12/11/2024
﷽
KESEDIHAN YANG BENAR KETIKA MENDENGAR ULAMA WAFAT.
Kita semua mengakui bahwa wafatnya ulama adalah sebuah musibah bagi umat Islam.
Karena ulama adalah pewaris Nabi. Wafatnya ulama berarti hilangnya pewaris Nabi.
Wafatnya ulama adalah musibah, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat,
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama”
(HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’)
Musibah ini akan dirasakan terutama oleh para pecinta ilmu, orang-orang yang peduli dengan warisan kenabian.
Seorang Tabi’in, perawi yang haditsnya tersebar di Kutubus Sittah, Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, sebagaimana dikutip Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya,
“Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”.
Ketahuilah bahwa kesedihan yang benar sebab ditinggal wafat seorang ulama bukanlah kesedihan berdasar nafsu karena kehilangan fisiknya.
Kesedihan ini sejatinya adalah karena kehilangan orang yang mentrasfer warisan kenabian kepada umat.
Kehilangan orang yang membimbing di jalan kebenaran sesuai dengan cahaya ilmu pengetahuan.
Kehilangan orang yang dalam dadanya tersimpan bermacam ilmu yang diperlukan dalam menjalani kehidupan.
Sehingga wafatnya ulama bermakna kehilangan ilmu pengetahuan.
Mengenai hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda, sebagaimana diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“