknya, hidup harus terus berlanjut. Sebuah harapan sudah ditawarkan oleh Dokter Daru. Kini saatnya Kirana memulai. Tutup lembaran lama, buka buku baru.

“Kalau kamu setuju, besok pagi saya antar kamu ke Jakarta menemui Maura pemilik restoran tersebut. Maura istri dari Dokter Ardian, sahabatku sejak kami masih kuliah dulu. Tapi ada syaratnya....”
*****

Satu bulan jelang pernikahannya, Kirana dinodai secara paksa oleh Rhafasya, calon adik iparnya yang juga sahabat tebaikn...
19/08/2024

Satu bulan jelang pernikahannya, Kirana dinodai secara paksa oleh Rhafasya, calon adik iparnya yang juga sahabat tebaiknya di kampus. Dengan hati hancur Kirana membatalkan pernikahan tersebut. Ia tak ingin mempersembahkan dirinya yang sudah ternoda pada Arkatama, calon suami yang sangat dicinta dan mencintanya. Ia memilih pergi menghilang agar kedua kakak beradik itu tidak berseteru karena dirinya.

Namun setelah ia pergi, ternyata bukan hanya noda yang dibawanya, ada janin yang tumbuh di rahimnya. Kirana panik. IA tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Apa yang harus dilakukan Kirana? Meminta Arka tetap menikahinya atau minta pertanggungjawaban Rhaf, adik Arka? ***

KEMANA NODA INI AKAN KUBAWA
Bab 1
TEGANYA KAMU, RHAF!

“Braakk...!”

Pintu terbuka. Kirana merasa itu malaikat penyelamat yang datang menyelamatkan dirinya. Sejak tadi ia menjerit, tapi mulutnya disumpal entah dengan kain apa sehingga suaranya tertahan di tenggorokan. Kedua tangannya diikat. Begitu juga kedua kakinya diikat. Tadi ia sudah mencoba melawan, meronta. Tapi tamparan keras hinggap di pipinya. Terasa panas dan perih. Kedua kupingnya sampai berdenging. Ketika ia coba menendang dengan kaki yang terikat, beberapa pukulan pun hinggap di tubuhnya. Membuat tulang-tulangnya serasa remuk. Di saat dirinya sudah tak berdaya, Rhaf dengan leluasa menari-nari di atas tubuhnya melampiaskan hasrat iblisnya. Merenggut mahkota yang selama ini sangat dijaganya.

“Astagfirullahaladziiim...apa yang kamu lakukan, Rhaf?” Terdengar suara Bu Firda, mamanya melengking. Tapi Rhaf tak peduli. Ia tetap melanjutkan akitifitasnya, entah untuk yang keberapa kali. Mulutnya tak henti menyebut nama Ray sambil mendesah nikmat.

Sekuat tenaga mamanya menarik tubuh Rhaf sampi terguling ke lantai. Pemuda itu tergeletak lemas kehabisan tenaga. Mama segera melepas tali yang mengikat kaki dan tangan Kirana. Diberikannya selimut pada gadis itu dan dibantunya Kirana untuk duduk. Ia memeluk calon menantunya itu, tapi Kirana menolak. Dengan terseok-seok ia melangkah keluar dari kamar itu, turun ke lantai bawah ke kamar yang ditempatinya sejak ia berada di kota itu dengan tubuh berbalut selimut. Tak dihiraukannya Pak Alfian, calon ayah mertuanya yang menyapanya saat berpapasan di tangga. Begitu juga dengan bibi yang bergegas naik karena mendengar teriakan majikan perempuannya barusan. Kirana segera mengunci pintu kamarnya.

Serasa luluh lantak tubuhnya. Sakit di mana-mana. Apalagi organ intimnya, terasa sangat perih sekali. Tapi lebih sakit lagi hatinya.

Kirana beringsut masuk ke kamar mandi. Diputarnya kran shower. Dibiarkannya air dari shower yang dingin mengguyur sekujur tubuhnya. Dituangnya shampo ke rambutnya. Dituangnya sabun cair ke tubuhnya banyak-banyak sehingga buih memenuhi lantai kamar mandi mewah itu. Kirana berharap air dan sabun itu mampu menyembuhkan rasa sakit di tubuhnya. Ia berharap guyuran air dan busa yang banyak itu mampu membersihkan dirinya dari noda yang sudah ditimpakan Rhaf padanya tadi. Sampai menggigil tubuhnya diguyur air. Udara sejuk kota Bandung sore itu membuat rasa dingin semakin menggigit.

Tiba-tiba Kirana ingat sesuatu. Ia harus segera pergi dari rumah itu. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun. Segera dimatikannya kran air. Dikeringkannya tubuhnya dan bergegas ia berpakaian.

Dikumpulkannya semua pakaiannya yang hanya beberapa lembar dan barang-barang pribadinya. Dimas**annya ke dalam sebuah travel bag yang tempohari dibawanya dari Padang. Tak banyak barang-barangnya, karena sejak awal Kirana dan Arkatama calon suaminya berencana hanya sekitar satu minggu di Bandung di rumah orang tua Arka. Mereka diminta datang karena Rhafasya adik Arka yang juga sahabat Kirana sedang sakit.

Mereka tidak bisa berlama-lama meninggalkan kota Padang. Karena pekerjaan di kantor tak bisa ditinggal terlalu lama. Begitu juga Arka, disamping memimpin perusahaan keluarganya di Padang ia juga menjalani profesi sebagai dosen di sebuah universitas di kota Padang. Jadwal mengajarnya cukup padat. Lagi p**a mereka masih harus menyelesaikan beberapa hal persiapan pernikahan mereka di Padang yang tak lama lagi.

Setelah barang-barangnya terkumpul dalam tas, Kirana mengintip dari celah pintu. Terlihat ruangan sepi, tak ada siapa-siapa. Arka yang tadi pagi ikut papanya ke kantor yang merupakan kantor pusat di Bandung mungkin belum p**ang. Tapi dari lantai atas terdengar suara gaduh, sepertinya dari kamar tidur Rhaf, tempat ia tadi dinista.

Mumpung sepi, bergegas Kirana keluar. Otaknya tak mampu berpikir apapun, yang terlintas hanya satu yaitu segera meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun saat itu. IA tidak mau bertemu Arkatama, calon suaminya, tak mau bertemu Bapak Alfian dan Ibu Firda calon mertuanya. Terlebih lagi ia tidak mau bertemu dengan Rhafasya, sahabat yang sudah tega menghancurkan kehidupan Kirana. Padahal sebulan lagi Kirana akan menikah dengan Arkatama. Semua persiapan untuk itu hampir rampung. Aaarghh....

Sebuah ojeg melintas. Kirana segera memanggilnya dan tanpa menawar ia segera naik.

“Mau kemana, Teh?” Tanya abang ojeg ketika mereka sudah jalan.

Kemana? Kirana juga tak tahu ia harus kemana. Ia baru pertama kali datang ke Bandung dan baru dua hari berada di kota itu. Ia tak punya kenalan sama sekali di kota itu. Sedangkan hari sudah menjelang senja.

“Ke Trans Mall, Bang.” Hanya nama itu yang teringat olehnya. Kirana sendiri tidak tahu di mana mall itu berada. Ia hanya tahu nama mall itu dari iklan di televisi yang sering ditontonnya.

Ternyata cukup jauh dari rumah kediaman keluarga Alfian. Kirana membayar sesuai yang diminta si abang ojek. Sambil menahan sakit di tubuhnya ia duduk di halte. Bingung tak tahu mau kemana.

Lama-lama duduk sendirian dengan bawaan tas pakaian yang cukup besar Kirana merasa tak nyaman karena beberapa orang menatapnya dengan pandangan aneh. Ia tidak menyadari pipinya yang bengap dan bibirnya yang jontor akibat ulah Raf tadi. Ia tak sempat bercermin sebelum pergi tadi.

Akhirnya ia menyetop sebuah angkot entah jurusan mana, Kirana tak peduli. Toh ia juga tak tahu apa-apa tentang kota itu. Cukup lama ia berada di angkot tersebut dengan pikiran kosong.

“Neng mau kemana, sih? Ini trayeknya habis sampai di sini. Saya mau putar balik ke tempat tadi.” Si abang sopir bertanya karena melihat penumpangnya itu masih belum turun.

“Ee...iya, Bang. Saya lagi mencari alamat tapi belum ketemu. Mungkin tadi kelewat. Saya ikut lagi saja, Bang. Mudah-mudahan nanti ketemu. Nanti saya bayar full ongkosnya.”

Ketika angkot melewati sebuah hotel bintang dua atau bintang tiga, entahlah, Kirana minta berhenti. Ia harus mengistirahatkan tubuhnya. Hotel itulah pilihannya. Hari semakin malam, berkeliaran sendirian di kota yang asing itu bisa menimbulkan masalah baru nantinya. Tubuh dan jiwa boleh babak belur, tapi akal sehat tetap harus jernih. Makanya Kirana memutuskan untuk menginap di hotel malam itu.

Sebelum memasuki hotel itu terlebih dahulu ia mengambil sejumlah uang di mesin ATM pada sebuah minimarket di seberang hotel tersebut. Ia butuh uang tunai yang banyak untuk bekalnya nanti. Tapi setelah mengambil uangnya ia baru sadar, apabila Arka mencarinya maka transaksi nya barusan bisa menjadi petunjuk tentang keberadaannya. Berarti pagi-pagi sekali besok ia harus meninggalkan hotel tersebut. Entah kemana. Yang penting malam ini ia bisa istirahat dulu. Tubuhnya sakit semua.

Setelah berada di kamar hotel, ia memesan makanan melalui room service. Meski dia merasa tidak punya selera makan, tapi ia harus makan. Tubuhnya harus sehat, sebab esok entah kemana perjalanan akan ditempuhnya.

Membaringkan diri di tempat tidur hotel itu, tak lantas membuatnya bisa segera tidur p**as. Rasa sakit di sekujur tubuhnya terasa sangat menyiksa. Ia tidak punya obat apapun untuk meringankan sakitnya. Biarlah, besok pagi saja ia akan membeli obat.

Sedari tadi ponselnya tak berhenti berdering, Kirana mengacuhkannya. Tapi karena masih terus berdering Kirana meraih ponsel itu dari dalam tasnya. Dilihatnya panggilan entah berapa puluh kali dari Arka, dari mamanya juga dari papanya. Dan beberapa pesan Arka di aplikasinya menanyakan keberadaannya. Kirana segera mematikan ponselnya dan mengeluarkan SIM Card nya. Ia akan menggantinya besok dengan nomor baru.

Ia sudah memutuskan tidak mau lagi bertemu dan berhubungan dengan keluarga itu. Pernikahan yang sudah di ambang mata, pupus sudah. Mimpi indah mewujudkan cintanya dengan Arka dalam mahligai rumah tangga kandas sudah. Tak ingin ia mempersembahkan dirinya ang sudah ternoda pada kekasihnya itu. Kirana akan pergi membawa noda yang sudah melekat di tubuhnya. Walau tak tahu entah kemana noda ini akan dibawanya.

Semoga Arka segera melupakan dirinya dan menemukan gadis yang lebih pantas jadi pendampingnya. Semoga Rhaf segera bertemu dengan Ray kekasihnya dan bahagia bersama. Semoga kedua sultan dari keluarga Alfian itu segera melupakan Kirana. ‘Tuhan, tolong hapus dari ingatanku bahwa aku pernah punya kekasih, cinta pertamaku Arkatama. Agar aku tak rindu padanya. Tolong juga agar aku bisa melupakan seorang sahabat terbaik bernama Rhafasya, agar aku tak menyimpan dendam padanya. Biarkan kami saling melupakan.’

Semalaman Kirana menggigil karena demam. Luka-lukanya terasa perih menggigit.

******

Address

Depok Dua Timur

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rumah Novel posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share