04/09/2024
KUKIRA IBU AKAN MARAH KETIKA AKU MENIKAH DENGAN PEMBANTU. TERNYATA ....
“Ngapain sih Ibu kemari? Istriku bisa marah nanti. Ibu kan tahu, Lila tak s**a dengan ibu,” desis Arif, putra sulung Bu Saima. Dia menghadang sebelum kaki tua itu bisa menginjak lantai marmer rumah mereka yang bagus.
Bu Saima baru saja dari rumah sebelah, dimana anaknya nomor dua tinggal. Namun, rumah itu sepi. Tak ada yang membukakan pintu meski dipanggil berkali-kali. Padahal, terdengar suara televisi dari dalam rumah.
“Ibu kangen sama cucu. Kalian juga tak pernah mau angkat telpon,” lirih wanita tua bergamis warna coklat itu.
Sakit, jangan tanya bagaimana rasanya hati perempuan yang sudah banyak uban itu. Ketika rindu begitu membuncah, anak-anaknya sendiri tak menginginkan kehadirannya. Jarak rumah mereka bukanlah ribuan kilometer. Mereka masih di kabupaten yang sama, hanya beda kecamatan, tapi terhitung jari kami bisa bertemu dalam setahun.
Bukan karena Bu Saima tak punya waktu untuk berkunjung, atau anak menantunya tak sempat datang ke rumah. Namun, para menantunya malu memiliki mertua miskin seperti Bu Saima. Mirisnya, anak-anak pun ikutan enggan bertemu dengan orang tuanya.
“Ibu tak akan lama kok. Menginap satu malam saja, Nak. Ibu bawa beras kok,” tutur Bu Saima lagi.
Berusaha agar tetap tenang dan tak tersinggung dengan sikap putranya yang tak berperasaan.
Sebagai kepala rumah tangga, Arif telah gagal mendidik istrinya agar bersikap baik pada orang tua.
“Bukan masalah berasnya, Bu. Lagian kami punya banyak beras yang enak di rumah.”
“Kalau begitu, izinkan Ibu ketemu dengan anakmu sebentar saja. Danil cucu pertama ibu. Dia juga mungkin kangen sama ibu,” ungkap Bu Saima penuh harap. Jika tak diizinkan menginap, minimalmya bisa bertemu cucu.
“Lila tak akan mengizinkan, Bu. Arif takut kalau sikap Lila akan semakin membuat Ibu sakit hati. Ibu tahu sendiri, aku tak berdaya untuk membela ibu,” lirih anak lelaki Bu Saima itu. Dia begitu tunduk pada istrinya dan mengabaikan orang yang menghadirkannya ke dunia ini.
Terlihat mata Arif berkaca-kaca dan buru-buru dia usap dengan jari telunjuk. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berlari meninggalkan ibunya setelah suara sang istri memanggil dengan nyaring.
Hati Bu Saima mencelos. Detak jantungnya tak beraturan. Dia mengerjapkan mata berkali-kali agar tidak sampai menitikkan air mata. Diletakkannya sekarung kecil beras hasil panen dari sawah pribadi di dekat pintu rumah yang terbilang mewah itu. Begitu juga dengan beberapa jenis sayuran kes**aan anak-anaknya. Mungkin mereka tak bisa menerima wanita tua itu, tapi jika Bu Saima telah pergi, mereka akan mengambilnya seperti yang sudah-sudah.
Bu Saima membalikkan badan, melangkah menjauhi rumah dengan cat warna putih itu. Di balik sebuah pohon besar, dia bersembunyi. Di situlah dia mengintip, menunggu untuk bisa melihat cucunya jika sedang bermain di luar.
Tak berapa lama, Lila pun keluar bersama dengan anaknya. Membiarkan anak berusia lima tahun itu bermain di teras, lalu membagi barang bawaan mertuanya tadi dengan Rina, menantu Bu Saima yang nomor dua. Benar dugaan wanita tua itu, Rina ada rumah, tapi tadi memang sengaja tak mau membukakan pintu.
Dia tersenyum miris. Tapi masih bersyukur karena menantunya tak membuang beras dan sayuran yang ditinggalkannya.
***
“Gimana, Bu? Gak diterima lagi kan sama anak-anak durhaka itu?” sergah Pak Rusdi dengan tatapan sinis begitu melihat istrinya pulang.
Bu Saima tak menjawab, langsung duduk saja di kursi teras. Suaminya memang selalu melarang untuk mengemis kasih sayang anak menantu. Mereka memang miskin, tapi tak bergantung hidup pada anak dan menantu. Biarlah hidup sederhana, tapi tak menyusahkan anak-anak.
“Ternyata lebih bahagia tak punya anak kulihat,” lirih Pak Rusdi.
Entah ke berapa kali lelaki tua ituberkata begini. Mereka memang punya tetangga seumuran yang masih lengkap dan terlihat bahagia. Mereka tak punya anak, tapi hati terlihat lebih tenang karena tak memikirkan hal lain selain hidup mereka di usia senja ini.
Sementara Bu Saima dan suami. Mereka punya anak, menantu dan cucu. Tentu ada harapan ingin bersua dan bercanda bersama. Namun, yang didapat hanya kekecewaan. Punya dua anak lelaki yang sudah menikah, tak satupun mereka bisa memberikan menantu yang bisa menerima mertuanya dengan penuh kasih.
Pak Rusdi jadi sering menyalahkan diri sendiri karena dulu menyuruh anak-anak merantau dan menemukan jodoh mereka di sana. Meski mau diajak tinggal di kampung, tapi orang-orang kota itu begitu sombong sehingga menganggap tak selevel.
“Assalamualaikum, Pak, Bu!” seru seseorang, membuyarkan lamunan. Bu Saima dan suami kompak menoleh, lalu berdiri.
“Ibuuuuu! Kangen!” seorang laki-laki muda berperawakan tinggi memeluk dengan erat.
“Azzam?” gumam Bu Saima tak percaya.
“Iya, Bu. Ini Azzam.”
“Kamu pulang, Nak?” lirih Bu Saima. Azzam putra bungsunya kerja di kota. Sudah dua tahun, tak pernah pulang. Tak satupun pasangan tua itu yang menyangka, Azzam tiba-tiba ada dalam pelukan ibunya.
“Akhirnya kamu ingat pulang juga,” ujar sang bapak sinis.
Azzam mengurai pelukan, lalu memeluk bapaknya. “Ih, cemburu ni ye. Mentang-mentang aku lebih rindu sama Ibu, “ ledek Azzam.
Pak Rusdi tak membalas pelukan anak bungsunya,tapi sebenarnya dia lebih rindu pada Azzam melebihi rindu seorang ibu. Karena ketika mereka duduk berdua malam hari, tak jarang lelaki tua itu yang memulai pembicaraan tentang anak mereka yang belum menikah itu. Berharap kalau Azzam tak akan salah pilih jodoh.
“Pak, Bu, Azzam bawa calon menantu buat kalian," ungkap lelaki berusia 26 tahun.
“Mana?” lirih Bu Saima.
Azzam memperlihatkan sebuah foto.
"Aku mengenalnya saat di kota. Untuk memastikan kelanjutan hubungan kami, dia akan datang kemari, Pak, Bu. Dia ingin mengenal calon mertuanya."
“Anak orang kaya lagi? Mending batalin,” cetus sang bapak. Ada rasa trauma saat dua anaknya menikahi gadis kota yang kaya.
“Enggak kok, Pak. Namanya Delisa, dia ini pembantu di rumah mewah. Karena dia baik, Delisa dianggap sebagai anak sendiri oleh majikannya. Delisa juga mau kok tinggal di sini. Setelah menikah, kami akan tinggal di kampung ini, menjaga Ibu dan Bapak,” tegas Azzam.
"Rendah juga seleramu, Azzam," ejek Fandi, kakak kedua Azzam yang tiba-tiba datang. Tak biasanya dia mengunjungi rumah orang tuanya. Lelaki bercambang tipis itu tertawa terpingkal-pingkal saat tahu adiknya yang sudah sarjana hanya bisa mendapatkan seorang pembantu.
"Kenapa rupanya kalau pembantu, Mas? Justru seleraku tinggi, karena aku hanya mau menikah dengan wanita yang bisa menerima kedua orang tuaku. Percuma dapat istri cantik dan kaya, tapi sopan santunnya pada mertua tak ada," pungkas Azzam. "Dan lebih memalukan, ada seorang suami yang takut pada istrinya," lanjut pemuda itu dengan tatapan sinis.
Wajah Fandi memerah. Tak menyangka kalau dia sendiri yang dibuat malu oleh adiknya.
Lanjut ndak? Tinggalkan jejak, Biar ngebut nulis nih 🤭
***
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.
Judul: MENANTU ISTIMEWA BUAT IBU
Penulis: Intan_Resa