20/08/2021
MENAK PEMBERONTAK DARI JAMPANG MANGGUNG...!!!
SEJARAH KERAJAAN JAMPANG MANGGUNG DAN CIANJUR
Sampurasun🙏
Pada tahun 1619, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieters¬zoen Coen, secara sepihak, memutuskan bahwa batas wilayah kekuasaan kompeni berada di antara Sungai Cisadane dan Citarum. Sebagaimana dicatat oleh JKJ de Jonge dalam karyanya De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie Jilid VII (1873), diputuskan bahwa batas wilayah kompeni adalah Sungai Ontongh-Jawa (Tjidani; Cisadane) di barat dan Carwangh (Karawang; Citarum).
Informasi ini juga dicatat oleh Otto van Rees dalam karya¬nya, Overzigt van de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen (1880). Selanjutnya, Amangkurat II menegaskan batas-batas tersebut secara tertulis di¬sertai tambahan wilayah kepada VOC sebagai ”pernyataan rasa bersalah” (schuldige danckbaerheit).
Wilayah itu berada di antara Sungai Citarum dan Cipamanukan. Dengan demikian, melalui traktat tertanggal 19-20 Oktober 1677 itu, wilayah kekuasaan VOC bertambah luas.
Wilayah itu meliputi Kampungbaru (Bo¬gor; Buitenzorg), Cianjur, Jampang, Ciblagong, Cikalong, Karawang, Wanayasa, Adiarsa, Ciasem, Pama¬nukan, Pagaden, Bandung, Tim¬banganten, Batulayang, dan Parakanmuncang. Bahkan, menurut van Rees, bisa jadi, wilayah kekuasaan VOC juga mencakup Sumedang, Limbangan, dan Sukapura
Dengan menguasai wilayah tatar Sunda, wilayah VOC makin luas dan semalin berkuasanya VOC semakin bertindak sewena2 melalui tanam paksa banyak tokoh2 Sunda menentang keras salah satunya Menak Cianjur Haji Prawatasari.
Nama Haji Prawatasari tidak terlalu populer dalam khasanah sejarah Sunda apalagi Nasional, padahal perannya dalam sejarah sunda dan nasioanal sangat penting. Selain menjadi pemimpin perjuangan rakyat priangan pada masa awal masa kolonialisme VOC, Haji Prawatasari bisa jadi merupakan pelopor perlawanan terhadap penjajah di nusantara.
Raden Alit Prawatasari atau yang dikenal Haji Prawatasari hidup diakhir abad ke 17, sebagian riwayat menyebut beliau sebagai pangeran dari Panjalu Ciamis keturunan Sanghyang Borosngora raja Kerajaan Jampang Manggung.
Sebelum bercerita tentang Haji Prawatasari kita mengenal Kerajaan Jampang Manggung .
Sejarah Kerajaan Jampang Manggung
Kerajaan Jampang Manggung adalah monarki yang pernah ada dalam sejarah kerajaan Tatar Pasundan di Nusantara yang didirikan oleh Aki Sugiwanca yang tak lain adalah adik kandung Aki Tirem leluhur raja-raja Sunda yang pertama kali mendirikan kerajaan Sunda di Pulosari Banten abad ke 2 masehi.
Kerajaan Jampang Manggung terletak di kaki Gunung Manangel Kecamatan Cianjur sekarang, kerajaan ini sejaman dengan era keberadaan Aki Tirem, selain pendiri Aki Sugiwanca ada juga versi Kerajaan Jampang Manggung dengan Borosngora sebagai prabunya.
Dalam catatan sejarah resmi tentang kota Cianjur, nama Jampang Manggung tak pernah disebut. Bahkan, dalam Sajarah Cianjur Sareng Raden Jayasasana Dalem Cikundul karya Bayu Surianingrat dituliskan bahwa saat Dalem Cikundul baru datang ke Cianjur, situasi kawasan itu sama sekali belum diatur oleh suatu pemerintahan resmi dan masih berupa hutan rimba yang hanya dihuni sekelompok jawara. Lantas dari mana datangnya nama Jampang Manggung tersebut?
Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal di Tanah Jampang sebagai Prabu Jampang Manggung, Syeikh Dalem Haji Sepuh, Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul. Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.
Sep**ang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang. Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri. Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.
Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah. Pada windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.
Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situs Panjalu.
Salah seorang keturunan Hariang Sancang Kuning yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". (Baca Menak Pemberontak dibawah)
Dalam Lalakon ti Cianjur, pegiat sejarah Cianjur, Luki Muharam menyebut informasi-informasi tersebut didapatnya dari Wawacan Jampang Manggung, sebuah kitab tua yang saat ini berada di tangan Ustadz Jalal dan diwariskan oleh karuhunnya secara turun-temurun. “Dalam Wawacan Jampang disebutkan bahwa saat Raden Jayasana datang ke kawasan yang sekarang disebut Cianjur, sejatinya telah terdapat suatu pemerintahan yang sudah berdiri sejak ratusan tahun, namanya Kerajaan Jampang Manggung,” tulis Luki.
Bahkan menang juga, saat Raden Jayasana alias Dalem Cikundul datang, Kerajaan Jampang Manggung tengah dipimpin Prabu Laksajaya. Karena sang raja lumpuh dan tidak memiliki putera, pemerintahan dijalankan oleh wakilnya, Patih Hibar Palimping. "Saat Raden Jayasana datang, rakyat Jampang Manggung sudah menganut agama Islam dan memiliki mata pencaharian sebagai petani huma," kata Ustadz Jalal.
Patih Hibar menikahkan puterinya, Dewi Amitri dengan Raden Jayasana karena tertarik dengan ilmu agama Islam dan keahliannya mengembangkan ilmu pertanian baru bernama "huma banjir" (penanaman padi khas Mataram yang menggunakan udara). "Karena Hibar Palimping tidak memiliki seorang putera maka saat dia memutuskan menjadi seorang ulama, pemerintah lantas menyetujui untuk menantunya," ungkap sesepuh Pesantren Bina Akhlak Cianjur itu.
Jadi menerima limpahan kekuasaan dari Patih Hibar, Raden Jayasana (kemudian mengaku sebagai Aria Wiratanu) memindahkan pusat pemerintahan dari kaki Gunung Mananggel ke kawasan yang hari ini disebut sebagai Cibalagung. Dia lantas meresmikan nama baru dari daerah yang dia pimpin itu menjadi Kadaleman Cikundul, cikal bakal Kabupaten Cianjur.
MENAK PEMBERONTAK JAMPANG MANGGUNG (CIANJUR)
Parit di kaki Gunung Jampang Manggung, Cikalong Kulon itu memanjang bak ular raksasa. Tak ada seorang pun yang tahu pasti sejak kapan sungai kecil berbatu itu ada, kecuali beberapa penduduk yang usianya sudah menanjak senja. “Kakek saya bilang itu bekas tempat pertahanan pasukan Haji Prawatasari saat melawan Belanda ratusan tahun lalu,” ujar Aza, lelaki berusia 82 tahun.
Nama Haji Prawatasari bukanlah mitos. Setidaknya ada beberapa dokumen dan arsip-arsip berbahasa Belanda yang menyebut sepakterjang menak Sunda yang memiliki nama kecil Raden Alit itu. Arsip-arsip tersebut pernah dinukil oleh Jan Breman, salah satu sejarawan Belanda terkemuka. Dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa; Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870, Breman menyebut Haji Prawatasari sebagai “ulama fanatik” yang mengobarkan perlawanan terhadap “orang asing tak beragama”.
KH Raden Alit Prawatasari, dan ia adalah seorang pejuang anti kolonial Kompeni VOC (Belanda). Asalnya dari Cianjur dan namanya besar dan menjadi identik dengan daerah pajampangan Sukabumi dan wilayah pajampangan yang masuk Cianjur bagian selatan, seperti Cidaun dan lainnya.
Hingga kini, belum ada penelitian sejarah yang bisa memastikan secara sahih mengenai silsilah Haji Prawatasari. Cerita tutur tinular umumnya menyebut Haji Prawatasari merupakan menak keturunan raja-raja Sunda dari wilayah Panjalu (Ciamis). Ada juga yang menyebutnya sebagai bangsawan keturunan Kerajaan Sumedanglarang.
Silsilah beliau masih belum jelas ada yang sebut merupakan keturunan dari Sanghyang Borosngora Raja Kerajaan Jampang Manggung dan Ada yang mengatakan ia adalah keturunan Dalem Cikundul Cianjur.; beberapa sumber, di antaranya penggiat sejarah Prof. Drs. Yoseph Iskandar pernah menarik kesimp**an bahwa sebenarnya KH. Raden Prawatasari adalah putera bungsu Dalem Cikundul. Namun silsilahnya kemudian dihapus dari trah Dalem Cikundul karena pada saat itu dianggap aib akibat memberontak kepada Belanda.
Lalu, dalam Wawacan Jampang Manggung dikisahkan bahwa Dalem Cikundul pernah menikah dengan Dewi Amitri, seorang putri Patih Kerajaan Jampang Manggung yang beribukota di sekitar gunung Cikalongkulon. Kemungkinan Haji Prawatasari ditengarai sebagai putera Dalem Cikundul dari Dewi Amitri.
Kendati dilahirkan di keraton Jampang Manggung, sampai umur 8 tahun Prawatasari dibesarkan bersama dua kakaknya se-ayah (Raden Aria Wiramanggala dan Raden Aria Cikondang) di Kadaleman Cikundul. Dari keduanya, Prawatasari belajar ilmu kanuragaan dan kenegaraan.“Namun ada kecenderungan, Prawata lebih mengidolakan Raden Aria Cikondang, yang ahli perang, dibanding mengidolakan Raden Aria Wiramanggala yang seorang negarawan,” ujar seniman Cianjur terkemuka itu.
Bahkan karena kedekatannya itu, Raden Aria Cikondang sempat mewariskan 12 strategi militer dari Jagabaya (pasukan khusus Kerajaan Pajajaran). Inilah salah satunya yang menjadi modal Haji Prawatasari saat melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda.
Berbeda dengan putera-putera menak pada umumnya, Haji Prawatasari dikenal memiliki pergaulan yang sangat luas di kalangan rakyat. Begitu akrabnya, sehingga waktu masih bocah Prawatasari mendapat panggilan sayang dari khalayak yakni Raden Alit (anak terkecil).
Ketokohan Prawatasari dilabeli penjajah Belanda sama dengan Pangeran Diponegoro dan Ki Bagus Rangin yang juga memberontak kepada penjajah Belanda. Para pahlawan ini oleh Penjajah Belanda dan pendukungnya di sebut “Karaman Van Java” yang artinya Pengacau dari Jawa.
Pada 1691, Raden Wiramanggala diangkat menjadi penguasa Cianjur dengan gelar Aria Wiratanu II. Di bawah putra Aria Wiratanu I itu, Cianjur resmi menjadi bagian dari kekuasaan Belanda (yang diwakili oleh VOC).“Kedatangan utusan VOC yang bernama Kapten Winckler segera diikuti pengakuan VOC terhadap dalem Cianjur Aria Wiratanu II sebagai regent (bupati) Cianjur,” ungkap Reiza D.Dienaputra dalam Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg.
Penggabungan wilayah Cianjur ke dalam kekuasaan VOC memutlakan beberapa kewajiban yang diberlakukan Batavia kepada wilayah-wilayah bawahannya. Sejak itulah Cianjur harus menyerahkan beberapa produk-nya seperti belerang dan tanaman wajib yakni nila (tarum) dalam jumlah tertentu kepada VOC.“Dalam pelaksanaan di lapangan, Bupati Cianjur menyerahkannya kepada Raden Alit...” tulis sejarawan Nina Lubis dalam dalam sebuah makalah berjudul “Sepenggal Kisah Awal Abad ke-18: Haji Prawatasari versus Kompeni”.
Awalnya Prawatasari melaksanakan titah sang kakak dengan baik. Karena pengaruhnya yang besar di kalangan rakyat (terutama rakyat Jampang Manggung), segala perintah yang dikeluarkan Prawatasari dituruti sepenuh hati.Namun lambat-laun, pelaksanaan kerja paksa dan wajib tanam nila terasa semakin memberatkan rakyat. Keluh kesah dan ketidakpuasan terhadap sang bupati yang hanya memosisikan diri sebagai alat VOC mulai muncul. Menurut Nina, meskipun ada dalam situasi dilematis pada akhirnya Prawatasari memutuskan untuk mengajukan usul dan protes keras kepada Aria Wiratanu II.
“Tentu saja usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Bupati Cianjur, karena (menuruti usulan Prawatasari) bisa-bisa ia dituduh tidak loyal kepada kompeni dan (malah) bisa dicopot jabatannya,” ungkap Nina Lubis.
Penolakan Aria Wiratanu II menyebabkan rakyat Jampang Manggung hilang kendali. Memasuki 1703, sebagai tanda protes, para petani melakukan boikot pengambilan belerang dari kawasan Gunung Gede dan membakar lahan kebun tarum secara massif. Prawatasari pun menjadi tertuduh utama biang di balik aksi tersebut.“Seorang utusan bernama Cakrayudha lantas dikirim oleh Bupati Cianjur untuk menyelesaikan insiden itu,” kata Nina.
Alih-alih menuntaskan masalah, pertemuan Cakrayudha-Prawatasari malah berujung bentrok fisik. Bupati Cianjur marah. Ia lalu mengerahkan sejumlah tentara-nya untuk menangkap sang adik. Namun upaya itu gagal total, karena Prawatasari dibela habis-habisan oleh masyarakat Jampang Manggung dan Cikalong Kulon.
Sejarawan Jan Breman menyebut kehadiran Haji Parawatasari dalam kekisruhan di Cianjur bukanlah sebuah kebetulan. Sebagai seorang haji pengembara, Prawatasari memiliki jaringan yang cukup luas dengan beberapa ulama fanatik di Jawa Timur terutama dari wilayah Giri.
Pemberontakan Prawatasari diawali dengan penolakan terhadap setoran paksa belerang (dari Gunung Gede) dan buah kopi serta hasil pertanian lainnya oleh Bupati Cianjur Cakrayuda atas perintah Kompeni. Dia pun memutuskan untuk berperang dengan cara bergerliya menentang Kompeni di daerah Jampang, perbatasan Cianjur-Bogor yang selanjutnya meluas ke seluruh Priangan Timur, Cirebon dan Banyumas antara tahun 1703-1707.
Pasca Insiden Cakrayudha, hubungan Jampang Manggung-Cianjur ada dalam situasi yang kritis. Dengan dukungan VOC di Batavia, Aria Wiratanu II yang tetap mengincar Prawatasari lantas menyiapkan penyerbuan yang lebih terencana ke Jampang Manggung. Prawatasari sendiri merespon sikap Cianjur dengan melakukan mobilisasi umum di kalangan masyarakat Jampang Manggung dan sekitarnya. Perekrutan kaum lelaki untuk menjadi bagian dari pasukan gerilya melawan VOC-Cianjur terus digalakan dan mendapat sambutan baik dari masyarakat.
Maret 1703, sekira 3.000 orang (terdiri dari sebagian kecil menak, petani dan jawara) berhasil direkrut oleh Haji Prawatasari untuk menjadi gerilyawan. Mereka lantas menyerang tangsi-tangsi tentara kompeni di pusat kota Cianjur.“Dengan modal taktik-taktik lawas peninggalan militer Kerajaan Pajajaran, kekuatan pasukan gerilya Haji Prawatasari bergerak seolah tak terbendung,” tulis sejarawan Gunawan Yusuf dalam Mencari Pahlawan Lokal.
Setelah melalui berbagai bentrokan kecil dengan pasukan kompeni, awal Maret 1704, bataliyon-bataliyon (satu bataliyon= 700-1000 prajurit) pasukan Haji Prawatasari bergerak menyerang titik-titik vital militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen dan daerah muara Sungai Citanduy. Sesekali mereka juga melakukan gangguan-gangguan kecil di pinggiran Batavia.
Raden Prawatasari mampu menghimpun kekuatan sampai 3000 orang pasukan untuk melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Jumlah tersebut sangat besar mengingat jumlah penduduk waktu itu satu kabupaten hanya sekitar 1000 keluarga. Kompeni pun memburu Prawatasari di bawah pimpinan seorang sersan Belanda bernama Pieter Scipio. Bersama Scipio juga ada pasukan lokal di bawah pimpinan Letnan Ki Mas Tanu (Wedana Tanuwijaya) sebagai bagian taktik adu domba.
Kisah perburuan Raden Prawatasari oleh Letnan Ki Mas Tanu tersirat dalam sebuah lagu sunda yang masih dinyanyikan sampai sekarang, yaitu lagu Ayang Ayang Gung yang menceritakan bagaimana Ki Mas Tanu bekerja sama dengan Kompeni untuk menangkap seorang penjahat dengan cara menipu supaya bisa naik pangkat menjadi seorang wedana.
Salah satu bukti otentik catatan sejarah tentang perjuangan Prawatasari salah satunya surat perintah Gubernur Jenderal VOC Johan van Hoorn tertanggal 22 Maret 1704. Isinya adalah perintah kepada seluruh Bupati Priangan dengan ancaman pemecatan untuk menangkap Paap Prawatasari (Kyai Prawatasari) yang disebut “Karaman van Java” atau “Penjahat Besar dari Jawa.” Prawatasari supaya ditangkap hidup atau mati dangan Hadiah 300 Ringgit.
VOC semakin melipatgandakan kekuatan militernya untuk menghentikan perlawanan Haji Prawatasari, demikian p**a tekanan politik semakin kuat diberikan kepada penguasa lokal. Kondisi ini memaksa Haji Prawatasari bergerak lebih cepat dari satu tempat ke tempat lainnya, sampai akhirnya pasukan Haji Prawatasari sampai ke wilayah Cilacap.
Dengan sebuah tipudaya Haji Prawatasari dan pasukannya bisa ditangkap VOC di wilayah Cilacap dan Haji Prawatasari ditahan di Kartasura dan dihukum mati di kota tersebut.
Haji Prawatasari adalah seorang Muslim, tahun 1700 itu rentang waktu yang tidak terlalu lama dihitung dari kejatuhan kerajaan Padjajaran hanya berselisih 100 tahun. Ini menunjukkan ada proses Islamisasi yang unik di Sunda, biasanya pergeseran ideologi ini berlangsung cukup lama apalagi ideologi ini sudah membentuk diri menjadi dasar perjuangan.
Pada tahun 1707, Prawatasari dutangkap & dihukum mati di Benteng Kartasura (sekarang Solo). Sang pejuang dikuburkan di daerah Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, di tepi Sungai Cibeet. Masyarakat Dayeuhluhur menyebutnya Kuburan Keramat Turunan Panjalu. Kuburan Raden Prawatasari sendiri lokasinya agak di sebelah hulu sungai yang dikenali sebagai “Kuburan Raja Karaman” di Keramat Raja Kembang yang dipelihara oleh masyarakat adat Tejakembang
Demikian kisah Kerajaan Jampang Manggung dan keturunannya seorang pahlawan menentang kolonial di tanah Sunda. Hingga kini belum ditemukan sumber lain, seperti penelitian para sejarawan Belanda, tentang Kerajaan Jampang Manggung. Selain Sanghyang Tapak yang terkait kerajaan ini, juga ada makam tua di Gunung Mananggel dan sekitarnya. Selebihnya, Kerajaan Jampang Manggung masih menjadi misteri Sejarah yang harus dieksplorasi oleh para sejarawan dan arkeolog
Referensi Sumber :
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Jampang_Manggung
- https://historia.id/kuno/articles/misteri-kerajaan-jampang-manggung-di-cianjur-P0m9G/page/2
- https://historia.id/militer/articles/menak-pemberontak-dari-jampang-manggung-6m7zB/page/5
- https://sukabumixyz.com/2018/06/28/gen-y-sukabumi-ini-5-info-kyai-pejuang-asal-jampang-prawatasari/
- https://www.sejarahone.id/raden-alit-prawatasari-pahlawan-dari-cianjur-yang-melawan-penjajah/
-https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01340344/kekuasaan-voc-di-jakarta-dan-priangan-daerah-taklukan-dan-sumbangan?page=3
Tabe Pun
🙏
Mugia Rahayu Sagung Dumadi
Disusun Oleh :
A.Latief
Kabid C***r Budaya
MCKN Pajajaran Prov. Jabar