24/05/2019
Mamah doain sehat selalu, baik-baik saja. Selalu didoain tiap saat, tiap salat.” Suara di ujung telepon itu mulai terdengar bergetar. Sementara mata saya mulai berembun.
“Iya makasih ya Mah. Doain selalu ya Mah,” pinta saya dengan suara yang mulai terbata.
Akhirnya saya pun memutuskan untuk mengakhiri sambungan internasional itu. Saya tahu bila diteruskan, kami berdua akhirnya akan menangis. Saya tidak mau cengeng. Biar saya menikmati kesedihan sendiri. Dan begitulah, setelah telepon ditutup, saya pun tergugu menangis. Saya rindu kedua orangtua saya, adik-adik saya, saudara, kerabat, dan kampung halaman saya. Rindu teramat sangat.
Ramadan tahun ini saya tidak mudik, tidak seperti Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Begitu anak-anak liburansummer, biasanya saya langsung berkemas terbang ke pelukan orangtua tercinta. Ya, sudah hampir 9 tahun ini saya mengikuti suami yang kerja di luar negeri. Dua tahun terakhir ini kami tinggal di Doha-Qatar. Dan baru tahun ini, saya tidak mudik karena kondisi saya yang tidak memungkinkan naik pesawat. Ramadan dan Idul Fitri pun akan kami lalui tanpa berkumpul dengan orangtua tercinta dan keluarga besar.
Banyak kawan yang bilang lebih khusuk menjalani Ramadan dan Idul Fitri di tanah Arab dan mereka pun memilih mudik setelah lebaran. Bagi saya rasanya wajib berada di dekat orang tua ketika momen Ramadan apalagi Idul Fitri. Setelah berbulan-bulan hanya mendengarkan suara mereka, maka menatap wajah mereka dan memeluk mereka di saat hari raya sangat penting bagi saya.
Ramadan bersama kedua orangtua selalu berkesan bagi saya. Dan saya ingin anak-anak saya merasakan kedekatan itu dengan kakek-neneknya. Terbayang kala berbuka puasa, kami duduk melingkar di tikar di ruang keluarga. Aneka penganan terhidang, Mulai dari buah-buahan segar sebagai takjil. Lanjut dengan kolak, sirup, dan gorengan. Dari semua makanan itu favorit kami adalah bakwan atau bala-bala buatan mamah dan bapak saya. Rasanya sedap dan kriuk-kriuk renyah.