30/09/2024
MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA
https://play.google.com/store/books/details?id=JWslEQAAQBAJ
Bab 1
***
[Mas, hari ini p**ang jam berapa? Makanan dan kue ulang tahunnya udah siap]
[Mas, aku nunggu kamu. Aku nggak makan kalau kamu belum datang]
Netra elang Gavin memicing saat menangkap pesan dari Kania-istrinya.
Rupanya pesan itu dikirim dari jam tujuh malam. Waktu dimana Gavin memilih-milih hotel mana yang akan ia booking untuk menghabiskan waktu bersama Aline.
Dan sekarang sudah pukul tiga subuh. Tak terhitung juga jumlah panggilan tak terjawab dari istrinya.
Puluhan. Bahkan mungkin ratusan kali Kania melakukan panggilan setelah pesan yang ia kirimkan tak berbalas sama sekali.
Bagaimana mungkin Gavin bisa membalas pesan itu, bila dirinya tengah sibuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke lima tahun bersama wanita masa lalu yang pernah ia janjikan kebahagiaan.
Disaat Kania menunggu di rumah dengan sibuknya memasak bermacam makanan kes**aan lelakinya ini, yang ditunggu dengan penuh kesabaran dan kesetiaan malah sibuk menunggu wanita lain.
Gavin sibuk menunggu Aline selesai dari salon kecantikan.
"Aku nyalon dulu, Mas. Biar kamu makin sayang," katanya di telepon.
Tentu saja bukan salon murah yang didatangi, tapi salon mahal yang biayanya tentu ditagihkan ke Gavin.
"Ya. Yang cantik ya!"
"Aku bikin mulus semua, Mas. Kamu kan s**a kalau bersih."
Si wanita menggoda manja dan membuat kekehan Gavin berakhir dengan geraman hasrat yang tak tertahankan.
Gavin menarik nafas panjang. Membaca sekali lagi pesan itu. Lalu memilih mematikan ponsel tanpa berniat membalas pesan dari istrinya.
Dimatikannya ponsel itu lalu menaruhnya kembali di atas nakas. Setelahnya ia memilih masuk kedalam selimut. Namun pikirannya yang tiba-tiba bercelaru membuatnya memilih membuang selimut itu dan membangunkan Aline yang terlelap lelah setelah pertempuran mereka semalam.
"Nakal kamu, Mas. Aku masih ngantuk," rengeknya manja pada lelaki beristri ini.
Namun Gavin yang kadung bir4ahi kembali mengulang kegiatan panas itu.
Hingga berkali-kali membuat peluh keduanya jatuh satu-satu.
Gavin mengulang kisah asmaranya subuh ini bersama kekasih lama yang tetap setia menunggu janjinya. Sementara Kania harus terbangun dengan perut keroncongan setelah tertidur di meja makan menunggui suaminya yang melanglang buana ke nirwana bersama wanita lain.
***
“Ya Allah, sudah subuh saja.”
Kania mengusap wajah. Menatap jam dinding yang berdentang empat kali. Tak sadar ia tertidur di sofa ruang tengah menunggui suaminya yang tak kunjung p**ang.
Ditatapnya kue ulang tahun yang tertancap lilin berbentuk angka lima. Lilin yang yang belum di bakar namun sudah padam cahayanya.
Seperti rasa kecewa yang menusuk hati.
Bukan sekali-dua kali Kania harus menelan kecewanya atas ketakp**angan Gavin.
Namun alasan lembur dan banyak kerjaan menjadikan Kania bisa menerima dengan lapang dada.
Usaha peninggalan mertuanya yang diteruskan oleh suaminya sebenarnya tak terlalu besar menurut Kania. Namun, ia percaya saja bila suaminya memberi alasan.
Bertahun-tahun Kania dibohongi dan dibodohi dengan pernikahan yang semakin tawar rasa indahnya. Namun, wanita miskin tetap sabar dan tabah menerima.
“Kalau, Mas Gavin udah nggak nyaman sama aku, beri tahu aku, Mas. Biar aku memperbaiki diri.”
Namun senyum kecut yang Gavin berikan, seolah menjadi penghibur bila dirinya masih dibutuhkan dalam singasana suaminya ini.
Ada hati yang terbagi. Ada cinta diam-diam dijalin suaminya di belakang Kania. Entah ia tahu atau hanya pura-pura tak tahu. Namun Kania tetap sabar menggenggam luka dan rindunya yang diam-diam makin hari menggerogoti hati dan perasaannya.
Kania mengambil gawai miliknya yang bercasing mawar hitam dari atas sofa. Mengecek aplikasi pesan. Berharap ada balasan permohonan maaf yang dikirim Gavin untuknya.
Namun, sekali lagi Kania hanya menelan saliva kecewanya. Netranya bahkan berembun saat melihat semua pesan rindu dan khawatirnya berubah jadi centang biru namun tak ada balasan sama sekali.
Meski kecewa merajai, tapi rasa khawatir tetap mengintip.
“Apa mas Gavin sakit. Kok nggak dibalas.”
Tak pernah seperti ini. Walau beberapa bulan ini suaminya nampak semakin menjauh. Minimal Gavin tetap memberi kabar bila tak p**ang.
Lalu Kania coba menghubungi sekali lagi. Namun malangnya, telinga tak bergiwang itu hanya mendengar jawaban operator dari seberang sana.
Suara azan subuh dan gerimis halus yang turun dengan syahdunya di dini hari yang kelam ini membuat Kania terburu ke kamar mandi, membersihkan diri lalu mengambil wudhu untuk menunaikan dua rakaat kewajibannya.
Kania khusu’ tengadah pada sang khalik. Memanjatkan do’a yang indah untuk pernikahannya juga do’a indah dan keselematan untuk suaminya di tempat yang tak ia lihat sekarang ini.
Kania mendo’akan lelakinya yang sibuk meraup udara setelah sekali lagi membuat selingkuhannya menjerit puas dan terkapar di atas pembaringan hotel yang cukup mahal tarifnya.
Kania mendo’akan kekekalan pernikahannya, sementara Gavin dan wanita gelapnya sedang merencanakan hal indah yang menjadi rahasia mereka.
“Aku nggak mau hubungan kita hanya sebatas ini, Mas. Kita udah sejauh ini. Aku juga butuh komitmen kamu seperti di awal dulu.”
Aline-nama si wanita gelap. Ia merajuk manja sambil menyandarkan kepala penuh mesra di dada bidang milik suami wanita lain ini.
“Apa maumu, Sayang?” tanya Gavin sambil mengecup kening ya telah ia buat berkeringat sesubuh ini.
“Aku mau dinikahi, Mas!”
“Mau jadi istri kedua?”
“NGGAK!”
“Lalu?” tanyanya lagi sambil memaikan selimut putih yang menjadi penutup tubuh keduanya.
“CERAIKAN ISTRI KAMPUNGANMU ITU!”
“Oke, Sayang,” balas Gavin mantap lalu kembali memeluk dan mengulang sekali lagi permainan terlarang penuh bir4hi dengan perempuan yang telah menjadi racun dalam rumah tangganya.
***
Bukan uang sedikit yang telah Gavin hamburkan untuk perempuan simpanannya ini.
Banyak. Bahkan jauh lebih banyak yang ia keluarkan untuk kebutuhan Aline daripada yang ia berikan untuk Kania.
Uang yang ia berikan pada Aline, jelas untuk perempuan itu gunakan sendiri. Merawat badan, membeli aset impian dan juga berlian sebagai simpanan di hari kemudian menjadi muara uang-uang yang ia berikan untuk gundiknya itu.
Sementara uang lima juta jatah yang ia berikan untuk Kani, digunakan oleh istrinya itu untuk kebutuhan rumah tangga.
Bayar listrik, air dan uang lauk pauk hari-hari Kania ambil dari jatah yang Gavin berikan. Untuk gaji bibi yang membantu di rumah, Gavin langsung berikan sendiri. Bakan Kania hanya menggunakan skincare yang sangat murah untuk merawat wajah ayu alami miliknya.
Tentu jauh berbeda dengan apa yang Gavin berikan untuk Aline. Perempuan simpanannya itu sekali sebulan harus ke klinik kecantikan untuk melakukan perawatan mahal pada wajah dan tubuhnya. Terutama pada bagian intim yang menjadi sasaran Gavin tiap kali mereka bertemu.
“Apa sibuk banget semalam sampai nggak sempat balas pesanku, Mas?”
Kania bertanya sambil memindahkan nasi dari ricecooker ke atas piring makan untuk Gavin. nasi putih, capcay dan ayam kecap yang Kania siapkan dari semalam, terpaksa harus ia panaskan lagi. Kecuali capcay kes**aan Gavin, buru-buru Kania masak ulang. Satu porsi saja untuk Gavin.
“Ya. Sibuk banget,” jawab Gavin sambil makan begitu lahap. Lapar sekali sepertinya. Bahkan hampir saja tersedak makanan yang ia telan barusan.
“Pelan-pelan aja makannya, Mas!” Kania menyodorkan air minum dalam gelas bertangkai yang hanya ia gunakan khusus untuk Gavin.
Perlatan makan yang Gavin gunakan, Kania pisahkan sendiri. Piring, gelas minu, gelas kopi dan sendok garpu khusus Gavin tak boleh digunakan selain suaminya itu, termasuk dirinya. Sebab Kania juga memisahkan sendiri peralatan makan untuknya.
Bahkan dalam angan-angan Kania, bila kelak nanti mereka dikaruniai keturunan. Ia ingin memesan piring dan gelas yang bertuliskan ‘mama papa.’
“Habis makan baru kamu potong kuenya, Mas.”
Kania mengeluarkan kue ulang tahun dari dalam kulkas. Selepas shalat subuh tadi, Kania memasukkan kembali kedalam kulkas kue berbentuk hati itu kedalam kulkas agar tekstur gulanya tetap terjaga.
“Kamu aja yang potong!” sahut Gavin tanpa menoleh pada wajah yang nampak terkejut dan juga kecewa.
Bahkan ucapan selamat dan kecupan hangat yang didamba. Tak kunjung Gavin berikan. Jujur saja, Gavin muak dengan lima tahun pernikahannya bersama gadis biasa ini. Perempuan dari desa yang menjadi pilihan ibunya sebelum meninggal.
“Kenapa gitu, Mas. Kemarin ulang tahun pernikahan, …”
“Sttt! Jangan lebay kamu. Ini udah lima tahun kita sama-sama. Aku yakin apa yang aku rasakan dalam pernikahan bias ini juga kamu rasakan, Kania!”
Gavin mengangkat telunjuk. Meminta Kania untuk berhenti berbicara. Ia tak ingin lagi mendengar keluh kesah dari istrinya. Sebab keluhan dan permintaan Aline yang lebih utama sekarang bagi lelaki ini.
Termasuk keinginan perempuan itu untuk dinikahi dan meminta Gavin menceraikan istri pertamanya.
“Maksudnya, Mas?”
Netra sendu itu sudah memerah. Menahan embun yang hamoir jatuh. Tak pernah Gavin sekasar ini. Tak pernah Gavin membentak seperti tadi.
Lalu apa yang menyebabkan lelakinya ini berubah sedemikian rupa. Apa dia ada kekurangan.
Oh, mungkin lelaki ini sudah mendamba tangis bayi. Namun Kania bisa apa bila yang kuasa belum memberikan rejekinya.
Pada beberapa kesempatan di awal-awal pernikahan mereka mungkin ada dua tau tiga kali keduanya ke dokter memeriksakan diri. Namun, kata dokter tak ada masalah pada Kania.
Kania saja yang diperiksa tidak dengan Gavin.
Kemampuannya menaklukan Kania dan beberapa wanita di masa lalu, membuat lelaki ini jumawa dengan kesuburan vitalitas lelaki yang ia punya.
“Maksudnya gimana, Mas?” Kania mengulang tanya. Menuntut jawab atas ucapan lelakinya barusan.
“Maksudnya? Aku ingin kita bercerai!”
***
“Ap-apa?”
Bagai petir di siang yang terik. Tak pernah Kania sangka bila Gavin akan mengeluarkan kalimat semelukai ini.
Hatinya yang diam-diam terluka, semakin perih dan berda-arah. Seumpama belati yang sengaja ditancapkan pada ulung hatinya.
“Aku salah apa, Mas?”
Kania yang malang. Bahkan deraian air matanya pun membuat lelakinya bukan lagi prihatin, melainkan semakin sinis nyaris jijik melihatnya.
“Aku nggak nyangka, selama ini bisa tidur dengan perempuan man-dul dan lebai seperti kamu, Kania.”
Kejam.
Sungguh kejam kalimat itu. Gavin sengaja menyabetkan luka itu agar Kania segera beranjak dari hidupnya. Dan memang perasaannya sudah begitu hambar. Hambar pada wanita yang halal ia sentuh, tapi begitu bergelora pada apa yang tak patut ia cicipi.
Bahkan ia merasa geli pernah menggauli perempuan yang terlalu sederhana ini.
Api asmara yang Aline kobarkan di atas peraduan haram itu telah berhasil meredupkan gai-rah lelaki ini pada istrinya.
“Apa ini? Kue ualng tahun? Ulang tahun apa? Pernikahan kita? Pernikahan yang nggak ada hasilnya sama sekali. Betapa naifnya kita berdua, Kania. Aku nggak pernah benar-benar menginginkan pernikahan ini. Dan kamu bohong kalau kamu nggak merasakan keterpaksaanku selama ini!”
Berapi-api Gavin mengeluarkan apa-apa yang membuatnya muak dengan pernikahannya dan Kania.
Segala macam hal tak masuk akal ia jadikan alasan.
Jujur saja, perasaan lelaki ini sedang bercelaru. Bayangan mendamba Aline padanya sungguh membuatnya tak bisa berpaling. Sementara ada rasa yang tak bisa ia ungkapkan ketika melihat wajah sendu di hadapannya ini.
“Kenapa jadi gini, Mas?”
Kania terisak-isak. Kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga membuat suaminya semurka ini. Piring kue dan sendok masih setia ia genggam. Peralatan makan yang akan ia suguhkan pada lelaki yang menyakitinya sedemikian rupa.
“Kamu mandul, Kania. Aku butuh keturunan! Dan aku memang tak pernah ada rasa padamu!”
Lagi. Gavin tikam lagi perasaan istrinya demi membuat nyaman perasaan kekasih gelapnya.
Ini yang Aline mau. Melihatnya berpisah dari Kania. Maka cinta dan gelora yang luar biasa akan ia dapatkan. Dan Gavin akan wujudkan itu.
Kisahnya dan Aline memanglah belum usai. Hanya saja, ibunya tak merestui hubungannya itu bersama anak dari lelaki yang dulu sempat membuat usaha ayahnya nyaris bangkrut.
“Astagfirullah. Nyebut, Mas. Siapa yang bikin kamu kaya gini?”
Kania masih coba bertahan. Melawan badai yang semakin dekat menggulung nuraninya yang sendiri.
Tak cinta bagaimana. Lalu kemanisan di awal-awal pernikahan mereka itu apa.
“Kita bulan madu ke Malang ya.”
“Terserah, Mas Gavin aja. Aku ikut aja,” jawabnya malu-malu setelah ijab qabul terlaksana.
Kania yang hidup sendiri setelah kematian kedua orang tuanya, tentulah bersyukur dijodohkan dengan anak pak Subroto dan bu Helena. Pemilik usaha air kemasan isi ulang tempat Kania dulu bekerja.
Dan ya, hari itu sungguh Kania merasa dicintai.
Se-ks yang Gavin tuntut padanya tiap saat dikiranya itu adalah cinta.
Hingga tahun kedua kemesraan itu tetap Gavin bangun. Bahkan berharap momongan segera hadir menyemarakkan istana kecil mereka.
“Nggak ada yang bikin aku, Kania. Tapi perasaanku memang sudah hilang padamu. Aku harap kita secepatnya berpisah. Aku nggak mau buang-buang waktu melihat wajahmu yang tak terawat itu di rumah ini!”
“Ya Allah, Mas.”
Kania luruh dalam perih pedihnya. Setega ini lelaki yang telah ia layani sedemikian rupa.
“Sudah! Jangan nangis lagi. Cengeng!”
BRAK!
“Makan sendiri kue murahan ini!”
Gavin berlalu penuh murka setelah membanting kue ulang tahun itu ke atas lantai. Bahkan sebagian manisan gula itu terciprat ke wajah basah Kania.
Dan Gavin?
Tak perduli sama sekali!
Ia meninggalkan Kania yang bersimpuh menangisi takdir hidupnya yang berubah secepat ini.
***
MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA - Ebook written by Marlinda Am. Read this book using Google Play Books app on your PC, android, iOS devices. Download for offline reading, highlight, bookmark or take notes while you read MENGUKIR KARMA DENGAN SENGAJA.