08/10/2021
Oleh : Win Wan Nur*
Meski dalam peradaban Gayo, Linge diletakkan dalam posisi istimewa, dipandang sebagai daerah asal semua orang Gayo yang ditandai dengan ungkapan “ Asal Linge, Awal Serule” tapi dalam kenyataannya, di Gayo, Linge diposisikan layaknya anak tiri yang kalau diberi makan hanya dijatah dengan sisa-sisa makanan yang telah diberikan kepada anak-anak yang lain (Kekap ni kero)
Win Wan Nur
Linge yang begitu diistimewakan dalam ujaran, seperti dimiskinkan secara sistematis dalam kenyataan. Linge sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang begitu besar. Mulai dari air yang berlimpah untuk dijadikan persawahan, padang rumput yang luas untuk penggembalaan dan juga hawa yang hangat untuk budidaya aren sebagai penghasil gula merah yang permintaannya demikian besar.
Tapi semua potensi itu diabaikan oleh setiap pemimpin Aceh Tengah sejak Indonesia merdeka. Linge seolah hanya eksis dalam cerita tapi seperti tak ada di dunia nyata.
Padahal dengan potensi yang dimiliki Linge, kalau Pemkab Aceh Tengah memang punya niat buat memajukan daerah ini. Di Linge bisa dikembangkan persawahan. Atau dengan luasnya padang rumput yang ada, selain serius mengembangkan kerbau, pemerintah juga bisa mendorong Linge menjadi sentra penghasil susu seperti Boyolali. Sumatera belum punya sentra produksi susu seperti ini. Kalau Linge bisa didorong menjadi sentra produksi susu, industri ikutan yang menyerap banyak tenaga kerja lokal akan bisa menyusul. Demikian p**a kalau budidaya Aren dikembangkan. Linge bisa memasok gula Aren yang permintaannya begitu besar di pasar global.
Sayangnya, tak satupun dari semua kemungkinan yang bisa membuat masyarakat Linge sejahtera ini dilakukan oleh Pemkab Aceh Tengah. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, Linge seolah dimiskinkan secara sistematis.
Sebagaimana sejarah telah menunjukkan, kemiskinan membuat orang nekat.
Terkait fenomena bagaimana kemiskinan membuat orang nekat ini, bukan kebetulan sekarang dunia sedang dihebohkan dengan kemenangan film “Parasite” di ajang Academy Award alias Oscar. Cerita film ini seolah menggambarkan apa yang dialami Linge. Di tengah kemiskinan, ketika tak banyak pilihan untuk bertahan hidup, orang jadi nekat mengambil pilihan yang paling berbahaya.
Sebagaimana pilihan nekat yang diambil oleh keluarga Ki-Taek dalam film “Parasite” pilihan itulah yang sedang kita saksikan diambil oleh warga Linge sekarang.
Dari sekian banyak kekayaan Linge, salah satunya adalah kandungan emas. Dan emas ini, tak perlu dibahas panjang lebar lagi, seluruh dunia sudah mafhum kalau penambangan logam ini tak bisa tidak harus dibayar dengan harga yang sangat mahal dengan kerusakan lingkungan yang berpotensi melahirkan anak-anak cacat yang akan menjadi beban dari generasi ke generasi.
Tapi, karena pemerintah Aceh Tengah tak memberi Linge banyak pilihan. Langkah berbahaya inilah yang diambil oleh Linge. Kemilau emas dan kekayaan instant, memang menyilaukan. Tak heran banyak yang tergiur. Kekayaan yang menyilaukan itu, membuat banyak orang seolah buta dengan segala resiko yang mengikuti.
Apakah dari sekian banyak masyarakat Linge tak ada yang bisa melihat bahayanya tambang emas ini? Banyak. Tapi sayangnya, dari yang banyak inipun, meski awalnya menolak. Belakangan banyak yang justru menjerumuskan.
Alih-alih mendesak Pemkab Aceh Tengah untuk memberi perhatian yang seharusnya diterima Linge. Mereka malah mendorong Linge ke arah kehancuran dengan memfasilitasi negosiasi dengan calon penghancur Linge.
Alih-alih bersatu padu menolak penyakit yang akan menggerogoti Linge, beberapa cerdik pandai asal Linge ini malah membuat Linge seolah begitu egois. Hanya peduli pada keuntungan sendiri, tanpa memikirkan kalau tambang emas di Linge dibuka, SIANIDA dan zat-zat berbahaya yang lain yang akan dipakai untuk memurnikan bijih emas harus dibawa melalui wilayah Gayo non-Linge. Jadi kalau dalam perjalanan menuju Linge, truk pengangkutnya terguling, entah itu di Enang-Enang, Relop atau Bur Lintang. Yang celaka justru bukan orang Linge, tapi orang-orang yang sama sekali tak mendapat cipratan dari nikmat emas yang dieksploitasi.
Cuma pada akhirnya, adalah mustahil untuk berdebat apalagi berdiskusi dengan cerdik pandai dan cendekiawan Linge model begini, karena bagi mereka mengeksploitasi kemiskinan Linge demi dibukanya tambang emas adalah harga mati. Kita yang tak setuju dengan dibukanya tambang emas akan dilabeli sebagai orang yang menginginkan Linge tetap miskin.
Jadi satu-satunya cara untuk mencegah kemungkinan terjadinya bencana besar akibat dibukanya tambang emas di Linge adalah dengan mendesak pemkab Aceh Tengah untuk mengalokasikan dana dan perhatian khusus bagi Linge. Tak ada jalan lain. []
Comments