Firma Hukum

Firma Hukum Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Firma Hukum, Social Media Agency, Perm. Panorama Blok D8, Cibinong.

29/07/2024

KETIKA ORANG PINTAR PUN MENJADI JONGOS

- Menyambut Pertunjukkan Teater di Jogjakarta: The Jongos

Denny JA

“Di Luar Oligarki, Semua Hanyalah Korban.”

Ini kalimat pembuka dari skenario teater yang mengambil judul the Jongos.

Membaca kalimat pembuka itu,
seketika saya mengembangkan imajinasi. Oligarkhi di tanah air begitu sering dibicarakan. Naskah ini mungkin kritik sosial atas praktek oligarkhi yang ada, terhadap kondisi ekonomi dan politik yang semakin didominasi oleh segelintir orang saja.

Judul The Jongos itu juga membangkitkan dugaan. Apakah pertunjukkan teater kali ini ingin membuka mata, betapa kini orang- orang pintar, intelektual, aktivis, politisi hanya menjadi The Jongos saja, menjadi babu saja dari majikan penguasa?

Sayapun membaca cuplikan awal dialog karakter di naskah itu.

KOTTO:

“Ya wajar d**g! Karena hanya orang berkuasa dan kaya yang berhak marah!”

BUSRIL:

“Tapi kita juga berhak tersinggung dan marah?”

KOTTO:

“Oh ya enggak, (pause) Hak kita hanya untuk dimarahi. Itulah kodrat jongos yang sejati. Paham?”

BUSRIL:

“Wah ya ndak bisa. Ndak bisa. Kita setara. Ini harus didobrak! Biar egaliter!”

KOTTO:

“Egaliter..egaliter ndas situ! (pause) He, kamu mesti ingat ajaran leluhur perjongosan.

Sejongos-
jongosnya Jongos yang radikal, masih lebih baik jongos yang selalu siap ditindas (tertawa).”

-000-

Naskah The Jongos ditulis oleh Indra Tranggono. Yang menjadi sutradara Isti Nugroho. Naskah dimainkan oleh Teater Dapoer Seni Djogja. Pentas teater ini untuk tanggal 10 Agustus 2024, di Auditorium, Jurusan ISI, Jogjakarta.

Pesannya memberikan kritik tajam terhadap sistem oligarki dan ketidakadilan yang merajalela. Cerita ini berpusat pada Tuan Hakim, simbol dari sistem hukum yang korup dan tunduk pada kekuasaan oligarki.

Pesan utamanya: di luar kelompok oligarki yang berkuasa dan kaya, semua orang hanyalah korban dari sistem yang korup dan tidak adil.

Skenario ini dimulai dengan Prof Dr Pras Jikmo yang memberikan jubah kepada Tuan Hakim. Itu simbol penyerahan kekuasaan.

Panggung terdiri dari tiga level yang menunjukkan hierarki sosial. Tuan Hakim di level atas. Busil serta Kotto, sebagai jongos atau pelayan, di bawah.

Lagu "Pergi Tanpa Pesan" yang dinyanyikan oleh Busil membuka cerita. Lagu itu bersuasana muram, menggambarkan ketidakadilan yang mereka alami.

Dialog antara Busil dan Kotto mencerminkan ketidakpuasan mereka terhadap sistem yang ada. Mereka berbicara tentang keadilan yang tidak pernah datang dan bagaimana mereka hanya menjadi alat bagi para penguasa.

Ketegangan meningkat ketika Tuan Hakim menunjukkan ketidakpuasannya. Hidupnya penuh tekanan dan godaan korupsi.

Prof Dr Pras Jikmo datang menekan. Kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Tak apa, meskipun itu mengorbankan integritas.

Klimaks cerita terjadi ketika Tuan Hakim menerima hadiah-hadiah dari oligarki. Hakim merasakan beban moral dan dosa. Itu hadiah atas keputusan-keputusannya yang tidak adil.

Tuan Hakim akhirnya meledakkan dirinya sendiri. Itu simbol kehancuran moral yang ditimbulkan oleh sistem korup.

Busil dan Kotto mendiskusikan nasib mereka setelah kematian tuan mereka sang hakim. Apakah mereka memilih tunduk atau menolak oligarki?

Beranikah mereka tak menjadi The Jongos bagi oligarkhi, meskipun berarti mereka harus hidup sebagai gelandangan?

Karakter-karakter dalam skenario ini, terutama Tuan Hakim, ditampilkan dengan kompleksitas moral. Terjadi pergulatan batin antara integritas dan korupsi.

Dialog yang tajam dan lucu, juga penggunaan simbolisme memperkuat pesan moral yang disampaikan.

-000-

Teater memang telah lama digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial. Ia memberikan suara kepada yang tertindas, dan mengajak penonton untuk berpikir kritis tentang isu-isu masyarakat. (1)

Membaca naskah The Jongos, saya pun teringat simbolisme dari
"The Crucible.” Naskah ini ditulis oleh Arthur Miller pada tahun 1953. Drama ini menggambarkan perburuan penyihir Salem pada abad ke-17.

Tetapi itu sebenarnya merupakan alegori untuk McCarthyism di Amerika Serikat pada 1950-an. Itu era ketika begitu banyak seniman, intelektual dan politisi yang diburu karena diduga bagian dari jaringan komunisme.

Perburuan atas para komunis (diduga) abad 20 itu mirip seperti perburuan atas penyihir (diduga) abad 17.

Miller menggunakan cerita tentang John Proctor, seorang petani yang dituduh sebagai penyihir tanpa bukti konkret. Ini untuk mengkritik paranoia yang menghancurkan kehidupan individu.

Pesan utama dari "The Crucible" adalah peringatan terhadap bahaya dari ketakutan kolektif. Ketidak adilan dapat terjadi ketika masyarakat dipenuhi kebencian plus prasangka, walau tidak berdasar.

Lalu The Jongos dan Hakim
dalam teater Indra Trenggono dan Isti Nugroho ini simbolisme dari peristiwa apakah?

Apakah hakim dalam naskah itu untuk mengeritik hakim MK yang meloloskan Gibran maju dalam Pilpres 2024? Apakah The Jongos itu sebagai kritik terhadap banyak pemikir, intelektual yang hanya menjadi babu dari majikan penguasa?

Penonton tentu dapat menjawab dan mengembangkan prasangkanya sendiri. Teater kritik sosial memang fungsinya memberi umpan bola lambung saja. Penonton sendiri yang harus melanjutkan umpan bola lambung itu. ***

Jakarta, 21 Juli 2024.

CATATAN

(1) Teater kritik sosial:

https://www.jstor.org/stable/1125047

29/07/2024

**In Memoriam Usamah Hisyam**

**MENJALANI HIDUP SEBAGAI PENULIS, POLITISI, PENGUSAHA DAN KIAI SEKALIGUS**

**Denny JA**

Mendengar wafatnya Usamah Hisyam (Jumat 19 Juli 2024), saya teringat teks japrinya di WA. Ia mengirimkan teks itu sekitar dua tahun lalu (2022).

“Bro, esai anda saya forward ke mana-mana. Ini penting bro, agar para pemuka Islam juga membaca data dan melihat fakta.”

Uka, panggilan akrab untuk Usamah, juga melampirkan esai saya yang ia forward ke mana-mana.

Itu esai saya soal hasil riset yang menabulasi negara berdasarkan tingkat korupsi dengan negara berdasarkan intensitas beragama.

Betapa di negara ini, mayoritas penduduknya menyatakan agama sangat penting. Lebih dari 90 persen mengaku agama menjadi panduan hidupnya.

Itu negara Indonesia, Irak (Islam), India (Hindu), Filipina (Katolik), dan Thailand (Budha). Tapi justru di negara yang menganggap agama penting, korupsi di negara itu sangat tinggi.

Sementara di negara Skandinavia, seperti Finlandia, Swedia, Norwegia, hanya di bawah 25 persen menganggap agama penting. Mereka tak merasa agama perlu sebagai pedoman hidup.

Tapi justru di negara yang tak menganggap agama penting, tingkat korupsi di negara itu sangat rendah. Itu negara yang bersih.

KPK pun di Indonesia membuat skala. Departemen yang paling korup justru departemen agama. Beberapa kali menteri agama masuk penjara.

Dalam esai itu saya mengajak merenung. Apa yang terjadi? Di negara yang mengelu-elukan agama, kok malah korupsi tinggi? Pop**asi di negara yang menganggap agama tak lagi penting, kok malah korupsinya rendah?

Kami pun bicara di HP. “Wah bro, anda mengasuh pesantren ya. Jadi kiai anda sekarang?” ujar saya menggodanya. Uka tertawa: “Kita mengalir saja bro. Kita kan orang-orang yang fleksibel.”

Saat itu, Usamah menjadi Pengasuh Pesantren Tahfizhul Quran (PTQ) Pondok Bambu Parung, Bogor. Ia rutin berdakwah di sana.

Usamah juga ketua umum Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Sebelumnya ia anggota Dewan Penasehat PA 212.

-000-0

Uka adalah teman keluarga. Sejak tahun 1980-an, 40 tahun lalu, ketika masa SMA dan mahasiswa, ia sering tidur di rumah keluarga dari sisi istri. Ia bersahabat sangat dekat dengan adik ipar.

Saya sendiri intens berkomunikasi dengan Uka, sejak tahun 2003. Saat itu hampir setiap saat kami berjumpa di rumah SBY di Cikeas. Bersama kami membantu SBY untuk menjadi presiden 2004-2009.

Itu era, sosok kiai Uka belum nampak. Ia masih muncul sebagai jurnalis. Ia menyelesaikan studi Ilmu Jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (STP). Sekarang sekolah itu dikenal sebagai Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Karir jurnalistiknya mulai menanjak ketika ia bekerja di majalah Pop**ar, di bawah bimbingan Pemimpin Redaksi John Halmahera. Di sana, Usamah menulis profil artis dan artikel sepakbola.

Hidupnya mulai berubah ketika Uka berjumpa Surya Paloh pada tahun 1991. Surya Paloh sedang mengembangkan Kelompok Usaha Surya Persindo.

Paloh menugaskan Usamah sebagai redaktur edisi Minggu Media Indonesia, dengan gaji tiga kali lipat dari pekerjaan sebelumnya. Uka juga menerima sebuah mobil sedan pribadi.

Sosok Uka sebagai jurnalis berkembang menjadi penulis biografi. Ia memiliki tim sendiri untuk profesi ini. Banyak buku biografi yang sudah ia tulis.

Yang saya tahu, biografi Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung, Panglima TNI Laksamana TNI Widodo AS. Jaksa Agung Andi M. Ghalib.

Termasuk juga biografi Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Juga biografi Kapolri Jenderal Pol Suroyo Bimantoro, Tifatul Sembiring, dan Surya Paloh.

Ujar Uka, “Saya tak hanya jurnalis bro. Saya juga entrepreneur di bidang penulisan. Kita mulai menjadi pengusaha dari titik ini.”

Uka juga menerbitkan beberapa majalah, antara lain Men’s Obsession. Majalah ini masih terbit hingga hari ini. Saya pernah diajaknya ke gedung yang baru dibelinya.

“Wah, anda kaya sekarang bro,” komentar saya. Ia tertawa.

-000-

Tapi Uka juga menapak hidupnya menjadi politisi. Awalnya, karena kerja jurnalis, ia intens berhubungan dengan politisi di PPP.

Uka mendapatkan kepercayaan dari Ketua Umum PPP, Buya Ismail Hasan Metareum. Ia menjadi penulis pidato Ketua Umum PPP dari tahun 1992 hingga 1998.

Usamah kemudian diangkat menjadi Ketua Departemen Penerbitan dan Media Massa DPP PPP, yang memulai karirnya di politik praktis.

Pada tahun 2002, saat Hamzah Haz menjadi wakil presiden, Usamah diangkat sebagai asisten pribadi Hamzah Haz. Dalam peran ini, ia banyak memberikan mas**an mengenai dinamika sosial politik.

Ketika SBY menjadi presiden di tahun 2004, dan sebagai Ketum Partai Demokrat, Uka sempat mengajak saya diskusi. “Bro, saya ditawari pegang DPD Demokrat provinsi Banten. Bagaimana, bro?”

Posisi Ketua DPD Demokrat Banten diambilnya. Namun tak lama kemudian, jabatan itu ditinggalkannya juga.

-000-

Usamah memang pribadi yang fleksibel. Ia mudah bergaul, lintas profesi. Tak heran, ia bisa kokoh sebagai penulis, jurnalis, pengusaha, politisi, dan kiai sekaligus.

Ketika tahlil 7 hari ibu (mertua) wafat, Uka datang, di bulan Februari 2024. Itulah pertemuan saya yang terakhir dengannya.

Jalannya tak selancar dulu. Bicaranya juga tak setangkas dulu. “Saya sakit, bro,” ujarnya.

Ia sempat memberikan pandangannya. “Bro, anda sebaiknya memang tetap seperti ini saja. Tak usah masuk partai. Tak usah jadi menteri. Jadi teman presiden saja, dan bangun dunia anda sendiri.”

“Jauh lebih enak seperti anda bro, jadi orang bebas.” “Siap,” ujar saya sambil tertawa, menyalami tangannya.

Selamat jalan Usamah Hisyam. Selamat jalan, Uka.

**Jakarta, 21 Juli 2024**

# # # CATATAN

(1) Data mengenai hubungan tingkat keberagamaan dan tingkat korupsi, dapat dibaca di [Facebook Link](https://www.facebook.com/share/p/e7JsMRVeSwy4QYyY/?mibextid=K35XfP).

29/07/2024

MUNDURNYA JOE BIDEN

- Dan Kemungkinan Presiden Perempuan Pertama di Amerika Serikat?

Donald Trump bukan presiden pertama yang dikalahkan, lalu mencalonkan lagi sebagai presiden.

Joe Biden juga bukan presiden pertama yang tak lagi maju untuk jabatan kedua.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Orasi Denny JA 👇

https://youtu.be/xwAAPL3NjA8?si=dXd8JzX6OWrMI--o

👆

# Dari Akun Youtube ORASI DENNY JA, berisi 379 video orasi soal filsafat hidup, sejarah, politik, agama, sastra, review film dan buku, psikologi, lagu dan catatan perjalanan

29/07/2024

# # # YANG BUKAN KRITIKUS SENI RUPA BOLEH AMBIL BAGIAN

Pengantar Buku 25 Review Soal Pameran Lukisan Dengan Asisten Artificial Intelligence

*Denny JA*

Datangnya era artificial intelligence memungkinkan itu. Kreator yang memamerkan lukisannya bukanlah pelukis profesional, yang dikenal memiliki tradisi panjang di dunia lukisan. Pengulas pameran lukisan itu bukan p**a kritikus seni rupa.

Memang, dua puluh lima penulis ini bukanlah kritikus seni rupa profesional. Mereka tidak belajar teori seni rupa, dan bukan p**a yang berprofesi sebagai pelukis.

Mereka adalah sastrawan, penulis kolom, wartawan, aktivis keberagaman agama, ahli hukum, dan pengajar. Mereka melihat pameran lukisan, lalu menuliskan pengalamannya.

Lukisan yang mereka nikmati bukan p**a lukisan biasa. Itu 186 lukisan karya seorang konsultan politik, saya sendiri, yang dibantu oleh asisten artificial intelligence.

Ruang pameran pun bukanlah Taman Ismail Marzuki atau galeri pada umumnya. Tempat memajang lukisan hanyalah dinding kosong sebuah hotel 6 lantai di jalan Mahakam, Jakarta, yang kemudian disulap menjadi galeri.

Di situlah uniknya. Ini era ketika terjadi demokratisasi seni rupa. Akibat kehadiran artificial intelligence, yang bukan pelukis profesional pun bisa menumpahkan gejolak batin dan visinya ke dalam kanvas.

Yang bukan kritikus seni rupa pun bisa mengekspresikan pengalamannya, tidak dengan teori seni rupa, tapi sisi human interest, kesan personal atas lukisan. Artificial intelligence pun bisa mereka gunakan untuk menambah bobot tulisan.

-000-

Membaca ulasan seni rupa 25 penulis ini, saya teringat review Amelia Brown. Saat itu ia menghadiri dan menikmati pameran “Whitney Biennial 2017" di Whitney Museum of America. (1)

Amelia Brown, seorang penulis yang tidak memiliki latar belakang kritikus seni. Ia mengunjungi Whitney Biennial 2017 di New York dan menulis ulasan berdasarkan pengalamannya pribadi.

Tulisnya: “Saya mengunjungi Whitney Biennial 2017 di Whitney Museum of American Art dengan harapan menemukan perspektif baru tentang dunia seni kontemporer. Pameran ini penuh dengan karya-karya yang beragam, mulai dari instalasi hingga seni performatif.

“Meskipun saya bukan ahli seni, beberapa karya berhasil membuat saya merenung tentang isu-isu sosial dan politik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.”

“Salah satu karya yang paling berkesan adalah "Repellent Fence.” Instalasi ini menampilkan pagar besar yang melintasi perbatasan AS-Meksiko, menciptakan visual yang kuat tentang pemisahan dan koneksi antara dua negara.”

“Karya ini memaksa saya untuk berpikir lebih dalam tentang isu imigrasi dan identitas.”

“Karya lain yang menarik perhatian saya adalah "Ramps" oleh Park McArthur. Perupa ini menggunakan ramp sebagai patung untuk mengeksplorasi isu-isu disabilitas dan aksesibilitas. “

“Ramps adalah jalur sirkulasi yang memiliki kemiringan, dan biasanya digunakan sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga.”

“Instalasi ini mengingatkan saya betapa pentingnya membuat desain untuk semua orang, termasuk yang hanya bisa lewat Ramps saja. Seni dapat mengangkat isu-isu yang sering kali terabaikan.”

-000-

Mengapa ulasan Amelia Brown, dan juga 25 penulis di buku ini tetap menarik dibaca, walau mereka bukan ahli seni rupa? Empat hal ini bisa menjadi panduan.

# # # 1. Personalisasi Pengalaman

Mengaitkan karya seni dengan pengalaman pribadi atau perasaan dapat membuat ulasan lebih dimengerti dan menarik bagi pembaca. Pola ini paling banyak diekspresikan dalam ulasan di buku ini.

Mengulas aneka lukisan soal COVID-19, ada yang menghubungkan lukisan itu dengan pengalamannya hampir mati ketika menjadi korban virus itu.

“Sungguh mengerikan! Aku merinding, ingat masa-masa yang kritis dalam hidupku, antara hidup dan mati, saat melihat lukisan-lukisan tragedi pandemi COVID-19 di lantai dua Mahakam 24 Residence, Blok M, Jakarta.

Betapa tidak, saat itu Juni 2021, aku, istri, dan keempat anakku, semuanya terkena gigitan virus COVID-19. Aku yang paling parah. Seluruh tubuhku seperti dicincang. Sakit sekali.

Aku pasrah. Saat itu aku mengadu, "Tuhan, aku sudah siap jika Engkau ambil nyawaku, daripada sakit luar biasa diterkam virus Corona."

“Gambaran seperti itulah yang terbayang dalam benakku ketika menyaksikan puluhan lukisan Denny JA (DJA) yang berada di lantai dua Mahakam.”

“Dengan bantuan AI (Artificial Intelligence), DJA berhasil "membetot kenangan" munculnya tragedi terbesar abad 21, pandemi COVID-19, yang membunuh ratusan ribu --bahkan jutaan manusia -- di seluruh dunia.” (Saefudin Simon)

Atau ketika melihat lukisan soal imajinasi anak-anak, ada yang menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri ketika masa kanak-kanak.

“Dan lukisan AI karya Denny jelas menyajikan dunia anak dengan segala imajinasi, keceriaan dan kepolosan mereka.

Terus terang aku langsung teringat dengan masa kecilku yang kurang lebih sama: asyik dengan imajinasi dan mimpi. Aku pernah membayangkan mengendarai kuda sembrani bertanduk, dengan warna pelangi.

“Kuda itu bisa berbicara dan terbang membawaku ke angkasa. Aku terbang di antara awan-awan, mengunjungi istana yang dasarnya bukan tanah, tapi awan. Lalu bertemu bidadari dan menyapa peri-peri mungil. Kami berteriak bersama, girang segirang-girangnya.” (Swary Utami)

Atau ketika melihat lukisan Jakarta tempo dulu, ia menceritakan pengalaman melihat patung itu di masa lalu.

“Ada tiga lukisan yang membekas dalam hati saya. Pertama, lukisan patung Dirgantara dan gerobak roti pada Jakarta yang masih sepi. Lukisan ini membangkitkan ingatan saya pada tahun 1970, ketika saya kanak-kanak. Kami tinggal di daerah Dukuh Atas.”

“Jika hendak ke Pasar Minggu membeli buah, kami naik oplet. Di persimpangan Pancoran, saya selalu terkagum-kagum melihat patung orang terbang di langit. Saya berpikir apakah jika helicak diberi baling-baling, bisa terbang ke dekat patung itu?” (Fatin Hamamah)

# # # 2. Penjelasan Konteks dan Latar Belakang

Memberikan informasi tentang latar belakang seniman, periode seni, atau konteks sosial dan budaya dari karya seni bisa memberikan kedalaman tambahan pada ulasan.

Ini membantu pembaca memahami lebih baik makna dan signifikansi dari karya tersebut.

Ketika melihat lukisan soal Fernando Botero di pameran lukisan Denny JA, ia mengisahkan pengalaman pribadinya dengan lukisan asli sang pelukis di negara lain.

“Di sini, saya teringat pada Botero tadi. Saya pertama kali jatuh hati pada karya Botero yang khas, yaitu proporsi tubuh dan bentuk yang bervolume saat melihat langsung karya-karyanya di Museo Botero di Kawasan La Candelaria, di jantung Kota Bogotá, Kolombia tahun 2015 silam.”

“Saat itu, saya sedang mengikuti short course di Universidad Externado de Colombia melalui program ELE Focalae atau Foreign Language Focalae initiative.”

“Seperti saya sebut di atas, saya juga tertarik pada Botero tentang sudut pandangan tentang lukisan yang tidak umum. Dia mempunyai kutipan yang terkenal: “Art was created to give a pleasure”. (Amelia Fitriani)

Ketika melihat lukisan soal derita anak-anak Palestina di Gaza, ada yang memberikan konteks data lukisan itu.

“Ya, lukisan itu mewakili realitas tragedi kemanusiaan yang paling memilukan saat ini. Bisa dibayangkan, dalam 8 bulan penyerangan Israel ke Gaza, Rafah, dan sekitarnya, kantor berita WAFA Agency Palestina melaporkan jumlah korban yang fantastis: 37.084 orang tewas, dan 84.494 orang luka-luka.

Publik luas telah menyebut operasi pembantaian yang dilakukan Israel ini sebagai genosida. Dan Israel bergeming. Di hari warga Palestina merayakan Idul Adha sekali pun, pas**an Israel juga melancarkan serangan udara di lingkungan Tel al-Sultan di Rafah.

Dalam liputannya, Tempo bahkan menyebutkan, selama 8 bulan operasinya, Israel telah menjatuhkan 70 ribu ton bom di Jalur Gaza, atau jauh melampaui gabungan jumlah bom yang digunakan di Dresden, Hamburg, dan London selama Perang Dunia II.”

“Menurut berbagai perkiraan, termasuk arsip dari New York Times, selama Perang Dunia II berlangsung, Jerman membom London dengan menjatuhkan sekitar 18.300 ton bom antara tahun 1940 dan 1941.”

“Sedangkan Hendrik Althoff, seorang peneliti di Departemen Sejarah di Universitas Hamburg mengatakan sekutu menjatuhkan 8.500 ton bom di Hamburg pada musim panas 1943. Sekutu juga menggunakan 3.900 ton bom di Dresden pada Februari 1945 berdasarkan catatan sejarah.” (Anick HT)

# # # 3. **Deskripsi Visual yang Mendetail**

Menggambarkan detail visual karya seni dengan cara yang vivid dan deskriptif membantu pembaca yang mungkin belum melihat karya tersebut merasakan keindahan dan kompleksitasnya.

Lukisan serial tema Lailatul Qadar, ada yang menguraikannya seperti ini:

“Contohnya tema “Lailatul Qadar” yang terdiri dari belasan lukisan dalam berbagai ukuran kanvas dan bauran visual.”

“Komposisi lukisan bersifat tipikal dengan separuh bagian atas menggambarkan kondisi langit malam dalam format aneka bentuk garis, k***a, dan warna. Sedangkan separuh bagian bawah menampilkan manusia dalam berbagai jumlah dan posisi.”

“Kadang seorang, kadang banyak. Kadang lelaki, kadang perempuan. Semua dalam posisi berdoa. Khusyuk.

“Dengan membuat serial lukisan bertema ini, Denny JA bukan saja sedang meletakkan hati dan kerinduan spiritualnya ke atas kanvas, juga seakan hendak melengkapi Teori Kebutuhan Dasar ( _Hierarchy of Needs)_ dari Abraham Maslow.”

“Bahwa manusia tak cukup hanya ditopang dengan kebutuhan fisiologis ( _physiological needs_), kebutuhan keamanan ( _safety needs_), kebutuhan sosial ( _social needs_), kebutuhan ego ( _egoistic needs)_ dan kebutuhan aktualisasi diri ( _self-actualization needs_). Manusia juga perlu kebutuhan keyakinan ( _spiritual needs_) secara mutlak, terlepas dari tingkat aktualisasi diri yang sudah diraihnya.” (Akmal Nasery Basral)

Ketika melihat lukisan wajah yang tak terlalu detil, ada komentar ini:

“Yang menarik, kualitas ketajaman wajah pada lukisan itu berbeda-beda. Ada yang detailnya muncul. Karakter wajah jadi tebal. Ada p**a tidak banyak garis di muka.”

“Wajah Ibu Teresa, di beberapa lukisan di sini, banyak ragamnya. Bahkan wajah pelukis Affandi, yang memiliki gaya aut-autannya, detailnya juga hilang.”

“Tentu saja hal ini disengaja oleh Denny. Sebab aplikasi AI sebenarnya mampu mengeluarkan detail wajah seseorang. Tapi Denny tidak melakukannya, atau tidak memilih aplikasi berintelejen untuk mengeluarkan guratan wajah seseorang.”

“Saya menduga, lukisan Denny JA di Mahakam 24 Residence ini tidak ditekankan pada detail wajah atau obyek lain di lukisan itu. Denny lebih mengutamakan pada pesan yang ingin disampaikannya melalui rangkaian gambar yang dipilihnya.”

“Misalnya, Denny mengkontraskan wajah Presiden Amerika Serikat pertama dengan Presiden AS di masa depan, berupa wajah robot. Titipan pesan yang dikatakan: seorang Presiden di masa depan bisa jadi berupa unit robot pintar.”

“Kepemimpinan di masa itu tidak perlu lagi melihat ideologi, atau partai, atau kepopuleran seorang tokoh. Yang penting adalah efektivitas pemimpin membuat kebijakan publik, yang bermanfaat untuk semua pihak di negara itu, dan negara menjadi makmur.” (Jonminofri Nazir)

# # # 4. **Mengajukan Pertanyaan dan Mengundang Diskusi**

Mengajukan pertanyaan retoris atau mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang elemen-elemen karya seni bisa memicu refleksi dan diskusi, membuat ulasan lebih interaktif.

Ketika melihat lukisan seorang ibu menggend**g bayi, tapi itu bayi robot dengan artificial intelligence, ia membahasnya seperti ini:

“Kevin bertanya kepada sang Ibu, 'Tidakkah kamu takut bahwa bayi AI kamu, suatu saat akan mengkhianati kamu, dan malah mengambil alih kontrol atas umat manusia?' dan Ibu itu hanya tersenyum.”

“Kemudian, Einstein bergabung dalam diskusi. Dia mengutip Sam Harris, seorang filsuf dan ahli neurosains Amerika, yang menyatakan bahwa persepsi AI terhadap kemanusiaan mungkin mencerminkan pandangan kita sendiri terhadap makhluk yang lebih rendah — bukan benci atau jahat tetapi acuh tak acuh terhadap keberadaan kita, seperti misalnya, kepada semut.”

“Potensi AI mencerminkan kesadaran dan nilai-nilai manusia itu sendiri.” (Monica JR).

Setelah merenungkan keseluruhan lukisan, dengan asisten Artificial Intelligence, ada yang mengajukan renungan:

“Pertanyaan yang muncul adalah apakah dunia seni lukis akan menjadi lebih bergairah karena kini orang bisa melukis dengan bantuan AI, seperti yang terjadi pada Denny JA?”

“Menurut saya, para pelukis yang sudah mapan, yang selama ini telah melukis dengan cara konvensional, mungkin merasa skeptis atau enggan untuk menggunakan AI sebagai alat bantu dalam proses kreatifnya.”

“Mereka telah mengembangkan keterampilan mereka selama bertahun-tahun, membangun hubungan yang intim antara diri para pelukis dan kanvas, mengungkapkan emosi, pengalaman, dan visi mereka melalui sentuhan kuas yang dipenuhi dengan perasaan.”

“Bagi banyak pelukis konvensional, proses melukis adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengalir dari hati dan jiwa. Mereka mungkin merasa bahwa penggunaan AI dalam proses kreatif dapat mengurangi keintiman dan keaslian dalam karya seni mereka.”

“Bagi mereka, keindahan seni tidak hanya terletak pada hasil akhir, tetapi juga pada perjalanan artistik yang mereka alami selama proses menciptakan.” (Elza Peldi Taher).

Pandangan lain yang juga mengajak merenung: “AI memang memiliki potensi untuk mengubah lanskap profesi pelukis, tetapi tidak harus dilihat sebagai ancaman langsung.”

“Sebaliknya, AI dapat dilihat sebagai alat yang dapat digunakan untuk memperluas kemampuan kreatif dan membuka peluang baru.”

“Pelukis yang mampu beradaptasi dan memanfaatkan teknologi AI mungkin menemukan cara baru untuk berkembang dalam profesi mereka. Pada saat yang sama, nilai-nilai keaslian, kreativitas manusia, dan emosi dalam seni tetap menjadi faktor penting yang sulit digantikan oleh mesin.”

“Bagaimanapun, tantangan etis dan filosofis tentang peran seniman dan sifat seni itu sendiri akan tetap ada. Masa depan seni lukis dengan AI tampaknya akan terus berkembang, seiring kemajuan teknologi dan adaptasi oleh komunitas seni.”

“Dalam hal ini, kita patut mengapresiasi Denny JA yang telah merintis, melakukan eksperimen, dan eksplorasi penggunaan AI dalam dunia seni lukis. Apakah lukisan-lukisan karya Denny yang berbasis AI ini akan mendapat penerimaan meluas dari publik dan komunitas seni lukis Indonesia?”

“Kita tunggu saja. Yang jelas, tanpa menunggu reaksi publik, Denny tampaknya akan terus berkarya.” (Satrio Arismundar)

Banyak lagi ulasan penting dari penulis lain, seperti ulasan Budhy, Esthi, Halimah, Nazrina, Iwan, Ali, Nisak, Nia, Asrun, Anwar, Meutia, Nita, Isti dan Mila. Namun tak semuanya bisa ditampilkan karena keterbatasan halaman.

Elza Peldi Taher sebagai editor mampu merangkum keseluruhan review dari non- kritikus seni rupa itu dengan baik.

-000-

Review orang awam terhadap pameran lukisan tetap penting bagi pelukis dan pembaca lain.

Orang awam cenderung memberikan pandangan yang segar dan otentik. Mereka jujur dan tidak terpengaruh oleh teori seni yang kompleks.

Ini memberikan pelukis wawasan tentang bagaimana karyanya diterima oleh publik umum, yang seringkali lebih representatif dari audiens yang lebih luas dibandingkan dengan kritik profesional.

Perspektif segar ini juga dapat menginspirasi pelukis untuk melihat karya mereka dari sudut pandang baru.

Bagi pembaca lain, mengetahui bahwa orang awam bisa terhubung dengan seni memberikan keyakinan bahwa mereka juga bisa mengapresiasi dan menikmati seni tanpa harus menjadi ahli.***

Jakarta, 24 Juli 2024

CATATAN

(1) Tentang Whitney Biennial 2017 di [Artspace](https://www.artspace.com/magazine/art_101/book_report/whitney-biennial-2017-can-it-match-1993s-legacy-54690)

29/07/2024

LUKISAN DENNY JA SOAL PAUS DISERAHKAN KE GEREJA

Bekasi, 24 Juli 2024

“Paus Fransiskus mencuci kaki rakyat Indonesia. Ini lukisan yang menjadi simbol sangat kuat. Pesannya sangat mendalam tentang pemimpin yang melayani dan memperhatikan orang-orang yang terpinggirkan.”

Demikian dinyatakan Denny JA, ketika ia menyerahkan lukisan kepada Dewan Paroki Gereja Katolik Santo Servatius, Kampung Sawah, Bekasi, Rabu 24 Juli 2024.

Dewan Paroki diwakili oleh Romo Yohanes Wartaya SJ, Pastor Kepala Paroki, Hari Wibowo (Wakil Ketua DPH), Utami Haliday (Sekretaris DPH), Eko Praptanto (Tokoh Masyarakat), dan Yacob Napiun (Tokoh Betawi Kampung Sawah).

Dalam sambutannya, Denny JA menyatakan kedatangan Paus ke Indonesia, mengingatkannya tentang dua hal.

Pertama, sebuah lukisan dari tahun 1475 karya Meister des Hausbuches yang berjudul "Christ Washing The Feet of the Apostles". Lukisan ini menggambarkan Jesus Kristus yang sedang mencuci kaki muridnya.

Tradisi pelayanan sudah ditanamkan sejak era Jesus Kristus sendiri, atau Nabi Isa dalam ajaran Islam.

Dulu, kaki yang dicuci adalah kaki lelaki katolik/Kristen. Paus Fransiskus melanjutkan tradisi ini dengan lebih meluaskannya. Kaki rakyat kecil yang dicuci juga kaki wanita, dan rakyat dari agama di luar katolik: Muslim dan
Hindu.

Saya pun membayangkan Paus Fransiskus mencuci kaki rakyat Indonesia. Dalam lukisan itu, ada elemen batik, bendera merah putih, juga mesjid sebagai simbol suasana Indonesia.

“Kedua,” kata Denny, “saya teringat berita tentang riset Oxfam tahun 2022 yang disiapkan untuk World Economic Forum. Judul riset Oxfom itu "Inequality Kills".

Laporan ini mengungkapkan bahwa dalam satu hari, 22 ribu orang di 80 negara mati karena terlalu miskin untuk memiliki akses kesehatan.

Sumber daya di bumi ini sebenarnya cukup untuk semua orang. Namun, masalahnya adalah sistem sosial yang timpang.

Kesenjangan ini perlu diatasi. Negara-negara kesejahteraan di Skandinavia dapat menjadi contoh. Mereka memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan dengan pajak tinggi, mencapai 60 persen, yang didistribusikan kembali ke rakyat kecil.

Tapi dunia tak hanya perlu solusi tingkat kenegaraan. Juga diperlukan kepemimpinan yang lebih peduli, lebih rendah hati, lebih melayani, lebih memperhatikan rakyat kecil.

Paus yang membersihkan kaki rakyat kecil itu menjadi simbol yang kuat sekali. Pemimpin tertinggi sebuah agama mencuci kaki mereka yang terpinggirkan, apapun agama dan identitas orang itu.

Denny JA sendiri menyatakan ia bersama teman teman Forum Esoterika juga berterima kasih. Paus Fransiskus membawa pesan harmonisasi hubungan lintas iman. Itu juga yang menjadi spirit dari Forum Esoterika. ***

Address

Perm. Panorama Blok D8
Cibinong
16918

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Firma Hukum posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Firma Hukum:

Share

Nearby media companies

  • STORY BY FITRI

    STORY BY FITRI

    Cluster Baiturrahmah Blok G3 Harapan Jaya Cibinong Bogor

Other Social Media Agencies in Cibinong

Show All