02/07/2024
Malam berikutnya Mas Athar tak datang, mungkin dia sibuk menghabiskan waktu bersama istri pertamanya. Seharusnya aku senang karena selamat dari tatapan dinginnya yang menusuk, tetapi entah mengapa ada rasa asing yang menyeruak di dad #, rasa yang tak seharusnya aku miliki, yaitu menginginkan keberadaannya.
Di malam-malam selanjutnya Mas Athar tetap tak datang dan dengan bo- do-h nya aku menunggu. "Aku nggak nunggu dia!" Aku menegaskan pada diri sendiri meski hati kecilku menolak.
Aku memainkan lampu kamar karena tak bisa tidur hingga tiba-tiba kudengar ada seseorang yang mencoba membuka pintu kamar. Aku langsung menyalakan lampu, lalu mengambil tongkat bisbol milik Mas Athar yang ada di pojok kamar.
Apa ada maling yang mencoba masuk ke kamarku?
Aku berjalan pelan-pelan ke dekat pintu sambil mengangkat tongkat bisbol di tangan, bersiap menghantam maling yang hendak masuk ke kamarku. Ketika pintu sedikit terbuka, aku langsung berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbol itu tapi seseorang yang masuk menangkap tanganku dengan sigap.
"Mas Athar?" Aku hanya bisa menggumam tak percaya karena ternyata yang masuk ke kamarku adalah suamiku sendiri.
"Kamu mau mem- bu- nuh- ku, huh?" ben-tak Mas Athar sambil merebut tongkat bisbol dari tanganku.
"A-aku kira ada maling tadi," elakku sambil mengatur napas yang memburu karena terkejut.
"Mana mungkin di rumah ini ada maling, keamaannya sangat terjamin." Dia berkata ketus seperti biasa lalu pergi ke kamar mandi sementara aku kembali naik ke ranjang sambil memegang dada yang berdebar. Jika saja Mas Athar tidak sigap menangkap tanganku tadi, mungkin kepalanya sudah pe- cah oleh pu- ku- lan- ku.
Tapi tumben dia pulang.
Tak berselang lama, Mas Athar keluar dengan wajah yang lebih segar dan dia hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Aku langsung membuang muka, pura-pura tak melihat. Lalu aku masuk ke dalam selimut dan bersiap tidur, tetapi tiba-tiba Mas Athar mematikan lampu dan selanjutnya yang terjadi adalah apa yang seharusnya terjadi antara suami dan istri.
Dia masih sama, menyentuhku tanpa cinta hingga meninggalkan rasa sakit dan perih yang tak terkira. Aku tahu ini sudah kewajibanku melayaninya tapi apa tidak bisa meminta izin lebih dulu?
Jika memang tak perlu izin, setidaknya katakan sebagai sebuah pemberitahuan. Namun, aku hanyalah objek bagi Mas Athar, aku bukan seorang wanita apalagi istri yang berhak memakai perasaan.
Ya Tuhan, segerakanlah kehamilanku agar dia berhenti menyentuhku.
*****
Sekali lagi, dia pergi meninggalkanku begitu saja setelah mendapatkan haknya sebagai seorang suami. Tidak bisakah dia memelukku, menenangkanku dan memanjakanku walau hanya sesaat?
Hati ini menjerit perih tapi aku tak bisa melayangkan protes bahkan pada diriku sendiri karena semua ini sudah menjadi kesepakatan yang kuterima dengan kesadaran penuh.
Aku bangkit dari ranjang sambil menyeka air mata yang sudah hampir mengering di p**i, dengan langkah tertatih aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Aku berendam di baththub yang berisi air dingin, berharap dinginnya air ini dapat membekukan rasa sakit yang telah Mas Athar torehkan di setiap sentuhannya yang dingin tanpa cinta.
Lama aku di dalam air hingga menggigil, ingin sekali bertahan di sana sampai pagi tapi tubuhku tak sanggup bertahan. Segera aku mengeringkan tubuh dengan handuk, lalu memakai baju dan kembali masuk ke dalam selimut untuk menghangatkan diri. Masih ada aroma Mas Athar yang tertinggal di sana dan entah mengapa itu justru membuatku sedikit tenang hingga akhirnya terlelap.
Ketika pagi tiba, aku memilih tetap di kamar hanya untuk merenungi apa yang terjadi hingga Ita-salah satu pelayan di rumah ini- memanggilku untuk sarapan. Aku ingin menolak karena tak berselera untuk makan tapi Ita mengatakan mertuaku sudah menunggu.
Ketika aku menyusul ke meja makan, langkahku terhenti melihat pemandangan yang begitu hangat tapi terasa membakar hatiku.
Di meja makan tak hanya ada mertuaku tapi juga ada Mas Athar dan Mbak Rania, mereka mengobrol sambil tertawa. Wajah sumringah Mbak Rania membuatku iri, betapa hebatnya dia yang tetap bisa tertawa meski dimadu.
Tak ingin menganggu dan merasa tak berhak di sana, aku hendak kembali ke kamar tapi suara ibu mertua yang memanggil menghentikan langkahku. "Kami sudah menunggumu, Zy," ujarnya.
"Aku ...." Tiba-tiba aku merasa gemetar ketika Mbak Rania menatapku. Malu karena telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya meski dia sendiri merestui kami, bahkan wanita yang sepuluh tahun lebih tua dariku itu hadir di acara akad nikahku dan Mas Athar. Jika aku menjadi Mbak Rania, mungkin aku sudah m4ti berdiri karena cemburu.
"Sini, Zy!" Mbak Rania melambaikan tangan sambil menyunggingkan senyum lebar. Terbuat dari apa hati kakak maduku ini?
"Aku nggak lapar, Mbak," ucapku menahan sesak di dada bahkan mataku terasa perih.
"Lapar nggak lapar harus tetap makan, sarapan itu penting banget lho." Dia beranjak dari tempat duduknya hanya untuk menjemputku yang masih berdiri ditempat. "Ayo." Aku hanya bisa tersenyum kaku ketika Mbak Rania membawaku duduk di sisinya. Kulirik Mas Athar yang tetap fokus pada makanan di hadapannya.
"Kamu harus menjaga kesehatan supaya cepat hamil," tandas Mbak Rania yang membuat napasku tercekat.
"Aku sudah selesai." Suara bariton Mas Athar menarik perhatianku. "Aku harus pergi sekarang, ada meeting." Mas Athar meneguk air di gelasnya kemudian pria itu mendaratkan kecupan di p**i Mbak Rania, tak hanya sekali tapi beberapa kali. Tindakan mesra yang semakin membakar jiwaku oleh rasa cemburu.
Oh Tuhan, pantasku aku cemburu?
"Nanti kita makan siang bersama, Sayang. Aku jemput," ucapnya sambil mengurai senyum yang begitu hangat.
"Oke. Hati-hati di jalan, Sayang," kata Mbak Rania yang semakin membuat dadaku sakit. Seharusnya aku sadar diri, mereka adalah suami istri yang saling mencintai jadi jadi sangat wajar bermesraan. Tapi kenapa harus di depanku?
Mas Athar pergi begitu saja tanpa melirikku walau hanya sekilas, apa dia tidak bisa menyapa meski hanya basa-basi?
"Ayo makan, Zy." Mbak Rania yang menepuk pundakku membuatku sedikit tersentak. "Kok malah melamun, mikirin apa?"
Mikirin suamimu yang begitu dingin padaku, Mbak. Ingin sekali aku meneriakan jawaban itu tapi nyatanya aku hanya bisa menggeleng pelan. Aku memaksakan diri menghabiskan makanan di piring meski rasanya begitu sulit untuk ditelan.
Setelah selesai sarapan, ayah dan ibu mertuaku langsung pergi bekerja seperti biasa sehingga di rumah kini tinggal aku dan Mbak Rania. Aku merasa sangat canggung tapi wanita berusia 30 tahun ini justru terlihat begitu santai.
"Bagaimana kabar Bu Fatma?" tanyanya seraya menyalakan TV. "Aku dengar operasinya lancar tapi aku belum sempat menjenguk beliau lagi."
"Alhamdulillah kondisinya baik, Mbak," sahutku.
"Alhamdulillah, semoga Bu Fatma sehat seperti sedia kala karena panti membutuhkannya."
Aku mengangguk setuju. Bagiku Bu Fatma bukan hanya pengurus panti tapi dia adalah ibuku, kesembuhannya sangat penting bagiku begitu juga dengan anak-anak yang lain.
"Hubunganmu sama Mas Athar baik-baik aja, kan?"
Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar pertanyaannya. "Aku tahu Mas Athar sedikit dingin, tapi sebenarnya dia punya hati yang hangat kok. Lambat laun kalian pasti bisa dekat."
"Kenapa Mbak nggak benci sama aku?" cicitku menahan air mata. "Kenapa Mbak mau aku dekat dengan suami Mbak? Setiap hari aku merasa bersalah karena sudah menjadi madumu, Mbak."
Mbak Rania terkekeh, dia yang tadi duduk bersandar di sofa kini beralih duduk tegak menghadapku. "Tidak ada wanita yang mau pasangannya dekat dengan wanita lain, Zy. Tapi aku berbeda, aku nggak bisa memberikan hal yang paling penting dalam hidup Mas Athar jadi aku harus bisa menerima ketika dia memiliki wanita lain yang bisa memberikan hal tersebut untuknya."
Aku tertegun mendengar jawaban Mbak Rania, tak heran jika Mas Athar cinta mati padanya karena dia pantas dicintai seperti itu.
"Kamu adalah ibu dari calon anak kami jadi tentu aku mau hubungan kita bertiga harmonis," imbuhnya.
"Apa tidak bisa diupayakan dengan bayi tabung, Mbak?" tanyaku dengan hati-hati. Mbak Rania hanya menggeleng pelan membuatku merasa bersalah. "Maaf, Mbak," ucapku dengan tulus.
"Kenapa minta maaf?" kekehnya. "Kamu nggak salah, udah biasa aku ditanya seperti itu."
"Mbak Rania punya hati yang begitu tulus," pujiku dengan jujur. "Anakku nanti pasti akan sangat beruntung memiliki ibu sepertimu, Mbak."
Mbak Rania hanya tersenyum simpul seraya mengambil tasnya di meja. "Aku harus kembali ke kantor," ujarnya. "Kamu mau ikut?"
Tentu aku langsung menggeleng, tidak mungkin 'kan aku mengekor maduku bekerja apalagi aku tidak bisa bekerja kantoran. Aku hanya tamatan SMA dan selebihnya bekerja sebagai pelayan di sebuah restauran demi mengabdi pada panti, tapi setelah menikah aku diwajibkan berhenti bekerja oleh Mas Athar dan kedua orang tuanya, alhasil sekarang aku hanya menganggur sepanjang hari.
"Kalau kamu bosan di rumah atau butuh teman mengobrol, telepon aku aja ya," usulnya yang langsung membuat hatiku menghangat. "Kalau ada waktu, aku bisa bawa kamu makan dan belanja."
"Insyaallah, Mbak," sahutku dengan senang hati. Aku mengantar Mbak Rania sampai ke mobil di mana sopir sudah menunggu, aku mengiringinya pergi dengan lambaian tangan.
"Ada berapa wanita seperti Mbak Rania di dunia ini?" gumamku takjub. "Begitu ikhlas dimadu bahkan memperlakukan madunya seperti teman dekat." Aku memegang perutku sambil menghela napas berat. "Ya Allah, segerakanlah kehadiran buah hati dalam rahimku supaya pengorbanan Mbak Rania tidak sia-sia."